Sabtu, 27 Oktober 2007

Bisakah pemikiran baru muncul dari intelektual publik yang "populer"?-MCB

Pertanyaan ini menganggu saya. Peran dari public intellectual saya kira cukup penting. George Stigler dalam Memoirs of an Unregulated Economist menulis tentang pentingnya peran intelektual publik dalam memberikan pencerahan.

Apakah bisa diharapkan satu pemikiran terobosan --seperti harapan Stigler-- muncul dari intelektual publik yang "populer"? Atau ia justru cenderung akan dikuasai oleh persepsi publik yang populer atau pandangan mayoritas, sehingga tak banyak argumentasi baru?

Terus terang saya tak tahu jawaban yang pasti. Tetapi tulisan Avinash K. Dixit dan Barry J. Nalebuff dari buku ini tentang game theory bisa diaplikasikan untuk mencoba menjawab pertanyaan ini. Mereka menulis tentang lomba layar:
Dalam empat balapan yang terjadi, kelompok A menang 3-1 terhadap B. Berikutnya akan diadakan balapan yang kelima. Orang sudah menduga A akan menang lagi. Dan memang, dalam balapan yang ke lima, awalnya perahu A sudah unggul 30 detik di depan B. Tetapi kemudian B mengambil inisiatif untuk bergerak lebih ke kiri, dengan harapan tekanan angin di kiri akan lebih kecil, sehingga mereka akan dapat menyusul A. B bergerak ke kiri. A melakukan respon dengan tetap bertahan di kanan. Hasilnya B dapat melampaui A. B keluar menjadi pemenang dalam lomba layar yang kelima ini.
Kritik kemudian diberikan kepada tim A: seharusnya ketika B bergerak ke kiri, A juga bergerak ke kiri. Didalam lomba layar, tidak ada bedanya menang dengan lebih cepat 30 detik atau 45 detik. Yang lebih dulu sampai di garis finish akan menjadi pemenang. Jika A mengambil keputusan mengikuti B, maka besar kemungkinan A akan tetap di depan karena memanfaatkan situasi angin yang sama. Moral dari game ini: jika anda sudah jadi leader maka yang anda harus lakukan untuk tetap memimpin adalah justru mengikuti respon follower. Menarik! Dan ini banyak diaplikasikan oleh perusahaan-perusahaan besar yang sudah well established

Argumen Dixit dan Nalebuff ini mungkin bisa kita gunakan untuk menjawab pertanyaan saya tadi. Jika seorang intelektual publik sudah dikenal luas, maka untuk tetap memimpin opini piblik: jangan buat argumentasi yang berbeda dengan pandangan publik. Sebelum tahun 2000, ketika pandangan publik dominan tentang lemahnya intervensi pemerintah, maka ada kecenderungan kuat untuk bicara mengenai peran pemerintah yang minimal. Ketika pasar banyak dikritik tentang kelemahannya akhir-akhir ini, maka ada kecenderungan untuk bicara soal pentingnya peran pemerintah. Ketika kepercayaan kepada pemerintah rendah, maka yang dominan adalah kritik untuk setiap kebijakan pemerintah --apapun itu. Kalau situsi tidak baik, maka yang tepat adalah membuat argumen yang pesimis.
Dan ini menurut Dixit dan Nalebuff --sayangnya-- adalah strategi yang tepat. The leader immitates the follower even when the follower is clearly pursuing a poor strategy. Itu sebabnya tak banyak Presiden yang mau mengambil sikap tak populer, walau itu dibutuhkan bagi negara. Analis dari pasar modal atau ekonom yang membuat prediksi juga bisa terkena gejala ini. Seperti di tulis oleh Dixit and Nalebuff:
"Leading forcasters cenderung punya insentif untuk mengikuti dan menghasilkan prediksi yang mirip dengan orang lain. Sebaliknya pendatang baru akan cenderung utuk datang dengan prediksi yang lebih radikal (memprediksikan ekonomi akan boom atau sekaligus mungkin kiamat).Umumnya memang salah. Kalau itu yang terjadi mereka tak terdengar lagi. Namun sekali prediksinya benar posisi mereka akan naik dan populer."

Jika argumen ini benar, maka sebenarnya tidak banyak insentif bagi intelektual publik yang "populer" untuk membuat argumentasi dan pemikiran yang baru. Mereka akan cenderung mengikuti pandangan populis atau mayoritas. Kecuali, mereka yang memang tak populer atau berani untuk tak populer. Biaya atau pengorbanannnya: publik akan marah, dan mereka bisa menjadi menjadi musuh publik yang utama --walau mungkin saja argumen mereka benar, dan publik salah. Kalau benar begitu, jangan-jangan pemikiran baru memang tak banyak bisa diharap dari professor yang sudah dapat tenure, dari intelektual publik yang "populis". Pemikiran baru lebih banyak bisa diharapkan dari intelektual publik yang baru, dari intelektual publik yang mau mengambil resiko menjadi musuh publik atau dari professor yang sedang berusaha mendapat tenure

Tentu argumen ini juga punya kelemahan. Bukankah argumentasi tak ada hubungannya dengan seberapa besar dukungan. Bisa saja kebetulan argumen populis itu benar. Ia menjadi populer karena benar dan kemudian diikuti orang.
Bukankah ada adagium yang mengatakan Vox populi, vox dei (pendapat publik adalah pendapat Tuhan). Walau kita tahu, ini adalah bagian dari kesesatan logika. Ada satu pepatah latin yang berbunyi Tantum valet auctoritas, quantum valet argumentatio yang artinya kurang lebih nilai wibawa itu hanya setinggi nilai argumentasinya. Tentu untuk menjawab soal "kebenaran relatif", yang harus dilakukan adalah membuktikan penalaran ilmiahnya -- dan bukan kutipan para ahli atau banyak sedikitnya dukungan publik. Argumentasi adalah soal penalaran, soal kompetensi dan dia tidak bisa dibuktikan dengan jumlah pendukung, apalagi lewat sms model idol yang banyak muncul di TV

Saya jadi ingat pada kalimat terkenal Henrik Ibsen yang digunakan di blog ini:
Mayoritas selalu salah; minoritas jarang benar
Golongan terbanyak adalah musuh terbesar dari kebenaran dan kebebasan.

Hendrik Ibsen
Saya kuatir akhir-akhir ini kita memang mulai takut pada mayoritas dan mulai melakukan self-sensorhsip untuk hal-hal yang berhubungan dengan pandangan mayoritas...

Tantangan Asia Pacific: pesimisme Malthusian? -MCB

Tanggal 25-26 Oktober 2007 lalu, saya kebetulan menjadi chair dan panelist dalam International Conference on Sustainable Growth in the Asia Pacific di Kyoto University. Banyak yang dibahas, mulai perkembangan ekonomi di Asia Pacific, production-network, potensi pertumbuhan, sampai dengan masalah climate change, ketersediaan air dan aging .

Kebetulan saya menjadi panelist dari presentasi Charles E. Morison, President East West Centre. Yang menarik: Indonesia tidaklah unik. Apa yang terjadi di Indonesia terjadi juga di negara-negara lain, yang kadang-kadang dengan skala yang lebih menguatirkan. Saya ambil contoh soal angka bunuh diri. Dalam beberapa waktu terakhir, kita mencatat kasus bunuh diri terjadi, dan --selalu-- argumennya yang ditulis oleh media: kemiskinan mendorong bunuh diri. Tentu saja ada kebenaran disini. Tapi tahukah anda bahwa angka bunuh diri juga semakin meningkat dinegara-negara lain. Tebak: angka tertinggi ada di negara-negara tergolong maju seperti Eropa, Jepang, Australia dan New Zealand! Artinya argumen bahwa ini didorong oleh kemiskinan tak bisa menjelaskan pola yang terjadi secara global ini.

Dalam masalah aging, Indonesia relatif lebih beruntung dan mungkin bisa memanfaatkan situasi. Karena bersama India, prosentase penduduk berusia diatas 75 tahun terhadap total populasi relati rendah. Tahun 2050, sangat mungkin sekali ketergantungan tenaga kerja migran akan meningkat, dan Indonesia dan India memiliki potensi pekerja muda. Tentunya dengan syarat: pendidikan harus diperbaiki.

Masalah lain adalah soal keterbatasan air. Kita mengeluh soal Jawa di masa depan yang akan mengalami kekurangan yang amat serius soal air. Yang menarik: China akan punya persoalan yang tak kalah --kalau tak mau dibilang lebih -- serius dibanding kita.

Satu data lagi yang ditunjukkan oleh Charles adalah poultry density . Poultry density ini dianggap sebagai salah satu potensi sumber terjadinya penyakit seperti SARS, avian flu dsb. Yang diluar dugaan, poultry density tertinggi ada di Belanda. Namun yang perlu diingat sistem peternakan di Belanda sudah jauh lebih maju dan hati-hati. Sehingga di luar Belanda kita melihat bahwa daerah yang sangat potensial untuk mengalami persoalan adalah China, Hong Kong , Taiwan (daerah Asia Timur).

Kecederungan global yang lain adalah aktifitas anak-anak. Sekarang, dari setiap 4 anak, kurang dari 1 anak yang terlibat didalam olahraga atau aktifitas permainan di luar ruangan atau yang bersifat fisik. Aktifitas utama permainan adalah bermain computer games, membaca dan nonton TV.
Yang menarik ada data mengenai data-data kecepatan lari anak-anak untuk jarak 50 meter. Ada kecederungan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan rata-rata waktu tempuh yang dibutuhkan untuk lari 50 M meningkat, dari 8.6 detik menjadi 8.9 detik (anak laki) dan dari 8.9 detik ke 9.2 detik (anak perempuan). Artinya kecepatan lari anak-anak menurun. Rata-rata jarak lemparan permainan Soft-Ball juga menurun dari 33 M ke 29 M untuk anak laki, sedang untuk perempuan dari 20 M ke 17 M. Jadi kecenderungan kemampuan fisik turun

Data-data Morrison mengingatkan saya kepada pesimisme Malthusian dalam bentuk lain. Pesannya sebetulnya mengingatkan kita kepada dasar ilmu ekonomi: keinginan yang tak terbatas berhadapan dengan sumber daya yang terbatas. Asia Pacific akan berkembang, perdagangan barang, jasa, pasar dan ekonominya akan tumbuh. Persoalannya apakah sumber daya dan sisi supply sanggup mendukungnya. Problema dari pesimisme Malthusian adalah, kita kerap melupakan issue distribusi dan teknologi. Kita pernah melihat bagaimana rasio makanan per kapita di China meningkat, dimana pada saat yang sama kelaparan terjadi. Issue yang paling penting adalah akses. Begitu juga, hal yang kerap dilupakan adalah bagaimana manusia melakukan penyesuain ketika menghadapi sumbr daya yang terbatas. Teknologi ditemukan, subsidi sumber daya alam dicabut-- supaya konversi energi bisa terjadi. Menghilangkan subsidi untuk energi misalnya akan memban tu menyadarkan orang bahwa energi itu mahal dan tak bisa dikonsumsi semau kita. Ironis, karena pasar yang kerap dikritik tak membela lingkungan, dalam hal tertentu merupakan signal yang paling baik terhadap kekuatiran kita soal lingkungan dsb.
Dalam kasus climate change, lihat bagaimana kemudian orang bereaksi, bersama-sama berusaha mengatasi issue ini. Sejauh ini kita selalu selamat dan bisa menjawab pesimisme global ini. Apakah kali ini juga?

Jumat, 26 Oktober 2007

Apakah harga minyak sekarang paling tinggi dalam sejarah? - AAP

Kawan saya MCB telah menganalisis kemungkinan dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap perekonomian Indonesia di sini.

Di media kita membaca bahwa harga minyak telah mencapai rekor tertingginya.

Benarkah demikian?

Ya, jika kita hanya melihat harga nominal. Tidak, harga saat ini bukanlah yang tertinggi dalam sejarah, jika kita melihat harga riil-nya.

Harga riil adalah harga satu barang dilihat dari satu waktu yang konstan. Jika harga nominal minyak tahun ini adalah $110 dollar per barrel dan tahun lalu $100 dollar per barrel, sementara inflasi sepanjang tahun adalah 10%, maka sebenarnya secara riil tidak ada perubahan. (Untuk mudahnya, bayangkan bahwa semua harga naik 10% termasuk gaji Anda. Maka tingkat kesejahteraan Anda sebenarnya tidak berubah). Karena itu, untuk memberikan perspektif yang lebih lengkap, maka ada baiknya untuk mengetahui pergerakan harga riil, di samping harga nominal.

Pada gambar pertama di atas (klik gambarnya untuk perbesar), kita plot dua deret harga: nominal (biru) dan riil (merah) mulai dari Januari 1970 sampai September 2007. Untuk harga nominal saya menggunakan data harga minyak mentah West Texas Intermediate (bisa diakses lewat sini). Untuk mendapatkan harga riil, saya keluarkan faktor inflasi dengan menggunakan data indeks harga konsumen total (data inflasi bisa diakses lewat sini) di Amerika Serikat (kenapa harga AS? Pertama, karena harga minyak mentah dinyatakan dalam dollar dan kedua, dollar memang telah menjadi acuan harga untuk transaksi di pasar internasional). Dalam gambar pertama, saya gunakan patokan rata-rata harga antara tahun 1982-84. Artinya, kita menganggap bahwa uang yang digunakan dalam tahun 1982-84 mempunyai kekuatan beli yang sama di periode waktu sebelum dan sesudahnya di seluruh deret harga di atas. Terlihat bahwa ternyata harga riil saat ini (data di atas sampai 1 September 2007) masih di bawah harga nominalnya, dan masih di bawah harga riil awal tahun 80-an. Jika menggunakan konstan 1982-84, harga riil tahun ini (Sept 2007) adalah sekitar $38/b, walaupun harga nominalnya sendiri adalah $80/b.

Jika kita ingin melihat deret harga riil pada kondisi saat ini, maka kita bisa menggeser harga konstan, misalnya ke 1 September 2007. [Ini sebenarnya tidak lazim dilakukan (mengingat adanya faktor musiman -- karena itu di gambar pertama di atas kita gunakan rata-rata 1982-84, bukan satu titik waktu saja). Namun anggap saja ini sekedar ilustrasi untuk memperjelas diskusi kita]. Pada gambar kedua di atas, saya gunakan harga riil yang konstan pada 1 September 2007 (makanya kedua kurva bertemu di ujung sebelah kanan), pada harga $80/b. Sekali lagi terlihat bahwa harga ini masih di bawah kondisi pada akhir 70-an dan awal 80-an, di mana harga minyak melonjak drastis melebihi $100/b (pada daya harga saat ini) akibat dua guncangan: Revolusi Iran dan Perang Iran-Irak. Dalam gambar yang sama juga, saya plot beberapa kejadian lain yang tampaknya signifikan berperan pada kenaikan harga minyak, yaitu Perang Arab-Israel, Perang Teluk, dan Tragedi 9/11.

Kita lalu bertanya, sekarang praktis tidak ada perang sekaliber perang-perang di atas, mengapa harga minyak meroket? Kejadian belakangan tampaknya lebih disebabkan oleh guncangan di sisi permintaan, bukan penawaran (sekalipun produksi memang juga terganggu). Tentang apakah harga akan naik terus, saya kurang paham. Tetapi harga nominal yang tinggi saat ini 'mestinya' memberikan insentif yang besar sekali bagi diversifikasi energi, penghematan, pencarian sumur baru, dan lain-lain yang cenderung akan memberi tekanan menurun kembali kepada harga; namun jika permintaan neto tetap tinggi, ada kemungkinan harga masih akan naik.

Catatan: Untuk analisis yang lebih lengkap (plus perspektif sejarah) lihat misalnya di sini.

Update: Kompas menurunkan laporan khusus tentang krisis harga minyak dalam rubrik Fokus mereka hari ini (Sabtu). Laporan mereka juga sangat informatif, misalnya ini dan ini. Namun, mungkin perlu sedikit klarifikasi. Kompas mengatakan bahwa "Pada level sekarang ini, harga minyak mentah terhitung sudah naik di atas 300 persen dibandingkan dengan tahun 1990". Ini adalah perbandingan harga nominal (dengan faktor inflasi di dalamnya -- angka yang lebih tepat adalah sekitar 268 persen dengan patokan rata-rata harga tahun 1990). Namun, jika kita menggunakan harga riil, harga saat ini "baru" sekitar 130 persen di atas harga riil tahun 1990 (saya memakai harga nominal sekarang sama dengan yang ditulis Kompas, yaitu $90/b, namun karena data inflasi Oktober AS baru akan diumumkan tanggla 15 November 2007, saya asumsikan inflasi bulan Oktober sama dengan September. Saya gunakan indeks harga rata-rata 1982-84 sebagai harga konstan).

Senin, 22 Oktober 2007

Melacak mahasiswa bohong -- AAP

Cerita di bawah diambil/diadaptasi dari Dixit dan Skeath (Games of Strategy, 1999).

Ujian mikroekonomi akan diadakan hari Senin. Ada dua orang mahasiswa yang kebetulan diundang oleh kawan-kawan mereka dari fakultas lain untuk sebuah pesta di hari Sabtu, dua hari sebelum ujian. Kedua mahasiswa ini yakin bisa membaca materi ujian di hari Minggu.

Namun, pesta hari Sabtu itu betul-betul all-out hingga Minggu dini hari. Setiba di rumah, kedua mahasiswa kita ini sudah teler dan hanya bisa tidur panjang sehari penuh. Akibatnya, mereka tidak bisa mempersiapkan diri untuk ujian. Mereka lalu sepakat untuk minta dispensasi untuk ujian susulan.

Besoknya, Senin, mereka datang ke dosen mereka. Dengan wajah sedih mereka bilang bahwa mereka mendapatkan 'musibah'. Mereka cerita, mereka pergi ke Bandung untuk menghadiri pernikahan seorang sahabat pada hari Sabtu dan berniat kembali ke Jakarta siang itu juga. Namun ban mobil mereka pecah menginjak paku dan mereka tidak punya ban cadangan. Mereka menunggu lama sebelum mendapatkan bantuan, dan alhasil sampai rumah sudah malam sekali, dan lebih parah lagi, mereka kehabisan tenaga untuk belajar pada hari Minggu. Karena itu, mereka meminta pengertian Pak Dosen agar mereka dibolehkan ujian susulan pada hari Selasa.

Pak Dosen setuju. Besoknya, Selasa, mereka ditempatkan di dua ruangan terpisah. Masing-masing diharuskan menjawab 2 pertanyaan saja. Soal pertama yang diberikan di satu kertas terpisah, sangat mudah, dan bobotnya cuma 10 persen. Dalam waktu kurang dari 15 menit, mereka sudah menyelesaikannya. Lantas mereka mengumpulkannya. Pak Dosen kemudian memberikan kertas kedua berisi pertanyaan berikutnya. Bobot soal kedua ini 90 persen. Soal itu berbunyi:

Ban mana yang bocor?

Update: A.p. dari Cafe Salemba baru saja memberitahu saya bahwa Yudo di Ruang 413 telah menulis varian dari cerita ini.

Update: A.p. frustrasi dengan betapa tidak elegannya cara mahasiswa menipu dosen (Catatan: Tentu saja dosen hanya bisa mengamati mereka yang gagal menipu alias ketahuan; sementara yang berhasil tidak pernah terdeteksi. Dalam riset, persoalan ini harus di-sterilkan dari apa yang disebut "selection bias" ini: kita mengamati sebagian saja dari sampel yang relevan, sehingga kesimpulan yang ditarik harus dikualifikasi).

Update: Fik dari Youthful Insight melihat dari sudut pandang mahasiswa. Jangan lewatkan.

Minggu, 21 Oktober 2007

Apa yang akan terjadi pada para pendatang (di Jakarta)?-AAP

Kita mencoba menjawab pertanyaan ini dengan menggunakan Model Todaro (Todaro, 1969, 1997; Corden-Findlay, 1975) seperti ditunjukkan oleh gambar di sebelah.

Permintaan tenaga kerja di sektor formal di Jakarta ditunjukkan oleh kurva berwarna biru, sementara permintaan di luar Jakarta oleh kurva merah (kita asumsikan saja bahwa "luar" Jakarta adalah satu daerah yang cenderung homogen -- tentunya ini hanya penyederhanaan). Sumbu mendatar adalah jumlah total tenaga kerja di mana alokasi untuk daerah di luar Jakarta mulai dari OL dan alokasi untuk Jakarta mulai dari OJ. Kedua kurva permintaan tenaga kerja berkemiringan negatif karena semakin tinggi upah, semakin sedikit permintaan terhadap tenaga kerja. Jika upah bersifat fleksibel sempurna, maka upah di Jakarta akan sama dengan upah di luar Jakarta (UL* = UJ*) dengan OLBL* adalah jumlah tenaga kerja yang diserap daerah luar Jakarta dan OJBJ* adalah mereka yang bekerja di Jakarta. Keseimbangan ditunjukkan oleh titik A, di mana tidak ada pengangguran.

Masalahnya, upah sektor formal di Jakarta tunduk kepada peraturan upah minimum. Ia bisa dikatakan tidak mungkin turun. Misalkan saja upah minimum itu adalah UJmin (yang lebih tinggi daripada UJ*). Apabila pengangguran tetap tidak ada, maka tenaga kerja yang terserap di sektor formal Jakarta hanyalah OJBJ, sementara bagian terbesar tenaga kerja, OLBJ "terpaksa "kembali ke daerahnya masing-masing, untuk bekerja dengan upah sebesar UL** (yang lebih rendah daripada UL*). Akibatnya, tercipta kesenjangan upah sebesar UJmin-UL*.

Sekali lagi, kenyataannya tidak demikian. Mereka yang sudah terlanjur ke Jakarta biasanya tidak akan serta-merta pulang ketika menemukan bahwa mereka tidak bisa masuk ke sektor formal yang kaku. Mereka lalu bekerja di sektor non formal (asongan, dsb.) atau menjadi penganggur di Jakarta. Dalam istilah teknisnya, mereka disebut indifferent antara Jakarta dan luar Jakarta. Posisi mereka dalam gambar di atas diwakili oleh kurva berwarna hitam. Jika ini yang terjadi, maka keseimbangan baru terjadi pada titik B, di mana kesenjangan upah menjadi UJmin-UL (yang lebih kecil daripada UJmin-UL*, karena tidak semua tenaga kerja yang tidak tertampung di sektor formal Jakarta kembali ke daerah asalnya). Di titik ini, tenaga kerja berjumlah OLBL kembali ke kampung halamannya (dengan upah UL), OJBJ bekerja di sektor formal di Jakarta, dan BLBJ tetap di Jakarta dengan upah di bawah upah minimum (di sektor non-formal) atau bahkan menjadi penganggur.

Kamis, 18 Oktober 2007

Dampak kenaikan harga minyak-MCB



Beberapa hari terakhir ini banyak sekali pertanyaan yang muncul tentang dampak kenaikan harga minyak terhadap ekonomi Indonesia. Karena seringnya pertanyaan itu diajukan, maka saya pikir soal itu menarik di bahas disini.
Tabel diatas saya ambil dari Nota Keuangan RAPBN 2008. Ia menunjukkan analisis sensitifitas dari berbagai variabel terhadap defisit anggaran.

Kenaikan harga minyak $1 per barrel misalnya diperkirakan akan mengurangi defisit anggaran sebesar Rp 0.04-0.05 trilyun. Sehingga dari sisi ini saya tidak terlalu menguatirkan dampak kenaikan harga minyak yang tajam terhadap anggaran. Saya kira, perhitungan sensitifitas ini cukup sensible. Dalam anggaran kenaikan harga minyak memiliki dua sisi : dari sisi penerimaan akan meningkatkan penerimaan pemerintah dari minyak, sedang disisi pengeluaran akan meningkatkan beban subsidi. Kita tahu: subsidi BBM untuk bensin, solar sebagian besar sudah dihapus tahun 2005. Yang masih disubsidi dengan cukup besar adalah minyak tanah. Karena itu dampak pada anggaran saya kira tak terlalu besar atau cenderung netral. Dalam hal ini saya sepakat dengan Faisal Basri di Kompas. (18/10/2007, hal 1).

Yang perlu diperhatikan saya kira adalah soal-soal yang lain:
Pertama, dampak kenaikan harga minyak akan membuat disparitas harga domestik dengan internasional meningkat. Akibatnya, insentif untuk menyelundup meningkat. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin konsumsi BBM akan meningkat -- karena aktifitas penyelundupan yang naik. Konsumsi BBM yang naik, akan mendorong kenaikan impor. Tekanan impor ini akan berpengaruh ke dalam neraca perdagangan. Jika berkepanjangan, maka dampaknya akan terjadi pada tekanan rupiah

Kedua, variabel yang sensitif terhadap defisit anggaran adalah produksi minyak. Jika produksi minyak menurun, maka akan meningkatkan defisit anggaran dengan cukup signifikan. Issue ini saya kira perlu diperhatikan

Ketiga, dampaknya kepada industri. Ada dugaan efek pass-through (efek yang diteruskan ke ekonomi domestik) akan besar. Misalnya kenaikan harga minyak dipasar internasional akan membuat biaya produksi naik, inflasi naik dsb. Saya kira kita perlu hati-hati dengan argumentasi ini. Sebetulnya BBM untuk industri sudah dibebaskan ke mekanisme pasar bahkan sebelum kenaikan BBM yang amat tajam Oktober 2005. Faktanya, pertumbuhan ekonomi masih relatif tinggi sampai dengan bulan September 2005, padahal waktu itu harga minyak sudah naik tajam. Produksi baru berkurang secara signifikan ketika pemerintah menaikkan BBM bulan Oktober 2005. Kenaikan BBM bulan Oktober itu ditujukan untuk BBM yang dikonsumsi oleh masyarakat (bukan industri, karena industri sudah dibebaskan kepasar sebelumnya). Artinya penurunan produksi setelah Oktober 2005 lebih disebabkan oleh karena menurunnya permintaan akibat kenaikan BBM. Jadi selama permintaan tak menurun, saya tak melihat dampak yang besar kepada produksi dari industri.

Keempat, apakah kenaikan BBM ini akan membuat inflasi meningkat dan mengurangi daya beli? Basri, Damayanti dan Sutisna (2002) menunjukkan bahwa sumber inflasi yang paling besar dalam inflasi di Indonesia adalah ekspektasi inflasi, depresiasi nilai tukar dan base money. Artinya selama kebijakan moneter tetap hati-hati, maka dampak inflasinya dapat ditekan. Namun penting dicatat bahwa ekspektasi inflasi bisa meningkat, karena pelaku ekonomi menganggap pass-through effect dari kenaikan harga minyak ke harga domestik tinggi (walau sebetulnya tidak). Jika hal ini dipercaya maka akan terjadi self-fulfilling, akibatnya inflasi memang akan naik dan ekspektasi depresiasi rupiah juga meningkat.

Mungkin beberapa issue yang harus kita perhatikan dengan baik. Tentu pertanyaan yang lebih penting adalah: apakah harga minyak yang tinggi ini akan bertahan seperti ini sampai akhir tahun, atau hanya sekedar fenomena lonjakan saja? Terus terang, saya tak berani membuat prediksi tentang itu.

Rabu, 17 Oktober 2007

10 tahun setelah krisis-MCB

Berikut tulisan pendek saya mengenai 10 tahun krisis yang diterbitkan di Special Issue JBIC Today . Lihat juga diskusi menarik dari Takatoshi Ito dan Masahiro Kawai etc. di dalam terbitan ini, mengenai krisis Asia.

Selasa, 16 Oktober 2007

Bagaimana ekonomi melihat kejahatan? - AAP

Seseorang melakukan tindak kejahatan atau kriminalitas karena ia melihat manfaat yang akan ia peroleh melebihi biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukannya. Bagi pencuri barang (mis. arloji, baju, dsb.), "manfaat" meliputi mulai barang yang ia berhasil curi sampai bahkan ketenaran dan respek di kalangan pencuri. "Biaya"-nya mungkin mencakup pengeluaran untuk membeli alat congkel, topeng, waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk hal yang lain, serta kemungkinan tertangkap berikut hukumannya.

Solusi untuk mengurangi tindak kejahatan seperti di atas relatif “sederhana”. Buat biayanya lebih besar daripada manfaatnya. Namun dari daftar manfaat dan biaya bagi si pencuri di atas, hampir semuanya berada dalam kendali pencuri itu sendiri. Yang paling bisa diintervensi adalah yang biaya yang terakhir, yaitu “kemungkinan tertangkap berikut hukumannya”.

Meningkatkan “kemungkinan tertangkap” dapat dilakukan dengan polisi yang efektif, sistem pengamanan yang handal, dsb. Sementara itu, hukuman harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil insentif bagi calon pencuri. Jika kemungkinan tertangkap kecil (misalnya karena polisi tidak dapat diandalkan) maka paket hukuman harus dibuat lebih berat lagi (ya, ini membutuhkan sistem pengadilan efektif). Karena, “kemungkinan tertangkap berikut hukumannya” adalah “perkalian”: untuk mendapatkan hasil yang sama, penurunan di salah satunya harus dikompensasi oleh peningkatan di yang lain.

Hukuman tidak harus berarti penjara. Denda berupa uang adalah pilihan yang lain. Penjara dalam banyak hal mempunyai kelemahan: ia tidak memberikan pemasukan kepada negara dan jumlahnya yang terbatas tidak memadai untuk wilayah yang penjahatnya melimpah. Denda, di lain pihak, memberikan pemasukan dan tidak memerlukan ruang fisik. Kelemahan dari denda adalah ia lebih sulit dalam administrasi dan stigma yang diberikannya kepada terhukum lebih kecil daripada penjara (”Si X adalah mantan napi” lebih berat stigma sosialnya daripada ”Si Y sudah membayar denda Rp 3 milar atas korupsinya yang Rp 1.5 miliar itu”).

Intinya dengan demikian adalah, buat hukuman dalam konteks sistem insentif dan disentif. Seorang pengendara mobil yang melanggar batas kecepatan mungkin saja punya justifikasi yang bisa dibenarkan (ada penumpang yang mau melahirkan, dsb). Karena itu, akan lebih efisien jika semua pengendara tahu apa konsekuensi dari pelanggaran mereka atas batas kecepatan maksimal. Lebih bagus lagi kalau ia dibuat bertahap. Misalnya: Batas kecepatan maksimum adalah 100 km/jam; setiap kelebihan sampai 110 km/jam diganjar denda Rp 100 ribu, antara 110-120 km/jam Rp 250 ribu, dan seterusnya. Dengan demikian, setiap orang bisa ”membeli hukuman yang pantas” bagi keperluannya, sesuai dengan situasi dan kondisinya. Beberapa negara bagian di Kanada menerapkan sistem seperti ini. (Mungkin yang lebih baik lagi adalah memasukkan faktor penghasilan si pelanggar dalam formula, untuk mengakomodai efek pendapatan: ”Karena saya kaya -- bukan: karena saat ini istri saya bukaan dua-- , saya ngebut”, misalnya).

Dengan logika seperti di atas, kita mungkin akan menyimpulkan bahwa karena semakin berat ancaman hukuman, semakin kecil insentif untuk melakukan kejahatan dan bahwa hukuman paling berat adalah hukuman mati (jika denda, berapa denda yang sama nilainya dengan hukuman mati? – kita akan coba diskusikan ini lain kali), maka ancaman hukuman mati tentunya ampuh untuk meminimalkan potensi tindak kejahatan pembunuhan. Jawabnya adalah: ya dan tidak.

”Ya”, jika efek pematah semangat (deterrence effect) dari hukuman mati bagi para calon pembunuh berikutnya memang berjalan sesuai harapan. Namun, beberapa studi sampai saat ini belum bisa membuktikan hipotesis ini secara konklusif.

”Tidak”, bagi para pembunuh yang tidak melihat hukuman mati sebagai ”bad”, tapi justru sebagai ”good”. Misalnya mereka yang membunuh sembari mengatasnamakan ”jihad” dan karenanya memang berharap mati. Untuk orang-orang seperti ini (misalnya pelaku pemboman Bali 1 dan 2, Marriott, dsb.), dihukum mati justru sesuatu yang mereka inginkan. Bagaimana solusi agar baik efek hukuman dan efek deteren bisa terlaksana? Salah satunya adalah menghukum mereka seberat-beratnya -- namun tidak sampai mati. Misalnya -- sekali lagi, misalnya -- memotong tangan dan kaki mereka satu demi satu, sembari memastikan mereka tetap hidup.

Kesimpulannya, kita perlu berhati-hati dalam mendesain mekanisme untuk memastikan berjalannya sistem yang dibangun berdasarkan insentif-disinsentif.

Catatan: Bacaan yang bagus untuk topik ini misalnya adalah Economic Analysis of Law (Richard Posner) dan Law's Order (David Friedman).

Senin, 15 Oktober 2007

Pacaran tanpa sunk cost? - MCB

Aco di cafe Salemba menulis sebuah tema yang menarik: Pacaran is Sunk Cost (biaya yang tak bisa di peroleh kembali). Intinya dalam pacaran, biaya yang sudah dikeluarkan oleh kedua pasangan -- untuk menarik satu sama lain-- tidak bisa di peroleh kembali. Oleh karena itu jika pasangan anda menyatakan bahwa dia telah menyerahkan segalanya, dan sebagai balasan dia mengharapkan bahwa anda untuk tetap bersama dia -- menurut Aco-- anda bisa mengatakan: Hei, itu adalah sunk cost !

Penggunaan analisis ekonomi dalam soal ini sangat menarik. Pertanyaan lanjutannya adalah: apa yang terjadi jika pacaran bukan sunk cost?

Dalam analisis industrial organization, sunk cost adalah salah satu penyebab hambatan untuk keluar dari pasar. Dalam suatu pasar dimana sunk cost nya tinggi, maka akan ada dis-insentif bagi perusahaan untuk keluar dari pasar, karena biaya yang telah dikeluarkan tidak bisa diperoleh kembali (not recoverable). Bayangkan anda sudah investasi besar, pabrik sudah dibangun dan semua investasi anda tidak bisa dijual kembali, maka anda akan enggan untuk keluar dari bisnis tersebut. Alasannya: saya sudah keluar uang banyak dan tidak bisa memperoleh uang yang telah saya keluarkan kembali.

Dalam kasus pacaran, bagi banyak pihak, struktur pacaran memang diharapkan memiliki hambatan untuk keluar (barrier to exit), sehingga tak mudah untuk putus hubungan dan ganti-ganti pasangan. Semakin besar sunk cost yang terjadi (baik dalam arti moneter maupun non-moneter), maka semakin besar dis-isentif untuk meninggalkan pasangannya. Apa yang terjadi jika, pacaran tidak menimbulkan sunk cost? Pasar pacaran akan menjadi persaingan bebas dengan dimana pelaku bisa keluar masuk setiap waktu (free entry dan free exit). Dalam situasi seperti ini, volatilitas hubungan akan menjadi sangat tajam, dimana nilai dari hubungan (yang dicerminkan melalui harga yang terbentuk dari demand dan supply pacaran akan cenderung berfluktuatif seperti dalam pasar persaingan. Sunk cost akan mereduksi kemungkinan untuk exit dari pasar.

Dalam pola hubungan tanpa komitment atau one night stand, sunk cost yang muncul (walaupun ada) relatif kecil. Karena itu keputusan untuk keluar dari dari pasar akan relatif mudah dan dapat dilakukan setiap waktu.

Sunk cost, sebenarnya berguna untuk menjadi signal keseriusan. Berapa besar sunk cost yang dianggap cukup sebagai barrier to exit? Jawabannya berbeda untuk tiap individu. Dan akan sangat tergantung kepada berapa besar kesediaan untuk mengeluarkan biaya yang tak bisa di peroleh kembali. Bagi mereka yang cukup well-endowed (tidak hanya dalam arti moneter), walau sunk cost yang dikeluarkan secara nominal cukup besar, tak menyebabkan hambatan berarti untuk keluar. Namun bagi individu dengan sumber daya (moneter dan non-moneter) yang terbatas, sunk cost yang relatif kecil sudah akan menjadi faktor penghambat.

Itu sebabnya, dalam proses pacaran, seringkali besar komitmen dicoba dilihat dari seberapa besar kesediaan berkorban dari masing-masing pasangan dan perhatian yang diberikan(dalam bentuk hadiah), . Dengan kata lain, keseriusan kerap dinilai dari besarnya sunk cost. Lalu secara empiris apakah signal mengenai keseriusan dapat diukur hanya dari nominal sunk cost? Mungkin tidak. Yang paling tepat mungkin mengukurnya dari seberapa besar prosentase sunk cost yang dikeluarkan terhadap total resources. Bagi banyak orang, pasar pacaran tampaknya memang tak diharapkan untuk menjadi contestable market. Itu sebabnya pacaran oleh mereka harus dibuat menjadi sunk cost, seperti analisis Aco.

Desain mekanisme - AAP

Dalam sebuah ujian di FEUI, saya menanyakan soal sebagai berikut
Bayangkan bahwa pemerintah bermaksud memberikan ijin kepada sebuah perusahaan gas untuk melakukan eksplorasi di Sidoarjo. Hal ini ditentang oleh masyarakat. Karena itu, pemerintah merencanakan untuk memungut pajak khusus dari perusahaan tersebut, yang uangnya akan digunakan untuk mengkompensasikan eksternalitas. Untuk mengambil keputusan, pemerintah lalu meminta para wakil masyarakat untuk menghitung dan melaporkan besarnya costs yang akan mereka hadapi jika perusahaan tersebut jadi melakukan pengeboran sumur. Di samping itu pemerintah juga meminta pihak perusahaan untuk menghitung dan melaporkan besarnya benefits dari proyek mereka. Asumsikan Anda adalah staf ahli pemerintah. Desain sebuah mekanisme untuk memastikan bahwa truth-telling adalah strategi yang optimal bagi kedua belah pihak.
Persoalan di atas adalah apa yang kita kenal dengan masalah desain mekanisme (mechanism design problem). Tahun ini, Nobel untuk ilmu ekonomi diberikan kepada Hurwicz, Maskin, dan Myerson atas jasa mereka mengembangkan alat analsis untuk desain mekanisme.

Catatan: Ini contoh sederhana penerapan desain mekanisme, dari Cafe Salemba. Yang ini dari Reason.

Lebaran dan Konsumsi-MCB

Berikut tulisan saya mengenai perkembangan ekonomi Indonesia yang berjudul Lebaran dan Konsumsi yang terbit pada Analisis Ekonomi Harian Kompas Senin (15 Oktober, hal 1). Intinya menunjukkan bahwa perekonomian sudah mulai menggeliat ditandai dengan meningkatnya konsumsi ritel dan juga kredit investasi. Pertanyaanya apakah kenaikan konsumsi ini sekedar fenomena puasa dan lebaran saja, atau ada alasan untuk melihat perekembangan ini lebih sustainable? Jika ya, apakah ada alasan untuk optimis dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2007?


Di kesempatan ini kami juga mengucapkan

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428.
Mohon maaf lahir dan Bathin



MCB dan AAP

ANALISIS EKONOMI

Lebaran dan Konsumsi

Optimisme memang tak punya banyak sahabat dalam perekonomian Indonesia. Namun, ada pertanda ekonomi mulai bergerak lebih cepat dalam beberapa bulan terakhir.

Harian Kompas (9/10), misalnya, mencatat penjualan ritel yang luar biasa dalam sepekan menjelang Lebaran. Omzet 162 kios pakaian dan aksesori melonjak 50-300 persen. Omzet beberapa pusat penjualan ritel lain pun meningkat hampir dua kali lipat.

Apa artinya ini bagi ekonomi kita? Penjualan ritel adalah indikator pendahulu (leading indicator) dari konsumsi nonmakanan. Naik-turunnya penjualan ritel dapat menjadi indikasi awal naik turunnya konsumsi nonmakanan, yang dapat dipengaruhi oleh ekspektasi. Lengkapnya

Kamis, 11 Oktober 2007

Migrasi menolong buruh miskin?-MCB



Dalam buku Memoirs of an Unregulated Economist, pemenang nobel ekonomi George J. Stigler dari University of Chicago menulis:
(You won't agree to this). Because Political Economists have really done more for the labouring classes by their advocacy of free trade , etc. , than all the philathropists put together.
Seperti diduga Stigler, kita tak percaya. Walau begitu,baiklah kita mencoba melihat argumen ini dengan lebih hati-hati.

Grafik di kiri atas menunjukkan analisa tentang migrasi buruh. Tentu, ini adalah penyederhanaan persoalan, tetapi baik untuk membantu melakukan analisa. Sebelum migrasi, jumlah buruh yang bekerja di domestik adalah sebesar OL1( dilihat dari kiri ke kanan), sedangkan buruh di negara asing O*L2 (kanan ke kiri). Dalam kondisi ini upah riil di domestik adalah dititik C dan upah di luar negeri ada di titik B. Disini upah domestik lebih rendah dibanding luar negeri. Jika terjadi migrasi, maka tingkat upah riil keseimbangan terjadi di dititik A, dimana upah di kedua negara sama. Pada titik itu, jumlah buruh domestik adalah OL2 dan buruh asing O*L2. Apa yang bisa disimpulkan dari grafik ini?

Pertama, akan terjadi konvergensi dari upah riil, dimana upah buruh domestik naik dan buruh asing turun (secara riil). Dalam kenyataan, buruh domestik dan asing bukanlah substitusi sempurna, karena itu kesamaan upah praktis tak sepenuhnya terjadi karena hambatan perdagangan, perbedaan teknologi dan juga sumber daya. Namun ada kecenderungan bahwa konvergensi terjadi --walau tak membuat upah domestik sama dengan luar. Williamson (1995) menunjukkan bagaimana upah riil di negara tujuan migrasi menurun dan di negara asal migran meningkat.
Kedua, Buruh domestik diuntungkan karena upahnya naik, buruh asing akan rugi karena upahnya turun secara riil. Pemilik modal (capitalists) di luar negeri akan untung, karena upah buruh riil yang relatif lebih murah dibanding sebelum migrasi, sedang capitalists domestik akan rugi karena upah buruh lebih tinggi setelah terjadinya migrasi.

Analisa ini menunjukkan: yang dirugikan dengan migrasi sebenarnya adalah buruh asing dan kapitalis domestik. Benarkah begitu?

Mari kita lihat dalam kasus Indonesia. Jika pasar tenaga kerja dibuka, dapatkah kita membayangkan bahwa pekerja dari Singapura, Malaysia, Jepang, Australia akan datang ke Indonesia dan mengambil alih pekerjaan tenaga kerja tak terampil (pekerjaan yang dilakukan oleh buruh miskin)? Rasanya agak sulit membayangkan itu. Tapi bisakah kita membayangkan bahwa pekerjaan tenaga kerja tak terampil di Singapura, Malaysia, Jepang, Australia diambil oleh pekerja Indonesia dan mereka mendapat upah lebih tinggi? Tak sulit untuk membayangkannya, karena hal itu telah terjadi pada buruh migran kita di Singapura, Malaysia. Persoalannya adalah perlindungan terhadap buruh migran kita yang lemah, sehingga mereka diperlakukan dengan buruk di luar. Jadi soalnya bukanlah upah yang makin buruk, atau kesejahteraan yang buruk, tetapi perlindungan yang buruk, yang membuat mereka tak memperoleh manfaat yang seharusnya. Artinya jika perlindungan buruh migran dilakukan, maka buruh migran Indonesia sebenarnya diuntungkan dengan liberalisasi tenaga kerja. Itu artinya pula bahwa buruh miskin sebenarnya dapat memperoleh pekerjaan dan manfaat dari migrasi.

Bagaimana dengan pekerja terampil? Kita dapat menduga bahwa pekerja terampil (umumnya berpendidikan lebih baik dan relatif lebih kaya) akan mendapat saingan yang ketat dari Malaysia dan Singapura misalnya. Posisi pengacara, akuntan, arsitek, dokter di dalam negeri mungkin akan terancam --walau belum tentu juga, karena mungkin tak banyak dokter, akuntan, pengacara, ekonom asing yang mau bekerja dengan upah yang lebih rendah. Untuk sementara anggaplah mereka mau, analisis ini menunjukkan bahwa yang paling kuatir dengan liberalisasi pasar kerja adalah kelas menengah. Merekalah yang dirugikan. Sedangkan buruh tak terampil di untungkan. Pola yang sama juga terjadi di Eropa dan Amerika. Itu sebabnya Amerika Serikat tak mau membuka diri terhadap tenaga kerja dari Meksiko. Amerika Serikat, Australia cenderung proteksionis, karena pekerja tak terampil mereka dirugikan.

Jika benar demikian, apakah ini berarti bahwa liberalisasi pasar kerja ternyata baik bagi buruh miskin? Apakah proteksi pasar kerja hanya membela kelas menengah? Bisa jadi begitu. Jangan-jangan yang kita lakukan dengan menutup pasar tenaga kerja dari luar adalah upaya membela kelas menengah dengan mengatasnamakan buruh miskin. Jika benar begitu, proteksi ternyata justru membela yang relatif kaya dan bukan yang miskin.

Insentif-insentif menuju pemilu - AAP

Menarik, tulisan Endy Bayuni (EB) di Jakarta Post kemarin (10/10/2007). EB meragukan bahwa JK (dan beberapa menteri di dalam kabinet) akan tetap loyal kepada SBY dalam dua tahun mendatang, mengingat JK sebagai pimpinan Golkar pasti akan mencalonkan diri (atau dicalonkan) sebagai presiden. Akan terjadi konflik kepentingan. Karenanya, menurut EB, salah satunya (JK atau SBY) harus mundur. (Tulisan EB mengimplikasikan bahwa: JK yang harus mundur). EB juga berpendapat bahwa mudah sekali bagi siapa pun di dalam kabinet untuk menjegal ambisi SBY untuk menjadi presiden kembali: cukup dengan melemahkan perekonomian (maksud EB mungkin lewat membiarkan beberapa program ekonomi gagal).

Jika tujuan Golkar adalah menggolkan JK sebagai presiden, maka insentif untuk melakukan penjegalan atas program ekonomi (dan lainnya) dari pemerintahan sekarang sesungguhnya kecil. Mengapa? Karena Golkar, lewat JK dan beberapa menteri, adalah bagian dari pemerintahan sekarang. Karena itu, menggagalkan (untuk tidak mengatakan sabotase) program pemerintahan sekarang sama dengan mencoreng muka sendiri. Ini akan menyulitkan Golkar dalam kampanye dan dalam mencoba merebut simpati pemilih, kecuali jika Golkar nantinya bisa muncul dengan argumen-argumen seperti ”itu bukan kesalahan kami”, ”kami sudah mencoba, tetapi Presiden tidak sepakat”, dan sebagainya. Argumen seperti ini murahan, tidak meyakinkan, dan justru menunjukkan bahwa peran Golkar ternyata kecil – citra yang tentunya tidak menguntungkan bagi Golkar. Akan lebih menguntungkan bagi Golkar untuk berjuang menyelesaikan semua program pemerintahan sekarang dengan baik dan simpatik, untuk kemudian nantinya mengklaim kredit untuk itu, sebagai bekal ke dan di pemilu. Itu yang dilakukan Fauzi Bowo dalam konteks Jakarta – dan berhasil.

Popularitas SBY, paling tidak sampai Oktober 2007, masih tetap tertinggi. Jika peringkat popularitas memang proksi yang baik untuk memprediksi pemenang pemilu, jika SBY bisa mempertahankan posisinya selama waktu yang tersisa, dan jika metode survei LSI benar valid, maka kemungkinan SBY menjadi presiden terpilih pada pemilu mendatang menjadi paling tinggi.

Hal ini tentunya menyulitkan Golkar yang berambisi mendudukkan JK sebagai presiden. Kecuali jika dalam dua tahun tersisa ini SBY melakukan sesuatu yang sangat merugikan citranya. Salah satu titik lemah SBY adalah kesulitannya mengambil keputusan. Ini tentunya disadari oleh lawan-lawan politiknya (paling tidak Sutiyoso akan menggunakan isu kepemimpinan yang tegas). Namun sifat indecisiveness ini pun tampaknya tidak berpengaruh banyak pada popularitas SBY, sebagaimana kita telah saksikan beberapa kali.

Jika semua asumsi di atas benar terjadi, maka Golkar harus puas dengan kursi wapres seperti saat ini. Dan itu berarti JK, bukan Akbar Tanjung atau yang lainnya. Mengapa? Karena eksponen Golkar yang paling bisa bekerjasama dengan SBY adalah JK, terlepas dari sederet friksi yang pernah terjadi. Selain itu, posisi JK seperti di atas tentunya juga disadari oleh orang-orang Golkar. Mereka yang berkepentingan untuk dekat dengan pusat kekuasaan secara rasional akan mendukung dia yang memang paling dekat dengan bakal presiden. Orang itu adalah JK, bukan Akbar Tanjung.

Yang tersisa untuk melengkapi argumen di atas adalah: apa insentif SBY untuk bersanding dengan JK kembali? Tidak terlalu sulit untuk menjawab yang satu ini. Karena Golkar adalah partai terbesar dan secara historis sangat kuat di republik ini. Partai Demokrat sendiri sepertinya tidak akan mampu berjuang sendiri.

Kesimpulannya, pertama, kemungkinan JK untuk mengundurkan diri dari pemerintahan saat ini kecil. Kedua, kekuatiran EB bahwa akan terjadi penjegalan terhadap SBY oleh kabinetnya sendiri tampaknya berlebihan.

Tentu saja ini hanya pengamatan yang dibangun atas asumsi-asumsi dan pengamatan atas insentif di seputar kabar-kabar menuju pemilu 2009. Kita paham, dalam politik, apa pun bisa terjadi.

Selasa, 09 Oktober 2007

Apakah spekulan beras jahat? - AAP

Di media massa kita sering mendengar dan membaca bahwa spekulan-spekulan (atau spekulator) beras (atau barang lain) harus dihukum. Benarkah mereka ini 'jahat'?

Spekulan beras (sekali lagi, atau barang lain) adalah orang yang membeli beras pada saat harganya rendah dan menjualnya pada saat harganya tinggi. Bukankan ini hal biasa, yang memang dilakukan oleh semua pengusaha, pedagang, dan mereka di bursa saham? Tapi mari kita renungkan lebih jauh.

Asumsikan dulu bahwa saat ini tidak ada program stabilisasi harga maupun larangan impor oleh pemerintah. Ekpektasi berperan penting dalam pengambilan keputusan. Ketika spekulator memperkirakan bahwa akan terjadi puso dan kekeringan atau sekedar penurunan produktivitas padi, ia memperkirakan harga beras akan naik di masa yang akan datang (cepat atau lambat). Karena itu, ia akan membeli beras sekarang, karena harganya relatif lebih murah ketimbang ekpektasi harganya di masa mendatang. Ternyata spekulan bukan hanya satu orang, tetapi banyak. Dan mereka semua berpikir sama: beli sekarang untuk dijual nanti. Karena para spekulan turun ke pasar untuk memborong beras, maka harga beras sekarang (atau tepatnya, harga sebelum 'masa akan datang' di atas terealisasi) terdorong naik.

Konsumen tentu saja tidak berpangku tangan. Dengan kenyataan harga yang bergerak naik sekarang, mereka akan lebih berhati-hati dengan pola konsumsi beras mereka. Sebagian kecil membeli dalam jumlah yang lebih besar (untuk 'stok'), namun tidak akan terlalu besar: mereka toh tidak bermaksud menjualnya seperti spekulan. Sebagian yang lain melakukan diversifikasi: memperbanyak kentang, indomie atau bahan makanan lain. Sebagian yang lain mengimpor. Efeknya adalah bahwa ketika 'saat itu' datang (saat di horison ekpektasi spekulan, di mana mereka memperkirakan akan terjadi kenaikan harga yang signifikan), harga tidak akan naik sebanyak yang dikuatirkan. Karena, para pelaku ekonomi (termasuk konsumen) telah melakukan antisipasi -- dan itu karena 'informasi' yang disampaikan secara tidak langsung oleh spekulan.

Dengan kata lain, spekulan memuluskan gejolak harga sehingga tidak terlalu fluktuatif (ya, "menstabilkan harga", jika Anda lebih suka istilah ini). Mereka membeli barang ketika mereka melihat bahwa harganya lebih rendah daripada harga ekspektasi (atau dengan kata lain: harga jangka panjang). Hal ini meningkatkan harga menuju keseimbangan. Dan mereka menjualnya ketika mereka melihat bahwa harganya lebih tinggi. Hal ini menurunkan harga menuju keseimbangan (D. Friedman, 1996).

Sesungguhnya apa yang dilakukan spekulan persis seperti apa yang diinginkan pemerintah lewat program 'stabilisasi harga' mereka. Bedanya, pada yang pertama hampir tidak ada insentif untuk melakukan korupsi.

Senin, 08 Oktober 2007

Efficient grease-MCB



Studi yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) (Ari Kuncoro, Thia Jasmina, Isfandiarni, Siti Budi Wardhani, Ainul Huda, Deasy and Anton Hendranata) tentang iklim investasi Indonesia menunjukkan: ada perbaikan dalam proses import clearance di beberapa pelabuhan utama di Indonesia dalam pertengahan 2007 dibanding tahun sebelumnya. Namun menariknya, disisi lain, studi ini menemukan bahwa prosentase mereka yang tidak pernah membayar suap dalam proses import clearance juga menurun. Prosentase mereka yang membayar suap meningkat dari 88% (pertengahan tahun 2006) menjadi 91% (pertengahan tahun 2007). Artinya suap semakin sering. Bagaimana kita menjelaskan fenomena ini, dimana proses makin cepat, tetapi suap makin sering ini?

Salah satu kemungkinan penjelasnya adalah adanya efficient grease atau pelicin untuk mempermudah proses.

Keputusan dunia usaha untuk menyuap adalah keputusan ekonomi rasional. Keputusan ini akan selalu didasarkan kepada perhitungan manfaat (benefit) dan biaya (cost) dari aktifitas penyuapan. Artinya, seandainya suap dapat melancarkan urusan dengan birokrasi atau memungkinkan memperoleh proteksi--sehingga memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan besarnya suap yang harus dibayar—maka ada insentif untuk menjadi pemasok suap.

Grafik diatas dapat menjelaskan pola ini. Manfaat yang dapat diperoleh pengusaha dengan menyuap ditunjukkan oleh grafik berwarna merah. Manfaat yang diperoleh pengusaha dengan menyuap, semakin lama semakin kecil karena ada batas manfaat dari suap, karena itu kurva manfaat semakin lama semakin datar.

Untuk menyuap, tentu ada biaya yang harus dikeluarkan, mulai dari besarnya suap, proses lobby dsb. Semakin besar fasilitas/proteksi atau kemudahan yang akan diperoleh dari suap, maka semakin besar pula biaya suap. Itu sebabnya kurva biaya suap yang berwarna biru semakin lama semakin tajam kenaikannya.

Tingkat optimum suap terjadi ketika slope dari kurva manfaat sejajar dengan kurva biaya. Pada titik ini, tambahan manfaat (marginal benefit) dari menyuap akan sama dengan tambahan biaya (marginal cost) dari menyuap. Lewat dari titik optimum ini ke kanan, tambahan manfaat dari menyuap akan lebih kecil ketimbang tambahan biaya yang muncul dari menyuap. Karena itu insentif bagi pengusaha untuk menyuap sudah mulai menurun. Bagian dari titik otimum ke sebelah kiri adalah bagian yang disebut sebagai eficient grease.

Jadi, seringnya penyuapan yang dilakukan seperti temuan LPEM mungkin mencerminkan area disebelah kiri dari titik optimum. Dalam kondisi ini bagi dunia usaha pilihan menyuap --sayangnya-- adalah pilihan rasional. Secara konseptual korupsi atau penyuapan (bribery) adalah semacam pajak tak resmi untuk dunia usaha (MacLeod, 2001). Bagi dunia usaha tak ada bedanya antara membayar suap dengan membayar pajak (buat mereka adalah biaya). Perbedaannya ada disisi pemerintah. Pajak resmi masuk kas negara, sedang suap masuk kantong aparat. Karena itu selama suap masih menguntungkan, dunia usaha akan melakukannya.

Studi yang dilakukan oleh Lui (1985) misalnya, menunjukkan bahwa dalam beberapa hal korupsi malah bisa meningkatkan efisiensi. Argumen Lui memang terkesan mengejutkan, tetapi ada alasan teoritis yang cukup kuat dibelakang argumen ini. Perspektif ini dikenal dengan nama efficient grease atau pelumas yang efisien. Pola ini dapat terjadi dari bentuk yang sederhana, seperti membayar uang rokok atau uang mengurus KTP, sampai bentuk yang canggih seperti lobby dan aktifitas ekonomi rente.

Mengapa itu bisa terjadi? Penyebabnya adalah adanya pasar untuk jual beli masalah yang pada gilirannya membuka pasar bagi suap. Kita kenal adagium : uang tak menjadi masalah, tetapi masalah bisa menjadi uang. Dalam kondisi ini dunia usaha terpaksa menjadi supplier suap karena “masalah“ yang diciptakan pejabat pemerintah.

Bagaimana mengatasinya? Upaya penyelesaiannya suap dapat dilakukan dengan mengurangi insentif untuk menyuap dan mengurangi ruang untuk memperoleh suap. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan memudahkan peraturan (deregulasi dan debirokratisasi ekonomi) dan mengurangi pertemuan antara aparat dengan pengusaha melalui on line system. Tentu yang ideal adalah penegakan hukum, di mana penyuap dan yang disuap diberikan hukuman yang berat. Sayangnya, di negeri ini, justru hukum amat rawan suap. Karena itu, walau ideal, mungkin tak efektif.

Penyuapan memang sebuah proses interaksi antara pengusaha dengan aparat pemerintah. Beberapa tahun lalu (2003) saya pernah menulis artikel yang berdjudul Tutu Tango di Harian Kompas. Ironisnya, empat tahun setelah itu, artikel itu masih relevan.

Minggu, 07 Oktober 2007

Tercapaikah target inflasi ?- MCB

Berikut tulisan saya mengenai inflasi 2007 yang berjudul Tercapaikah target inflasi? yang terbit di Harian Bisnis Indonesia hari Senin (8 Oktober 2007, hal 1) Intinya menunjukkan bahwa inflasi ternyata lebih disebabkan oleh inflasi inti (core inflation)-- yang sedikit banyak ada dibawah kendali Bank Indonesia-- ketimbang akibat inflasi dari harga yang bergejolak atau tak diatur pemerintah (volatile). Akan tercapaikah target inflasi? Bagaimana antisipasi kebijakannya?


Dalam beberapa bulan terakhir ini diskusi mengenai inflasi mengemuka di media massa. Ada semacam kekhawatiran inflasi terus merayap naik.

Tak heran bila kemudian muncul pertanyaan apakah target inflasi yang ditetapkan ((6±1 %) akan tercapai? Pertanyaan ini tidak sepenuhnya salah. Lengkapnya...

Jumat, 05 Oktober 2007

Love is not enough - MCB


David Friedman, mungkin tak dikenal luas dinegeri kita. Tulisannya dicaci dibanyak tempat dibelahan dunia. Sebabnya sederhana : ia pengajur libertarian yang paling radikal. Bukunya, yang kemudian mengundang caci maki dari mereka yang tak setuju dengan pandangan libertarian, diberi judul : The Machinery of Freedom :Guide to a Radical Capitalism, yang ditulis di tahun 1970-an.

Tentu, kita bebas untuk tak setuju pada David Friedman –anak dari pemenang nobel Milton Friedman ini. Idenya mungkin dianggap terlalu liar bagi negeri ini – yang sekian tahun hidup dalam sebuah ‘konstruksi sosial’ tentang bagaimana masyarakat harus bersikap. Namun demikian, ada satu risalah David Friedman didalam buku itu yang begitu memikat. Judulnya : Love is not enough.

Intinya, : ada tiga cara yang bisa dilakukan agar orang lain bersedia untuk melakukan suatu aktifitas yang diinginkan oleh orang lain. Cara pertama, adalah cinta. Bila seseorang mencintai orang lain dengan sepenuh hati, maka ia akan melakukan permintaan orang itu dengan sukarela. Maka dengan cinta, kita bisa mengharapkan adanya voluntary action. Cinta, mungkin adalah terminologi yang terlalu ketat untuk menjelaskan kesukarelaan. Bisa saja orang melakukan sesuatu secara sukarela karena ada tujuan yang sama. Seseorang aktif dalam kampanye hidup sehat, bukan karena ia sekedar cinta hidup sehat, tetapi ia mungkin menganggap bahwa hidup sehat itu baik baginya. Namun sayangnya, didalam realitas kita tak bisa mengharapkan semua orang mencintai kita. Tak ada orang yang bisa dicintai oleh semua orang, dan kemudian orang lain dengan sukarela melakukan apa yang diinginkan orang tersebut, terutama untuk tujuan-tujuang yang rumit. Karena itu, love is not enough.

Alternatif kedua : paksaan atau coercion. Dengan paksaan kita bisa saja membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan. Dengan coercion, kita menerapkan sanksi, hukuman dan juga tindak represi. Pilihan ini kerap efektif untuk membuat orang lain menuruti atau melakukan apa yang kita inginkan. Tetapi, sampai batas tertentu, paksaan akhirnya memiliki limitasinya. Ada biaya yang sangat besar untuk ini, pengawasan dan pelaksanaan hukum. Tindakan kekerasan tidak bisa berjalan terus menerus dan berkesinambungan. Sampai batas tertentu, paksaan atau hukum adalah sebuah syarat perlu. Mekanisme pasar pun mensyaratkan hukum. Bila tidak, bagaimana sebuah kontrak dapat dijaga, bagaimana property right dapat dijamin. Bagaimana keamanan dapat dipertahankan. Tanpa hukum akan terjadi chaos. Namun paksaan yang berlebihan akan menimbulkan resistensi yang akhirnya akan bersifat kontra produktif. Kita bisa melihat bagaimana rezim diktator di banyak negara, termasuk Indonesia, akhirnya digulingkan. Kita melihat bagaimana koersi dan represi di terjadi di Myanmar. Dan kita juga mencatat, bagaimana biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat dari sebuah negeri yang tertindas. Karena itu Friedman mengatakan ada limitasi dari paksaan.

Dengan kendala itu, ia masuk kepada alternatif ketiga : trade. Didalam trade, terjadi pertukaran. Seseorang akan bersedia melakukan aktifitas bagi kepentingan orang lain, jika kepentingannya juga diakomodasi oleh orang itu. Dengan kata lain, disini terjadi pertukaran. quid pro quo, atau ini untuk itu. Didalam konteks ini ketika seorang agen merasa bahwa dengan melakukan sesuatu hal ia akan menerima manfaat dari tindakan itu, maka keputusannya untuk melakukan suatu tindakan akan bersifat sukarela. Selama kepentingan-kepentingan itu berinteraksi, dan masing-masing pihak melihat keuntungannya melakukan transaksi satu dengan yang lain, maka selama itu pula proses interaksi sosial berjalan.

Dari kacamata inilah relasi negara dan masyarakat juga harus dipandang.Pertanyaannya adalah : apakah pola interaksi antara negara dan masyarakat memang berjalan dalam relasi saling menguntungkan. Artinya, apakah memang ada insentif bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu demi kepentingan negara dan sebaliknya. Jika ya, maka kita bisa mengharapakan proses interaksi negara dan masyarakat berjalan menurut kaidah saling menguntungkan. Sayangnya, kita kerap punya gambaran yang lain pada negeri ini. Kita bisa melihat bagaimana tuntutan negara pada masyarakat tidak bisa dipenuhi dan sebaliknya. Kemudian ketika terjadi konflik yang tajam, kita menyimpulkan bahwa tidak ada lagi kecintaan pada bangsa ini ? Love is not enough. Soalnya memang tidak cukup cinta kepada bangsa dan tanah air. Tetapi harus ada sesuatu hal yang bisa diberikan oleh negara dan sebaliknya. Dengan kata lain, ada insentif bagi orang untuk berperilaku cooperative .
Jika kemudian insentif ini tidak ada, maka seperti yang dikatakan David Friedman, proses interaksi sosial dan ekonomi akan terganggu. Dan pemerintah kemudian tak bisa lagi menyalahkan masyarakat tentang tidak adanya kecintaan pada negara. Love is not enough begitu tulis David Friedman. David Friedman terkesan terlalu liar – mungkin bagi banyak orang dianggap tak cocok dengan kultur kita. Tapi pesannya yang ditulis tahun 1970 an terasa begitu penting dihari ini. Setuju atau tidak setuju? Anda bebas untuk itu, sebebas Friedman melihat persoalan ini.

Draft buku NBER East Asia Seminar on economics-MCB

Fukao et. all menulis sebuah makalah yang menarik tentang merger dan akusisi industri di Jepang. Berbeda dengan anggapan selama ini bahwa akusisi tak berpengaruh kepada produktifitas, Fukao et.all menunjukkan ada bukti secara statistik bahwa merger dan akusisi yang dilakukan perusahaan asing ternyata meningkatkan produktifitas perusahaan-perusahaan yang diambil alih asing tersebut.

Bagi mereka yang tertarik dengan Seminar NBER tentang ekonomi East Asia bisa membaca kumpulan draft makalah tentang International Financial Issues in the Pacific Rim: Global Imbalances, Financial Liberalization, and Exchange Rate Policy, East Asia Seminar on Economics Volume 17 yang rencananya akan diterbitkan menjadi buku oleh NBER dan University of Chicago tahun depan. Buku ini diedit oleh Takatoshi Ito dan Andrew Rose. Di buku ini ada paper yang ditulis antara lain oleh dari Barry Eichengreen, Takatoshi Ito, Linda Goldberg, Michael Dooley, Peter Garber dan beberapa ekonomi lain.

Kamis, 04 Oktober 2007

Benarkah pembangunan infrastruktur mengurangi pengangguran? -MCB




Masalah pengangguran adalah problema besar negeri ini. Dan memang tak salah. Tabel disebelah kiri menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia memang relatif besar. Benar, prosentase pengangguran terbuka sudah mulai menurun dari 10.4% (Feburari 2006) menjadi 9.75% (Februari 2007). Artinya mulai ada perbaikan, namun perlu dicatat angka ini masih relatif tinggi.

Hal lain penting lainnya adalah adanya perbedaan pola penganggur terbuka di Indonesia dibanding di negara-negara maju yang memiliki tunjangan sosial. Di negara seperti Australia misalnya, ada tunjangan sosial bagi penganggur dalam jumlah tertentu. Implikasinya: mereka yang menganggur masih bisa hidup --walau tentunya dengan sangat pas-pasan. Para penganggur ini hanya akan bekerja jika upah dari pekerjaan yang mereka lakukan lebih tinggi dari tunjangan pengangguran. Mudahnya, apa gunanya bekerja kalau upahnya lebih rendah dibanding tunjangan mereka sebagai penganggur? Artinya tunjangan pengangguran disini merupakan reservation wages mereka.

Di Indonesia, kita tidak mengenal tunjangan seperti ini. Akibatnya hanya mereka yang relatif kaya yang "mampu menganggur". Pengangguran adalah barang mewah. Seorang tamatan SMA atau sarjana ,yang masih tinggal dengan orang tuannya, yang masih memiliki non-labour income, memiliki kemewahan untuk menganggur. Alasannya ada pendapatan dari orang tua atau tabungan yang memungkinkan mereka menganggur. Kelompok ini memiliki kemewahan untuk memilih pekerjaan berdasarkan upah atau kondisi kerja yang mereka sukai. Jika belum cocok, toh tak apa jadi penganggur dulu.

Namun, tak demikian halnya mereka yang miskin. Mereka yang miskin, tak punya kemewahan untuk menganggur. Jika anda miskin, tak ada tabungan, tak ada orang tua yang dapat mendukung, maka anda terpaksa bekerja apa saja. Too poor to be unemployed. Tengok saja kasus pekerja anak. Pekerja anak adalah ciri dari negara miskin, dimana kemiskinan kemudian memaksa orang tua untuk mempekerjakan anaknya.

Lalu bagaiman kita menginterpretasikan angka pengangguran terbuka di Indonesia?
Dengan tidak adanya tunjangan penganggur atau tunjangan sosial, tingkat pengangguran terbuka akan mencerminkan tingkat mereka "yang mampu untuk menganggur".
Artinya mereka yang menganggur ada kemungkinan relatif berpendidikan, kaya dan muda (SMERU 2007)



Gambar disebelah kiri mengkonfimasi argumen ini: sebagian besar penganggur di Indonesia memiliki tingkat pendidikan tamat SMA atau lebih tinggi. Prosentase penganggur yang memiliki pendidikan tamat SD atau lebih rendah jauh lebih kecil dibanding tamatan SMP ke atas atau SMA keatas.

Dan untuk mengatasi pengangguran kita membuat program pembangunan infrastruktur. Logianya: resep Keynesian ini akan menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang. Dan pengangguran pun berkurang. Sayangnya kita tak boleh terlalu cepat menyimpulkan

Pertanyannya: apakah program pembangunan infrastruktur cocok dengan karakteristik penganggur seperti ini? Dapatkah kita mengurangi pengangguran melalui program pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan jalan atau infrastruktur pedesaan? Sudah menjadi mantera, yang dipercaya mayoritas, bahwa program infrastruktur akan mampu mengatasi pengangguran. Terus terang saya tak sepenuhnya yakin akan mantera ini.

Dengan struktur penganggur yang relatif terdidik, muda, masih tinggal bersama orang tua seperti yang ditunjukkan gambar diatas dan juga SMERU (2007), sulit untuk diharapkan mayoritas kelompok ini bersedia bekerja di dalam program infrastruktur sebagai buruh konstruksi. Jenis pekerjaan buruh konstruksi seperti itu akan cocok dengan mereka yang tingkat pendidikannya SD atau lebih rendah. Mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi akan sangat enggan untuk masuk ke pasar kerja seperti ini. Kecuali jika mereka telah menjadi begitu miskin, dan tak lagi memiliki non-labour income. Artinya, argumen bahwa pembangunan infrastruktur akan menyelesaikan masalah pengangguran, tampaknya hanya benar sebagian. Ia hanya bisa menyediakan lapangan kerja bagi sebagian kelompok penganggur (dengan pendidikan SD kebawah). Proyek infrastruktur mungkin akan bermanfaat untuk menyediakan lapangan kerja bagi mereka yang miskin dan berpendidikan rendah. Program pembangunan infrastruktur mungkin akan menolong program pengentasan kemiskinan, tapi tak sepenuhnya cocok bagi penciptaan lapangan kerja untuk mereka yang berpendidikan, misalnya SMA keatas, yang merupakan porsi terbesar dari kelompok penganggur ini.

Mereka yang berpendidikan hanya akan bersedia bekerja pada sektor formal. Dan penyerapan pekerja ke sektor formal hanya akan terjadi jika ekonomi di sektor formal tumbuh cepat dan kekakuan pasar tenaga kerja yang mencegah masuknya orang ke sektor formal diatasi. Bukan hanya dengan sekedar menyediakan lapangan kerja bagi buruh konstruksi melalui program infrastruktur --seperti yang kita percaya selama ini.

Penurunan tingkat bunga - AAP


Dalam posting sebelumnya, Dede menjelaskan mengapa penurunan SBI tidak diikuti oleh turunnya tingkat bunga perbankan. Akibatnya, sektor riil tidak bergerak banyak seperti yang diharapkan. Penyebabnya adalah ketidakmampuan bank-bank membedakan peminjam berdasarkan risikonya. Karena bank bersifat menghindari risiko (risk averse) maka mereka akan cenderung menggabungkan keseimbangan tingkat bunga bagi "debitur nakal" dan "debitur baik". Ini yang disebut pooling equilibrium.

Gambar di sebelah ini meminjam konsep Rothschild-Stiglitz tentang seleksi yang meleset (adverse selection), yang biasanya diterapkan di pasar asuransi. Kita meletakkan tingkat bunga pada sumbu horisontal dan pinjaman di sumbu vertikal. Kurva merah menunjukkan perilaku "debitur nakal" dan kurva biru "debitur baik" (ditunjukkan oleh kurva utility). Garis lurus merah dan biru menunjukkan pinjaman ("balas jasa") masing-masing tipe debitur ini, jika bank dapat membedakan mereka dengan baik. Garis lurus ini adalah tingkat bunga yang dikenakan dikali dengan probabilita macetnya kredit. Karena kredit macet lebih mungkin terjadi pada debitur nakal, maka garis merah lebih datar daripada garis biru.

Jika bank bisa membedakan debitur, maka ia akan mengenakan tingkat bunga iB untuk debitur nakal dan iA untuk debitur baik. Ini bersesuaian dengan satu tingkat pinjaman yang diharapkan. Maka, keseimbangan terjadi di titik A untuk debitur baik dan B untuk debitur nakal.

Kenyataannya, informasi bersifat asimetrik. Bank tidak bisa membedakan debitur. Di sisi lain, debitur nakal maupun debitur baik lebih menyukai titik A ketimbang titik B (karena tingkat bunga yang rendah). Debitur nakal akan selalu mencoba tampil sebagai debitur baik, agar bisa terhindar dari membayar tingkat bunga yang lebih tinggi.

Untuk meminimalkan risiko, bank tidak akan mengenakan tingkat bunga di iA. Tetapi, meletakkannya di iB juga akan berisiko kehilangan sebagian besar debitur baik. Karena itu, bank akan mencari satu keseimbangan gabungan di antara A dan B. Pada akhirnya, di pasar biasanya akan lebih banyak debitur nakal ketimbang debitur baik.

Jadi, jika Bank Indonesia menurunkan tingkat bunga ke iA, belum tentu perbankan akan mengikutinya, seperti kesimpulan Dede di bawah. Implikasinya, upaya menggerakkan sektor riil tidak bisa hanya mengandalkan penurunan suku bunga acuan. Permasalahannya justru di informasi yang asimetrik. Di sinilah perlunya membangun biro kredit yang meminimumkan risiko adverse selection.

Rabu, 03 Oktober 2007

Myanmar: otoritarian adalah subsidi bagi kekerasan - MCB



Sebagian dari kita yang membaca Les Justes, drama yang ditulis Albert Camus tahun 1959, mungkin teringat ucapan Stepan Fedorov -wajah telanjang dari terorisme atau kekerasan-. Saat Yanek tak jadi melemparkan bom kepada si bangsawan karena ada dua anak kecil dalam kereta si bangsawan, Stepan meradang:
“Tidakkah kau mengerti, karena Yanek tidak membunuh dua anak kecil itu, maka ribuan anak-anak Russia akan mati dimasa depan, karena kelaparan”
Menyedihkan, terorisme atau kekerasan selalu memiliki filsafatnya sendiri. Kadang ideologi, kadang ekonomi.

Dan hari-hari ini di Myanmar kita melihat bagaimana opresi dan kekerasan dilakukan oleh rezim otoritarian terhadap gerakan pro demokrasi.
Otoritarian, sebenarnya adalah sebuah subdisi bagi kekerasan. Dalam sistem otoritarian, harga dari kekerasan begitu murah karena tak ada check and balances . Untuk apa repot repot dengan peradilan, dengan hukum, jika masalah dapat diselesaikan dengan efisien melalui cara represi. Paling tidak begitu rasionalitas dari sebuah sistem otoritarian seperti di Myanmar.

Mungkin menarik untuk melihat bagimana otoritarian merupakan sebuah subsidi bagi kekerasan. Bagaimana kita menjelaskan hal ini?

Bayangkan sebuah model maksimisasi kepuasan sederhana. Tentu untuk abstraksi yang lebih tepat, analisis ini harus dikembangkan lebih jauh. Namun setidaknya ia mampu menjelaskan mengapa permintaan terhadapa kekerasan akan selalu meningkat dalam sistem otoritarian.

Anggaplah bahwa junta militer Myanmar ingin memaksimumkan aspirasi politiknya dengan dua kombinasi pilihan: kekerasan (violence) atau tanpa kekerasan (non violence). Jika kita menganggap bahwa 2 pilihan itu adalah barang normal yang bisa dikonsumsi, maka pilihan atas kedua tindakan tersebut akan sangat tergantung kepada harga dari masing-masing pilihan.
Titik keseimbangan awal terjadi di titik A, dimana konsumsi violence adalah sebesar V1 dan non-violence adalah NV1. Dalam sistem otoritarian, harga violence menjadi relatif lebih murah, hal ini tercermin dari bergesernya budget line. Kondisi keseimbangan baru terjadi pada titik C, dimana permintaan kekerasan menjadi lebih banyak (meningkat dari V1 ke V3) dan konsumsi non-violenc menurun dari NV1 ke NV3. Efek substitusi akibat perubahan harga ini dicerminkan dari perpindahan A ke B.

Analisis sederhana ini menunjukkan jika harga dari tindak violence itu menjadi murah secara relatif terhadap harga tindakan non violence, maka konsumen akan mengkonsumsi tindak kekerasan. Dan begitu pula sebaliknya. Lalu apa arti permainan analisis diatas ? Sebenarnya analisis ini membawa kita untuk mengupas masalah ini secara mendasar , karena harga dari kekerasan sebenarnya mencerminkan pengorbanan yang harus diberikan jika pilihan itu diambil. Dengan kata lain ketika institusi politik menjadi begitu tak berdayanya dan mandek, serta tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi begitu murahnya- dalam arti dapat terjadi dengan leluasa dilakukan oleh negara-- maka “permintaan akan violence” akan meningkat. Atau sebaliknya jika jalan non violence dapat memberikan hasil yang lebih baik atau hanya menuntut pengorbanan yang relatif kecil dibandingkan cara-cara violence, maka tindakan non violence akan menjadi pilihan yang lebih menarik. Disinilah kita berbicara tentang pentingnya aspek pelembagaan politik dan pentingnya penghargaan terhadap hak-hak manusia. Dan disini pula kita melihat bahwa masalah kekerasan , baik yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat adalah resultante dari pelembagaan politik. Bila kekerasan masih kerap terjadi, maka hal ini sebenarnya merefleksikan bagaimana masih lemahnya dan terkebelakangnya aspek institusi politik yang menunjang demokratisasi. Semakin otoriter sistem, maka semakin mahal harga non violence atau semakin murah harga violence. Sehingga secara tidak langsung sistem politik yang otoriter sebenarnya adalah sebuah “subsidi bagi pilihan kekerasan”. Itu sebabnya, sikap represif junta militer Myanmar adalah resultante dari pilihan rasional sistem otoritarian.

Apakah kapitalis asing menghisap pekerja lokal? - AAP


Paling tidak, Marx percaya itu? Begitupula para pengikutnya. Dan berbagai aksi demo dan gerakan mahasiswa, buruh, atau yang mengatasnamakan buruh seringkali mengangkat isu betapa perusahaan multinasional asing dianggap melakukan eksploitasi berlebihan atas buruh di Indonesia. Paling tidak, poster-poster mereka berkata begitu.

Apakah betul perusahaan multinasional asing menzalimi pekerja lokal? Tentu ada berbagai metode untuk mencoba menjawab pertanyaan ini. Salah satunya adalah membandingkan tingkat upah yang dibayarkan oleh perusahaan asing dan yang dibayarkan perusahaan domestik. Logikanya, jika jawaban atas pertanyaan di atas adalah ’ya’, maka seharusnya upah pekerja di perusahaan asing lebih rendah daripada jika ia bekerja di perusahaan domestik.

Grafik-grafik di sebelah (data dari Lipsey dan Sjöholm, dalam Ramstetter dan Sjöholm, 2006 - klik grafik untuk perbesar) menunjukkan rasio antara upah rata-rata di perusahaan asing dan perusahaan domestik di sektor manufaktur. Dalam hampir semua subsektor, rasio tersebut lebih dari satu. Artinya, tingkat upah di perusahan asing lebih tinggi daripada tingkat upah di perusahaan yang dimiliki swasta domestik.

Mungkin kita lalu bertanya: boleh jadi perbedaan upah itu dikarenakan oleh perbedaan tingkat pendidikan, teknologi di perusahaan, dan sebagainya. Ternyata, setelah faktor-faktor ini dikeluarkan, tingkat upah di perusahaan asing tetap lebih tinggi 25-50 persen di atas tingkat upah di perusahaan swasta domestik (Lipsey dan Sjöholm, 2004, J. of Dev.Econ 73:415-22).

Selasa, 02 Oktober 2007

Burukkah impor? - MCB



Ada satu kepercayaan bahwa impor itu buruk. Karena itu dalam sebagian besar diskusi, orang selalu bicara dengan nada tinggi tentang bahaya impor. Keberhasilan juga kerap dinilai kalau kita mengurangi impor. Logikanya, kalau banyak impor, kita tergantung negara lain, devisa akan keluar, ekonomi tak bisa bersaing, akhirnya pertumbuhan ekonomi mandek. Menarik, mitos ini hidup dan selalu di elus-elus setiap waktu.



Disisi lain kita juga kuatir dengan impor karena argumen konsumerisme.
Sayangnya data empiris tak mendukung mitos ini, atau kepercayaan yang dianut mayoritas ini. Lihat saja grafik-grafik disebelah kiri. Ada pola yang sama antara pertumbuhan ekonomi dan impor dalam senjang satu triwulan. Tentu mereka yang belajar ekonomi ditingkat dasar akan bicara: impor tergantung pendapatan. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, semakin tinggi pula impor. Namun jika kita melihat hubungan impor dan pertumbuhan ekonomi atau investasi, seperti pada grafik-grafik disebelah kiri, maka kita akan mendapatkan bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan investasi selalu didahului oleh kenaikan impor. Disini impor berlaku seperti leading indicator. Artinya kalau impor naik, maka satu atau dua triwulan setelah itu investasi akan naik dan PDB juga akan naik.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Mudah saja: sekitar 90% dari impor kita terdiri dari barang modal dan bahan baku. Kalau impor barang modal dan bahan baku naik, itu artinya perusahaan sudah mulai melakukan produksi atau melakukan ekspansi produksi. Tak akan ada perusahaan yang akan mengimpor barang modal dan bahan baku, kalau hanya akan ditumpuk jadi stok. Peningkatan impor barang berarti ekspansi produksi Akibatnya investasi naik, output juga naik.
Karena itu impor tak selamanya buruk seperti bayangan kita. Malah buat negara seperti Indonesia --dalam situasi pertumbuhan tinggi -- yang seharusnya terjadi adalah defisit dalam neraca transaksi berjalan. Defisit dalam transaksi berjalan menunjukkan kondisi tabungan yang lebih kecil dibanding investasi. Defisit dalam transaksi berjalan konsisten dengan kebutuhan investasi yang tinggi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Kondisi saat ini, dimana transaksi berjalan surplus, justru menunjukkan keengganan orang untuk berinvestasi. Implikasinya: tabungan lebih besar dibanding investasi.

Itu sebabnya beberapa studi tentang Jepang dan negara Asia lain , malah percaya dengan istilah import led growth atau impor mendorong pertumbuhan.

Ternyata impor tak seburuk yang kita bayangkan. Kalau benar argumentasi itu, maka sebenarnya tak perlu kekuatiran yang berlebihan soal masuknya impor atau liberalisasi perdagangan. Menarik: bukti empiris memang kerap mengganggu mitos dan mempertanyakan berbagai keluhan yang selama ini dianggap benar. Mungkin karena itu fakta empiris kerap merisaukan dan tak menyenangkan banyak pihak yang ingin selalu dilindungi dari impor, atau mereka yang selalu berteriak dengan nada was-was: AWAS IMPOR

Senin, 01 Oktober 2007

Benarkan Bulog menstabilkan harga? - AAP



Tujuan pemerintah, paling tidak seperti yang diberitakan di koran, dalam memberikan hak monopoli impor kepada Bulog adalah agar yang terakhir ini dapat "menstabilkan harga beras". Seperti kita ketahui, Bulog diberi mandat serupa praktis selama Orde Baru sebelum tahun 1998. Pada tahun 1999-2004, monopoli Bulog dicabut.

Apakah Bulog memang menstabilkan harga? Salah satu cara sederhana untuk menjawab pertanyaan ini adalah dengan melihat koefisien variasi harga beras. Koefisien variasi adalah rasio dari deviasi standar atas rata-rata. Ia menunjukkan derajat variasi dari deret-waktu di seputar rata-ratanya (yang dianggap merepresentasikan keadaan "normal"). Dengannya, kita bisa membandingkan variabilitas antara satu deret-waktu dengan deret-waktu yang lain. Jika memang Bulog menstabilkan harga beras, maka seharusnya harga beras ketika Bulog memegang hak monopoli impor lebih stabil (variabilitasnya lebih kecil) ketimbang ketika hak itu dicabut. Artinya, koefisien variasi dari deret-waktu harga lebih kecil pada saat Bulog bekerja ketimbang waktu yang lain.

Tabel di atas (Bahri dan Rosner, 2003) menunjukkan bahwa koefisien variasi harga beras pada jaman Bulog lebih besar daripada ketika hak monopoli Bulog dicabut. Dengan metode yang sama, kita bisa melihat apa yang terjadi di kota-kota besar sentra produksi dan konsumsi di Indonesia, seperti terlihat di tabel di bawah (LPEM-UI, 2005). Sekali lagi, jika koefisien variasi dapat memberikan gambaran kemampuan stabilisasi harga, maka tampaknya jawabannya negatif.
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: Oktober 2007 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates