Senin, 31 Desember 2007

Faktor non-ekonomi (menanggapi MCB) - Akhmad Rizal Shidiq

Catatan pendek ini tanggapan dari tulisan menarik MCB dengan judul Faktor Non Ekonomi. MCB menolak ketergesa-gesaan untuk menggunakan istilah faktor non-ekonomi, --misalnya faktor budaya--, dalam analisa, -- misalnya korupsi--, yang sebenarnya masih bisa menggunakan alat ukur standar biaya-manfaat.

Saya jadi ingat tulisan lama dari Gary Becker dari Chicago tahun 1974, The Economic Approach to Human Behavior , yang kemudian bersama dengan The Methodology of Positive Economics dari Milton Friedman menjadi semacam manifesto atau proklamasi dari apa yang sering disebut, dengan sinis, imperialisme ilmu ekonomi terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya.

Becker menulis bahwa yang disebut pendekatan ala ilmu ekonomi itu terdiri dari tiga hal: Pertama, asumsi perilaku maksimisasi dari agen ekonomi. Kedua, adanya pasar yang dengan berbagai derajat efisiensi mengatur tindakan (action) dari agen ekonomi. Dan ketiga, adanya preferensi yang stabil terhadap berbagai bentuk-bentuk pilihan (objects of choice). Tiga hal inilah yang kemudian membedakan ekonomi dari ilmu sosial lainnya.

Soalnya kemudian begini: Jika misalnya terjadi situasi di mana ada peluang atau kesempatan yang tidak dieksploitasi agen-agen ekonomi (yang katanya maximizer) --misalnya ada duit seratus ribu tergeletak di pinggir jalan--; ilmu ekonomi tidak akan buru-buru menyatakannya sebagai faktor perbedaan budaya, atau pergeseran nilai (shift of value). Alih-alih ilmu ekonomi membuat semacam postulat: terdapat biaya-biaya yang menghalangi agen mengambil kesempatan tersebut, yang tidak dengan mudah dapat diamati pihak di luar transaksi.

Apakah postulat ini lazim dalam metodologi ilmiah? Ya. Fisika, biologi, kimia, lazim menggunakan postulat semacam ini untuk menggenapi sebuah sistem yang diamati. Soalnya adalah apakah hal ini bermanfaat dan bukan hanya sekedar menjadi semacam tautologi kosong? Ya, kata Becker. Sebab asumsi preferensi (values) yang stabil antar manusia dan antar waktu, memberikan landasan yang bermanfaat untuk memprediksi respon dari berbagai perubahan variabel, lanjutnya.

Bersama Stigler, Becker kemudian menulis De Gustibus Non est Disputandum tahun 1977, yang mendukung klaim soal preferensi (taste, value) yang stabil tersebut, sekaligus memperkenalkan variabel untuk menjembatani analisa maksimisasi, yang mereka sebut sebagai consumption capital. Dari sini muncul analisa-analisa ekonomi untuk hal-hal yang dulunya berada di luar domain ekonomi standar misalnya soal diskriminasi, fertilitas, keluarga, pernikahan, dan sebagainya, yang membawa Becker ke Swedia untuk hadiah Nobel, dan melahirkan generasi baru semacam Freakonomics Steve Levitt.

Juga ketidaknyamanan dari teman-teman dari ilmu-ilmu sosial non ekonomi.

Pertanyaan yang sering muncul dari teman-teman tersebut adalah di mana letaknya struktur (sosial) dalam pendekatan ekonomi. Becker menjawab singkat dalam satu kalimat: sistem pasar dan instrumen-instrumennya menjalankan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh “struktur” dalam teori-teori sosiologi. Dengan pernyataan semacam ini, saya tidak heran reaksi seperti apa yang akan muncul di sana.

Lalu di mana kontribusi ilmu-ilmu yang lain, baik sosial maupun eksakta? Kata Becker lagi, itu letaknya pada pengaruhnya terhadap pemahaman terhadap choices dan production possibilities yang tersedia bagi agen ekonomi.

Katakanlah antropologi misalnya. Ilmu tersebut membantu ekonomi mengidentifikasi dengan lebih baik pilihan-pilihan (dan biaya-biayanya) --misalnya untuk korupsi--, yang kemudian dianalisa dengan prinsip maksimisasi biaya manfaat standar (jargon teknisnya: maksimisasi pada saat marginal benefit dari korupsi sama dengan marginal cost nya (misalnya tertangkap polisi, atau hukuman sosial).

Posisi semacam ini, bisa dimengerti, menyebalkan betul buat antropologi.

Tetapi saya kira ekonom juga tidak teramat menyebalkan. Tentu wajar bagi tiap profesi

untuk percaya bahwa profesinya tersebut bisa menyelesaikan suatu soal, dengan cara yang, pada derajat tertentu, lebih baik ketimbang profesi yang lain. Kalau tidak ada keyakinan semacam itu, buat apa kita memilih profesi kita saat ini, bukan?

Selepas Friedman, Becker, dan Chicago School, yang amat kuat pengaruhnya tidak hanya dalam akademis tetapi juga kebijakan, apakah kemudian agenda ilmiah mencari metodologi ekonomi yang pas berhenti di sini?

Tidak. Metodologi ilmu ekonomi terus berkembang. Setidaknya sampai sekarang, buat saya, tercatat beberapa perkembangan menarik. Yang pertama adalah soal bagaimana logika metodologi berbasis mikroekonomi seperti yang di atas berlaku untuk agregat? Thomas Schelling saya kira pionir di sini, sekaligus menandai masuknya analisa game theory dalam merekatkan perilaku antar individu menjadi perilaku agregat. Proyek ini berhasil masuk menjadi bagian integral metodologi ilmu ekonomi --dan membuat pusing para mahasiswa pascasarjana nya.

Kedua, soal pembentukan preferensi. Daniel Kahneman, dengan latar belakang psikologi adalah dedengkot garis depan untuk hal ini. Dan ketiga, dalam soal perilaku maksimisasi, experimental economics, dengan ernon Smith sebagai figur utamanya, saya kira menjanjikan kontribusi besar dalam metodologi ilmu ekonomi.

Menarik untuk ditunggu, apakah dua hal terakhir nantinya secara integral masuk ke dalam buku standar pengajaran ilmu ekonomi. Walaupun begitu, buat saya, sama seperti MCB, dengan metodologi yang ada sekarang pun, ilmu ekonomi berguna untuk memberikan jawaban pada banyak hal, tanpa perlu tergesa-gesa mengkambinghitamkan soal-soal semacam perbedaan budaya dan nilai.

Jadi kita tunggu saja.

** Akhmad Rizal Shidiq adalah dosen FEUI, peneliti LPEM, dan anggota Cafe Salemba. Rizal menulis dari George Mason University.


Jumat, 28 Desember 2007

Faktor non-ekonomi - MCB

Ketika saya kuliah dulu, ada satu mata kuliah yang diberi nama Faktor Non-Ekonomi dalam Pembangunan. Pengajarnya: Prof. Dordojatun Kuntjoro-Jakti. Dordojatun adalah dosen yang baik dalam membawa mahasiswa untuk tertarik terhadap sesuatu hal. Didalam kelas ini kita belajar berbagai hal, soal-soal non ekonomi, yang berpengaruh dalam pembangunan ekonomi. Bagi ekonom, ini adalah hal yang amat penting. Karena kritik yang sering muncul mengatakan bahwa ekonom kerap tak mengindahkan faktor non-ekoonomi. Saya kira kritik ini punya dasarnya, namun ada baiknya kita tak membuat faktor non-ekonomi sebagai kerangjang sampah penjelas semua faktor. Artinya ketika kita tak mampu menjelaskan sesuatu hal, maka kita kemudian mengatakan soalnya adalah non-ekonomi, soalnya adalah budaya, atau soalnya adalah moral. Bila ini terus terjadi, faktor non-ekonomi menjadi pelarian dari semua kegagalan analisis. Karena itu saya ingin menunjukkan bahwa berbagai hal yang dianggap sebagai faktor non-ekonomi dan kerap dianggap sebagai penjelas motif ekonomi pun ternyata tak sebaik penjelasan ekonomi.

Misalnya soal korupsi. Kita sering mendengar bahwa korupsi adalah bagian dari budaya kita. Bahkan ada antropolog dan sosiolog yang secara spesifik merujuk kepada pola dan perilaku pada suku tertentu. Misalnya, suku Jawa, Dijelaskan bahwa struktur Deva Raja dan Priyayi (yayi itu artinya adik raja) telah tumbuh sejak dulu. Dan dalam sejarahnya Deva Raja memberikan hak tanah kepada priyayi untuk kemudian disewakan. Priyayi kemudian membayar upeti dan begitu seterusnya. Artinya komersialisasi jabatan telah terjadi sejak dulu. Upeti adalah bagian dari budaya Jawa. Yang menarik: pola yang sama juga terjadi diberbagai belahan bumi termasuk di Cina, di Afrika dan Amerika Latin. Kalau kita percaya bahwa penjelasannya adalah budaya Jawa, maka itu berarti kita juga percaya bahwa pengaruh budaya Jawa sebegitu kuatnya, sehingga mempengaruhi kebudayaan Cina, di Afrika dan juga Amerika Latin. Rasanya agak terlalu fantastis menyimpulkan begitu. Saya kira analisa benefit dan cost masih mampu menjelaskan korupsi. Korupsi akan selalu terjadi ketika "manfaat" dari tindak korupsi lebih besar dibanding "biaya atau pengorbanan" yang harus ditanggung ketika orang melakukan aktifitas korupsi. Jika pengawasan tak ada, maka praktis biaya melakukan korupsi nol. Dalam sistem seperti ini secara rasional orang akan cenderung korup. Karena itu walau Indonesia adalah negara Pancasila atau negara dengan penduduk Muslim terbesar tak ada jaminan bahwa korupsi akan kecil. Apapun budayanya, latar belakangnya selama sistem yang ada tak membuat biaya melakukan korupsi lebih besar dibanding manfaatnya orang akan korup. Kita melihat di negara yang agnostic tingkat korupsi justru rendah. Apakah kita lalu menyimpulkan bahwa karena ia agnostic maka ia tidak korup? Kalau kita percaya ini, artinya kita cenderung suka kepada fantasi.

Soal lain adalah keserakahan. Kapitalisme erat dan selalu dikaitkan dengan keserakahan. Bahkan sebagian dari kita mungkin masih ingat kepada film kuno dari Oliver Stone yang berjudul Wall Street. Disana ditampilkan tokoh Gordon Gekko (yang diperankan oleh Michael Douglas dengan sangat baik). Gekko adalah prototipe orang yang berani dengan tegas mengatakan Greed is good. Dengan lancar Gekko akan berbicara dan mengutip Giambattista Vico dari abad ke 18 yang mengatakan: justru dari kebengisan dan ambisi manusia telah lahir berbagai hal yang baik di dunia. Bukankah keserakahan yang telah mendorong orang untuk menemukan teknologi untuk menjadi lebih. Kita cenderung sepakat dan mengatakan bahwa tindakan ekonomi kerap didorong oleh keserakahan. Jika kita percaya itu, ada baiknya kita membaca Thomas Sowell dalam bukunya Basic Economics: A Citizen's Guide to the Economy. Dengan baik Sowell menulis:
Jika greed menjadi penjelas harga-harga yang mahal dalam transaksi ekonomi, maka pertanyaannya adalah mengapa harga berbeda dari satu tempat ke tempat lain? Apakah keserakahan bervariasi sebesar itu dan memiliki pola yang sama? Di Los Angeles basin misalnya, rumah tepi pantai lebih mahal ketimbang rumah sejenis yang terletak di daerah yang berkabut. Apakah ini berarti udara yang bebas kabut akan mendorong keserakahan, atau kabut membuat keserakahan menurun?

Sowell tentu agak sedikit sinis didalam penjelasannya. Tetapi ia kemudian menjelaskan bahwa pesoalannya bukanlah keserakahan tetapi lebih karena interaksi antara hukum permintaan dan penawaran. Tentu supply dan demand bisa dijelaskan lebih kompleks lagi dan akan ada diskusi yang amat panjang soal ini. Namun yang ingin saya katakan,ketidakmampuan kita didalam analisis seringkali membuat kita mencari alasan dengan mengatakan bahwa soalnya adalah faktor non-ekonomi atau kalau tdak kita lari kedalam penjelasa teori konspirasi. Kalau benar begitu teori konspirasi dan faktor non-ekonomi akan mirip seperti obat gosok dikaki lima yang sanggup menyembuhkan semua penyakit mulai dari jantung, gatal-gatal, kanker sampai encok --artinya ia sanggup menjelaskan semua hal.

Rabu, 26 Desember 2007

APBN 2008 (baca : Politik Anggaran 2008)


Tidak peduli seberapa indah janji-janji yang diucapkan politisi ketika berkampanye, pembuktiannya adalah pada anggaran. Politik anggaran suatu pemerintahan pasti mencerminkan keberpihakan dan orientasi pembangunan pemerintahan tersebut, seberapa besar kue pembangunan yang akan dialokasikan kepada masing-masing komponen masyarakat tentunya memperlihatkan keberpihakan dan orientasi tersebut. Karenanya selalu menarik memerhatikan bagaimana anggaran itu disusun, karena dengan memahaminya kita akan mengetahui kemana pemerintahan akan berjalan setahun kedepan. Karena sifatnya yang strategis itu pula, maka seringkali pertimbangan dalam menyusun anggaran bukan berdasarkan pertimbangan ekonomi semata, tetapi juga pertimbangan politik. Maka tidak heran ketika R-APBN diajukan oleh pemerintah selalu saja banyak kritikan yang dilontarkan dari berbagai pihak, yang ekonom protes karena logika ekonomi mereka kadang bertentangan dengan anggaran tersebut, sementara yang politisi protes karena logika politik mereka kadang juga tidak bisa mengerti, ”mengapa kepentingan saya kurang diakomodasi dalam anggaran?” Di APBN 2008 ini ada beberapa hal yang menarik terkait perkembangan terakhir berbagai peristiwa yang terjadi dalam skala nasional maupun internasional yang akhirnya memengaruhi politik anggaran yang dijalankan pemerintah seperti Pemilu 2009 yang sudah di depan mata dan kenaikan harga minyak dunia yang tidak wajar. Di APBN 2008 kita akan melihat bagaimana pemerintah bereaksi terhadap berbagai stimulus tadi, yang juga akan memperlihatkan keberpihakan dan orientasi pembangunan pemerintah. Setidaknya di APBN 2008 ini politik anggaran pemerintah dapat kita lihat dari berbagai asumsi yang dipakai yang memperlihatkan bahwa pertimbangan dalam penyusunan APBN bukan pertimbangan ekonomi semata, melainkan juga pertimbangan politik.

1. Asumsi Harga Minyak Dunia
Di APBN 2008 asumsi harga minyak dunia dipatok di angka US$ 60/barel, padahal harga minyak mentah dunia saat ini berfluktuasi pada kisaran US$ 90/barel. Ada beberapa alasan kenapa pemerintah tidak mengubah asumsi harga minyak. Yang pertama karena asumsi harga minyak yang dipakai akan menentukan besarnya Dana Perimbangan yang harus diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemda. Dana perimbangan itu sifatnya block grant dan diberikan di awal tahun, jadi jika asumsi harga minyak terlalu tinggi sementara realisasinya selama tahun 2008 ternyata rendah Pemerintah Pusat akan rugi karena harus membayar lebih mahal kepada Pemda. Disini kita melihat tarik-menarik kepentingan antara pusat dan daerah.


Yang kedua karena harga fundamental minyak dunia saat ini memang berada pada kisaran US$60-70/barel. Sementara kenaikan sampai menembus level US$90/barel adalah karena faktor non-fundamental. Faktor fundamental adalah genuine supply dan genuine demand terhadap minyak, sedangkan faktor non-fundamental adalah faktor geopolitik. Secara fundamental permintaan minyak mengalami kenaikan akibat pesatnya pertumbuhan China dan India yang meminta banyak energi. Juga dimulainya musim dingin di negara-negara subtropis yang tentunya memakan banyak energi. Secara non-fundamental, kenaikan harga minyak disebabkan oleh isu-isu yang terus digelindingkan di kawasan timur tengah. Kerugian investasi di kredit perumahan akibat krisis subprime mortgage membuat para spekulan mencari cara untuk mengompensasi kerugian tersebut, diantaranya dengan bermain di pasar future minyak di Amerika. Transaksi-transaksi future yang mereka lakukan memungkinkan mereka menangguk untung ketika harga minyak naik, akhirnya hal itu terefleksikan dari kebijakan luar negeri Amerika yang selalu mengacak-acak Iran dan Irak yang mengakibatkan harga minyak naik. Disini dapat kita lihat betapa dekat hubungan antara pengusaha dengan penguasa di Amerika, tidak mengherankan mengingat Presiden Bush pun seorang pengusaha minyak. Jadi harga minyak tinggi ataupun rendah sebenarnya merupakan faktor eksternal bagi kita, yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha meningkatkan lifting/produksi minyak kita sehingga mampu menambah penerimaan negara. Jadi, karena berharap faktor non-fundamental menghilang di tahun 2008, pemerintah tetap tidak menaikkan asumsi harga minyak di APBN 2008.


Yang ketiga karena dengan menaikkan asumsi harga minyak sama saja pemerintah mengakui bahwa defisit anggaran akan membengkak karena status Indonesia saat ini adalah net importer minyak. Jika demikian, maka konsekuensinya tentu saja kita harus memerbesar sumber pembiayaan untuk menutupi defisit anggaran tersebut yang diantaranya adalah dengan penambahan utang luar negeri, privatisasi BUMN maupun penerbitan SUN. Nah, hal inilah yang tidak disukai pemerintah karena pilihan untuk menambah utang luar negeri maupun memprivatisasi BUMN sangat tidak populis dan ongkos politiknya terlalu besar menjelang Pemilu 2009, semangat memertahankan kekuasaan tampaknya akan mencegah pemerintah mengambil kebijakan yang tidak populis, sehingga mungkin pilihan rasionalnya adalah penerbitan SUN. Namun penerbitan SUN yang berlebihan nantinya akan menimbulkan crowding out effect, yaitu kondisi ketika investasi di sektor swasta, yang pastinya memiliki risiko, menjadi berkurang jumlahnya akibat dananya tersedot ke pembiayaan negara yang bersifat bebas risiko. Hal ini tentunya tidak baik untuk pertumbuhan investasi domestik Indonesia dan jika pemerintah tidak menyalurkan dana itu untuk membiayai investasi yang dapat menyerap tenaga kerja maka dapat memicu meluasnya pengangguran dan kemiskinan. Dalam skenario asumsi harga minyak dinaikkan jelas dana itu tidak digunakan pemerintah untuk membiayai investasi, melainkan untuk konsumsi minyak. Selain itu ada pula risiko dari peningkatan defisit anggaran, yaitu meningkatnya Debt to GDP Ratio (Rasio Utang dibanding PDB) Indonesia yang akan memengaruhi peringkat risiko Indonesia di mata investor. Lagi-lagi masalahnya investasi, pembukaan lapangan kerja, angka kemiskinan dan pertumbuhan. Jadi pemerintah ingin menghindari asumsi harga minyak tinggi karena asumsi itu akan membawa pada asumsi yang lain, yaitu bahwa mereka harus memerbanyak sumber-sumber pembiayaan yang seluruhnya tidak populer di mata masyarakat. Sebenarnya bisa saja defisit anggaran tidak bertambah, yaitu dengan menaikkan harga minyak di masyarakat, namun sekali lagi hal itu terlalu mahal ongkos politiknya menjelang 2009.

2. Asumsi Lifting Minyak
Di APBN 2008 pemerintah mengasumsikan lifting/pengangkatan minyak mentah Indonesia sebesar 1,034 juta barel/hari, padahal akhir-akhir ini tren lifting minyak Indonesia hanya sebesar 950 ribu barel/hari. Asumsi ini jika tidak tercapai dikhawatirkan akan menambah defisit anggaran akibat berkurangnya pemasukan dari produksi minyak. Efek dari meningkatnya defisit anggaran sudah disebutkan sebelumnya. Alasan pemerintah mempertahankan asumsi ini adalah karena ada optimisme bahwa beberapa sumur minyak seperti blok Cepu sudah dapat beroperasi tahun depan. Namun jika dilihat dari tren lifting minyak selama delapan tahun terakhir, kecenderungannya selalu terkoreksi kebawah artinya tidak memenuhi target. Disini terlihat lagi bahwa pemerintah berusaha menghindari skenario APBN 2008 defisit terlalu banyak, hal ini jelas untuk menjaga citra pemerintahan saat ini sebagai pemerintahan yang tidak banyak utang dan tidak suka menjual BUMN.

3. Asumsi Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 sebesar 6,8% dari sebelumnya 6,3% pada tahun 2007. Sedangkan inflasi tahun 2008 diasumsikan sebesar 6% dari sebelumnya 6,5% pada tahun 2007. Hal ini berarti pemerintah menginginkan pertumbuhan naik sementara inflasi turun, sebuah hal yang sulit diterima secara logika ekonomi. Kenaikan pertumbuhan diharapkan mampu didorong dari pengeluaran pemerintah di bidang infrastruktur yang anggarannya diperbesar di APBN 2008 ini. Pengerjaan proyek-proyek infrastruktur yang menyerap banyak tenaga kerja ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, walaupun tidak pasti juga berapa besar efek injeksi pemerintah tersebut terhadap pertumbuhan.


Sementara itu masih sulit juga untuk melihat jalur mana yang memungkinkan inflasi bisa turun, apalagi peningkatan pengeluaran pemerintah di bidang infrastruktur dan subsidi di APBN 2008 ini pastinya akan meningkatkan daya beli masyarakat yang dapat mengerek harga-harga juga. Namun jika pembangunan berbagai infrastruktur tersebut tidak memakan banyak waktu (dilakukan di awal tahun) dan dapat memperlancar arus barang kemungkinan dapat menekan laju inflasi di tahun 2008. Tapi melihat tren yang terjadi di Indonesia, sulit rasanya mengharapkan hal itu terjadi.


Entah apa yang menyebabkan pemerintah berani membuat asumsi pertumbuhan dan inflasi yang ”menentang” logika ekonomi itu, apakah hal ini terkait politik citra menjelang 2009 juga atau bukan. Dimana-mana ketika pertumbuhan diharapkan meningkat kita juga harus bersiap dengan inflasi yang meningkat, apalagi ini Indonesia, dimana pertumbuhan 60%-nya didukung oleh konsumsi. Yang jelas peningkatan pengeluaran pemerintah di bidang infrastruktur dan subsidi (yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat) jelas dapat dipandang sebagai politik citra pemerintah menjelang Pemilu 2009.



Hasil Kajian Internal
Departemen Kajian Strategis SM FEUI

Minggu, 23 Desember 2007

Ketika Rekening Pemerintah Ditertibkan-MCB

Berikut adalah tulisan saya di Harian Kompas, 24 Desember 2007, hal 1


ANALISIS EKONOMI
Ketika Rekening Pemerintah Ditertibkan


Pesan terpenting dari sejarah mungkin adalah pesan tentang kesalahan. Sejarah panjang birokrasi agaknya bisa bercerita tentang bagaimana perencanaan bisa meleset, prosedur bisa macet, dan mesin birokrasi bisa mandek. Dalam kemandekan, kadang timbul improvisasi untuk mencari jalan pintas, untuk membuat mesin tetap berjalan.

Minggu lalu media masa ramai mengulas soal temuan Tim Penertiban Rekening Pemerintah tentang sejumlah rekening yang tidak dilaporkan—atau oleh media disebut sebagai "rekening liar". Sejarah rekening yang tak dilaporkan barangkali sebuah sejarah tentang improvisasi di tengah kemandekan birokrasi. Selengkapnya...

Konspirasi-MCB

Mengapa ada kecenderungan kita untuk begitu senang dengan teori konspirasi? Setiap kali kita melihat sebuah keputusan politik dibuat, atau kebijakan ekonomi dilahirkan, dikepala kita selalu muncul: ini adalah skenario Amerika Serikat atau negara maju. Ada semacam sikap, yang mengingatkan saya pada sebuah film Woody Allen, tentang seorang Western Liberal dengan Western guilty feeling. Sikapnya kurang lebih begini: bahwa yang salah selalu si Barat, segala sesuatu yang buruk di negara berkembang disebabkan oleh Barat. Noam Chomsky, saya kira sampai derajat tertentu punya sikap seperti ini. Ironisnya, tak disadari oleh banyak orang, sikap yang seperti membela ini, sebenarnya adalah sikap yang amat merendahkan negara berkembang. Logikanya, jika semua kesalahan hanya bisa dibuat oleh si Barat, itu artinya negara berkembang tak mampu berbuat apa-apa. Bahkan untuk berbuat dosa pun, negara berkembang tak sanggup. Ini mirip orientalisme baru.

Kegemaran kita akan konspirasi sebenarnya menunjukkan sikap kita yang tak percaya kepada diri sendiri. Mengapa kita selalu bicara tentang bahaya Neo-liberal atau komunisme? Jika kita yakin dan cukup percaya diri bahwa Pancasila atau keyakinan bangsa kita kuat, maka kita tak perlu kuatir dengan itu semua. Bukankah Amerika Serikat atau China tak pernah berbicara tentang pengaruh bahaya Pancasila didalam ideologi mereka? Setiap kali kita kuatir dan mulai menyusun teori konspirasi, setiap kali itu pula kita tahu: kita tak pernah percaya akan kekuatan bangsa sendiri. Dan menganggap bahwa bangsa ini begitu bodoh, sehingga bisa didikte diatur hanya oleh sekelompok orang. Secara tidak langsung, cara berpikir seperti ini amat merendahkan kita sendiri.

Kondisi ini kemudian mengingatkan saya kepada film tua Forrest Gump yang mendapat hadiah Oscar. Forrest Gump bercerita tentang tokoh yang "biasa” dengan cerita yang juga "biasa-biasa" saja. Sebuah film kadang menarik bukan karena ia menampilkan kekuatan atau keluarbiasaan si tokoh, tetapi justru karena ia bersikap "biasa-biasa" saja terhadap hidup yang sudah tidak " biasa" ini. Forrest Gump adalah seorang tokoh yang lugu dan ditampilkan secara karikatural. Sebuah parodi tentang orang jujur --atau mungkin orang bodoh--. Dan seperti biasa, kita tidak pernah bisa mengharap sebuah pameran kepahlawan dari seorang yang bodoh dan kelewat jujur -- terus terang dalam situasi dunia saat ini sudah semakin sulit bagi kita untuk membedakan mana bodoh dan mana jujur -- . Tapi disini cerita itu kemudian menjadi menarik, karena dalam keseharian kita sekarang ini, ada sebuah kecenderungan untuk mengidentikkan sikap sederhana, jujur dan bersahaja sebagai bahagian dari satu sikap protes. Bagian inilah yang kemudian mendapatkan tempatnya dalam teori persekongkolan. Dalam konteks teori persekongkolan sikap bersahaja bisa saja diterjemahkan sebagai suatu produk menentang kemapanan.

Pendeknya kita telah dikonstruksi oleh bayangan kita tentang sesuatu. Kita selalu berpikir dalam kerangka bahwa ada sesuatu motif besar dibalik setiap tindakan. Didalam kepala kita telah ada kamus yang siap menterjemahkan setiap motif manusia. Ada satu permainan politik dibalik setiap sikap. Karena itu kesederhanaan dan kebersahajaan pun merupakan satu protes. Sesorang yang berpakaian ala "seorang seniman" ditengah para Yuppies akan dikatakan pemberontak. Rambut gondrong pun kemudian punya arti sebagai satu simbol kebebasan. Musik juga dapat diterjemahkan sebagai suatu pemberontakan. Kesenian kemudian memiliki misi. Segala sesuatu harus punya motif. Barangkali itu ada benarnya, bahwa tidak ada satu tindakan pun yang berjalan tanpa satu motif yang perlu diperhitungkan. Tapi bila itu benar, agaknya kita masih tejerat dalam fenomena tahun 1960 dan 70 an, ketika sebuah generasi muncul dalam hiruk pikuk pemberontakan. Dimana rambut gondrong dan menghisap ganja adalah bagian dari upaya menentang kemapanan. Kita mungkin masih terjerat dengan kerangka pemikiran kita "yang terlalu pintar". Dimana semua fenomena sosial dan hubungan manusia di konstruksi dalam kerangka atau kiri atau kanan, atau barat atau timur, atau menghina atau mendukung dan berbagai klasifikasi lainnya. Kita telah mengkonstruksi segala sesuatu dengan format skenario yang kita punya dan kemudian kita terjemahkan dalam konteks itu.

Karena itulah ketika Forrest Gump dalam film itu memutuskan untuk berlari selama lebih dari tiga tahun, tidak ada satu orangpun yang percaya, bahwa ia berlari hanya karena sekadar karena ia ingin berlari. Dan para wartawan pun bertanya," Apakah anda berlari untuk perdamaian ? Apakah anda berlari untuk suatu rekor ?" Dan segala macam pertanyaan. Dan tak ada seorangpun yang percaya bahwa ia berlari hanya karena ia ingin berlari. Tetapi mungkin ada baiknya juga bila kita sadari bahwa manusia tak harus selamanya pintar. Ia kadang-kadang punya sesuatu yang dia lakukan hanya karena motif yang sederhana. Seseorang yang duduk menatap Istana Merdeka di Jakarta berjam-jam bukan kemudian berarti seorang mata-mata atau seseorang yang ingin menjadi Presiden, ia bisa saja seorang dari desa yang terkejut melihat: "Kok ada satu rumah kosong yang dikawal begitu ketat". Ada hal-hal yang mungkin berada diluar "skenario" kita yang "pintar" ini.

Saya jadi teringat pada satu diskusi Ariel Heryanto di Australian National University beberapa tahun yang lalu. Ariel berkisah bagaimana pemerintah melarang kaset Atiek CB karena ada gambar palu dan arit di sana. Ariel bercerita bagaimana anak-anak kecil bermain "PKI-PKI an" dimana sebagian anak menjadi "Pak Harto dan RPKAD" dan sebagian lagi menjadi "PKI". Tidak ada satu motif politik disana. Anak-anak kecil itu hanya merekam apa yang mereka lihat di televisi setiap tahun di tanggal 30 September. Dan kemudian mereka mainkan dalam dunia mereka sehari-hari. Permainan PKI-PKI an ini toh tak ada bedanya dengan permainan petak umpet atau perang-perangan "dor nama" yang sering kita mainkan dulu ketika kita masih kecil.

Sayangnya dijaman yang serba tak biasa ini, kita sudah tak sanggup lagi melihat satu persoalan yang sederhana. Dan kita pun kemudian mendengar Mozart dengan kerangka filsafat yang dalam, kita melihat lukisan Renoir dengan tinjauan restrospektif atau kita melihat humor dari misi politik yang ia sampaikan. Kalau betul begitu, maka segalanya kemudian hanya tersisa buat "orang pintar". Lalu bagaimana dengan mereka yang "tak pintar" ? Padahal dalam banyak hal, suatu peristiwa dapat terjadi dalam konteks yang bebas dari misi dan persekongkolan. Begitu pula dengan kesenian, seperti yang pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad, kesenian tak membuat kita menjadi lebih kuat atau lebih pintar. Karena ia hanya sekedar menautkan kembali ikatan kita dengan hidup : mungkin dengan harum tanah, bau rumput atau suara burung gereja . Disini kita kembali bereksperimen dengan kebebasan : termasuk kebebasan untuk lepas dari suatu misi dan persekongkolan. Dalam dataran ini mungkin independensi dan kemungkinan munculnya suatu pemikiran alternatif justru terbuka. Mengutip Goenawan, konon karena itu bahkan sosialisme pun tidak pernah berhasil mengontrol para penyair. Karena sebuah kekuatan birokrasi pemerintahan, struktur politik dan partai barangkali tak akan pernah bisa menangkap kebebasan perasaan hati. Saya jadi tak tahu lagi apa yang pasti hari ini. Tapi saya kira agaknya kita memang sudah menjadi terlalu rumit

Penyerangan terhadap Ahmadiyah-MCB

Saya kira sikap Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memerintahkan Polisi untuk bertindak terhadap para penyerang aliran Ahmadiyah patut dipuji. Kita tahu, sikap itu bukanlah sikap yang populer, namun itu adalah sebuah sikap yang berani untuk menyelamatkan kebebasan dan pluralisme. Pertanyaan yang paling mendasar, apakah seseorang atau sekelompok orang berhak diadili atau dihukum atau diserang hanya karena ia memiliki cara pikir, cara pandang dan keyakinan yang berbeda dengan kita? Yang menyedihkan, tak banyak orang atau media yang berani mengangkat ini. Saya mencoba mencari di Google, dan tak banyak yang bisa saya temukan. Saya kira, di negeri ini ada kecenderungan para tokoh atau media untuk berani dan tajam mengkritik pemerintah --karena secara politis mungkin akan menguntungkan dan dianggap pahlawan-- tetapi menjadi begitu pendiam dan bungkam ketika harus berbeda atau mengkritik mayoritas. Itulah sebabnya blog ini secara khusus memuat kalimat Henrik Ibsen tentang bahaya tirani mayoritas. Karena itu sikap Wakil Presiden Jusuf Kalla pantas dipuji.

Rabu, 19 Desember 2007

Global Warming is not cool - MCB

Berikut tulisan saya di Bisnis Indonesia, hal 1, Senin 17 December 2007

Analisis Ekonomi


Global warming is not cool

Global warming is not cool. Kelakar itu benar dalam arti sesungguhnya. Perubahan iklim memang bukan sesuatu yang asyik, bukan pula sesuatu yang menyejukkan bagi kita.

Indonesia tidak sendiri. Berbagai belahan bumi juga mengalami hal yang sama.

Perubahan iklim terjadi sejak lama. Dampak dari perubahan tersebut mulai terlihat dari meningkatnya temperatur bumi. Akibatnya, di masa depan bukan tidak mungkin glaciers akan mencair yang menimbulkan potensi banjir dan naiknya permukaan laut.

Di sisi lain, pemanasan global mengakibatkan kekeringan di belahan bumi lain. Siklus dari el-nino menjadi semakin pendek. Akibatnya, produksi pangan dunia akan terganggu.

Kenaikan temperatur juga akan mengganggu ekosistem. Produksi pangan yang menurun dan banjir akan membuat negara-negara miskin semakin sulit..... Selengkapnya

Roket, ekspektasi dan tingkat bunga- MCB

Berikut adalah tulisan saya di Bisnis Indonesia, hal.1, Selasa 11 December 2007,


Analisis Ekonomi


Roket, ekspektasi & tingkat bunga



Keputusan Bank Indonesia pekan lalu menurunkan BI Rate ditanggapi positif oleh berbagai kalangan. Saya kira keputusan mempertahankan SBI menjadi 8% pada akhir 2007 adalah tepat.
Kita tahu ada ekspektasi yang tinggi terhadap BI untuk terus menurunkan tingkat bunganya, bahkan sampai jauh di bawah 8%. Padahal, di tengah situasi global yang tidak pasti, tekanan inflasi akibat harga minyak mentah dunia yang melambung tinggi, kendala sisi penawaran, dan masalah informasi yang tidak simetris antara bank dan peminjam, kebijakan moneter harus tetap dijaga dengan hati-hati. Kehati-hatian ini membantu meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter.

Memang selalu ada godaan bagi bank sentral di mana pun untuk 'terlibat' dalam isu lain di luar kebijakan moneter, seperti mendorong pertumbuhan atau menurunkan pengangguran. Kita mungkin masih ingat, hampir empat puluh tahun lalu pembuat kebijakan dan para ekonom cenderung sepakat dengan argumen tingkat pengangguran yang rendah dapat dicapai dengan "sedikit mengorbankan inflasi."....Selengkapnya
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: Desember 2007 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates