Senin, 31 Desember 2007

Faktor non-ekonomi (menanggapi MCB) - Akhmad Rizal Shidiq

Catatan pendek ini tanggapan dari tulisan menarik MCB dengan judul Faktor Non Ekonomi. MCB menolak ketergesa-gesaan untuk menggunakan istilah faktor non-ekonomi, --misalnya faktor budaya--, dalam analisa, -- misalnya korupsi--, yang sebenarnya masih bisa menggunakan alat ukur standar biaya-manfaat.

Saya jadi ingat tulisan lama dari Gary Becker dari Chicago tahun 1974, The Economic Approach to Human Behavior , yang kemudian bersama dengan The Methodology of Positive Economics dari Milton Friedman menjadi semacam manifesto atau proklamasi dari apa yang sering disebut, dengan sinis, imperialisme ilmu ekonomi terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya.

Becker menulis bahwa yang disebut pendekatan ala ilmu ekonomi itu terdiri dari tiga hal: Pertama, asumsi perilaku maksimisasi dari agen ekonomi. Kedua, adanya pasar yang dengan berbagai derajat efisiensi mengatur tindakan (action) dari agen ekonomi. Dan ketiga, adanya preferensi yang stabil terhadap berbagai bentuk-bentuk pilihan (objects of choice). Tiga hal inilah yang kemudian membedakan ekonomi dari ilmu sosial lainnya.

Soalnya kemudian begini: Jika misalnya terjadi situasi di mana ada peluang atau kesempatan yang tidak dieksploitasi agen-agen ekonomi (yang katanya maximizer) --misalnya ada duit seratus ribu tergeletak di pinggir jalan--; ilmu ekonomi tidak akan buru-buru menyatakannya sebagai faktor perbedaan budaya, atau pergeseran nilai (shift of value). Alih-alih ilmu ekonomi membuat semacam postulat: terdapat biaya-biaya yang menghalangi agen mengambil kesempatan tersebut, yang tidak dengan mudah dapat diamati pihak di luar transaksi.

Apakah postulat ini lazim dalam metodologi ilmiah? Ya. Fisika, biologi, kimia, lazim menggunakan postulat semacam ini untuk menggenapi sebuah sistem yang diamati. Soalnya adalah apakah hal ini bermanfaat dan bukan hanya sekedar menjadi semacam tautologi kosong? Ya, kata Becker. Sebab asumsi preferensi (values) yang stabil antar manusia dan antar waktu, memberikan landasan yang bermanfaat untuk memprediksi respon dari berbagai perubahan variabel, lanjutnya.

Bersama Stigler, Becker kemudian menulis De Gustibus Non est Disputandum tahun 1977, yang mendukung klaim soal preferensi (taste, value) yang stabil tersebut, sekaligus memperkenalkan variabel untuk menjembatani analisa maksimisasi, yang mereka sebut sebagai consumption capital. Dari sini muncul analisa-analisa ekonomi untuk hal-hal yang dulunya berada di luar domain ekonomi standar misalnya soal diskriminasi, fertilitas, keluarga, pernikahan, dan sebagainya, yang membawa Becker ke Swedia untuk hadiah Nobel, dan melahirkan generasi baru semacam Freakonomics Steve Levitt.

Juga ketidaknyamanan dari teman-teman dari ilmu-ilmu sosial non ekonomi.

Pertanyaan yang sering muncul dari teman-teman tersebut adalah di mana letaknya struktur (sosial) dalam pendekatan ekonomi. Becker menjawab singkat dalam satu kalimat: sistem pasar dan instrumen-instrumennya menjalankan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh “struktur” dalam teori-teori sosiologi. Dengan pernyataan semacam ini, saya tidak heran reaksi seperti apa yang akan muncul di sana.

Lalu di mana kontribusi ilmu-ilmu yang lain, baik sosial maupun eksakta? Kata Becker lagi, itu letaknya pada pengaruhnya terhadap pemahaman terhadap choices dan production possibilities yang tersedia bagi agen ekonomi.

Katakanlah antropologi misalnya. Ilmu tersebut membantu ekonomi mengidentifikasi dengan lebih baik pilihan-pilihan (dan biaya-biayanya) --misalnya untuk korupsi--, yang kemudian dianalisa dengan prinsip maksimisasi biaya manfaat standar (jargon teknisnya: maksimisasi pada saat marginal benefit dari korupsi sama dengan marginal cost nya (misalnya tertangkap polisi, atau hukuman sosial).

Posisi semacam ini, bisa dimengerti, menyebalkan betul buat antropologi.

Tetapi saya kira ekonom juga tidak teramat menyebalkan. Tentu wajar bagi tiap profesi

untuk percaya bahwa profesinya tersebut bisa menyelesaikan suatu soal, dengan cara yang, pada derajat tertentu, lebih baik ketimbang profesi yang lain. Kalau tidak ada keyakinan semacam itu, buat apa kita memilih profesi kita saat ini, bukan?

Selepas Friedman, Becker, dan Chicago School, yang amat kuat pengaruhnya tidak hanya dalam akademis tetapi juga kebijakan, apakah kemudian agenda ilmiah mencari metodologi ekonomi yang pas berhenti di sini?

Tidak. Metodologi ilmu ekonomi terus berkembang. Setidaknya sampai sekarang, buat saya, tercatat beberapa perkembangan menarik. Yang pertama adalah soal bagaimana logika metodologi berbasis mikroekonomi seperti yang di atas berlaku untuk agregat? Thomas Schelling saya kira pionir di sini, sekaligus menandai masuknya analisa game theory dalam merekatkan perilaku antar individu menjadi perilaku agregat. Proyek ini berhasil masuk menjadi bagian integral metodologi ilmu ekonomi --dan membuat pusing para mahasiswa pascasarjana nya.

Kedua, soal pembentukan preferensi. Daniel Kahneman, dengan latar belakang psikologi adalah dedengkot garis depan untuk hal ini. Dan ketiga, dalam soal perilaku maksimisasi, experimental economics, dengan ernon Smith sebagai figur utamanya, saya kira menjanjikan kontribusi besar dalam metodologi ilmu ekonomi.

Menarik untuk ditunggu, apakah dua hal terakhir nantinya secara integral masuk ke dalam buku standar pengajaran ilmu ekonomi. Walaupun begitu, buat saya, sama seperti MCB, dengan metodologi yang ada sekarang pun, ilmu ekonomi berguna untuk memberikan jawaban pada banyak hal, tanpa perlu tergesa-gesa mengkambinghitamkan soal-soal semacam perbedaan budaya dan nilai.

Jadi kita tunggu saja.

** Akhmad Rizal Shidiq adalah dosen FEUI, peneliti LPEM, dan anggota Cafe Salemba. Rizal menulis dari George Mason University.


Jumat, 28 Desember 2007

Faktor non-ekonomi - MCB

Ketika saya kuliah dulu, ada satu mata kuliah yang diberi nama Faktor Non-Ekonomi dalam Pembangunan. Pengajarnya: Prof. Dordojatun Kuntjoro-Jakti. Dordojatun adalah dosen yang baik dalam membawa mahasiswa untuk tertarik terhadap sesuatu hal. Didalam kelas ini kita belajar berbagai hal, soal-soal non ekonomi, yang berpengaruh dalam pembangunan ekonomi. Bagi ekonom, ini adalah hal yang amat penting. Karena kritik yang sering muncul mengatakan bahwa ekonom kerap tak mengindahkan faktor non-ekoonomi. Saya kira kritik ini punya dasarnya, namun ada baiknya kita tak membuat faktor non-ekonomi sebagai kerangjang sampah penjelas semua faktor. Artinya ketika kita tak mampu menjelaskan sesuatu hal, maka kita kemudian mengatakan soalnya adalah non-ekonomi, soalnya adalah budaya, atau soalnya adalah moral. Bila ini terus terjadi, faktor non-ekonomi menjadi pelarian dari semua kegagalan analisis. Karena itu saya ingin menunjukkan bahwa berbagai hal yang dianggap sebagai faktor non-ekonomi dan kerap dianggap sebagai penjelas motif ekonomi pun ternyata tak sebaik penjelasan ekonomi.

Misalnya soal korupsi. Kita sering mendengar bahwa korupsi adalah bagian dari budaya kita. Bahkan ada antropolog dan sosiolog yang secara spesifik merujuk kepada pola dan perilaku pada suku tertentu. Misalnya, suku Jawa, Dijelaskan bahwa struktur Deva Raja dan Priyayi (yayi itu artinya adik raja) telah tumbuh sejak dulu. Dan dalam sejarahnya Deva Raja memberikan hak tanah kepada priyayi untuk kemudian disewakan. Priyayi kemudian membayar upeti dan begitu seterusnya. Artinya komersialisasi jabatan telah terjadi sejak dulu. Upeti adalah bagian dari budaya Jawa. Yang menarik: pola yang sama juga terjadi diberbagai belahan bumi termasuk di Cina, di Afrika dan Amerika Latin. Kalau kita percaya bahwa penjelasannya adalah budaya Jawa, maka itu berarti kita juga percaya bahwa pengaruh budaya Jawa sebegitu kuatnya, sehingga mempengaruhi kebudayaan Cina, di Afrika dan juga Amerika Latin. Rasanya agak terlalu fantastis menyimpulkan begitu. Saya kira analisa benefit dan cost masih mampu menjelaskan korupsi. Korupsi akan selalu terjadi ketika "manfaat" dari tindak korupsi lebih besar dibanding "biaya atau pengorbanan" yang harus ditanggung ketika orang melakukan aktifitas korupsi. Jika pengawasan tak ada, maka praktis biaya melakukan korupsi nol. Dalam sistem seperti ini secara rasional orang akan cenderung korup. Karena itu walau Indonesia adalah negara Pancasila atau negara dengan penduduk Muslim terbesar tak ada jaminan bahwa korupsi akan kecil. Apapun budayanya, latar belakangnya selama sistem yang ada tak membuat biaya melakukan korupsi lebih besar dibanding manfaatnya orang akan korup. Kita melihat di negara yang agnostic tingkat korupsi justru rendah. Apakah kita lalu menyimpulkan bahwa karena ia agnostic maka ia tidak korup? Kalau kita percaya ini, artinya kita cenderung suka kepada fantasi.

Soal lain adalah keserakahan. Kapitalisme erat dan selalu dikaitkan dengan keserakahan. Bahkan sebagian dari kita mungkin masih ingat kepada film kuno dari Oliver Stone yang berjudul Wall Street. Disana ditampilkan tokoh Gordon Gekko (yang diperankan oleh Michael Douglas dengan sangat baik). Gekko adalah prototipe orang yang berani dengan tegas mengatakan Greed is good. Dengan lancar Gekko akan berbicara dan mengutip Giambattista Vico dari abad ke 18 yang mengatakan: justru dari kebengisan dan ambisi manusia telah lahir berbagai hal yang baik di dunia. Bukankah keserakahan yang telah mendorong orang untuk menemukan teknologi untuk menjadi lebih. Kita cenderung sepakat dan mengatakan bahwa tindakan ekonomi kerap didorong oleh keserakahan. Jika kita percaya itu, ada baiknya kita membaca Thomas Sowell dalam bukunya Basic Economics: A Citizen's Guide to the Economy. Dengan baik Sowell menulis:
Jika greed menjadi penjelas harga-harga yang mahal dalam transaksi ekonomi, maka pertanyaannya adalah mengapa harga berbeda dari satu tempat ke tempat lain? Apakah keserakahan bervariasi sebesar itu dan memiliki pola yang sama? Di Los Angeles basin misalnya, rumah tepi pantai lebih mahal ketimbang rumah sejenis yang terletak di daerah yang berkabut. Apakah ini berarti udara yang bebas kabut akan mendorong keserakahan, atau kabut membuat keserakahan menurun?

Sowell tentu agak sedikit sinis didalam penjelasannya. Tetapi ia kemudian menjelaskan bahwa pesoalannya bukanlah keserakahan tetapi lebih karena interaksi antara hukum permintaan dan penawaran. Tentu supply dan demand bisa dijelaskan lebih kompleks lagi dan akan ada diskusi yang amat panjang soal ini. Namun yang ingin saya katakan,ketidakmampuan kita didalam analisis seringkali membuat kita mencari alasan dengan mengatakan bahwa soalnya adalah faktor non-ekonomi atau kalau tdak kita lari kedalam penjelasa teori konspirasi. Kalau benar begitu teori konspirasi dan faktor non-ekonomi akan mirip seperti obat gosok dikaki lima yang sanggup menyembuhkan semua penyakit mulai dari jantung, gatal-gatal, kanker sampai encok --artinya ia sanggup menjelaskan semua hal.

Rabu, 26 Desember 2007

APBN 2008 (baca : Politik Anggaran 2008)


Tidak peduli seberapa indah janji-janji yang diucapkan politisi ketika berkampanye, pembuktiannya adalah pada anggaran. Politik anggaran suatu pemerintahan pasti mencerminkan keberpihakan dan orientasi pembangunan pemerintahan tersebut, seberapa besar kue pembangunan yang akan dialokasikan kepada masing-masing komponen masyarakat tentunya memperlihatkan keberpihakan dan orientasi tersebut. Karenanya selalu menarik memerhatikan bagaimana anggaran itu disusun, karena dengan memahaminya kita akan mengetahui kemana pemerintahan akan berjalan setahun kedepan. Karena sifatnya yang strategis itu pula, maka seringkali pertimbangan dalam menyusun anggaran bukan berdasarkan pertimbangan ekonomi semata, tetapi juga pertimbangan politik. Maka tidak heran ketika R-APBN diajukan oleh pemerintah selalu saja banyak kritikan yang dilontarkan dari berbagai pihak, yang ekonom protes karena logika ekonomi mereka kadang bertentangan dengan anggaran tersebut, sementara yang politisi protes karena logika politik mereka kadang juga tidak bisa mengerti, ”mengapa kepentingan saya kurang diakomodasi dalam anggaran?” Di APBN 2008 ini ada beberapa hal yang menarik terkait perkembangan terakhir berbagai peristiwa yang terjadi dalam skala nasional maupun internasional yang akhirnya memengaruhi politik anggaran yang dijalankan pemerintah seperti Pemilu 2009 yang sudah di depan mata dan kenaikan harga minyak dunia yang tidak wajar. Di APBN 2008 kita akan melihat bagaimana pemerintah bereaksi terhadap berbagai stimulus tadi, yang juga akan memperlihatkan keberpihakan dan orientasi pembangunan pemerintah. Setidaknya di APBN 2008 ini politik anggaran pemerintah dapat kita lihat dari berbagai asumsi yang dipakai yang memperlihatkan bahwa pertimbangan dalam penyusunan APBN bukan pertimbangan ekonomi semata, melainkan juga pertimbangan politik.

1. Asumsi Harga Minyak Dunia
Di APBN 2008 asumsi harga minyak dunia dipatok di angka US$ 60/barel, padahal harga minyak mentah dunia saat ini berfluktuasi pada kisaran US$ 90/barel. Ada beberapa alasan kenapa pemerintah tidak mengubah asumsi harga minyak. Yang pertama karena asumsi harga minyak yang dipakai akan menentukan besarnya Dana Perimbangan yang harus diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemda. Dana perimbangan itu sifatnya block grant dan diberikan di awal tahun, jadi jika asumsi harga minyak terlalu tinggi sementara realisasinya selama tahun 2008 ternyata rendah Pemerintah Pusat akan rugi karena harus membayar lebih mahal kepada Pemda. Disini kita melihat tarik-menarik kepentingan antara pusat dan daerah.


Yang kedua karena harga fundamental minyak dunia saat ini memang berada pada kisaran US$60-70/barel. Sementara kenaikan sampai menembus level US$90/barel adalah karena faktor non-fundamental. Faktor fundamental adalah genuine supply dan genuine demand terhadap minyak, sedangkan faktor non-fundamental adalah faktor geopolitik. Secara fundamental permintaan minyak mengalami kenaikan akibat pesatnya pertumbuhan China dan India yang meminta banyak energi. Juga dimulainya musim dingin di negara-negara subtropis yang tentunya memakan banyak energi. Secara non-fundamental, kenaikan harga minyak disebabkan oleh isu-isu yang terus digelindingkan di kawasan timur tengah. Kerugian investasi di kredit perumahan akibat krisis subprime mortgage membuat para spekulan mencari cara untuk mengompensasi kerugian tersebut, diantaranya dengan bermain di pasar future minyak di Amerika. Transaksi-transaksi future yang mereka lakukan memungkinkan mereka menangguk untung ketika harga minyak naik, akhirnya hal itu terefleksikan dari kebijakan luar negeri Amerika yang selalu mengacak-acak Iran dan Irak yang mengakibatkan harga minyak naik. Disini dapat kita lihat betapa dekat hubungan antara pengusaha dengan penguasa di Amerika, tidak mengherankan mengingat Presiden Bush pun seorang pengusaha minyak. Jadi harga minyak tinggi ataupun rendah sebenarnya merupakan faktor eksternal bagi kita, yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha meningkatkan lifting/produksi minyak kita sehingga mampu menambah penerimaan negara. Jadi, karena berharap faktor non-fundamental menghilang di tahun 2008, pemerintah tetap tidak menaikkan asumsi harga minyak di APBN 2008.


Yang ketiga karena dengan menaikkan asumsi harga minyak sama saja pemerintah mengakui bahwa defisit anggaran akan membengkak karena status Indonesia saat ini adalah net importer minyak. Jika demikian, maka konsekuensinya tentu saja kita harus memerbesar sumber pembiayaan untuk menutupi defisit anggaran tersebut yang diantaranya adalah dengan penambahan utang luar negeri, privatisasi BUMN maupun penerbitan SUN. Nah, hal inilah yang tidak disukai pemerintah karena pilihan untuk menambah utang luar negeri maupun memprivatisasi BUMN sangat tidak populis dan ongkos politiknya terlalu besar menjelang Pemilu 2009, semangat memertahankan kekuasaan tampaknya akan mencegah pemerintah mengambil kebijakan yang tidak populis, sehingga mungkin pilihan rasionalnya adalah penerbitan SUN. Namun penerbitan SUN yang berlebihan nantinya akan menimbulkan crowding out effect, yaitu kondisi ketika investasi di sektor swasta, yang pastinya memiliki risiko, menjadi berkurang jumlahnya akibat dananya tersedot ke pembiayaan negara yang bersifat bebas risiko. Hal ini tentunya tidak baik untuk pertumbuhan investasi domestik Indonesia dan jika pemerintah tidak menyalurkan dana itu untuk membiayai investasi yang dapat menyerap tenaga kerja maka dapat memicu meluasnya pengangguran dan kemiskinan. Dalam skenario asumsi harga minyak dinaikkan jelas dana itu tidak digunakan pemerintah untuk membiayai investasi, melainkan untuk konsumsi minyak. Selain itu ada pula risiko dari peningkatan defisit anggaran, yaitu meningkatnya Debt to GDP Ratio (Rasio Utang dibanding PDB) Indonesia yang akan memengaruhi peringkat risiko Indonesia di mata investor. Lagi-lagi masalahnya investasi, pembukaan lapangan kerja, angka kemiskinan dan pertumbuhan. Jadi pemerintah ingin menghindari asumsi harga minyak tinggi karena asumsi itu akan membawa pada asumsi yang lain, yaitu bahwa mereka harus memerbanyak sumber-sumber pembiayaan yang seluruhnya tidak populer di mata masyarakat. Sebenarnya bisa saja defisit anggaran tidak bertambah, yaitu dengan menaikkan harga minyak di masyarakat, namun sekali lagi hal itu terlalu mahal ongkos politiknya menjelang 2009.

2. Asumsi Lifting Minyak
Di APBN 2008 pemerintah mengasumsikan lifting/pengangkatan minyak mentah Indonesia sebesar 1,034 juta barel/hari, padahal akhir-akhir ini tren lifting minyak Indonesia hanya sebesar 950 ribu barel/hari. Asumsi ini jika tidak tercapai dikhawatirkan akan menambah defisit anggaran akibat berkurangnya pemasukan dari produksi minyak. Efek dari meningkatnya defisit anggaran sudah disebutkan sebelumnya. Alasan pemerintah mempertahankan asumsi ini adalah karena ada optimisme bahwa beberapa sumur minyak seperti blok Cepu sudah dapat beroperasi tahun depan. Namun jika dilihat dari tren lifting minyak selama delapan tahun terakhir, kecenderungannya selalu terkoreksi kebawah artinya tidak memenuhi target. Disini terlihat lagi bahwa pemerintah berusaha menghindari skenario APBN 2008 defisit terlalu banyak, hal ini jelas untuk menjaga citra pemerintahan saat ini sebagai pemerintahan yang tidak banyak utang dan tidak suka menjual BUMN.

3. Asumsi Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 sebesar 6,8% dari sebelumnya 6,3% pada tahun 2007. Sedangkan inflasi tahun 2008 diasumsikan sebesar 6% dari sebelumnya 6,5% pada tahun 2007. Hal ini berarti pemerintah menginginkan pertumbuhan naik sementara inflasi turun, sebuah hal yang sulit diterima secara logika ekonomi. Kenaikan pertumbuhan diharapkan mampu didorong dari pengeluaran pemerintah di bidang infrastruktur yang anggarannya diperbesar di APBN 2008 ini. Pengerjaan proyek-proyek infrastruktur yang menyerap banyak tenaga kerja ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, walaupun tidak pasti juga berapa besar efek injeksi pemerintah tersebut terhadap pertumbuhan.


Sementara itu masih sulit juga untuk melihat jalur mana yang memungkinkan inflasi bisa turun, apalagi peningkatan pengeluaran pemerintah di bidang infrastruktur dan subsidi di APBN 2008 ini pastinya akan meningkatkan daya beli masyarakat yang dapat mengerek harga-harga juga. Namun jika pembangunan berbagai infrastruktur tersebut tidak memakan banyak waktu (dilakukan di awal tahun) dan dapat memperlancar arus barang kemungkinan dapat menekan laju inflasi di tahun 2008. Tapi melihat tren yang terjadi di Indonesia, sulit rasanya mengharapkan hal itu terjadi.


Entah apa yang menyebabkan pemerintah berani membuat asumsi pertumbuhan dan inflasi yang ”menentang” logika ekonomi itu, apakah hal ini terkait politik citra menjelang 2009 juga atau bukan. Dimana-mana ketika pertumbuhan diharapkan meningkat kita juga harus bersiap dengan inflasi yang meningkat, apalagi ini Indonesia, dimana pertumbuhan 60%-nya didukung oleh konsumsi. Yang jelas peningkatan pengeluaran pemerintah di bidang infrastruktur dan subsidi (yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat) jelas dapat dipandang sebagai politik citra pemerintah menjelang Pemilu 2009.



Hasil Kajian Internal
Departemen Kajian Strategis SM FEUI

Minggu, 23 Desember 2007

Ketika Rekening Pemerintah Ditertibkan-MCB

Berikut adalah tulisan saya di Harian Kompas, 24 Desember 2007, hal 1


ANALISIS EKONOMI
Ketika Rekening Pemerintah Ditertibkan


Pesan terpenting dari sejarah mungkin adalah pesan tentang kesalahan. Sejarah panjang birokrasi agaknya bisa bercerita tentang bagaimana perencanaan bisa meleset, prosedur bisa macet, dan mesin birokrasi bisa mandek. Dalam kemandekan, kadang timbul improvisasi untuk mencari jalan pintas, untuk membuat mesin tetap berjalan.

Minggu lalu media masa ramai mengulas soal temuan Tim Penertiban Rekening Pemerintah tentang sejumlah rekening yang tidak dilaporkan—atau oleh media disebut sebagai "rekening liar". Sejarah rekening yang tak dilaporkan barangkali sebuah sejarah tentang improvisasi di tengah kemandekan birokrasi. Selengkapnya...

Konspirasi-MCB

Mengapa ada kecenderungan kita untuk begitu senang dengan teori konspirasi? Setiap kali kita melihat sebuah keputusan politik dibuat, atau kebijakan ekonomi dilahirkan, dikepala kita selalu muncul: ini adalah skenario Amerika Serikat atau negara maju. Ada semacam sikap, yang mengingatkan saya pada sebuah film Woody Allen, tentang seorang Western Liberal dengan Western guilty feeling. Sikapnya kurang lebih begini: bahwa yang salah selalu si Barat, segala sesuatu yang buruk di negara berkembang disebabkan oleh Barat. Noam Chomsky, saya kira sampai derajat tertentu punya sikap seperti ini. Ironisnya, tak disadari oleh banyak orang, sikap yang seperti membela ini, sebenarnya adalah sikap yang amat merendahkan negara berkembang. Logikanya, jika semua kesalahan hanya bisa dibuat oleh si Barat, itu artinya negara berkembang tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan untuk berbuat dosa pun, negara berkembang tak sanggup. Ini mirip orientalisme baru.

Kegemaran kita akan konspirasi sebenarnya menunjukkan sikap kita yang tak percaya kepada diri sendiri. Mengapa kita selalu bicara tentang bahaya Neo-liberal atau komunisme? Jika kita yakin dan cukup percaya diri bahwa Pancasila atau keyakinan bangsa kita kuat, maka kita tak perlu kuatir dengan itu semua. Bukankah Amerika Serikat atau China tak pernah berbicara tentang pengaruh bahaya Pancasila didalam ideologi mereka? Setiap kali kita kuatir dan mulai menyusun teori konspirasi, setiap kali itu pula kita tahu: kita tak pernah percaya akan kekuatan bangsa sendiri. Dan menganggap bahwa bangsa ini begitu bodoh, sehingga bisa didikte diatur hanya oleh sekelompok orang. Secara tidak langsung, cara berpikir seperti ini amat merendahkan kita sendiri.

Kondisi ini kemudian mengingatkan saya kepada film tua Forrest Gump yang mendapat hadiah Oscar. Forrest Gump bercerita tentang tokoh yang "biasa” dengan cerita yang juga "biasa-biasa" saja. Sebuah film kadang menarik bukan karena ia menampilkan kekuatan atau keluarbiasaan si tokoh, tetapi justru karena ia bersikap "biasa-biasa" saja terhadap hidup yang sudah tidak " biasa" ini. Forrest Gump adalah seorang tokoh yang lugu dan ditampilkan secara karikatural. Sebuah parodi tentang orang jujur --atau mungkin orang bodoh--. Dan seperti biasa, kita tidak pernah bisa mengharap sebuah pameran kepahlawan dari seorang yang bodoh dan kelewat jujur -- terus terang dalam situasi dunia saat ini sudah semakin sulit bagi kita untuk membedakan mana bodoh dan mana jujur -- . Tapi disini cerita itu kemudian menjadi menarik, karena dalam keseharian kita sekarang ini, ada sebuah kecenderungan untuk mengidentikkan sikap sederhana, jujur dan bersahaja sebagai bahagian dari satu sikap protes. Bagian inilah yang kemudian mendapatkan tempatnya dalam teori persekongkolan. Dalam konteks teori persekongkolan sikap bersahaja bisa saja diterjemahkan sebagai suatu produk menentang kemapanan.

Pendeknya kita telah dikonstruksi oleh bayangan kita tentang sesuatu. Kita selalu berpikir dalam kerangka bahwa ada sesuatu motif besar dibalik setiap tindakan. Didalam kepala kita telah ada kamus yang siap menterjemahkan setiap motif manusia. Ada satu permainan politik dibalik setiap sikap. Karena itu kesederhanaan dan kebersahajaan pun merupakan satu protes. Sesorang yang berpakaian ala "seorang seniman" ditengah para Yuppies akan dikatakan pemberontak. Rambut gondrong pun kemudian punya arti sebagai satu simbol kebebasan. Musik juga dapat diterjemahkan sebagai suatu pemberontakan. Kesenian kemudian memiliki misi. Segala sesuatu harus punya motif. Barangkali itu ada benarnya, bahwa tidak ada satu tindakan pun yang berjalan tanpa satu motif yang perlu diperhitungkan. Tapi bila itu benar, agaknya kita masih tejerat dalam fenomena tahun 1960 dan 70 an, ketika sebuah generasi muncul dalam hiruk pikuk pemberontakan. Dimana rambut gondrong dan menghisap ganja adalah bagian dari upaya menentang kemapanan. Kita mungkin masih terjerat dengan kerangka pemikiran kita "yang terlalu pintar". Dimana semua fenomena sosial dan hubungan manusia di konstruksi dalam kerangka atau kiri atau kanan, atau barat atau timur, atau menghina atau mendukung dan berbagai klasifikasi lainnya. Kita telah mengkonstruksi segala sesuatu dengan format skenario yang kita punya dan kemudian kita terjemahkan dalam konteks itu.

Karena itulah ketika Forrest Gump dalam film itu memutuskan untuk berlari selama lebih dari tiga tahun, tidak ada satu orangpun yang percaya, bahwa ia berlari hanya karena sekadar karena ia ingin berlari. Dan para wartawan pun bertanya," Apakah anda berlari untuk perdamaian ? Apakah anda berlari untuk suatu rekor ?" Dan segala macam pertanyaan. Dan tak ada seorangpun yang percaya bahwa ia berlari hanya karena ia ingin berlari. Tetapi mungkin ada baiknya juga bila kita sadari bahwa manusia tak harus selamanya pintar. Ia kadang-kadang punya sesuatu yang dia lakukan hanya karena motif yang sederhana. Seseorang yang duduk menatap Istana Merdeka di Jakarta berjam-jam bukan kemudian berarti seorang mata-mata atau seseorang yang ingin menjadi Presiden, ia bisa saja seorang dari desa yang terkejut melihat: "Kok ada satu rumah kosong yang dikawal begitu ketat". Ada hal-hal yang mungkin berada diluar "skenario" kita yang "pintar" ini.

Saya jadi teringat pada satu diskusi Ariel Heryanto di Australian National University beberapa tahun yang lalu. Ariel berkisah bagaimana pemerintah melarang kaset Atiek CB karena ada gambar palu dan arit di sana. Ariel bercerita bagaimana anak-anak kecil bermain "PKI-PKI an" dimana sebagian anak menjadi "Pak Harto dan RPKAD" dan sebagian lagi menjadi "PKI". Tidak ada satu motif politik disana. Anak-anak kecil itu hanya merekam apa yang mereka lihat di televisi setiap tahun di tanggal 30 September. Dan kemudian mereka mainkan dalam dunia mereka sehari-hari. Permainan PKI-PKI an ini toh tak ada bedanya dengan permainan petak umpet atau perang-perangan "dor nama" yang sering kita mainkan dulu ketika kita masih kecil.

Sayangnya dijaman yang serba tak biasa ini, kita sudah tak sanggup lagi melihat satu persoalan yang sederhana. Dan kita pun kemudian mendengar Mozart dengan kerangka filsafat yang dalam, kita melihat lukisan Renoir dengan tinjauan restrospektif atau kita melihat humor dari misi politik yang ia sampaikan. Kalau betul begitu, maka segalanya kemudian hanya tersisa buat "orang pintar". Lalu bagaimana dengan mereka yang "tak pintar" ? Padahal dalam banyak hal, suatu peristiwa dapat terjadi dalam konteks yang bebas dari misi dan persekongkolan. Begitu pula dengan kesenian, seperti yang pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad, kesenian tak membuat kita menjadi lebih kuat atau lebih pintar. Karena ia hanya sekedar menautkan kembali ikatan kita dengan hidup : mungkin dengan harum tanah, bau rumput atau suara burung gereja . Disini kita kembali bereksperimen dengan kebebasan : termasuk kebebasan untuk lepas dari suatu misi dan persekongkolan. Dalam dataran ini mungkin independensi dan kemungkinan munculnya suatu pemikiran alternatif justru terbuka. Mengutip Goenawan, konon karena itu bahkan sosialisme pun tidak pernah berhasil mengontrol para penyair. Karena sebuah kekuatan birokrasi pemerintahan, struktur politik dan partai barangkali tak akan pernah bisa menangkap kebebasan perasaan hati. Saya jadi tak tahu lagi apa yang pasti hari ini. Tapi saya kira agaknya kita memang sudah menjadi terlalu rumit

Penyerangan terhadap Ahmadiyah-MCB

Saya kira sikap Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memerintahkan Polisi untuk bertindak terhadap para penyerang aliran Ahmadiyah patut dipuji. Kita tahu, sikap itu bukanlah sikap yang populer, namun itu adalah sebuah sikap yang berani untuk menyelamatkan kebebasan dan pluralisme. Pertanyaan yang paling mendasar, apakah seseorang atau sekelompok orang berhak diadili atau dihukum atau diserang hanya karena ia memiliki cara pikir, cara pandang dan keyakinan yang berbeda dengan kita? Yang menyedihkan, tak banyak orang atau media yang berani mengangkat ini. Saya mencoba mencari di Google, dan tak banyak yang bisa saya temukan. Saya kira, di negeri ini ada kecenderungan para tokoh atau media untuk berani dan tajam mengkritik pemerintah --karena secara politis mungkin akan menguntungkan dan dianggap pahlawan-- tetapi menjadi begitu pendiam dan bungkam ketika harus berbeda atau mengkritik mayoritas. Itulah sebabnya blog ini secara khusus memuat kalimat Henrik Ibsen tentang bahaya tirani mayoritas. Karena itu sikap Wakil Presiden Jusuf Kalla pantas dipuji.

Rabu, 19 Desember 2007

Global Warming is not cool - MCB

Berikut tulisan saya di Bisnis Indonesia, hal 1, Senin 17 December 2007

Analisis Ekonomi


Global warming is not cool

Global warming is not cool. Kelakar itu benar dalam arti sesungguhnya. Perubahan iklim memang bukan sesuatu yang asyik, bukan pula sesuatu yang menyejukkan bagi kita.

Indonesia tidak sendiri. Berbagai belahan bumi juga mengalami hal yang sama.

Perubahan iklim terjadi sejak lama. Dampak dari perubahan tersebut mulai terlihat dari meningkatnya temperatur bumi. Akibatnya, di masa depan bukan tidak mungkin glaciers akan mencair yang menimbulkan potensi banjir dan naiknya permukaan laut.

Di sisi lain, pemanasan global mengakibatkan kekeringan di belahan bumi lain. Siklus dari el-nino menjadi semakin pendek. Akibatnya, produksi pangan dunia akan terganggu.

Kenaikan temperatur juga akan mengganggu ekosistem. Produksi pangan yang menurun dan banjir akan membuat negara-negara miskin semakin sulit..... Selengkapnya

Roket, ekspektasi dan tingkat bunga- MCB

Berikut adalah tulisan saya di Bisnis Indonesia, hal.1, Selasa 11 December 2007,


Analisis Ekonomi


Roket, ekspektasi & tingkat bunga



Keputusan Bank Indonesia pekan lalu menurunkan BI Rate ditanggapi positif oleh berbagai kalangan. Saya kira keputusan mempertahankan SBI menjadi 8% pada akhir 2007 adalah tepat.
Kita tahu ada ekspektasi yang tinggi terhadap BI untuk terus menurunkan tingkat bunganya, bahkan sampai jauh di bawah 8%. Padahal, di tengah situasi global yang tidak pasti, tekanan inflasi akibat harga minyak mentah dunia yang melambung tinggi, kendala sisi penawaran, dan masalah informasi yang tidak simetris antara bank dan peminjam, kebijakan moneter harus tetap dijaga dengan hati-hati. Kehati-hatian ini membantu meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter.

Memang selalu ada godaan bagi bank sentral di mana pun untuk 'terlibat' dalam isu lain di luar kebijakan moneter, seperti mendorong pertumbuhan atau menurunkan pengangguran. Kita mungkin masih ingat, hampir empat puluh tahun lalu pembuat kebijakan dan para ekonom cenderung sepakat dengan argumen tingkat pengangguran yang rendah dapat dicapai dengan "sedikit mengorbankan inflasi."....Selengkapnya

Kamis, 29 November 2007

Demokrasi dan ekonomi -- Ari A. Perdana

Wapres Jusuf Kalla baru-baru ini mengundang kontroversi lewat pernyataannya bahwa demokrasi hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu kesejahteraan.

Ini bukan kali pertama Kalla melontarkan pendapat seperti itu. Tahun lalu, Kalla mengatakan bahwa demokrasi tidak selalu membawa kemakmuran. Sebaliknya, banyak negara yang otoriter seperti Singapura bisa makmur. Saya sempat membahas pernyataan Kalla tahun lalu di Kompas dan The Jakarta Post. Apa yang saya tulis di situ ternyata tetap relevan jika diulang untuk menanggapi pernyataannya baru-baru ini.

Intinya, dalam konteks akademik, Kalla memang tidak salah. Hubungan kausalitas antara demokrasi dan tingkat kesejahteraan ekonomi memang tidak bisa ditarik secara tegas. Secara teoretis, demokrasi bisa jadi baik atau buruk terhadap kesejahteraan. Ini adalah perdebatan klasik antara argument the authoritarian advantage vs. democratic advantage. Selebihnya silahkan baca dalam artikel yang saya tulis.

Jika kita tidak bisa mengambil kesimpulan secara teoretis, yang bisa kita lakukan adalah melihat fakta empiris. Di sini timbul pertanyaan: indikator apa yang digunakan? Untuk ukuran tingkat kesejahteraan, kita bisa menggunakan data PDB per kapita. Mengukur tingkat demokrasi lebih rumit. Yang biasa dilakukan dalam sejumlah studi adalah menggunakan indeks demokrasi yang disusun atas beberapa kriteria.

Salah satu indikator demokrasi yang paling terkenal adalah Indeks Kebebasan Politik (Political Freedom Index) dan Indeks Kebebasan Sipil (Civil Liberty Index) yang dikeluarkan oleh Freedom House (FH). Setiap tahun sejak 1972, FH mengeluarkan skor tingkat demokrasi di hampir seluruh negara di dunia. Skor 1 diberikan untuk negara paling bebas, dan skor maksimum 7 untuk negara paling tidak bebas.

Dari analisis scatterplot sederhana (Gambar 1), kita bisa melihat adanya korelasi terbalik yang kuat antara rata-rata indeks gabungan FH 1972-2004 dengan PDB per kapita tahun 2000. Artinya, negara-negara termakmur dalam hitungan PDB per kapita juga merupakan negara paling bebas, jika kebebasan sipil dan politik menjadi proksi yang akurat bagi tingkat demokrasi suatu negara.

Gambar 1.

Indikator lain yang juga banyak digunakan adalah Indeks Demokrasi Vanhanen, disusun oleh Tatu Vanhanen. Jika Indeks FH disusun berdasarkan hasil dari demokrasi yaitu kebebasan, Indeks Vanhanen lebih menggambarkan prosedur demokrasi. Skor tingkat demokrasi ditentukan oleh variabel-variabel seperti komposisi suara yang diperoleh kontestan peserta pemilu dan tingkat partisipasi pemilih.

Analisis scatterplot juga menunjukkan hubungan yang positif dan kuat antara Indeks Demokrasi Vanhanen dan PDB per kapita (Gambar 2 – semakin tinggi nilan Indeks Vanhanen, semakin demokratis suatu negara). Artinya, secara umum kedua indeks itu cukup konsisten mengukur tingkat demokrasi suatu negara. Tapi jika kita lihat lebih teliti, ada beberapa negara yang berpindah posisi. Dalam indeks FH, Amerika Serikat termasuk negara paling bebas. Tapi dalam indeks Vanhanen, AS bukanlah negara paling demokratis. Justru Rusia, ironisnya, menjadi negara yang paling demokratis. Mengapa begitu? Ingat bahwa indeks Vanhanen disusun berdasarkan tingkat kompetisi dan partisipasi pemilu, dan data yang digunakan adalah data awal dekade 2000an.

Gambar 2.

Perbandingan dua indikator di atas menunjukkan bahwa ukuran tingkat demokrasi di suatu negara sangat sensitif terhadap metode yang digunakan dalam membuat ukuran yang dimaksud. Sebagai ilustrasi tambahan, bandingkan gambar 1 dan 2 dengan Gambar 3 berikut ini. Dalam gambar 3, ukuran demokrasi yang digunakan adalah Indeks Polity. Indeks ini mencakup lebih banyak aspek demokrasi seperti adanya seberapa besar batasan atas kekuasaan eksekutif atau banyaknya posisi eksekutif berdasarkan penujukan. Skor lebih tinggi menunjukkan negara yang semakin demokratis. Terlihat bahwa penggunaan Indeks Polity menghasilkan hubungan yang nonlinier antara demokrasi dan PDB per kapita. Sampai satu tingkat tertentu, pergerakan dari pemerintahan otoriter ke demokratis justru berasosiasi dengan PDB per kapita yang lebih rendah.


Gambar 3.
Perlu diingat, data-data di atas hanya menunjukkan korelasi, bukan kausalitas. Dalam setiap analisis empiris, ada dua alasan mengapa korelasi tidak selalu berarti kausalitas. Yang pertama adalah adanya kausalitas dua arah. Apakah suatu bisa menjadi makmur karena demokrasi, atau apakah suatu negara harus makmur dulu baru menjadi demokratis? Problem kedua adalah adanya berbagai variabel lain yang mempengaruhi demokrasi sekaligus PDB per kapita, seperti sejarah, kolonialisme, institusi sosial dan lain-lain. Selain itu, bagaimana kita menjelaskan sejumlah pengecualian seperti Filipina atau India yang demokratis tapi miskin, serta Singapura dan negara-negara Timur Tengah yang kaya sekaligus otoriter?

Menggunakan laju pertumbuhan ekonomi sebagai indikator, bukan tingkat PDB per kapita, juga tidak menghasilkan kesimpulan yang lebih tegas. Banyak negara otoriter berhasil mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi seperti sejumlah negara Amerika Latin di tahun 1970- 1980-an dan Asia Timur tahun 1980-1990-an. Sementara itu negara-negara berkembang yang relatif demokratis, seperti Filipina, Fiji, atau India, setidaknya hingga pertenganan 1990a-n, terpuruk pada siklus pertumbuhan rendah. Robert Barro pernah melakukan studi tentang hal ini. Hasilnya, ia gagal membuktikan bahwa demokrasi menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Meski tidak ada bukti yang tegas bahwa demokrasi membawa kemakmuran, bukan berarti demokrasi itu tidak penting. Ada banyak alasan lain, di luar alasan ekonomi, untuk mengatakan bahwa demokrasi tetap sebuah pilihan terbaik. Selain itu, saya ingin mengulang penutup artikel saya:
...pernyataan Wapres juga perlu dilihat sebagai sebuah pesan pada para politisi. Demokrasi itu sendiri bukanlah satu-satunya tujuan akhir. Demokrasi akan berarti jika ia juga bisa membawa kesejahteraan. Dan negara-negara maju menjadi contoh bagi kita bagaimana demokrasi bisa bertahan dan dipilih oleh rakyat ketika ia berhasil menghasilkan kemakmuran bagi masyarakatnya.

** Ari A. Perdana adalah dosen FEUI, peneliti CSIS, dan anggota Cafe Salemba.

Jumat, 02 November 2007

Polling 1: Koran dengan berita/editorial ekonomi terbaik

Voter: 60

Tiga teratas:
Kompas 43%
Bisnis Indonesia 16%
Koran Tempo 11%

Sabtu, 27 Oktober 2007

Bisakah pemikiran baru muncul dari intelektual publik yang "populer"?-MCB

Pertanyaan ini menganggu saya. Peran dari public intellectual saya kira cukup penting. George Stigler dalam Memoirs of an Unregulated Economist menulis tentang pentingnya peran intelektual publik dalam memberikan pencerahan.

Apakah bisa diharapkan satu pemikiran terobosan --seperti harapan Stigler-- muncul dari intelektual publik yang "populer"? Atau ia justru cenderung akan dikuasai oleh persepsi publik yang populer atau pandangan mayoritas, sehingga tak banyak argumentasi baru?

Terus terang saya tak tahu jawaban yang pasti. Tetapi tulisan Avinash K. Dixit dan Barry J. Nalebuff dari buku ini tentang game theory bisa diaplikasikan untuk mencoba menjawab pertanyaan ini. Mereka menulis tentang lomba layar:
Dalam empat balapan yang terjadi, kelompok A menang 3-1 terhadap B. Berikutnya akan diadakan balapan yang kelima. Orang sudah menduga A akan menang lagi. Dan memang, dalam balapan yang ke lima, awalnya perahu A sudah unggul 30 detik di depan B. Tetapi kemudian B mengambil inisiatif untuk bergerak lebih ke kiri, dengan harapan tekanan angin di kiri akan lebih kecil, sehingga mereka akan dapat menyusul A. B bergerak ke kiri. A melakukan respon dengan tetap bertahan di kanan. Hasilnya B dapat melampaui A. B keluar menjadi pemenang dalam lomba layar yang kelima ini.
Kritik kemudian diberikan kepada tim A: seharusnya ketika B bergerak ke kiri, A juga bergerak ke kiri. Didalam lomba layar, tidak ada bedanya menang dengan lebih cepat 30 detik atau 45 detik. Yang lebih dulu sampai di garis finish akan menjadi pemenang. Jika A mengambil keputusan mengikuti B, maka besar kemungkinan A akan tetap di depan karena memanfaatkan situasi angin yang sama. Moral dari game ini: jika anda sudah jadi leader maka yang anda harus lakukan untuk tetap memimpin adalah justru mengikuti respon follower. Menarik! Dan ini banyak diaplikasikan oleh perusahaan-perusahaan besar yang sudah well established

Argumen Dixit dan Nalebuff ini mungkin bisa kita gunakan untuk menjawab pertanyaan saya tadi. Jika seorang intelektual publik sudah dikenal luas, maka untuk tetap memimpin opini piblik: jangan buat argumentasi yang berbeda dengan pandangan publik. Sebelum tahun 2000, ketika pandangan publik dominan tentang lemahnya intervensi pemerintah, maka ada kecenderungan kuat untuk bicara mengenai peran pemerintah yang minimal. Ketika pasar banyak dikritik tentang kelemahannya akhir-akhir ini, maka ada kecenderungan untuk bicara soal pentingnya peran pemerintah. Ketika kepercayaan kepada pemerintah rendah, maka yang dominan adalah kritik untuk setiap kebijakan pemerintah --apapun itu. Kalau situsi tidak baik, maka yang tepat adalah membuat argumen yang pesimis.
Dan ini menurut Dixit dan Nalebuff --sayangnya-- adalah strategi yang tepat. The leader immitates the follower even when the follower is clearly pursuing a poor strategy. Itu sebabnya tak banyak Presiden yang mau mengambil sikap tak populer, walau itu dibutuhkan bagi negara. Analis dari pasar modal atau ekonom yang membuat prediksi juga bisa terkena gejala ini. Seperti di tulis oleh Dixit and Nalebuff:
"Leading forcasters cenderung punya insentif untuk mengikuti dan menghasilkan prediksi yang mirip dengan orang lain. Sebaliknya pendatang baru akan cenderung utuk datang dengan prediksi yang lebih radikal (memprediksikan ekonomi akan boom atau sekaligus mungkin kiamat).Umumnya memang salah. Kalau itu yang terjadi mereka tak terdengar lagi. Namun sekali prediksinya benar posisi mereka akan naik dan populer."

Jika argumen ini benar, maka sebenarnya tidak banyak insentif bagi intelektual publik yang "populer" untuk membuat argumentasi dan pemikiran yang baru. Mereka akan cenderung mengikuti pandangan populis atau mayoritas. Kecuali, mereka yang memang tak populer atau berani untuk tak populer. Biaya atau pengorbanannnya: publik akan marah, dan mereka bisa menjadi menjadi musuh publik yang utama --walau mungkin saja argumen mereka benar, dan publik salah. Kalau benar begitu, jangan-jangan pemikiran baru memang tak banyak bisa diharap dari professor yang sudah dapat tenure, dari intelektual publik yang "populis". Pemikiran baru lebih banyak bisa diharapkan dari intelektual publik yang baru, dari intelektual publik yang mau mengambil resiko menjadi musuh publik atau dari professor yang sedang berusaha mendapat tenure

Tentu argumen ini juga punya kelemahan. Bukankah argumentasi tak ada hubungannya dengan seberapa besar dukungan. Bisa saja kebetulan argumen populis itu benar. Ia menjadi populer karena benar dan kemudian diikuti orang.
Bukankah ada adagium yang mengatakan Vox populi, vox dei (pendapat publik adalah pendapat Tuhan). Walau kita tahu, ini adalah bagian dari kesesatan logika. Ada satu pepatah latin yang berbunyi Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentatio yang artinya kurang lebih nilai wibawa itu hanya setinggi nilai argumentasinya. Tentu untuk menjawab soal "kebenaran relatif", yang harus dilakukan adalah membuktikan penalaran ilmiahnya -- dan bukan kutipan para ahli atau banyak sedikitnya dukungan publik. Argumentasi adalah soal penalaran, soal kompetensi dan dia tidak bisa dibuktikan dengan jumlah pendukung, apalagi lewat sms model idol yang banyak muncul di TV

Saya jadi ingat pada kalimat terkenal Henrik Ibsen yang digunakan di blog ini:
Mayoritas selalu salah; minoritas jarang benar
Golongan terbanyak adalah musuh terbesar dari kebenaran dan kebebasan.

Hendrik Ibsen
Saya kuatir akhir-akhir ini kita memang mulai takut pada mayoritas dan mulai melakukan self-sensorhsip untuk hal-hal yang berhubungan dengan pandangan mayoritas...

Tantangan Asia Pacific: pesimisme Malthusian? -MCB

Tanggal 25-26 Oktober 2007 lalu, saya kebetulan menjadi chair dan panelist dalam International Conference on Sustainable Growth in the Asia Pacific di Kyoto University. Banyak yang dibahas, mulai perkembangan ekonomi di Asia Pacific, production-network, potensi pertumbuhan, sampai dengan masalah climate change, ketersediaan air dan aging .

Kebetulan saya menjadi panelist dari presentasi Charles E. Morison, President East West Centre. Yang menarik: Indonesia tidaklah unik. Apa yang terjadi di Indonesia terjadi juga di negara-negara lain, yang kadang-kadang dengan skala yang lebih menguatirkan. Saya ambil contoh soal angka bunuh diri. Dalam beberapa waktu terakhir, kita mencatat kasus bunuh diri terjadi, dan --selalu-- argumennya yang ditulis oleh media: kemiskinan mendorong bunuh diri. Tentu saja ada kebenaran disini. Tapi tahukah anda bahwa angka bunuh diri juga semakin meningkat dinegara-negara lain. Tebak: angka tertinggi ada di negara-negara tergolong maju seperti Eropa, Jepang, Australia dan New Zealand! Artinya argumen bahwa ini didorong oleh kemiskinan tak bisa menjelaskan pola yang terjadi secara global ini.

Dalam masalah aging, Indonesia relatif lebih beruntung dan mungkin bisa memanfaatkan situasi. Karena bersama India, prosentase penduduk berusia diatas 75 tahun terhadap total populasi relati rendah. Tahun 2050, sangat mungkin sekali ketergantungan tenaga kerja migran akan meningkat, dan Indonesia dan India memiliki potensi pekerja muda. Tentunya dengan syarat: pendidikan harus diperbaiki.

Masalah lain adalah soal keterbatasan air. Kita mengeluh soal Jawa di masa depan yang akan mengalami kekurangan yang amat serius soal air. Yang menarik: China akan punya persoalan yang tak kalah --kalau tak mau dibilang lebih -- serius dibanding kita.

Satu data lagi yang ditunjukkan oleh Charles adalah poultry density . Poultry density ini dianggap sebagai salah satu potensi sumber terjadinya penyakit seperti SARS, avian flu dsb. Yang diluar dugaan, poultry density tertinggi ada di Belanda. Namun yang perlu diingat sistem peternakan di Belanda sudah jauh lebih maju dan hati-hati. Sehingga di luar Belanda kita melihat bahwa daerah yang sangat potensial untuk mengalami persoalan adalah China, Hong Kong , Taiwan (daerah Asia Timur).

Kecederungan global yang lain adalah aktifitas anak-anak. Sekarang, dari setiap 4 anak, kurang dari 1 anak yang terlibat didalam olahraga atau aktifitas permainan di luar ruangan atau yang bersifat fisik. Aktifitas utama permainan adalah bermain computer games, membaca dan nonton TV.
Yang menarik ada data mengenai data-data kecepatan lari anak-anak untuk jarak 50 meter. Ada kecederungan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan rata-rata waktu tempuh yang dibutuhkan untuk lari 50 M meningkat, dari 8.6 detik menjadi 8.9 detik (anak laki) dan dari 8.9 detik ke 9.2 detik (anak perempuan). Artinya kecepatan lari anak-anak menurun. Rata-rata jarak lemparan permainan Soft-Ball juga menurun dari 33 M ke 29 M untuk anak laki, sedang untuk perempuan dari 20 M ke 17 M. Jadi kecenderungan kemampuan fisik turun

Data-data Morrison mengingatkan saya kepada pesimisme Malthusian dalam bentuk lain. Pesannya sebetulnya mengingatkan kita kepada dasar ilmu ekonomi: keinginan yang tak terbatas berhadapan dengan sumber daya yang terbatas. Asia Pacific akan berkembang, perdagangan barang, jasa, pasar dan ekonominya akan tumbuh. Persoalannya apakah sumber daya dan sisi supply sanggup mendukungnya. Problema dari pesimisme Malthusian adalah, kita kerap melupakan issue distribusi dan teknologi. Kita pernah melihat bagaimana rasio makanan per kapita di China meningkat, dimana pada saat yang sama kelaparan terjadi. Issue yang paling penting adalah akses. Begitu juga, hal yang kerap dilupakan adalah bagaimana manusia melakukan penyesuain ketika menghadapi sumbr daya yang terbatas. Teknologi ditemukan, subsidi sumber daya alam dicabut-- supaya konversi energi bisa terjadi. Menghilangkan subsidi untuk energi misalnya akan memban tu menyadarkan orang bahwa energi itu mahal dan tak bisa dikonsumsi semau kita. Ironis, karena pasar yang kerap dikritik tak membela lingkungan, dalam hal tertentu merupakan signal yang paling baik terhadap kekuatiran kita soal lingkungan dsb.
Dalam kasus climate change, lihat bagaimana kemudian orang bereaksi, bersama-sama berusaha mengatasi issue ini. Sejauh ini kita selalu selamat dan bisa menjawab pesimisme global ini. Apakah kali ini juga?

Jumat, 26 Oktober 2007

Apakah harga minyak sekarang paling tinggi dalam sejarah? - AAP

Kawan saya MCB telah menganalisis kemungkinan dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap perekonomian Indonesia di sini.

Di media kita membaca bahwa harga minyak telah mencapai rekor tertingginya.

Benarkah demikian?

Ya, jika kita hanya melihat harga nominal. Tidak, harga saat ini bukanlah yang tertinggi dalam sejarah, jika kita melihat harga riil-nya.

Harga riil adalah harga satu barang dilihat dari satu waktu yang konstan. Jika harga nominal minyak tahun ini adalah $110 dollar per barrel dan tahun lalu $100 dollar per barrel, sementara inflasi sepanjang tahun adalah 10%, maka sebenarnya secara riil tidak ada perubahan. (Untuk mudahnya, bayangkan bahwa semua harga naik 10% termasuk gaji Anda. Maka tingkat kesejahteraan Anda sebenarnya tidak berubah). Karena itu, untuk memberikan perspektif yang lebih lengkap, maka ada baiknya untuk mengetahui pergerakan harga riil, di samping harga nominal.

Pada gambar pertama di atas (klik gambarnya untuk perbesar), kita plot dua deret harga: nominal (biru) dan riil (merah) mulai dari Januari 1970 sampai September 2007. Untuk harga nominal saya menggunakan data harga minyak mentah West Texas Intermediate (bisa diakses lewat sini). Untuk mendapatkan harga riil, saya keluarkan faktor inflasi dengan menggunakan data indeks harga konsumen total (data inflasi bisa diakses lewat sini) di Amerika Serikat (kenapa harga AS? Pertama, karena harga minyak mentah dinyatakan dalam dollar dan kedua, dollar memang telah menjadi acuan harga untuk transaksi di pasar internasional). Dalam gambar pertama, saya gunakan patokan rata-rata harga antara tahun 1982-84. Artinya, kita menganggap bahwa uang yang digunakan dalam tahun 1982-84 mempunyai kekuatan beli yang sama di periode waktu sebelum dan sesudahnya di seluruh deret harga di atas. Terlihat bahwa ternyata harga riil saat ini (data di atas sampai 1 September 2007) masih di bawah harga nominalnya, dan masih di bawah harga riil awal tahun 80-an. Jika menggunakan konstan 1982-84, harga riil tahun ini (Sept 2007) adalah sekitar $38/b, walaupun harga nominalnya sendiri adalah $80/b.

Jika kita ingin melihat deret harga riil pada kondisi saat ini, maka kita bisa menggeser harga konstan, misalnya ke 1 September 2007. [Ini sebenarnya tidak lazim dilakukan (mengingat adanya faktor musiman -- karena itu di gambar pertama di atas kita gunakan rata-rata 1982-84, bukan satu titik waktu saja). Namun anggap saja ini sekedar ilustrasi untuk memperjelas diskusi kita]. Pada gambar kedua di atas, saya gunakan harga riil yang konstan pada 1 September 2007 (makanya kedua kurva bertemu di ujung sebelah kanan), pada harga $80/b. Sekali lagi terlihat bahwa harga ini masih di bawah kondisi pada akhir 70-an dan awal 80-an, di mana harga minyak melonjak drastis melebihi $100/b (pada daya harga saat ini) akibat dua guncangan: Revolusi Iran dan Perang Iran-Irak. Dalam gambar yang sama juga, saya plot beberapa kejadian lain yang tampaknya signifikan berperan pada kenaikan harga minyak, yaitu Perang Arab-Israel, Perang Teluk, dan Tragedi 9/11.

Kita lalu bertanya, sekarang praktis tidak ada perang sekaliber perang-perang di atas, mengapa harga minyak meroket? Kejadian belakangan tampaknya lebih disebabkan oleh guncangan di sisi permintaan, bukan penawaran (sekalipun produksi memang juga terganggu). Tentang apakah harga akan naik terus, saya kurang paham. Tetapi harga nominal yang tinggi saat ini 'mestinya' memberikan insentif yang besar sekali bagi diversifikasi energi, penghematan, pencarian sumur baru, dan lain-lain yang cenderung akan memberi tekanan menurun kembali kepada harga; namun jika permintaan neto tetap tinggi, ada kemungkinan harga masih akan naik.

Catatan: Untuk analisis yang lebih lengkap (plus perspektif sejarah) lihat misalnya di sini.

Update: Kompas menurunkan laporan khusus tentang krisis harga minyak dalam rubrik Fokus mereka hari ini (Sabtu). Laporan mereka juga sangat informatif, misalnya ini dan ini. Namun, mungkin perlu sedikit klarifikasi. Kompas mengatakan bahwa "Pada level sekarang ini, harga minyak mentah terhitung sudah naik di atas 300 persen dibandingkan dengan tahun 1990". Ini adalah perbandingan harga nominal (dengan faktor inflasi di dalamnya -- angka yang lebih tepat adalah sekitar 268 persen dengan patokan rata-rata harga tahun 1990). Namun, jika kita menggunakan harga riil, harga saat ini "baru" sekitar 130 persen di atas harga riil tahun 1990 (saya memakai harga nominal sekarang sama dengan yang ditulis Kompas, yaitu $90/b, namun karena data inflasi Oktober AS baru akan diumumkan tanggla 15 November 2007, saya asumsikan inflasi bulan Oktober sama dengan September. Saya gunakan indeks harga rata-rata 1982-84 sebagai harga konstan).

Senin, 22 Oktober 2007

Melacak mahasiswa bohong -- AAP

Cerita di bawah diambil/diadaptasi dari Dixit dan Skeath (Games of Strategy, 1999).

Ujian mikroekonomi akan diadakan hari Senin. Ada dua orang mahasiswa yang kebetulan diundang oleh kawan-kawan mereka dari fakultas lain untuk sebuah pesta di hari Sabtu, dua hari sebelum ujian. Kedua mahasiswa ini yakin bisa membaca materi ujian di hari Minggu.

Namun, pesta hari Sabtu itu betul-betul all-out hingga Minggu dini hari. Setiba di rumah, kedua mahasiswa kita ini sudah teler dan hanya bisa tidur panjang sehari penuh. Akibatnya, mereka tidak bisa mempersiapkan diri untuk ujian. Mereka lalu sepakat untuk minta dispensasi untuk ujian susulan.

Besoknya, Senin, mereka datang ke dosen mereka. Dengan wajah sedih mereka bilang bahwa mereka mendapatkan 'musibah'. Mereka cerita, mereka pergi ke Bandung untuk menghadiri pernikahan seorang sahabat pada hari Sabtu dan berniat kembali ke Jakarta siang itu juga. Namun ban mobil mereka pecah menginjak paku dan mereka tidak punya ban cadangan. Mereka menunggu lama sebelum mendapatkan bantuan, dan alhasil sampai rumah sudah malam sekali, dan lebih parah lagi, mereka kehabisan tenaga untuk belajar pada hari Minggu. Karena itu, mereka meminta pengertian Pak Dosen agar mereka dibolehkan ujian susulan pada hari Selasa.

Pak Dosen setuju. Besoknya, Selasa, mereka ditempatkan di dua ruangan terpisah. Masing-masing diharuskan menjawab 2 pertanyaan saja. Soal pertama yang diberikan di satu kertas terpisah, sangat mudah, dan bobotnya cuma 10 persen. Dalam waktu kurang dari 15 menit, mereka sudah menyelesaikannya. Lantas mereka mengumpulkannya. Pak Dosen kemudian memberikan kertas kedua berisi pertanyaan berikutnya. Bobot soal kedua ini 90 persen. Soal itu berbunyi:

Ban mana yang bocor?

Update: A.p. dari Cafe Salemba baru saja memberitahu saya bahwa Yudo di Ruang 413 telah menulis varian dari cerita ini.

Update: A.p. frustrasi dengan betapa tidak elegannya cara mahasiswa menipu dosen (Catatan: Tentu saja dosen hanya bisa mengamati mereka yang gagal menipu alias ketahuan; sementara yang berhasil tidak pernah terdeteksi. Dalam riset, persoalan ini harus di-sterilkan dari apa yang disebut "selection bias" ini: kita mengamati sebagian saja dari sampel yang relevan, sehingga kesimpulan yang ditarik harus dikualifikasi).

Update: Fik dari Youthful Insight melihat dari sudut pandang mahasiswa. Jangan lewatkan.

Minggu, 21 Oktober 2007

Apa yang akan terjadi pada para pendatang (di Jakarta)?-AAP

Kita mencoba menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan Model Todaro (Todaro, 1969, 1997; Corden-Findlay, 1975) seperti ditunjukkan oleh gambar di sebelah.

Permintaan tenaga kerja di sektor formal di Jakarta ditunjukkan oleh kurva berwarna biru, sementara permintaan di luar Jakarta oleh kurva merah (kita asumsikan saja bahwa "luar" Jakarta adalah satu daerah yang cenderung homogen -- tentunya ini hanya penyederhanaan). Sumbu mendatar adalah jumlah total tenaga kerja di mana alokasi untuk daerah di luar Jakarta mulai dari OL dan alokasi untuk Jakarta mulai dari OJ. Kedua kurva permintaan tenaga kerja berkemiringan negatif karena semakin tinggi upah, semakin sedikit permintaan terhadap tenaga kerja. Jika upah bersifat fleksibel sempurna, maka upah di Jakarta akan sama dengan upah di luar Jakarta (UL* = UJ*) dengan OLBL* adalah jumlah tenaga kerja yang diserap daerah luar Jakarta dan OJBJ* adalah mereka yang bekerja di Jakarta. Keseimbangan ditunjukkan oleh titik A, di mana tidak ada pengangguran.

Masalahnya, upah sektor formal di Jakarta tunduk kepada peraturan upah minimum. Ia bisa dikatakan tidak mungkin turun. Misalkan saja upah minimum itu adalah UJmin (yang lebih tinggi daripada UJ*). Apabila pengangguran tetap tidak ada, maka tenaga kerja yang terserap di sektor formal Jakarta hanyalah OJBJ, sementara bagian terbesar tenaga kerja, OLBJ "terpaksa "kembali ke daerahnya masing-masing, untuk bekerja dengan upah sebesar UL** (yang lebih rendah daripada UL*). Akibatnya, tercipta kesenjangan upah sebesar UJmin-UL*.

Sekali lagi, kenyataannya tidak demikian. Mereka yang sudah terlanjur ke Jakarta biasanya tidak akan serta-merta pulang ketika menemukan bahwa mereka tidak bisa masuk ke sektor formal yang kaku. Mereka lalu bekerja di sektor non formal (asongan, dsb.) atau menjadi penganggur di Jakarta. Dalam istilah teknisnya, mereka disebut indifferent antara Jakarta dan luar Jakarta. Posisi mereka dalam gambar di atas diwakili oleh kurva berwarna hitam. Jika ini yang terjadi, maka keseimbangan baru terjadi pada titik B, di mana kesenjangan upah menjadi UJmin-UL (yang lebih kecil daripada UJmin-UL*, karena tidak semua tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor formal Jakarta kembali ke daerah asalnya). Di titik ini, tenaga kerja berjumlah OLBL kembali ke kampung halamannya (dengan upah UL), OJBJ bekerja di sektor formal di Jakarta, dan BLBJ tetap di Jakarta dengan upah di bawah upah minimum (di sektor non-formal) atau bahkan menjadi penganggur.

Kamis, 18 Oktober 2007

Dampak kenaikan harga minyak-MCB



Beberapa hari terakhir ini banyak sekali pertanyaan yang muncul tentang dampak kenaikan harga minyak terhadap ekonomi Indonesia. Karena seringnya pertanyaan itu diajukan, maka saya pikir soal itu menarik di bahas disini.
Tabel diatas saya ambil dari Nota Keuangan RAPBN 2008. Ia menunjukkan analisis sensitifitas dari berbagai variabel terhadap defisit anggaran.

Kenaikan harga minyak $1 per barrel misalnya diperkirakan akan mengurangi defisit anggaran sebesar Rp 0.04-0.05 trilyun. Sehingga dari sisi ini saya tidak terlalu menguatirkan dampak kenaikan harga minyak yang tajam terhadap anggaran. Saya kira, perhitungan sensitifitas ini cukup sensible. Dalam anggaran kenaikan harga minyak memiliki dua sisi : dari sisi penerimaan akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari minyak, sedang disisi pengeluaran akan meningkatkan beban subsidi. Kita tahu: subsidi BBM untuk bensin, solar sebagian besar sudah dihapus tahun 2005. Yang masih disubsidi dengan cukup besar adalah minyak tanah. Karena itu dampak pada anggaran saya kira tak terlalu besar atau cenderung netral. Dalam hal ini saya sepakat dengan Faisal Basri di Kompas. (18/10/2007, hal 1).

Yang perlu diperhatikan saya kira adalah soal-soal yang lain:
Pertama, dampak kenaikan harga minyak akan membuat disparitas harga domestik dengan internasional meningkat. Akibatnya, insentif untuk menyelundup meningkat. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin konsumsi BBM akan meningkat -- karena aktifitas penyelundupan yang naik. Konsumsi BBM yang naik, akan mendorong kenaikan impor. Tekanan impor ini akan berpengaruh ke dalam neraca perdagangan. Jika berkepanjangan, maka dampaknya akan terjadi pada tekanan rupiah

Kedua, variabel yang sensitif terhadap defisit anggaran adalah produksi minyak. Jika produksi minyak menurun, maka akan meningkatkan defisit anggaran dengan cukup signifikan. Issue ini saya kira perlu diperhatikan

Ketiga, dampaknya kepada industri. Ada dugaan efek pass-through (efek yang diteruskan ke ekonomi domestik) akan besar. Misalnya kenaikan harga minyak dipasar internasional akan membuat biaya produksi naik, inflasi naik dsb. Saya kira kita perlu hati-hati dengan argumentasi ini. Sebetulnya BBM untuk industri sudah dibebaskan ke mekanisme pasar bahkan sebelum kenaikan BBM yang amat tajam Oktober 2005. Faktanya, pertumbuhan ekonomi masih relatif tinggi sampai dengan bulan September 2005, padahal waktu itu harga minyak sudah naik tajam. Produksi baru berkurang secara signifikan ketika pemerintah menaikkan BBM bulan Oktober 2005. Kenaikan BBM bulan Oktober itu ditujukan untuk BBM yang dikonsumsi oleh masyarakat (bukan industri, karena industri sudah dibebaskan kepasar sebelumnya). Artinya penurunan produksi setelah Oktober 2005 lebih disebabkan oleh karena menurunnya permintaan akibat kenaikan BBM. Jadi selama permintaan tak menurun, saya tak melihat dampak yang besar kepada produksi dari industri.

Keempat, apakah kenaikan BBM ini akan membuat inflasi meningkat dan mengurangi daya beli? Basri, Damayanti dan Sutisna (2002) menunjukkan bahwa sumber inflasi yang paling besar dalam inflasi di Indonesia adalah ekspektasi inflasi, depresiasi nilai tukar dan base money. Artinya selama kebijakan moneter tetap hati-hati, maka dampak inflasinya dapat ditekan. Namun penting dicatat bahwa ekspektasi inflasi bisa meningkat, karena pelaku ekonomi menganggap pass-through effect dari kenaikan harga minyak ke harga domestik tinggi (walau sebetulnya tidak). Jika hal ini dipercaya maka akan terjadi self-fulfilling, akibatnya inflasi memang akan naik dan ekspektasi depresiasi rupiah juga meningkat.

Mungkin beberapa issue yang harus kita perhatikan dengan baik. Tentu pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah harga minyak yang tinggi ini akan bertahan seperti ini sampai akhir tahun, atau hanya sekedar fenomena lonjakan saja? Terus terang, saya tak berani membuat prediksi tentang itu.

Rabu, 17 Oktober 2007

10 tahun setelah krisis-MCB

Berikut tulisan pendek saya mengenai 10 tahun krisis yang diterbitkan di Special Issue JBIC Today . Lihat juga diskusi menarik dari Takatoshi Ito dan Masahiro Kawai etc. di dalam terbitan ini, mengenai krisis Asia.

Selasa, 16 Oktober 2007

Bagaimana ekonomi melihat kejahatan? - AAP

Seseorang melakukan tindak kejahatan atau kriminalitas karena ia melihat manfaat yang akan ia peroleh melebihi biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukannya. Bagi pencuri barang (mis. arloji, baju, dsb.), "manfaat" meliputi mulai barang yang ia berhasil curi sampai bahkan ketenaran dan respek di kalangan pencuri. "Biaya"-nya mungkin mencakup pengeluaran untuk membeli alat congkel, topeng, waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lain, serta kemungkinan tertangkap berikut hukumannya.

Solusi untuk mengurangi tindak kejahatan seperti di atas relatif “sederhana”. Buat biayanya lebih besar daripada manfaatnya. Namun dari daftar manfaat dan biaya bagi si pencuri di atas, hampir semuanya berada dalam kendali pencuri itu sendiri. Yang paling bisa diintervensi adalah yang biaya yang terakhir, yaitu “kemungkinan tertangkap berikut hukumannya”.

Meningkatkan “kemungkinan tertangkap” dapat dilakukan dengan polisi yang efektif, sistem pengamanan yang handal, dsb. Sementara itu, hukuman harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil insentif bagi calon pencuri. Jika kemungkinan tertangkap kecil (misalnya karena polisi tidak dapat diandalkan) maka paket hukuman harus dibuat lebih berat lagi (ya, ini membutuhkan sistem pengadilan efektif). Karena, “kemungkinan tertangkap berikut hukumannya” adalah “perkalian”: untuk mendapatkan hasil yang sama, penurunan di salah satunya harus dikompensasi oleh peningkatan di yang lain.

Hukuman tidak harus berarti penjara. Denda berupa uang adalah pilihan yang lain. Penjara dalam banyak hal mempunyai kelemahan: ia tidak memberikan pemasukan kepada negara dan jumlahnya yang terbatas tidak memadai untuk wilayah yang penjahatnya melimpah. Denda, di lain pihak, memberikan pemasukan dan tidak memerlukan ruang fisik. Kelemahan dari denda adalah ia lebih sulit dalam administrasi dan stigma yang diberikannya kepada terhukum lebih kecil daripada penjara (”Si X adalah mantan napi” lebih berat stigma sosialnya daripada ”Si Y sudah membayar denda Rp 3 milar atas korupsinya yang Rp 1.5 miliar itu”).

Intinya dengan demikian adalah, buat hukuman dalam konteks sistem insentif dan disentif. Seorang pengendara mobil yang melanggar batas kecepatan mungkin saja punya justifikasi yang bisa dibenarkan (ada penumpang yang mau melahirkan, dsb). Karena itu, akan lebih efisien jika semua pengendara tahu apa konsekuensi dari pelanggaran mereka atas batas kecepatan maksimal. Lebih bagus lagi kalau ia dibuat bertahap. Misalnya: Batas kecepatan maksimum adalah 100 km/jam; setiap kelebihan sampai 110 km/jam diganjar denda Rp 100 ribu, antara 110-120 km/jam Rp 250 ribu, dan seterusnya. Dengan demikian, setiap orang bisa ”membeli hukuman yang pantas” bagi keperluannya, sesuai dengan situasi dan kondisinya. Beberapa negara bagian di Kanada menerapkan sistem seperti ini. (Mungkin yang lebih baik lagi adalah memasukkan faktor penghasilan si pelanggar dalam formula, untuk mengakomodai efek pendapatan: ”Karena saya kaya -- bukan: karena saat ini istri saya bukaan dua-- , saya ngebut”, misalnya).

Dengan logika seperti di atas, kita mungkin akan menyimpulkan bahwa karena semakin berat ancaman hukuman, semakin kecil insentif untuk melakukan kejahatan dan bahwa hukuman paling berat adalah hukuman mati (jika denda, berapa denda yang sama nilainya dengan hukuman mati? – kita akan coba diskusikan ini lain kali), maka ancaman hukuman mati tentunya ampuh untuk meminimalkan potensi tindak kejahatan pembunuhan. Jawabnya adalah: ya dan tidak.

”Ya”, jika efek pematah semangat (deterrence effect) dari hukuman mati bagi para calon pembunuh berikutnya memang berjalan sesuai harapan. Namun, beberapa studi sampai saat ini belum bisa membuktikan hipotesis ini secara konklusif.

”Tidak”, bagi para pembunuh yang tidak melihat hukuman mati sebagai ”bad”, tapi justru sebagai ”good”. Misalnya mereka yang membunuh sembari mengatasnamakan ”jihad” dan karenanya memang berharap mati. Untuk orang-orang seperti ini (misalnya pelaku pemboman Bali 1 dan 2, Marriott, dsb.), dihukum mati justru sesuatu yang mereka inginkan. Bagaimana solusi agar baik efek hukuman dan efek deteren bisa terlaksana? Salah satunya adalah menghukum mereka seberat-beratnya -- namun tidak sampai mati. Misalnya -- sekali lagi, misalnya -- memotong tangan dan kaki mereka satu demi satu, sembari memastikan mereka tetap hidup.

Kesimpulannya, kita perlu berhati-hati dalam mendesain mekanisme untuk memastikan berjalannya sistem yang dibangun berdasarkan insentif-disinsentif.

Catatan: Bacaan yang bagus untuk topik ini misalnya adalah Economic Analysis of Law (Richard Posner) dan Law's Order (David Friedman).

Senin, 15 Oktober 2007

Pacaran tanpa sunk cost? - MCB

Aco di cafe Salemba menulis sebuah tema yang menarik: Pacaran is Sunk Cost (biaya yang tak bisa di peroleh kembali). Intinya dalam pacaran, biaya yang sudah dikeluarkan oleh kedua pasangan -- untuk menarik satu sama lain-- tidak bisa di peroleh kembali. Oleh karena itu jika pasangan anda menyatakan bahwa dia telah menyerahkan segalanya, dan sebagai balasan dia mengharapkan bahwa anda untuk tetap bersama dia -- menurut Aco-- anda bisa mengatakan: Hei, itu adalah sunk cost !

Penggunaan analisis ekonomi dalam soal ini sangat menarik. Pertanyaan lanjutannya adalah: apa yang terjadi jika pacaran bukan sunk cost?

Dalam analisis industrial organization, sunk cost adalah salah satu penyebab hambatan untuk keluar dari pasar. Dalam suatu pasar dimana sunk cost nya tinggi, maka akan ada dis-insentif bagi perusahaan untuk keluar dari pasar, karena biaya yang telah dikeluarkan tidak bisa diperoleh kembali (not recoverable). Bayangkan anda sudah investasi besar, pabrik sudah dibangun dan semua investasi anda tidak bisa dijual kembali, maka anda akan enggan untuk keluar dari bisnis tersebut. Alasannya: saya sudah keluar uang banyak dan tidak bisa memperoleh uang yang telah saya keluarkan kembali.

Dalam kasus pacaran, bagi banyak pihak, struktur pacaran memang diharapkan memiliki hambatan untuk keluar (barrier to exit), sehingga tak mudah untuk putus hubungan dan ganti-ganti pasangan. Semakin besar sunk cost yang terjadi (baik dalam arti moneter maupun non-moneter), maka semakin besar dis-isentif untuk meninggalkan pasangannya. Apa yang terjadi jika, pacaran tidak menimbulkan sunk cost? Pasar pacaran akan menjadi persaingan bebas dengan dimana pelaku bisa keluar masuk setiap waktu (free entry dan free exit). Dalam situasi seperti ini, volatilitas hubungan akan menjadi sangat tajam, dimana nilai dari hubungan (yang dicerminkan melalui harga yang terbentuk dari demand dan supply pacaran akan cenderung berfluktuatif seperti dalam pasar persaingan. Sunk cost akan mereduksi kemungkinan untuk exit dari pasar.

Dalam pola hubungan tanpa komitment atau one night stand, sunk cost yang muncul (walaupun ada) relatif kecil. Karena itu keputusan untuk keluar dari dari pasar akan relatif mudah dan dapat dilakukan setiap waktu.

Sunk cost, sebenarnya berguna untuk menjadi signal keseriusan. Berapa besar sunk cost yang dianggap cukup sebagai barrier to exit? Jawabannya berbeda untuk tiap individu. Dan akan sangat tergantung kepada berapa besar kesediaan untuk mengeluarkan biaya yang tak bisa di peroleh kembali. Bagi mereka yang cukup well-endowed (tidak hanya dalam arti moneter), walau sunk cost yang dikeluarkan secara nominal cukup besar, tak menyebabkan hambatan berarti untuk keluar. Namun bagi individu dengan sumber daya (moneter dan non-moneter) yang terbatas, sunk cost yang relatif kecil sudah akan menjadi faktor penghambat.

Itu sebabnya, dalam proses pacaran, seringkali besar komitmen dicoba dilihat dari seberapa besar kesediaan berkorban dari masing-masing pasangan dan perhatian yang diberikan(dalam bentuk hadiah), . Dengan kata lain, keseriusan kerap dinilai dari besarnya sunk cost. Lalu secara empiris apakah signal mengenai keseriusan dapat diukur hanya dari nominal sunk cost? Mungkin tidak. Yang paling tepat mungkin mengukurnya dari seberapa besar prosentase sunk cost yang dikeluarkan terhadap total resources. Bagi banyak orang, pasar pacaran tampaknya memang tak diharapkan untuk menjadi contestable market. Itu sebabnya pacaran oleh mereka harus dibuat menjadi sunk cost, seperti analisis Aco.

Desain mekanisme - AAP

Dalam sebuah ujian di FEUI, saya menanyakan soal sebagai berikut
Bayangkan bahwa pemerintah bermaksud memberikan ijin kepada sebuah perusahaan gas untuk melakukan eksplorasi di Sidoarjo. Hal ini ditentang oleh masyarakat. Karena itu, pemerintah merencanakan untuk memungut pajak khusus dari perusahaan tersebut, yang uangnya akan digunakan untuk mengkompensasikan eksternalitas. Untuk mengambil keputusan, pemerintah lalu meminta para wakil masyarakat untuk menghitung dan melaporkan besarnya costs yang akan mereka hadapi jika perusahaan tersebut jadi melakukan pengeboran sumur. Di samping itu pemerintah juga meminta pihak perusahaan untuk menghitung dan melaporkan besarnya benefits dari proyek mereka. Asumsikan Anda adalah staf ahli pemerintah. Desain sebuah mekanisme untuk memastikan bahwa truth-telling adalah strategi yang optimal bagi kedua belah pihak.
Persoalan di atas adalah apa yang kita kenal dengan masalah desain mekanisme (mechanism design problem). Tahun ini, Nobel untuk ilmu ekonomi diberikan kepada Hurwicz, Maskin, dan Myerson atas jasa mereka mengembangkan alat analsis untuk desain mekanisme.

Catatan: Ini contoh sederhana penerapan desain mekanisme, dari Cafe Salemba. Yang ini dari Reason.

Lebaran dan Konsumsi-MCB

Berikut tulisan saya mengenai perkembangan ekonomi Indonesia yang berjudul Lebaran dan Konsumsi yang terbit pada Analisis Ekonomi Harian Kompas Senin (15 Oktober, hal 1). Intinya menunjukkan bahwa perekonomian sudah mulai menggeliat ditandai dengan meningkatnya konsumsi ritel dan juga kredit investasi. Pertanyaanya apakah kenaikan konsumsi ini sekedar fenomena puasa dan lebaran saja, atau ada alasan untuk melihat perekembangan ini lebih sustainable? Jika ya, apakah ada alasan untuk optimis dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2007?


Di kesempatan ini kami juga mengucapkan

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428.
Mohon maaf lahir dan Bathin



MCB dan AAP

ANALISIS EKONOMI

Lebaran dan Konsumsi

Optimisme memang tak punya banyak sahabat dalam perekonomian Indonesia. Namun, ada pertanda ekonomi mulai bergerak lebih cepat dalam beberapa bulan terakhir.

Harian Kompas (9/10), misalnya, mencatat penjualan ritel yang luar biasa dalam sepekan menjelang Lebaran. Omzet 162 kios pakaian dan aksesori melonjak 50-300 persen. Omzet beberapa pusat penjualan ritel lain pun meningkat hampir dua kali lipat.

Apa artinya ini bagi ekonomi kita? Penjualan ritel adalah indikator pendahulu (leading indicator) dari konsumsi nonmakanan. Naik-turunnya penjualan ritel dapat menjadi indikasi awal naik turunnya konsumsi nonmakanan, yang dapat dipengaruhi oleh ekspektasi. Lengkapnya

Kamis, 11 Oktober 2007

Migrasi menolong buruh miskin?-MCB



Dalam buku Memoirs of an Unregulated Economist, pemenang nobel ekonomi George J. Stigler dari University of Chicago menulis:
(You won't agree to this). Because Political Economists have really done more for the labouring classes by their advocacy of free trade , etc. , than all the philathropists put together.
Seperti diduga Stigler, kita tak percaya. Walau begitu,baiklah kita mencoba melihat argumen ini dengan lebih hati-hati.

Grafik di kiri atas menunjukkan analisa tentang migrasi buruh. Tentu, ini adalah penyederhanaan persoalan, tetapi baik untuk membantu melakukan analisa. Sebelum migrasi, jumlah buruh yang bekerja di domestik adalah sebesar OL1( dilihat dari kiri ke kanan), sedangkan buruh di negara asing O*L2 (kanan ke kiri). Dalam kondisi ini upah riil di domestik adalah dititik C dan upah di luar negeri ada di titik B. Disini upah domestik lebih rendah dibanding luar negeri. Jika terjadi migrasi, maka tingkat upah riil keseimbangan terjadi di dititik A, dimana upah di kedua negara sama. Pada titik itu, jumlah buruh domestik adalah OL2 dan buruh asing O*L2. Apa yang bisa disimpulkan dari grafik ini?

Pertama, akan terjadi konvergensi dari upah riil, dimana upah buruh domestik naik dan buruh asing turun (secara riil). Dalam kenyataan, buruh domestik dan asing bukanlah substitusi sempurna, karena itu kesamaan upah praktis tak sepenuhnya terjadi karena hambatan perdagangan, perbedaan teknologi dan juga sumber daya. Namun ada kecenderungan bahwa konvergensi terjadi --walau tak membuat upah domestik sama dengan luar. Williamson (1995) menunjukkan bagaimana upah riil di negara tujuan migrasi menurun dan di negara asal migran meningkat.
Kedua, Buruh domestik diuntungkan karena upahnya naik, buruh asing akan rugi karena upahnya turun secara riil. Pemilik modal (capitalists) di luar negeri akan untung, karena upah buruh riil yang relatif lebih murah dibanding sebelum migrasi, sedang capitalists domestik akan rugi karena upah buruh lebih tinggi setelah terjadinya migrasi.

Analisa ini menunjukkan: yang dirugikan dengan migrasi sebenarnya adalah buruh asing dan kapitalis domestik. Benarkah begitu?

Mari kita lihat dalam kasus Indonesia. Jika pasar tenaga kerja dibuka, dapatkah kita membayangkan bahwa pekerja dari Singapura, Malaysia, Jepang, Australia akan datang ke Indonesia dan mengambil alih pekerjaan tenaga kerja tak terampil (pekerjaan yang dilakukan oleh buruh miskin)? Rasanya agak sulit membayangkan itu. Tapi bisakah kita membayangkan bahwa pekerjaan tenaga kerja tak terampil di Singapura, Malaysia, Jepang, Australia diambil oleh pekerja Indonesia dan mereka mendapat upah lebih tinggi? Tak sulit untuk membayangkannya, karena hal itu telah terjadi pada buruh migran kita di Singapura, Malaysia. Persoalannya adalah perlindungan terhadap buruh migran kita yang lemah, sehingga mereka diperlakukan dengan buruk di luar. Jadi soalnya bukanlah upah yang makin buruk, atau kesejahteraan yang buruk, tetapi perlindungan yang buruk, yang membuat mereka tak memperoleh manfaat yang seharusnya. Artinya jika perlindungan buruh migran dilakukan, maka buruh migran Indonesia sebenarnya diuntungkan dengan liberalisasi tenaga kerja. Itu artinya pula bahwa buruh miskin sebenarnya dapat memperoleh pekerjaan dan manfaat dari migrasi.

Bagaimana dengan pekerja terampil? Kita dapat menduga bahwa pekerja terampil (umumnya berpendidikan lebih baik dan relatif lebih kaya) akan mendapat saingan yang ketat dari Malaysia dan Singapura misalnya. Posisi pengacara, akuntan, arsitek, dokter di dalam negeri mungkin akan terancam --walau belum tentu juga, karena mungkin tak banyak dokter, akuntan, pengacara, ekonom asing yang mau bekerja dengan upah yang lebih rendah. Untuk sementara anggaplah mereka mau, analisis ini menunjukkan bahwa yang paling kuatir dengan liberalisasi pasar kerja adalah kelas menengah. Merekalah yang dirugikan. Sedangkan buruh tak terampil di untungkan. Pola yang sama juga terjadi di Eropa dan Amerika. Itu sebabnya Amerika Serikat tak mau membuka diri terhadap tenaga kerja dari Meksiko. Amerika Serikat, Australia cenderung proteksionis, karena pekerja tak terampil mereka dirugikan.

Jika benar demikian, apakah ini berarti bahwa liberalisasi pasar kerja ternyata baik bagi buruh miskin? Apakah proteksi pasar kerja hanya membela kelas menengah? Bisa jadi begitu. Jangan-jangan yang kita lakukan dengan menutup pasar tenaga kerja dari luar adalah upaya membela kelas menengah dengan mengatasnamakan buruh miskin. Jika benar begitu, proteksi ternyata justru membela yang relatif kaya dan bukan yang miskin.

Insentif-insentif menuju pemilu - AAP

Menarik, tulisan Endy Bayuni (EB) di Jakarta Post kemarin (10/10/2007). EB meragukan bahwa JK (dan beberapa menteri di dalam kabinet) akan tetap loyal kepada SBY dalam dua tahun mendatang, mengingat JK sebagai pimpinan Golkar pasti akan mencalonkan diri (atau dicalonkan) sebagai presiden. Akan terjadi konflik kepentingan. Karenanya, menurut EB, salah satunya (JK atau SBY) harus mundur. (Tulisan EB mengimplikasikan bahwa: JK yang harus mundur). EB juga berpendapat bahwa mudah sekali bagi siapa pun di dalam kabinet untuk menjegal ambisi SBY untuk menjadi presiden kembali: cukup dengan melemahkan perekonomian (maksud EB mungkin lewat membiarkan beberapa program ekonomi gagal).

Jika tujuan Golkar adalah menggolkan JK sebagai presiden, maka insentif untuk melakukan penjegalan atas program ekonomi (dan lainnya) dari pemerintahan sekarang sesungguhnya kecil. Mengapa? Karena Golkar, lewat JK dan beberapa menteri, adalah bagian dari pemerintahan sekarang. Karena itu, menggagalkan (untuk tidak mengatakan sabotase) program pemerintahan sekarang sama dengan mencoreng muka sendiri. Ini akan menyulitkan Golkar dalam kampanye dan dalam mencoba merebut simpati pemilih, kecuali jika Golkar nantinya bisa muncul dengan argumen-argumen seperti ”itu bukan kesalahan kami”, ”kami sudah mencoba, tetapi Presiden tidak sepakat”, dan sebagainya. Argumen seperti ini murahan, tidak meyakinkan, dan justru menunjukkan bahwa peran Golkar ternyata kecil – citra yang tentunya tidak menguntungkan bagi Golkar. Akan lebih menguntungkan bagi Golkar untuk berjuang menyelesaikan semua program pemerintahan sekarang dengan baik dan simpatik, untuk kemudian nantinya mengklaim kredit untuk itu, sebagai bekal ke dan di pemilu. Itu yang dilakukan Fauzi Bowo dalam konteks Jakarta – dan berhasil.

Popularitas SBY, paling tidak sampai Oktober 2007, masih tetap tertinggi. Jika peringkat popularitas memang proksi yang baik untuk memprediksi pemenang pemilu, jika SBY bisa mempertahankan posisinya selama waktu yang tersisa, dan jika metode survei LSI benar valid, maka kemungkinan SBY menjadi presiden terpilih pada pemilu mendatang menjadi paling tinggi.

Hal ini tentunya menyulitkan Golkar yang berambisi mendudukkan JK sebagai presiden. Kecuali jika dalam dua tahun tersisa ini SBY melakukan sesuatu yang sangat merugikan citranya. Salah satu titik lemah SBY adalah kesulitannya mengambil keputusan. Ini tentunya disadari oleh lawan-lawan politiknya (paling tidak Sutiyoso akan menggunakan isu kepemimpinan yang tegas). Namun sifat indecisiveness ini pun tampaknya tidak berpengaruh banyak pada popularitas SBY, sebagaimana kita telah saksikan beberapa kali.

Jika semua asumsi di atas benar terjadi, maka Golkar harus puas dengan kursi wapres seperti saat ini. Dan itu berarti JK, bukan Akbar Tanjung atau yang lainnya. Mengapa? Karena eksponen Golkar yang paling bisa bekerjasama dengan SBY adalah JK, terlepas dari sederet friksi yang pernah terjadi. Selain itu, posisi JK seperti di atas tentunya juga disadari oleh orang-orang Golkar. Mereka yang berkepentingan untuk dekat dengan pusat kekuasaan secara rasional akan mendukung dia yang memang paling dekat dengan bakal presiden. Orang itu adalah JK, bukan Akbar Tanjung.

Yang tersisa untuk melengkapi argumen di atas adalah: apa insentif SBY untuk bersanding dengan JK kembali? Tidak terlalu sulit untuk menjawab yang satu ini. Karena Golkar adalah partai terbesar dan secara historis sangat kuat di republik ini. Partai Demokrat sendiri sepertinya tidak akan mampu berjuang sendiri.

Kesimpulannya, pertama, kemungkinan JK untuk mengundurkan diri dari pemerintahan saat ini kecil. Kedua, kekuatiran EB bahwa akan terjadi penjegalan terhadap SBY oleh kabinetnya sendiri tampaknya berlebihan.

Tentu saja ini hanya pengamatan yang dibangun atas asumsi-asumsi dan pengamatan atas insentif di seputar kabar-kabar menuju pemilu 2009. Kita paham, dalam politik, apa pun bisa terjadi.

Selasa, 09 Oktober 2007

Apakah spekulan beras jahat? - AAP

Di media massa kita sering mendengar dan membaca bahwa spekulan-spekulan (atau spekulator) beras (atau barang lain) harus dihukum. Benarkah mereka ini 'jahat'?

Spekulan beras (sekali lagi, atau barang lain) adalah orang yang membeli beras pada saat harganya rendah dan menjualnya pada saat harganya tinggi. Bukankan ini hal biasa, yang memang dilakukan oleh semua pengusaha, pedagang, dan mereka di bursa saham? Tapi mari kita renungkan lebih jauh.

Asumsikan dulu bahwa saat ini tidak ada program stabilisasi harga maupun larangan impor oleh pemerintah. Ekpektasi berperan penting dalam pengambilan keputusan. Ketika spekulator memperkirakan bahwa akan terjadi puso dan kekeringan atau sekedar penurunan produktivitas padi, ia memperkirakan harga beras akan naik di masa yang akan datang (cepat atau lambat). Karena itu, ia akan membeli beras sekarang, karena harganya relatif lebih murah ketimbang ekpektasi harganya di masa mendatang. Ternyata spekulan bukan hanya satu orang, tetapi banyak. Dan mereka semua berpikir sama: beli sekarang untuk dijual nanti. Karena para spekulan turun ke pasar untuk memborong beras, maka harga beras sekarang (atau tepatnya, harga sebelum 'masa akan datang' di atas terealisasi) terdorong naik.

Konsumen tentu saja tidak berpangku tangan. Dengan kenyataan harga yang bergerak naik sekarang, mereka akan lebih berhati-hati dengan pola konsumsi beras mereka. Sebagian kecil membeli dalam jumlah yang lebih besar (untuk 'stok'), namun tidak akan terlalu besar: mereka toh tidak bermaksud menjualnya seperti spekulan. Sebagian yang lain melakukan diversifikasi: memperbanyak kentang, indomie atau bahan makanan lain. Sebagian yang lain mengimpor. Efeknya adalah bahwa ketika 'saat itu' datang (saat di horison ekpektasi spekulan, di mana mereka memperkirakan akan terjadi kenaikan harga yang signifikan), harga tidak akan naik sebanyak yang dikuatirkan. Karena, para pelaku ekonomi (termasuk konsumen) telah melakukan antisipasi -- dan itu karena 'informasi' yang disampaikan secara tidak langsung oleh spekulan.

Dengan kata lain, spekulan memuluskan gejolak harga sehingga tidak terlalu fluktuatif (ya, "menstabilkan harga", jika Anda lebih suka istilah ini). Mereka membeli barang ketika mereka melihat bahwa harganya lebih rendah daripada harga ekspektasi (atau dengan kata lain: harga jangka panjang). Hal ini meningkatkan harga menuju keseimbangan. Dan mereka menjualnya ketika mereka melihat bahwa harganya lebih tinggi. Hal ini menurunkan harga menuju keseimbangan (D. Friedman, 1996).

Sesungguhnya apa yang dilakukan spekulan persis seperti apa yang diinginkan pemerintah lewat program 'stabilisasi harga' mereka. Bedanya, pada yang pertama hampir tidak ada insentif untuk melakukan korupsi.
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: 2007 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates