Minggu, 07 Desember 2008

Ketika Harga Solar tidak “Ikut” Turun

Pemerintah akhirnya menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) setelah terjadinya penurunan harga minyak mentah dunia. Data terakhir menunjukkan bahwa harga minyak mentah dunia mencapai 60 US$ per barrel. Kecenderungan penurunan harga minyak sedikit banyak dipengaruhi oleh krisis global yang melanda dunia. Krisis Subripme Mortgage dan krisis finansial yang terjadi diseantero dunia mempengaruhi perkembangan harga minyak mentah itu sendiri. Ketika permintaan akan minyak relatif menurun sebagai akibat menurunnya derived demand manufakturing dan konsumsi minyak, sementara produksi menjadi excess supply sebagai akibat penyesuaian kenaikan harga dalam 6 bulan yang lalu, sehingga menyebabkan harga minyak mentah dunia menjadi turun sejak krisis terjadi.

Ketika masyarakat melihat kecenderungan harga minyak yang mengalami depresiasi, banyak orang yang menuntut pemerintah untuk menurunkan harga BBM. Seperti kita ketahui, sejak presiden SBY memerintah negeri ini, beliau telah menurunkan harga BBM sebanyak dua kali. Sebuah kebijakan yang sama sekali tidak pro rakyat walaupun itu juga dikatakan cuma oleh segelintir orang. Namun pada dasarnya BBM mempunyai pengaruh yang begitu besar terhadap kehidupan masyarakat. Ketika harga BBM dinaikkan, tingkat kemiskinan langsung meningkat pesat, harga makanan pokok serta biaya transportasi juga ikut naik. Karena itulah masyarakat menuntut pemerintah untuk menurunkan harga BBM. Karena mereka berpikir sudah saatnya harga BBM diturunkan sehingga diharapkan bisa memperbaiki kondisi kehidupan mereka.
Premium Turun, Solar “belum”

Awal November, pemerintah melalui menteri keuangan, Ibu Sri Mulyani akhirnya mengumumkan penurunan harga minyak bersubsidi. Namun apa yang diharapkan selama ini tidak menjadi kenyataan karena BBM yang diturunkan cuma harga premiun bersubsidi. Dari Rp 6.000/liter menjadi Rp 5.500/liter, turun sebesar Rp 500 atau sekitar 8,3% sedangkan harga solar masih dipertimbangkan untuk turun. Penurunan ini jelas-jelas tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat selama ini. Kebanyakan dari mereka merasa kecewa dengan keputusan pemerintah yang dianggap terlalu kecil menurunkan harga premium ditambah lagi dengan tidak berubahnya harga solar.

Kita tentunya menjadi bertanya-tanya apa yang menyebabkan pemerintah “hanya” menurunkan harga premium sedangkan harga solar tetap berada pada angka Rp 5.500/liter. Apakah ada unsur politik dalam kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Karena logikanya ketika harga minyak dunia mencapai level 60 US$ dan nilai tukar rupiah terhadap dolar sekitar Rp 10.000 maka biaya pokok produksi solar menjadi Rp 5.000/liter. Sehingga pemerintah bisa menurunkan harga solar dari harga sekarang sebesar Rp 5.500/liter menjadi Rp 5.000/ liter. Walaupun begitu kita juga tidak bisa segampang itu mengatakan harga solar bisa turun sebesar Rp 500 karena kita tidak tahu berapa biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk memproduksi minyak. Bahkan Kwik Kian Gie, mantan menteri Bappenas mengatakan bahwa biaya produksi BBM cuma sebesar Rp 3.000/liter. Sehingga kita harus paham betul cost structure dalam memproduksi BBM secara rinci dan jelas.

Kenapa hanya premium yang turun

Paskah Suzetta mengungkapkan ada dua faktor yang menyebabkan harga premium diturunkan, sedangkan solar tidak. Pertama adalah selisih antara harga jual premium di dalam negeri dan harga jual di pasar internasional jauh lebih kecil dibandingkan selisih antara harga jual solar dan minyak tanah di dalam negeri dan di pasar internasional. Maksudnya disini adalah ketika pemerintah menurunkan harga premium dalam negeri selisih harga jual dalam negeri dengan harga internasional kecil sehingga pemerintah lebih memilih untuk menurunkan harga premium. Hal ini juga dilandasi kemungkinan penyelundupan minyak keluar negeri menjadi lebih kecil. Lain halnya ketika pemerintah menurunkan harga solar, ketika perbedaan harga solar didalam negeri dan diluar negeri sudah besar maka apabila pemerintah ikut menurunkan harga solar maka selisih antara harga dalam negeri dan internasional akan menjadi besar. Hal ini bisa menyebabkan tingkat penyelundupan menjadi lebih tinggi, walaupun faktor penurunan harga bukan hanya karena masalah penyelundupan BBM.
Faktor kedua adalah, volume konsumsi premium di dalam negeri terbesar dibandingkan bahan bakar minyak lain. Seperti kita ketahui premium digunakan untuk bahan bakar kendaraan bermotor dan tingkat pengguna kendaraan bermotor di Indonesia sangat besar. Untuk pengguna sepeda motor saja mencapai angka 35 juta. Ketika pemerintah menurunkan harga premium tentunya akan berpengaruh terhadap 35 juta kendaraan bermotor tadi. Sehingga faktor tersebut menjadi alasan kenapa pemerintah lebih memilih untuk menurunkan harga premium ketimbang harga solar.

Solar Bisa Saja Turun

Pemerintah tentunya juga mempunyai rencana untuk menurunkan harga solar. Karena solar mempunyai manfaat yang begitu besar untuk masyarakat dan juga untuk perekonomian sebuah negara. Solar berfungsi untuk angkutan distribusi barang, khususnya dari pelabuhan membawa komoditi pabrik. Kalau harga solar diturunkan bisa membantu sektor riil tetap bergerak. Nelayan bisa melaut. Begitu pula dengan petani juga akan terbantu. Mereka bisa membayar biaya angkut hasil pertanian ke pasar jadi lebih murah. Biaya operasional truk pabrik untuk mendistribusikan barang juga lebih rendah. Dengan berkurangnya biaya angkut ini, tentunya akan mendorong harga barang ikut turun. Oleh karena itu tidak diturunkannya harga solar kala harga premium diturunkan menyebabkan adanya ketidakseimbangan.
Ketika kondisi diatas terjadi, pemerintah sudah mulai berancang-ancang untuk menurunkan harga solar. Namun pemerintah akan menurunkan harga solar tersebut dengan syarat harga minyak dunia berada pada posisi 60 US$ selama 1-2 bulan atau minimal stabil pada kondisi tersebut. Selain harga minyak dunia, pemerintah juga mencermati perkembangan kurs rupiah terhadap dollar AS dan besaran subsidi BBM sebelum memutuskan menurunkan harga solar bersubsidi. Sesuai perbedaan harga subsidi, jika harga minyak dunia turun, maka harga premium adalah yang pertama akan menyentuh harga internasional, selanjutnya solar dan terakhir minyak tanah. Cuma masalahnya sekarang kita harus evaluasi terus pada setiap bulannya agar APBN tidak terpengaruh .

Subsidi yang Harus Dikeluarkan

Sampai oktober realisasi subsidi mencapai 130 triliun melewati pagu APBN perubahan sebesar 126,82 triliun. Realisasi subsidi Oktober 2008 terdiri atas subsidi bahan bakar premium Rp 42,01 triliun, minyak tanah Rp 43,9 triliun, solar Rp 41,79 triliun, dan ditambah subsidi elpiji 3 kilogram sebesar Rp 3,21 triliun. Kelebihan subsidi dari sektor minyak dan gas tersebut disebabkan oleh pengalihan konsumsi oleh industri ke bahan bakar bersubsidi.
Data simulasi pemerintah menunjukkan, besaran subsidi akan melebihi anggaran pada besaran harga minyak 45 dolar AS per barel, dengan perkiraan subsidi akhir tahun Rp 127,53 triliun. Pada harga minyak 50 dolar AS per barel, subsidi 2008 diperkirakan mencapai Rp 129,56 triliun. Realisasi subsidi diperkirakan terus meningkat seiring dengan naiknya harga minyak Indonesia, yakni Rp 131,56 triliun pada ICP 55 dolar AS per barel hingga Rp 141,71 triliun pada ICP 80 dolar AS per barel. Itu pun dengan asumsi kurs Rp 9.795 per dolar AS.

Sebenarnya subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut merupakan opportunity cost yang dikeluarkan pemerintah. Karena biaya tersebut bisa menjadi biaya pendidikan, kesehatan dan banyak biaya yang bisa digunakan untuk kepentingan rakyat. Sehingga pada akhirnya ketika subsidi itu terpakai untuk biaya BBM sesungguhnya yang rugi adalah rakyat itu sendiri. Berikut ada diagram yang menunjukkan pemakai subsidi BBM yang diberikan oleh pemerintah.




Sumber : Financial Times

Kita bisa melihat sendiri bahwa hampir 50% subsidi BBM itu dinikmati oleh orang kaya. 10% terkaya menikmati 45% subsidi BBM dan 20% terkaya menikmati 43% subsidi BBM, sehingga pada kenyataannya subsidi BBM yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak tepat sasaran. Subsidi tersebut malah dinikmati oleh orang-orang kaya yang seharusnya tidak pantas menikmati subisidi tersebut.
Kesimpulan

Harga solar bisa turun apabila harga minyak mentah dunia tetap stabil pada kisaran 62 US$ dalam kisaran dua bulan kedepan dan juga harus melihat kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar amerika dalam beberapa bulan kedepan. Apabila kondisi tersebut telah terpenuhi, maka penurunan harga solar tinggal menunggu waktu. Namun ketika penurunan harga BBM cuma Rp 500 atau penurunan BBM sangat kecil, sejatinya kebijakan tersebut tidak memberikan efek yang begitu besar terhadap masyarakat. Kebijakan itu pada nantinya hanya akan menjadi sebuah kebijakan politik semata, bukan kebijakan yang bertujuan untuk mensejahterakan rakyat.

Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Rabu, 19 November 2008

Dari Pertemuan G-20 - MCB

Berikut tulisan saya di Harian Bisnis Indonesia, Rabu 20 November, 2008,
hal 1

Angin segar dari pertemuan G-20

National Building Museum, Washington DC, 15 2008. Di gedung yang dibangun pada 1882-1887 ini dilangsungkan pertemuan kepala negara dari G-20. Sebuah perhelatan yang ditunggu oleh banyak pihak. Banyak yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap hasil pertemuan ini. Tak sepenuhnya salah. Dunia saat ini membutuhkan jawaban. Berbagai pernyataan dan pandangan muncul. Selengkapnya

Sabtu, 15 November 2008

Will the Crisis Return?

AS adalah negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia yang kontribusi GDP-nya 27,5% dari GDP dunia. Bandingkan dengan negara-negara Asia yang hanya menyumbang GDP 38,6% dan Uni Eropa 24,6% (blomberg,2005). AS juga merupakan sebuah perekonomian yang ‘disebut-sebut’ sebagai kiblat perekonomian dunia. Sebuah perekonomian yang juga menjadi simbol Neoliberalisme-Kapitalisme dunia. Kenapa mesti harus jatuh lagi dan mengalami economic disaster semacam ini?

“Sebodoh-bodohnya keledai, ia tak akan pernah jatuh kelubang yang sama untuk yang kedua kalinya” Mungkin ini peribahasa yang tepat untuk melukiskan apa yang terjadi dalam perekonomian AS akhir-akhir ini. Tahun 1995-2000 AS pernah mengalami booming ekonomi. Teknologi dan perusahaan dotcom mengalami gelembung kesuksesan yang luar biasa. Setiap tahunnya puluhan ribu perusahaan dotcom baru lahir dan banyak mendulang kesuksesan. Tapi gelembung perekonomian ini terjadi hanya dipasar finansial saja. Uang dan modal bertumbuh jauh lebih cepat dari produksi barang dan jasa yang diciptakannya. Sektor finansial bergerak dengan pertumbuhan yang luar biasa namun sekaligus meninggalkan jauh pertumbuhan sektor riil. Pada akhirnya pasar akan dengan sendirinya terkoreksi (self-regulating) demikian kata pengusung paham Neoliberal.Dan memang benar, pasar mengalami koreksi, dan koreksi itu adalah koreksi yang menyakitkan dengan hancurnya pasar finansial AS karena ratusan ribu perusahaan dotcom bangkrut dan sebagai akibatnya perekonomian AS menggalami resesi hebat tahun 2001(Stiglitz,2004)

Dari resesi inilah krisis keuangan global sekarang ini dimulai. Melihat banyaknya perusahaan dotcom yang tak mampu membayar pinjaman ke bank, The Fed mengambil inisiatif untuk menurunkan suku bunga. Ide penurunan suku bunga ini sebagai stimulus industri bisa bangkit lagi. Keadaan ini dimanfaatkan oleh developer dan perusahaan pembiayaan perumahan untuk pembangunan perumahan yang dijual dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat yang sebenarnya belum layak memilikinya. Skema pembiayaan ini dikenal dengan sebutan subprime mortgage ( KPR murah). Industri properti dengan program subprime mortgage menjadi tempat investasi favorite para investor. Terlebih lembaga-lembaga rating investasi seperti Moody’s dan Standards & Poors memeberi nilai ‘A’ untuk nilai investasinya. Dengan kondisi yang seperti ini, institusi-institusi keuangan raksasa AS seperti Lehman Brothers, Merill Lynch, Citi Group dan Morgan Stanley turut serta berinvestasi di kredit Subprime mortgage ini. Krisis ini bermula ketika trend harga minyak semakin tinggin sebagai akibat dari permainan investor serta spekulan di pasar komoditas.Tren kenaikan harga minyak ini mengakibatkan inflasi AS semakin tinggi. Kenaikan inflasi ini mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunganya secara bertahap dan mencapai puncaknya pada angka 5,25% dibulan Juni 2006. Kenaikan suku bunga secara langsung juga menaikkan suku bunga kredit pinjaman subprime mortgage. Kenaikan suku bunga kredit pinjaman itulah yang menyebabkan gagalnya pembayaran dan akhirnya terjadi kredit macet. Yang jadi masalah adalah kredit macet ini melibatkan 2,2 juta warga AS dengan total nilai sebesar US$ 950 miliar dan menyeret institusi-institusi keuangan raksasa AS yang juga memiliki modal sangat besar di Eropa dan juga Asia (NK APBN-P 2008).

Krisis yang diakibatkan oleh krisis subprime mortgage ini menjadi krisis keuangan terbesar sepanjang sejarah setelah krisis Asia 97/98. Sulit dibayangkan ketika institusi-institusi keuangan raksasa seperti Lehman Brothers, Bear Stearns, Merrill Lynch, AIG, Freddie Mac dan Fannie Mae, sebagai lembaga finansial raksasa AS, ketika dulu masih bisa selamat menghadapi resesi ekonomi AS paska serangan teroris tahun 2001. Mereka masih bisa selamat manghadapi resesi ekonomi dunia akibat embargo minyak OPEC tahun 1973 dan selamat menghadapi dua perang dunia. Mereka juga selamat menghadapi resesi ekonomi dunia tahun 1930-an yang sering disebut 'the great depression", akibat krisis keuangan AS pada 1929. Namun, mereka tidak selamat menghadapi krisis kredit pembelian rumah (KPR) subprime di AS pada 2007/2008. Artinya, terpuruknya beberapa lembaga keuangan terbesar di dunia tersebut adalah indikasi bahwa permasalahan ekonomi AS dan dunia sekarang memang jauh lebih parah dari perkiraan sebelumnya! Krisis sekarang ini akan jauh lebih luas pengaruhnya di dunia karena pusat krisis ini adalah negara dengan penguasaan GDP lebih dari seperempat GDP dunia dan merupakan negara yang menguasai kapitalisasi market lebih dari 50% dunia.Selain itu krisis ini juga tidak memberikan tempat investasi yang aman bagi para investor. Semua bank dan investment banking saling tidak percaya. Jika saat krisis Asia para investor bisa memindahkan modalnya ke tempat-tempat yang aman untuk investasi seperti di AS, Eropa dan Jepang. Sekarang tidak ada. Semua orang panik! Dan yang terpikirkan hanyalah menyelamatkan uang dan modal mereka dari kehancuran pasar. Tidak berlebihan jika kemudian akhirnya AS mengesahkan UU Bailout Plan sebesar 700 miliar dollar AS, membeli surat berharga 900 miliar dollar AS untuk menyelamatkan perusahaan perusahaan yang akan bangkrut.Inggris juga melakukan hal yang sama. Pemrintahannya memberikan pinjaman dan suntikan dana ke pasar sebesar 500 miliar poundsterling dan menjamin semua utang di bank.(Bisnis Indonesia,9/10/08)
Dampak Terhadap Ekonomi Indonesia.

Bagaimanakah krisis global ini berpengaruh kepada perekonomian Indonesia? Akankah krisis ekonomi 1998 akan terulang kembali? Apakah justru pengaruh ini akan lebih serius dan dalam jika dibandingkan dengan krisis sepuluh tahun silam?

Mari kita coba lagi flashback sebentar dengan krisis ekonomi 98. Ada dua pendapat besar yang menjelaskan kenapa krisis itu terjadi. Pertama, Paul Krugman. Pakar ekonomi Internasional Princeton University dan peraih nobelekonomi 2008 ini mengatakan bahwa krisis tersebut dimulai dari krisis nilai tukar Bath Thailand yang kemudian menyebar secara sistemik spekulatif dan ‘menghancurkan’ nilai tukar rupiah (contagion effect).Krisis nilai tukar rupiah ini yang kemudian menjadikan baik pemerintah maupun swasta mengalami gagal bayar utang pinjaman dan menyebabkan kepanikan pasar finasial yang kemudian diikuti bank rush besar-besaran dan merontokkan perbankan-perbankan kita yang sebenarnya memang sudah rapuh. Kedua, Jefrey D Sachs dan IMF. Mereka mengatakan, penyebab utama krisis ekonomi 98 adalah rapuhnya sistem perbankan kita sebagai institusi keuangan yang menjadi intermediary utama dengan sektor riil. Sebenarnya krisis nilai tukar rupiah tidak akan menjadi krisis ekonomi jika fundamental perbankan dan institusi keuangan kita baik, bersih dan perform. Tapi nyatanya tidak. Institusi keuangannya rapuh, resiko tinggi karena ikut bermain dengan pasar spekulative, dan melakukan peminjaman dalam mata uang asing di luar batas kemampuan. Pertanyaannya adalah bagaimanakah dengan kondisi perekonomian kita sekarang? Apakah sama atau beda dengan 98? Apakah fundamental makro ekonomi kita lebih kuat atau justru lebih lemah dibanding krisis 98?Dan apa kemungkinan-kemungkinan yang terjadi? Secara umum ada dua kemungkinan yang akan terjadi dengan perekonomian indonesia terkait dengan krisis global ini.
Pertama, krisis global ini hanyalah krisis biasa dan sementara. Ini adalah kemungkinan yang diyakini oleh pemerintah dan ekonom-ekonom neoliberal-UI.Orang-orang yang berdiri di belakang argumen ini adalah Sri Mulyani, Miranda Goeltom, Chatib Basri dll. Menurut mereka ini hanya krisis finansial saja dan tidak akan menjadi krisis ekonomi. Apa yang terjadi sekarang ini hanyalah kepanikan para investor dan trader di bursa. Kalau pun berpengaruh, itu hanya di pasar finansial saja. Fundamental ekonomi kita bagus. NPL hanya 1,42%. LDR masih dibawah 80%. CAR sampai Agustus 2008 16%. PDB masih 6%. Nilai tukar rupiah hanya terdepresiasi 5 % terhadap dollar AS. Inflasi y-o-y hanya naik dua kali lipat, lebih rendah dibanding negara lain yang mencapai 3-4 kali lipat.Dan cadangan devisa kita cukup banyak sebesar US $ 57 miliar (Trust, 13-19/10/08).

Kedua, krisis ini akan lebih parah dari 98 (jika salah dalam penangan dan pengambilan kebijakan). Ini adalah kemungkinan yang diyakini dari pihak-pihak oposisi pemerintah dan ekonom-ekonom oposan. Mereka yang dibelakang argumen ini ada Rizal Ramli, Hendri Saparini, Aviliani dll. Mereka mengatakan jika dikatakan fundamental ekonomi kuat salah besar. Justru fundamental kita sangat tidak meyakinkan. Fundamental makro baru dikatakan kuat jika PDB kita 3 kali lipat dibandingkan pertumbuhan penduduk (Padahal pertumbuhan penduduk kita 2,6% per tahun dan PDB hanya 6%). Benarkah cadangan devisa US $ 57 miliar kita cukup banyak? Jika dibandingkan dengan Cina dan India ya tidak seberapa. Cina memiliki cadangan devisa US $ 1,8 triliun dan India US$ 400miliar dollar. Dengan devisa yang jauh lebih besar tersebut, kedua negara ini masih sangat cemas dengan pergolakan krisis finasial global saat ini. Lihat saja, bagaimana dalam satu bulan terkahir saja BI harus kehilangan US $ 2 miliar untuk mengintervensi rupiah. Dan entah mengapa tiba-tiba BI tidak lagi mau menginformasikan berapa cadangan devisa terakhir? Kenapa? Apakah takut untuk di’habisi’ dengan para spekulator? Belum lagi neraca perdagangan kita yang sudah deficit. Bulan Juli deficit kita sudah mencapai angka US$ 270 juta. Padahal negara-negara tujuan ekspor utama kita seperti AS, Uni Eropa dan Singapura jelas-jelas terbelit dengan krisis global sekarang ini. Ini pasti akan berdampak besar terhadap ekspor kita. Disaat bersamaan kita juga mngalami defisit perdagangan dengan negara-negara Asia. Defisit dengan Singapura US$ 612 juta, Thailand US$ 369 juta dan dengan Cina US $ 2,7 miliar (Trust, 13-19/10/08). Disamping itu Cina pasti akan memindahkan tujuan utama ekspornya dari AS dan Uni Eropa ke Asia. Dan para pengamat melihat bahwa Indonesia akan menjadi sasaran utama produk-produk Cina tersebut. Apalagi pemerintah Indonesia sekarang lagi ‘suka-suka’nya melakukan liberalisasi perdagangan dan memangkas tarif bea masuk impor, jika demikian halnya, praktis kita akan kebanjiran produk-produk Cina dan produk-produk domestik kita akan tergusur dengan sendirinya (AS saja menyerah dengan serangan produk-produk Cina, apalagi Indonesia?).
Menguji Kebijakan

Kebijakan BI menaikkan BI rate sebesar 0,25% menjadi 9,5% menjadi perdebatan di kalangan para ahli. Kenapa BI rate dinaikkan padahal di negara-negara lain suku bunga diturunkan? BI berargumen bahwa ini dilakukan untuk meredam inflasi yang semakin tinggi dan mencegah capital outfolw. Tapi apakah ini sudah berjalan efektif? Ternyata tidak. Kenaikan BI rate tidak membuat investor tetap memarkir uangnya di BEI dan SBI. September kemarin, capital outflow dari BEI mencapai angka Rp.22 triliun rupiah sehingga IHSG turun 10% dan perdagangan di bursa dihentikan selama dua hari. Tidak hanya itu, modal asing yang diinvestasikan di SBI berkurang lebih dari Rp.30 triliun. Ini belum uang dan modal yang keluar dari dunia perbankan dan instrumen investasi lainnya. Pasti lebih besar lagi karena tingkat resikonya lebih tinggi. Jika kenaikan ini tidak bisa mengerem pelarian modal, kenapa harus diteruskan? Bukannya justru dengan kenaikan ini menyebabkan aliran modal ke sektor riil semakin tersendat dan para pelaku usaha akan semakin berat melakukan pembayaran bunga dan pendanaannya? Bisa dibayangkan, jika pasar saham kita anjlok, kurs rupiah terus melemah, ekspor kita menurun secara drastis dan fundamental makro kita tidak sebagus yang kita saksikan, pelarian modal yang tak kunjung hentinya serta berkurangnya devisa kita akibat intervensi di pasar valas ditambah lagi tersendatnya sektor riil akibat BI rate dinaikkan, bukankah ini semua tidak menutup kemungkinan mengubah krisis finasial yang sekarang terjadi menjadi krisis ekonomi yang lebih parah lagi. Dan kemungkinan terjadi krisis seperti 98 itu bukan suatu yang mustahil. Apalagi sumber krisis sekarang adalah AS bukan Thailand.

Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Minggu, 19 Oktober 2008

Mengurangi Multiplier Kecemasan-MCB

Berikut adalah tulisan saya di Harian Kompas, tanggal 20 Oktober 2008, hal 1

Mengurangi "Multiplier" Kecemasan

M Chatib Basri

Amerika Serikat hari ini adalah negeri yang cemas dan panik. Gejolak keuangan telah membawa akibat bangkrutnya banyak lembaga keuangan di sana. Akibatnya, neraca (balance sheet) berbagai lembaga keuangan mengalami tekanan. Perbankan membutuhkan injeksi modal untuk rekapitalisasi.

Kecemasan ini saya rasakan awal Oktober di Brookings Institution di Washington DC, AS, ketika duduk bersama sejumlah ekonom di dalam Asian Economic Panel. Dalam sesi yang dipimpin Jeffrey Sachs itu dijelaskan betapa muramnya situasi di AS. Martin Bailey, penasihat ekonomi Presiden Clinton, berbicara: AS akan mengalami pertumbuhan negatif sampai dengan paruh kedua 2009. Tak berhenti di sana, AS juga ”mengekspor” kecemasan, kepanikan, dan kerugian ke seluruh dunia. Selengkapnya

Mengkaji 5 jurus antisipasi krisis-MCB

Nerikut tulisan saya di Bisnis Indonesia, Hari Jumat, 17 Oktober 2008


Mengkaji 5 jurus antisipasi krisis
oleh : Muhammad Chatib Basri (Direktur LPEM-FEUI)

Cetak Kirim ke Teman Komentar
Mereka yang pesimistis mengatakan ekonomi dunia saat ini dalam situasi yang paling sulit. Penilaian ini tidak sepenuhnya salah.

Di Indonesia, orang mulai bertanya-tanya apakah krisis 1997-1998 akan terulang? Situasinya saya kira berbeda.

Diversifikasi risiko, misalnya, saat ini lebih baik. Sebelum krisis 1997-1998, kita terbiasa dengan nilai tukar mengambang terkendali. Tidak ada gunanya melakukan hedging, karena toh rupiah secara teratur hanya terdepresiasi 5% setahun.

Saat ini, nilai tukar bergerak bebas, pelaku ekonomi praktis mulai membiasakan diri untuk menempatkan asetnya dalam berbagai bentuk, termasuk mata uang asing dan berbagai instrumen lain.

Jadi, jika terjadi kejutan dalam nilai tukar, kepanikan tidak akan sebesar pada 1997, di mana aset hanya terkonsentrasi dalam nilai rupiah. Selain itu, ada perbedaan yang mendasar antara krisis ekonomi pada 1997-1998 dan situasi saat ini.

Krisis ekonomi pada 1997-1998 adalah home grown but not home alone, ia tumbuh dan berkembang karena persoalan domestik, walaupun kita tidak sendiri. Sementara itu, gejolak saat ini sepenuhnya disebabkan oleh faktor eksternal yang terjadi di AS.

Oleh karena itu, dalam situasi saat ini betapapun kuatnya fundamental suatu negara, ia tidak akan sepenuhnya immune terhadap krisis keuangan di AS. Akibat krisis keuangan itu, balance sheet perbankan di AS mengalami tekanan dan membutuhkan dana yang besar untuk rekapitalisasi. Selengkapnya

Rabu, 15 Oktober 2008

Fungsi dan Peranan Kadin Masih Diragukan

Kadin merupakan organisasi yang dibentuk oleh seluruh pengusaha Indonesia. Dimana berdasarkan pada sejarah terbetuknya, Kadin (Kamar Dagang dan Industri) memiliki tanggung jawab dalam membina dan mengembangkan kerjasama sinergistik yang seimbang dan selaras, baik sektoral maupun non-sektoral, antara skala daerah, nasional maupun internasional, dalam rangka menciptakan iklim usaha yang sehat dan dinamis. Dengan fungsi yang sedemikian kompleks, diharapkan kondisi perdagangan di Indonesia dapat berjalan dengan baik. Perdagangan baik yang dimaksud ialah mampu menciptakan hubungan yang harmonis antara pemerintah dan pengusaha, yang pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak. Sebagai organisasi perantara, Kadin terbentuk atas dasar Undang-Undang Nomor 1 Tahun1987. Dalam Undang-Undang tersebut tertuang bahwa Kadin dibentuk oleh seluruh pengusaha Indonesia yang bergerak dibidang usaha negara, usaha koperasi, dan usaha swasta.

Kinerja Kadin harus terus ditingkatkan, dimana yang tolok ukur keberhasilannya ialah kesatuan pengusaha dalam memberikan sumbangsinya bagi PDB Indonesia. Pada saat ini perkembangan PDB Indonesia ditopang oleh sektor industri. Dimana sektor industri di Indonesia menyumbang sebesar 67 %, dengan klasifikasi indutri migas dan non-migas. Peranan sektor industri yang menopang PDB cukup besar ialah komoditas alat angkut, mesin, dan peralatan; makanan, minuman, dan tembakau; kimia dan bahan dari karet; dan komoditas tekstil, barang kulit, dan alas kaki.

Kadin merupakan organisasi yang sangat penting, hal itu tampak dari fungsinya dalam perekonomian. Apa jadinya jika Kadin dimasuki unsur politik? Apa dampaknya bagi bagi perekonomian Indonesia? Memang tidak dapat dipungkiri politik masuk ke dalam Kadin bukan hal yang baru. Pasalnya, hal tersebut telah berlangsung cukup lama. Dimana masuknya kepentingan politik dalam Kadin, membuat organisasi yang menampung para pengusaha ini tidak mampu bekerja secara optimal. Padahal berdasarkan kisah sejarah di atas tertulis bahwa Kadin dibentuk untuk meningkatkan kondisi yang kondusif dalam perdagangan yang bermulaid dari pusat, propinsi, daerah, hingga tingkat internasional. Selain kepentingan politik, Kadin juga mengalami masalah mengenai pola struktur yang kurang jelas dan tidak terpantau. Dimana keorganisasiannya tidak berjalan dengan baik. Hal tersebut tampak dalam hirarki yang berasal dari tingkat nasional, propinsi, hingga kabupaten bersifat otonom. Hal ini mengakibatkan setiap Kadin tidak terkoordinasi dengan baik dan tidak adanya keterkaitan tanggung jawab antar Kadin. Hal itu memnyebabkan rencana yang telah dicanangkan oleh pusat tidak langsung diterapkan oleh setiap Kadin yang berada di daerah. Pemberdayaan Kadin yang berada di tingkat daerah dirasa sangat minim, padahal Kadin yang berada pada tingkat ini merupakan tumpuan menuju arah yang lebih luas. Kondisi tersebut membuat Kadin yang berada di tiangkat kabupaten tidak dapat berjalan dengan semestinya. Selain itu, minimnya sumberdaya manusia juga menjadi penyebab menurunnya kinerja pada Kadin tingkat kabupaten.

Melihat peranan Kadin yang cukup besar dalam menggerakkan perekonomian, perlu adanya revolusi yang mampu memperbaiki sistem yang telah ada dalam organisasi tersebut. Perbaikan yang perlu dilakukan dapat dimulai dari internal organisasi, seperti budaya, sistem, dan moral dari pengurus agar tidak ada kepentingan politik atau pribadi masuk dalam Kadin. Beberapa hal yang dapat menjadi masukan dalam upaya perbaikan internal Kadin, ialah:
1. Kadin sebaiknya dijadikan lembaga yang independen yang profesional.
2. Sebaiknya Kadin melakukan reengering secara menyeluruh dalam struktur organisasinya.
3. Melakukan perekrutan tenaga-tenaga profesional sehingga kinerja Kadin dapat lebih baik.
4. Membangun sistem pelayanan kepada pengusaha dengan berlandaskan pada pengembangan daerah.
5. Penerapan otonomi yang baik, dimana masing-masing Kadin yang berada di daerah dapat saling terkoordinasi dengan baik dan selalu mendapat pemantauan dari pusat.

Beberapa poin di atas diharapkan dapat membuat Kadin menjadi lebih baik, karena sektor industri merupakan bagian yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Untuk itu, perlu adanya perhatian khusus kepada Kadin agar mampu menjalankan tugasnya sesuai dengan tujuan utama dari pembentukan organisasi tersebut.

Depertemen Kajian Strategis
BEM Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM

Senin, 13 Oktober 2008

Penurunan Peringkat Indonesia

PENURUNAN PERINGKAT INDONESIA
DALAM TINGKAT KEMUDAHAN BERUSAHA
MENURUT IFC

Depatemen Kajian Keilmuan
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran


Bulan September lalu International Finance Corporation (IFC), sebuah badan di bawah Bank Dunia mengeluarkan hasil survei mengenai kemudahan dalam berusaha di seluruh dunia. Hasil survei International Finance Corporation (IFC), yang mendudukkan Indonesia pada peringkat ke-129 dalam laporan tahunan Doing Business 2009 Report edisi keenam kerjasama IFC dan Bank Dunia atau turun sebanyak dua peringkat di mana sebelumnya Indonesia berada di urutan 127 dari total 181 negara yang disurvei. Survei itu menempatkan Indonesia jauh dibawah negara-negara disekitarnya, seperti Vietnam pada rangking ke-92, Brunei Darussalam ke-88, Malaysia ke-20, Thailand ke-13, dan Singapore, yang tertinggi di dalam daftar tersebut sebagai tempat yang paling menarik untuk melakukan bisnis.
Survei itu menyebutkan bahwa telah terjadi perbaikan dalam tiga indikator utama yaitu jumlah prosedur yang harus dilampaui oleh setiap pengusaha yang ingin mendirikan usahanya di Indonesia, jumlah hari serta biaya yang diperlukan untuk pengurusan itu. Jumlah hari pengurusan ijin mendirikan perusahaan di Indonesia turun dari 105 hari pada tahun 2007 menjadi 76 hari pada tahun 2008. Untuk jumlah proses yang dilalui, survei itu menyebutkan telah berkurang dari 12 tahap pada tahun lalu yang dilakukan secara berurutan, menjadi 11 tahap yang dapat dilakukan secara paralel. Sedangkan untuk biaya yang dikeluarkan untuk mengurus seluruh prosedur itu turun dari 80% dibandingkan pendapatan nasional per kapita menjadi 77,9%.
Namun demikian, laporan Doing Business 2009 oleh IFC justru menunjukkan hal yang bertentangan dengan apa yang telah pemerintah lakukan karena perbaikan tiga indikator utama itu tidak mengakibatkan peringkat Indonesia membaik, bahkan justru turun. Alasan survei itu didasarkan karena satu indikator lain, yaitu besarnya modal minimal yang diperlukan untuk mendirikan perusahaan, meningkat sesuai dengan ketetapan dalam Undang Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang ini mensyaratkan jumlah modal minimum pemilik perusahaan adalah Rp 50 juta, naik dari Rp 20 juta atau disetor sebelumnya sebesar Rp 5 juta menjadi Rp 12,5 juta. Padahal pertimbangannya untuk meningkatkan kepastian berusaha di Indonesia, karena akan membantu menyaring kesanggupan serta kemampuan pemilik perusahaan.
Sebenarnya, angka itu tidaklah besar, tetapi di luar negeri nilainya memang jauh lebih kecil. Di Singapura hanya butuh 1 dollar AS untuk mendirikan perusahaan, dan di Indonesia butuh sekitar 1.200 dollar AS, hal tersebut yang dianggap sulit. Sebenarnya bila ditelaah lebih lanjut, aturan yang mengatur hal tersebut justru melindungi masyarakat, sehingga tidak ada perusahaan asal-asalan.
IFC melaksanakan survei tersebut dengan penilaian dilakukan dengan mengukur waktu dan biaya memulai dan menjalankan usaha, melakukan perdagangan antar negara, pembayaran pajak, serta menutup usaha. Pemeringkatan tidak memasukkan aspek kebijakan makro ekonomi, kualitas infrastruktur, kekuataan mata uang, persepsi investor, dan tingkat kriminalitas. IFC hanya melihat perkembangan bisnis berdasarkan kebijakan fiskal dan moneter.
Berdasarkan catatan dari Badan Koordinasi Penanaman Modala (BKPM), yang menyatakan bahwa pertumbuhan investasi meningkat secara signifikan selama semester pertama tahun ini dibanding periode yang sama tahun lalu. BKPM mencatat bahwa pertumbuhan investasi dengan 15,4 persen dan 12,8 persen selama semester pertama dan kuartal ke dua tahun ini, meningkatnya rasio investasi pada Produk Domestik Bruto Nasional dengan 23,3 persen selama semester pertama.

Upaya Perbaikan oleh Pemerintah
Upaya perbaikan untuk memulai usaha telah dilakukan pemerintah dengan pengurangan jumlah prosedur dan waktu pengurusan dokumen, serta pengurangan biaya yang harus dikeluarkan. Berbagai penyederhanaan ini tertuang dalam peraturan-peraturan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, diantaranya adalah pertama penyempurnaan ketentuan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), kepengurusan SIUP yang semula membutuhkan waktu lima hari menjadi tiga hari, dan tidak dipungut biaya. Kedua penyempurnaan ketentuan Tanda Daftar Perusahaan (TDP), kepengurusan TDP yang semula membutuhkan waktu sepuluh hari menjadi tiga hari, dan tidak dipungut biaya.
Ketiga penerbitan Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang Pendelegasian Wewenangan Menteri Hukum dan HAM RI dalam Memberikan Pengesahan Badan Hukum Perseroan Terbatas Kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM di Seluruh Indonesia. Keempat penerbitan Peraturan Menteri Hukum dan Ham tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar, Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan.
Melalui kebijakan dan peraturan ini diharapkan bahwa proses memulai usaha di Indonesia dapat tercapai dalam 20 hari kerja. Namun implementasi perbaikan ini memerlukan waktu untuk dapat diterapkan di seluruh Indonesia. Seperti survey IFC yang dilakukan pada semester I tahun ini, perbaikan yang terjadi di lapangan baru dari 105 turun menjadi 76 hari.
Selain kebijakan memulai usaha, pemerintah juga mengupayakan kemudahan dalam pengurusan perijinan. Mengingat pengurusan perijinan terutama telah dilakukan oleh pemerintah daerah, maka kebijakan yang dikeluarkan terutama bertujuan agar pemerintah daerah melayani perijinan dengan lebih mudah dan dengan biaya yang rendah.
Dalam survey Doing Business IFC 2009 ditunjukkan pula bahwa terdapat reformasi positif yang telah dilakukan terkait dengan kemudahan memperoleh pinjaman (getting credit). Cakupan kredit bagi publik (Public Registry Coverage, yang diukur dari persentase jumlah orang dewasa) terlihat meningkat dari 20,5% menjadi 26,1 %. Ini menandakan makin mudahnya akses pinjaman usaha kepada masyakat dan dunia usaha. Kemudahan ini terjadi terutama pada akses informasi calon debitur sehingga mempermudah persetujuan kredit.



Simpulan
Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, sejumlah kemajuan juga tampak nyata di daerah, seperti one stop service yang sudah berjalan di berbagai kabupaten/kota. Sejumlah terobosan itu juga mendapat apresiasi dari World Economic Forum (WEF) belum lama ini. Menurut lembaga dunia itu, Indonesia ditempatkan pada posisi 54 dari 131 negara di dunia. Hal ini menandakan bahwa Indonesia merupakan tempat yang kompetitif bagi masuknya investasi. Posisi ini menempatkan Indonesia pada posisi yang lebih baik dari beberapa negara, seperti Rusia, Yunani, Bangladesh, Uganda, dan Nigeria. Tentu saja perbedaan antara survei WEF dan IFC membuat kita bertanya, apa sebenarnya motif di balik pembuatan opini tersebut?
Baik atau buruknya hasil survei ini seharusnya tetap menjadi perhatian sebagai pekerjaan rumah pemerintah untuk tetap dapat meningkatkan kemudahan dalam berusaha bagi para investor sehingga dapat membantu meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Jumat, 12 September 2008

Indonesia dan OECD -- AAP

Berikut tulisan saya tentang laporan OECD (lihat juga tulisan MCB untuk topik yang sama). Versi yang sedikit lebih pendek dimuat di majalah Tempo Senin 4 Agustus 2008.

Indonesia di Radar OECD
Arianto A. Patunru

Indonesia adalah bangsa yang “tanggung”, demikian sebuah gurauan di kalangan ekonom pembangunan. Ia ”miskin”, namun tidak cukup miskin untuk menjadi menarik seperti banyak negara di Afrika. Ia ”mulai kaya”, namun belum cukup kaya untuk menjadi menarik sebagaimana negara maju. Begitulah nasib negara-negara ”papan tengah bawah”: tidak menarik bagi penelitian. 

Syukurlah gurauan itu tidak bertahan lama. Menyusul berbagai laporan yang terbit sebelumnya, baik dari Bank Dunia, IMF, ataupun ADB, maka laporan Economic Assessment of Indonesia 2008 yang diluncurkan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) tanggal 24 Juli kemarin adalah satu lagi negasi yang segar atas gurauan di atas. Indonesia adalah negara yang bukan saja menarik tapi juga penting, sekalipun berada di ”papan tengah bawah” – mengacu kepada salah satu kategori pendapatan Bank Dunia: lower-middle income.

Laporan OECD itu bukan membawa sesuatu yang sepenuhnya baru, memang. Sebagian isinya adalah hal-hal yang sudah kita ketahui. Bahwa ekonomi Indonesia telah pulih dari krisis ekonomi 1997-98, sekalipun dengan proses yang lebih lambat daripada Korea, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Bahwa investasi membaik namun masih di bawah negara-negara lain di Asia Tenggara. Bahwa perekonomian masih sangat bergantung pada konsumsi (terutama pengeluaran pemerintah) dan ekspor. Atau bahwa pertumbuhan ekspor kita lebih banyak ditopang oleh naiknya harga-harga komoditi di dunia.

Namun laporan tersebut menjadi penting karena ia adalah sekaligus pertanda bahwa Indonesia tidak mungkin mungkin lagi dinafikan dalam wacana dan keputusan ekonomi global. Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok ”negara-negara dengan keterlibatan yang ditingkatkan” atau enhanced engagement countries yang mencakup Brazil, India, Indonesia, Cina, dan Afrika Selatan (”BRIICS”). Indonesia satu-satunya wakil Asia Tenggara, wilayah yang disebut sebagai region of priorities. Banyak hal yang menjadikan Indonesia penting, selain potensi ekonomi: populasi yang besar, negara yang luas, posisi geografi yang strategis, dan lain-lain.

Laporan OECD dalam bentuk economic assessment biasanya dikemas dalam tiga bagian: satu bagian mengupas perekonomian secara umum dengan fokus pada kinerja pertumbuhan ekonomi, dan dua bagian menyoroti isu-isu penting selain pertumbuhan. Untuk Indonesia, OECD benar, bahwa kedua isu penting tersebut adalah iklim usaha/investasi dan pasar tenaga kerja.

Kurang kondusifnya iklim investasi Indonesia telah banyak sekali dikupas oleh berbagai studi dan laporan. Pemerintah pun tampaknya mafhum bahwa iklim investasi adalah kunci pembangunan ekonomi. Berbagai kebijakan dikeluarkan untuk memperbaiki iklim investasi. Misalnya Inpres 3/2006, Inpres 6/2007, dan Inpres 5/2008. Juga paket-paket kebijakan yang berkaitan dengan iklim investasi: kebijakan infrastruktur (PMK 38/2006) maupun stabilitas keuangan (SKB 5 Juli 2006). Dan, tentu saja UU 25/2007 tentang Penanaman Modal. Semua ini patut dihargai. Sayangnya, kebijakan-kebijakan ini masih kurang efektif dalam implementasinya. Kapasitas yang kurang dari birokrasi pada tingkat operasional menjadi salah satu penyebabnya. Juga, banyak paket yang tergoda untuk mengakomodasi terlalu banyak hal sehingga menjadi tidak fokus, sehingga tampak seperti daftar cucian (laundry list). Selain itu, resistensi terhadap reformasi kebijakan masih banyak bahkan dari dalam birokrasi sendiri, baik secara horisontal (antar departemen atau antar unit) atau vertikal (antar pusat dan daerah).

Hal yang sering luput dari kebijakan adalah kenyataan bahwa pengusaha dan investor lebih peduli pada kepastian daripada janji atau program perbaikan iklim investasi yang rumit namun menimbulkan interpretasi berbeda-beda di level pelaksana. Bahkan dalam beberapa hal, mereka bersedia membayar lebih untuk kepastian yang lebih tinggi. Misalnya, waktu yang diperlukan untuk membuat perusahaan baru atau waktu untuk menyelesaikan prosedur ekspor atau impor di pelabuhan.

Terakhir, perbaikan iklim investasi perlu memprioritaskan syarat perlu untuk berbisnis yaitu kondisi infrastruktur dan logistik yang memadai. Basri dan Patunru (2008) menyimpulkan bahwa rencana investasi sering terhambat karena infrastruktur yang jelek serta biaya logistik yang tinggi. Dengan kata lain, masalah utama perekonomian Indonesia berada di sisi penawaran, bukan sisi permintaan.

Isu spesifik kedua yang dibahas oleh Laporan OECD ini adalah pasar tenaga kerja di Indonesia yang sangat kaku. Dalam paket perbaikan iklim investasi Inpres 3/2006 pemerintah mengagendakan revisi atas undang-undang ketenagakerjaan, UU 13/2003 dengan target waktu April 2006. Menyusul resistensi yang sangat tinggi dari sejumlah serikat pekerja dan juga anggota DPR, pemerintah mundur teratur. Di dalam paket lanjutan, Inpres 6/2007, rencana perbaikan itu bahkan tidak lagi muncul sebagai salah satu agenda. Bahkan isu pasar tenaga kerja hilang sama sekali. Barulah pada Inpres 5/2008 isu tenaga kerja dimasukkan kembali, sekalipun dengan agenda yang lebih berhati-hati yaitu penciptaan hubungan industrial yang kondusif dan perkuatan lembaga pelatihan dan produktivitas, tanpa perubahan pada undang-undang ketenagakerjaan. Namun tanpa perbaikan mendasar pada UU 13/2003, pemanfaatan potensi tenaga kerja Indonesia tidak akan pernah optimal. Sebaliknya, hukum dan peraturan yang dianggap melindungi tenaga kerja selain merugikan orang-orang yang sedang mencari pekerjaan juga dapat merugikan pekerja sendiri dalam jangka panjang.

Memang untuk menjadi pemain penting di level global ada harganya. Bahkan untuk sekedar menjadi menarik. Saat ini syarat kuncinya adalah potensi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, iklim berbisnis dan berusaha yang lebih kondusif (terutama dalam aspek infrastuktur, logistik, dan kepastian hukum) serta pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel.

Senin, 08 September 2008

EVALUASI KINERJA KADIN

EVALUASI KINERJA KADIN
DALAM PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN
INDONESIA

Depatemen Kajian Keilmuan
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran


Banyak kontribusi yang telah Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia) berikan selama ini terhadap kemajuan perekonomian Indonesia, berkali-kali pula Kadin selalu berada di garis terdepan apabila pemerintah mengeluarkan kebijakan yang kontra dengan kemajuan iklim usaha di Indonesia yang juga tentu akan berpengaruh terhadap kemajuan perekonomian Indonesia sendiri. Dalam mengkritisi kebijakan perekonomian yang dikeluarkan pemerintah, Kadin tentu tidak sembarangan melakukan kritisi, tetapi atas banyak pertimbangan dan kajian yang dilakukan internal Kadin sendiri.

Sejarah Terbentuknya Kadin Indonesia
Pembentukan organisasi Kadin Indonesia pertama kali dibentuk tanggal 24 September 1968 oleh Kadin Daerah Tingkat I atau Kadinda Tingkat I (sebutan untuk Kadin Provinsi pada waktu itu) yang ada di seluruh Indonesia atas prakarsa Kadin DKI Jakarta, dan diakui pemerintah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 49 Tahun 1973, kemudian dibentuk kembali sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri dalam Musyawarah Pengusaha Indonesia tanggal 24 September 1987 di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pengusaha Indonesia yang tergabung dalam Kadin Indonesia bekerja sama dengan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) dan wakil-wakil Badan Usaha Milik Negara, didirikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
Kadin Indonesia sendiri merupakan organisasi yang dibentuk sebagai wadah bagi pengusaha Indonesia dan bergerak dalam bidang perekonomian sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Kamar Dagang dan Industri merupakan wadah komunikasi dan konsultasi antar pengusaha Indonesia dan antara pengusaha Indonesia dan Pemerintah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah perdagangan, perindustrian, dan jasa. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri menetapkan bahwa seluruh pengusaha Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi dan usaha swasta secara bersama-sama membentuk organisasi Kamar Dagang dan Industri sebagai wadah dan wahana pembinaan, komunikasi, informasi, representasi, konsultasi, fasilitasi dan advokasi pengusaha Indonesia, dalam rangka mewujudkan dunia usaha Indonesia yang kuat dan berdaya saing tinggi yang bertumpu pada keunggulan nyata sumber daya nasional, yang memadukan secara seimbang keterkaitan antar-potensi ekonomi nasional, yakni antar-sektor, antar-skala usaha, dan antar-daerah, dalam dimensi tertib hukum, etika bisnis, kemanusiaan, dan kelestarian lingkungan dalam suatu tatanan ekonomi pasar dalam percaturan perekonomian global dengan berbasis pada kekuatan daerah, sektor usaha, dan hubungan luar negeri. Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia) selama ini perannya amat memberikan andil yang cukup besar pada perekonomian Indonesia.

Tujuan Kadin
Kamar Dagang dan Industri Indonesia sendiri terbentuk dengan tujuan:
membina dan mengembangkan kemampuan, kegiatan, dan kepentingan pengusaha Indonesia di bidang usaha negara, usaha koperasi, dan usaha swasta dalam kedudukannya sebagai pelaku-pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional yang sehat dan tertib berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang memungkinkan keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga dapat berperan serta secara efektif dalam Pembangunan Nasional.

Kinerja Kadin
Selama ini Kadin Indonesia telah amat membantu pemerintah dalam menciptakan kondisi perekonomian yang kondusif bagi terciptanya iklim berusaha dan berinvestasi di Indonesia. Apa yang telah dilakukan Kadin Indonesia selama ini tentu saja tidak lepas dari tujuan yang telah dirumuskan para pendiri Kadin itu sendiri.
Kadin telah melakukan banyak hal yang tentunya diharapkan dapat berkontribusi penuh terhadap perekonomian kita seperti, penyebarluasan informasi mengenai kebijakan pemerintah di bidang ekonomi kepada pengusaha Indonesia, penyampaian informasi mengenai permasalahan dan perkembangan perekonomian dunia, yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi dan dunia usaha nasional, kepada pemerintah dan para pengusaha, penyaluran aspirasi dan kepentingan para pengusaha dibidang perdagangan, perindustrian, dan jasa dalam rangka keikutsertaannya dalam pembangunan di bidang ekonomi, penyelenggaraan pendidikan, latihan, dan kegiatan-kegiatan lain yang bermanfaat dalam rangka pembinaan dan pengembangan kemampuan pengusaha Indonesia, penyelenggaraan dan peningkatan hubungan dan kerja sama yang saling menunjang dan saling menguntungkan antar pengusaha Indonesia, termasuk pengembangan keterkaitan antar bidang usaha industri dan bidang usaha sektor ekonomi lainnya, penyelenggaraan upaya memelihara kerukunan di satu pihak serta upaya mencegah persaingan yang tidak sehat di pihak lain di antara pengusaha Indonesia, dan mewujudkan kerja sama yang serasi antar usaha negara, koperasi, dan usaha swasta serta menciptakan pemerataan kesempatan berusaha, penyelenggaraan dan peningkatan hubungan dan kerja sama antar pengusaha Indonesia dan pengusaha luar negeri seiring dengan kebutuhan dan kepentingan pembangunan di bidang ekonomi sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, penyelenggaraan promosi dalam dan luar negeri, analisa statistik, dan pusat informasi usaha, pembinaan hubungan kerja yang serasi antar pekerja dan pengusaha;, penyelenggaraan upaya penyeimbangan dan melestarikan alam serta mencegah timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, jasa-jasa baik dalam membentuk pemberian surat keterangan, penengahan, arbitrasi, dan rekomendasi mengenai usaha pengusaha Indonesia, termasuk legalitas surat-surat yang diperlukan bagi kelancaran usahanya, serta tugas-tugas lain yang diberikan oleh pemerintah demi meningkatkan kemajuan perekonomian Indonesia.
Selain itu, ada beberapa hal lain juga yang telah dilakukan Kadin dalam beberapa waktu yang lalu seperti, mengkritisi asumsi-asumsi dasar dalam penyusunan APBN 2008 yang tidak realistis sehingga hanya dalam waktu 3 bulan berjalan APBN telah mengalami perubahan, mengkritisi surat keputusan bersama 5 menteri yang menyatakan perpindahan waktu kerja ke hari sabtu dan minggu yang tentunya kurang mendukung iklim usaha dan investasi di Indonesia, mengkritisi kebijakan PLN dimana para pengusaha harus menanggung kerugian biaya produksi listrik padahal apabila kerugian ini ditanggung pengusaha belum tentu pasokan listrik akan menjadi lancar, serta hal lainnya yang tentu dalam rangka memajukan serta melindungi para pengusaha kita.

Simpulan
Dalam melaksanakan tugas-tugas serta fungsi-fungsinya, Kadin akan terus berusaha melakukan hal-hal yang dapat menciptakan dan mengembangkan iklim dunia usaha yang kondusif, bersih dan transparan yang memungkinkan keikutsertaan yang seluas-luasnya bagi pengusaha Indonesia sehingga dapat berperan serta secara efektif dalam pembangunan nasional dalam tatanan ekonomi pasar dalam percaturan perekonomian global karena pengusaha Indonesia yang tangguh akan menciptakan perekonomian Indonesia yang tangguh pula. Kita tentu perlu aktif mendukung apa yang selama ini dilakukan Kadin yang dalam jangka panjang tentu akan membantu menyejahterakan Bangsa Indonesia.

Jumat, 05 September 2008

ANTARA INVESTASI DAN PERAN KADIN DI MATA PARA PENGUSAHA DI INDONESIA

Tentang kadin

Pada Rapat Kerja (Raker) nya KADIN telah membuat platform kerja mereka yang tercantum dalam visi mereka yaitu :

(1) Pertumbuhan ekonomi di atas 7%

(2) Peningkatan daya tarik investasi dan daya saing bangsa

(3) Penciptaan lapangan kerja dan penurunan angka kemiskinan

Serta misi nya

1) kebijakan untuk melakukan restrukturisasi total industri nasional;

(2) kebijakan untuk melakukan reorientasi arah kebijakan ekspor bahan mentah

(3) kebijakan untuk melakukan penataan ulang tata niaga pasar dalam negeri.

Saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada padal level 6,2% versi pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Angka ini masih cukup jauh untuk mencapai yang ditargetkan oleh KADIN sebesar 7%. Kadin sendiri mengklasifikasikan 4 area industri strategis untuk merealisasikan visi 7% tersebut, yakni :

- industri tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu dan alas kaki

-industri elektronika dan komponen elektronika

-industri otomotif dan komponen otomotif

-industri perkapalan


Pilihan yang ditargetkan oleh KADIN ini ternyata juga telah sejalan dengan pemeritah. Pemerintah mengatakan , bahwa pertumbuhan industri otomotif tahun ini diperkirakan mencapai 12, 23 %. (http://www.sinarharapan.co.id/berita/0607/25/uang01.html). Lebih lanjut pertumbuhan industri pada sektor otomotif ini akan lebih diarahkan pada pertumbuhan industri komponen otomotifnya (ex : sparepart). Adanya kesamaan arah ini seakan mengarah pada suatu tendensi bahwa KADIN lebih cenderung mengikuti arah kebijakan pemerintah. Hal ini yang pada akhirnya menimbulkan kekhawatiran dari para pengusaha.


Peran KADIN saat ini terlihat pada frekuensi kehadirannya pada rapat pengambilan kebijakan yang berpengaruh signifikan terhadap para pengusaha di seluruh Indonesia. Hal ini salah satunya bisa dilihat dari keterlibatan KADIN dalam pengambilan keputusan tentang kebijakan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang berujung pada dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama(SKB)5 Menteri.


Keterlibatan KADIN dalam SKB 5 Menteri ini seakan menjadi kehilangan bargaining power untuk membela kepentingan para pengusaha. SKB 5 Menteri ini dinilai merugikan para pengusaha dan justru menimbulkan high-cost economy yang akan mematikan usaha khususnya bagi yang tergolong dalam UKMK.


Kinerja KADIN yang mulai dipertanyakan

Kali ini kinerja KADIN mulai dipertanyakan. Terlepas dari visi dan misi yang mereka bawa, para pengusaha masih mempertanyakan kinerja KADIN dalam keterlibatannya memperjuangkan aspirasi. Seolah-olah KADIN tidak bergeming dengan adanya SKB 5 Menteri ini, yang dianggap tidak kooperatif terhadap industri. Jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin KADIN hanya menjadi perpanjangan tangan pemerintah dalam mensosialisasikan kebijakannya.

KADIN yang berfungsi sebagai mediator seharusnya dapat memberikan bargaining power yang lebih dalam merundingkan masalah TDL listrik di dunia industri ini. Bukankah apabila para pengusaha lebih banyak yang merespon negatif terhadap peran KADIN dalam masalah ini, akan semakin memperumit keadaan iklim investasi dan keinginan investasi dari para investor asing juga semakin melemah. Hal ini pada akhirnya akan berimbas pada pertumbuhan ekonomi yang berjalan semakin lamban. (saat ini baru mencapai 6,2 % ; sedangkan target KADIN sebesar 7%) .

Selanjutnya, berdasarkan data tahun 2006 yang diperoleh dari World Bank (WEF), di Indonesia memerlukan waktu 151 hari untuk melakukan penanaman modal serta harus menjalani 12 tahap prosedural. Selain itu tentunya para calon investor masih harus tersandung dengan berbagai kesulitan mendapatkan izin di kalangan birokrat, sehingga biaya awal yang harus mereka keluarkan akan jauh lebih banyak. Dalam hal ini mungkin bukan sepenuhnya salah KADIN, namun peran pemerintah juga turut menjadi sorotan. Reformasi birokrasi hanya menjadi suatu hal yang menjadi isapan jempol saja. Bagaimana mungkin iklim investasi yang subur dapat dicapai, jika sejak awal para investor tidak di serve dengan baik karena kerumitan birokrasi untuk investasi itu sendiri.


Kesimpulan

Masalah yang dihadapi dunia industri di Indonesia tidaklah sedikit. Untuk dapat mencapai peningkatan investasi diperlukan kerjasama yang kuat. Salah satu badan yang berperan penting dalam mendukung peningkan investasi tersebut adalah KADIN. Sudah sepatutnya KADIN tidak menghilangkan kepercayaan yang telah diberikan. Diharapkan KADIN bisa betul-betul menjadi aspirator yang bisa memperjuangkan hak-hak para pengusaha, sebagai wujud memberikan service terbaik agar taget peningkatan investasi dalam menstimulus pertumbuhan ekonomi negara bisa tercapai.

KADIN juga diharapkan dapat lebih tepat membidik sektor mana yang bisa menjadi ujung tombak peningkatan iklim investasi di Indonesia. Dengan membidik sektor yang tepat, peran KADIN akan terlihat secara konkret. Efisiensi kinerja serta pencapaian target peningkatan investasi akan lebih mudah dicapai.

Sudah waktunya Negara ini terlepas dari predikat yang tidak menyenangkan. Berada diurutan bawah dalam pilihan investor untuk berinvestasi, berada di urutan teratas dalam kasus korupsi, hanya akan menambah keengganan dari pihak asing untuk berivestasi di Indonesia. Semua persoalan ini tidak akan sepenuhnya bisa diselesaikan tanpa peran pemerintah. Reformasi birokrasi serta pengambilan kebijakan yang bersifat kooperatif dengan para pengusaha merupakan langkah konkret yang bisa dipilih oleh pemerintah untuk memberikan insentif dalam rangka peningkatan iklim investasi di Indonesia.


Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Indonesia

Senin, 11 Agustus 2008

Listrik untuk Kehidupan yang “Tidak” Lebih Baik

Masalah listrik sudah menjadi masalah yang rutin dibahas di negeri ini bahkan sekarang kembali memanas dikarenakan dialihkannya hari kerja dan pemadaman listrik secara bergilir. Negara dan PLN yang mencanangkan “listrik untuk kehidupan yang lebih baik” tampaknya harus bersabar terlebih dahulu dan berpikir lebih keras lagi karena realisasinya masih jauh dari kenyataan. Pada saat sekarang ini kita melihat begitu banyaknya masyarakat dan juga pihak industri yang merasa hidup mereka tidak bertambah baik karena begitu banyak masalah yang terjadi menyangkut listrik. Seperti halnya pada saat sekarang ini hampir di seluruh wilayah indonesia mengalami krisis listrik. Setiap harinya ada daerah-daerah yang harus menerima kenyataan mengalami pemadaman listrik bergilir. Bahkan dalam sehari ada yang mengalami pemadaman listrik sebanyak dua hingga empat kali, contohnya di kota Padang. Sekarang masalah krisis listrik sudah begitu mengganggu aktivitas negeri ini dan berdampak sangat besar terhadap perindustrian dan aktivitas ekonomi. Apakah krisis tersebut baru terjadi pada sekarang ini? Jawabannya adalah tidak. Krisis tersebut sudah terjadi sejak zaman rezim orde baru memimpin negeri ini hingga saat sekarang ini.

Krisis, krisis dan krisis

Krisis listrik yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya telah menjadi sebuah “tradisi” khusus yang sering kali dihadapi oleh negeri ini. Masalah ini telah menjadi sebuah problema yang tidak pernah bisa diselesaikan oleh pemerintah dan PLN. Mereka sepertinya tidak pernah belajar dari krisis-krisis yang telah terjadi selama ini. Pada tahun 1980-an dan 1990-an kita pernah mengalami krisis yang lebih parah daripada krisis yang terjadi pada saat sekarang. Krisis yang terjadi pada periode tersebut dikarenakan demand terhadap energi listrik meningkat dengan pesat disebabkan pertumbuhan dan aktivitas ekonomi yang semakin meningkat, sementara infrastruktur pembangkit listrik itu sendiri belum terpenuhi kebutuhannya.

Ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997, energi kelistrikan kita sama sekali tidak mengalami kemajuan bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran. Selama dekade ini electrification ratio (rasio kelistrikan) tidak mengalami kemajuan sama sekali. Hanya separuh dari rumah tangga di Indonesia yang memperoleh aliran listrik. Kalau kita bandingkan dengan Vietnam yang sudah mencapai 79 persen, Filipina 80 persen, Thailand 84 persen dan China 99 persen. Di antara 12 negara sekawasan, Indonesia berada pada peringkat ke-11 (Basri, 2008). Permasalahan tersebut belumlah selesai, karena ketika electrification ratio sangat kecil secara kuantitas, secara kualitas masalah listrik juga sangat memprihatinkan. Sering kalinya terjadi pemadaman listrik yang mendadak dan juga penerangan yang sering hidup-mati menimbulkan efek yang negatif baik dari segi sosial dan ekonomi, terutama untuk rumah tangga dan industri. Industri-industri yang seharusnya memperoleh supplay dari PLN saat ini harus mengusahakan pasokan listrik bagi mereka secara mandiri. Hal tersebut secara jelas meningkatkan fixed cost dari perusahaan tersebut dan membuat daya saing mereka semakin menurun. Kerugian dunia usaha akibat pemadaman listrik 6,1 persen dari penjualan total (World Bank, 2008).

Krisis tersebut berlanjut hingga pada era Megawati Soekarnoputri memimpin negara ini. Reformasi kelistrikan belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Semangat reformasi yang singkat setelah krisis finansial Asia 1997-1998 telah kehilangan momentumnya ketika Indonesia tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi krisis yang dihadapi. Pada era ini pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik walaupun tidak terlalu signifikan tidak diikuti oleh pembangunan pembangkit listrik yang lebih bagus sehingga krisis listrik tetap terjadi. Walaupun krisis listrik sudah terjadi dari dahulu kala, pemerintah sepertinya tidak mau belajar untuk memperbaiki sistem listrik di Indonesia. Karena masalah tersebut terjadi lagi saat sekarang ini. Apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan krisis listrik yang terjadi di Indonesia?

Akar Permasalahan
Ada tiga hal yang menjadi akar permasalahan dari krisis listrik yang terjadi di negeri ini. Pertama adalah kurangnya energi yang ada untuk menghasilkan listrik tersebut. Seperti kita ketahui selama ini pembangkit listrik yang banyak digunakan adalah pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Permasalahannya adalah ketika indonesia tidak lagi mengalami musim hujan, maka PLTA tidak bisa bekerja dengan maksimal ditambah dengan gejala global warming yang membuat cuaca dan keadaan yang sudah tidak menentu lagi. Hal lain adalah pembangkit-pembangkit listrik yang ada sudah tidak bisa beroperasi lagi secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh masa perawatan pembangkit listrik dan juga umur pembangkit listrik tersebut yang bisa dibilang sudah sangat uzur. Kekurangan energi juga disebabkan pemerintah tidak membuat masterplan yang jelas dalam usaha mengembangkan atau membangun pembangkit listrik yang baru.

Akar permasalahan yang kedua adalah biaya bahan bakar yang sangat tinggi. PLN selama ini menggunakan bahan bakar minyak dan batu bara. Kita mengetahui bahwa sekarang harga kedua bahan bakar tersebut melonjak dengan sangat drastis. Kenaikan harga tersebut jauh dari apa yang diperkirakan dan dianggarkan oleh pemerintah dan PLN. Contohnya harga minyak diperkirakan naik dari US$ 60 menuju US$95, namun pada realitanya sekarang harga minyak mencapai US$145. Hal senada juga dialami oleh batu bara, dimana pada awalnya diperkirakan naik dari US$ 50/ton menuju US$55/ton, namun sekarang harganya naik 100 persen menjadi US$100/ton (Tempo,7-13 Juli 2008). Kenaikan tersebut tentunya mempersulit PLN dalam memproduksi listrik karena mereka harus merubah anggaran dasar mereka dan membuat pembiayaan mereka semakin membengkak.

Terakhir adalah masalah korupsi yang menggerogoti tubuh PLN. Hal ini sudah menjadi carita lama. BUMN yang mengalami kerugian paling besar dibandingkan BUMN yang lain. Masalah korupsi berpengaruh sangat besar terhadap krisis listrik yang terjadi karena dana yang seharusnya bisa digunakan untuk membeli dan membuat pembangkit listrik yang sangat bagus pada akhirnya hilang entah kemana. Sehingga sekarang PLN melakukan sistem operasional mereka apa adanya karena adanya constraint dana.

Langkah konkret

Pemerintah dan PLN harus melakukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah krisis listrik yang terjadi di negeri ini. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menambah pasokan energi. Bisa dilakukan dengan banyak cara, contohnya dengan memperbaiki mesin-mesin atau pembangkit yang sudah tua dan juga membangun pembangkit yang baru serta yang berkualitas. Hal itu bisa membuat pasokan energi bertambah dengan signifikan karena krisis energi yang terjadi tersebut dikarenakan pasokan listrik yang memang sangat terbatas. Kedua adalah dengan mencari sumber alternatif yang baru. Kita tidak bisa terus berharap banyak terhadap pembangkit listrik yang kita gunakan. Karena bahan bakar yang digunakan adalah minyak dan batu bara yang kita ketahui mempunyai harga yang sangat mahal. Pemerintah dan PLN juga harus memikirkan sumber energi yang baru seperti panas bumi, angin, sinar matahari, uap, dsb yang lebih murah dan juga tidak membutuhkan bahan bakar yang jumlahnya juga semakin terbatas. Terakhir hal yang sangat penting dilakukan adalah masalah korupsi yang terjadi di tubuh PLN. Suka atau tidak korupsi begitu mengganggu kinerja PLN karena tidak mempunyai dana yang cukup untuk mengembangkan kegiatannya. PLN wajib melakukan good corporate governance demi kebaikan bangsa ini dan juga PLN sendiri. Dengan begitu akan banyak pembangunan pembangkit yang baru serta pengembangan terhadap sumber-sumber energi alternatif.

Tiga hal tersebut wajib dilaksanakan PLN untuk mengatasi krisis yang terjadi selama ini. Tetapi solusi tersebut akan menjadi nonsense jika tidak dilaksanakan oleh PLN. Misi PLN yang mencanangkan pada tahun 2012 semua rumah tangga di Indonesia akan memperoleh aliran listrik kami yakini tidak bisa tercapai. Semua hal tersebut hanya menjadi wacana dan omong kosong belaka dan negeri ini mungkin saja menjadi negeri yang tidak bisa bangkit lagi dari keterpurukan karena masalah yang lucu, yaitu “kekurangan listrik”.

Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Sabtu, 09 Agustus 2008

Dampak Krisis Listrik terhadap Perekonomian Indonesia

Krisis listrik di Indonesia telah memunculkan berbagai dampak yang ditanggapi pemerintah dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang ternyata hanya merupakan kebijakan-kebijkan reksioner dan jangka pendek. Beberapa kebijakan yang terjadi akibat krisis listrik antara lain pemadaman listrik secara bergilir, pengalihan jam kerja menjadi Sabtu-Minggu, dan rencana kenaikan tarif dasar listrik.

Pemadaman Bergilir

Krisis pasokan bahan bakar yang dihadapi PLN sudah terlalu berat. Menurut Dirut PLN Eddi Widiono, krisis pasokan bahan bakar sidah dimulai sejak tahun 2003. Saat itu pasokan bahan bakar yang tidak ada adalah gas. Untuk menjaga pasokan listrik, agar masyarakat tetap mendapat pasokan listrik, PLN memaksa pembangkit-pembangkit listriknya yang berbahan bakar gas dioperasikan dengan bahan bakar minyak. Akibatnya, pembangkit tersebut tidak dapat menghasilkan listrik secara maksimal.

Saat ini, setelah selama lima tahun harga bahan bakan minyak terus meroket di pasaran dunia, PLN semakin terpuruk. Perawatan terhadap pembangkit-pembangkit yang dipaksakan tersebut membengkak. Parawatan yang seharusnya dilakukan setiap 6000 jam operasi, harus diperpendek menjadi tiap 2500 jam. Dan pembangkit tersebut sulit untuk menerima kembali gas sebagai bahan bakarnya. Sekalipun bisa, gas dan batubara juga tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan PLN.

Dengan kondisi yang ada, PLN mulai membuat jadwal pemadaman bergilir disamping gencar menyerukan penghematan lewat media masa cetak maupun elektronik. Pihak yang paling dirugikan dalam kebijakan ini adalah sektor industri. Sektor utama penggerak perekonomian saat ini mengalami kerugian yang tidak sedikit. Produktivitas berkurang akibat pemadaman listrik secara bergilir. Belum lagi, kerugian yang dialami akibat kerusakan alat-alat elektronik semakin membebani pelaku usaha.

Pemadaman listrik juga berpengaruh terhadap investasi. Kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia semakin berkurang. Kepastian pasokan listrik merupakan salah satu faktor penentu kepercayaan investor untuk mengalirkan dananya ke Indonesia. Apabila kepercayaan ini pudar, maka output total dalam perekonomian akan berkurang. Hal ini juga menunjukkan berkurangnya pendapatan nasional.

Pengalihan Jam Kerja

Surat Keputusan Bersama mengenai pengalihan jam kerja menjadi Sabtu dan Minggu semakin memberatkan pelaku usaha. Pengalihan tersebut akan menambah biaya bagi industri karena mereka harus membayar karyawannya dengan upah lembur. Padahal, pengusaha sudah menanggung kerugian akibat pemadaman listrik secara bergilir. Biaya tambahan mengenai pembayaran upah lembur tentu semakin mencekik pelaku usaha.

Dampak lanjutan dari pengalihan jam kerja belumlah selesai. Dengan pembengkakan beban yang harus ditanggung industri, maka industri akan mengurangi jumlah karyawannya. Artinya, pengangguran di Indonesia akan meningkat. Meningkatnya pengangguran di Indonesia akan menambah permasalahan dalam proses pembangunan perekonomian Indonesia. Belum lagi, penggangguran sering dikaitkan dengan adanya korelasi positif dengan penyimpangan sosial, termasuk tindakan kriminal.

Tarif Dasar Listrik akan Naik Lagi?

Sudah terjadi pemadaman listrik secara bergilir, pelaku usaha masih dipaksa untuk mengalihkan jam kerja, dan kini TDL akan dinaikkan. Sungguh merupakan kondisi yang ironi, dimana pemerintah justru semakin memberatkan rakyatnya di tengah kondisi yang sudah sangat berat ini.

Lagi-lagi, sektor penopang perekonomian Indonesia yang dikorbankan. Biaya yang harus ditanggung semakin besar, sehingga akan semakin banyak industri yang gulung tikar. Kalau hal ini terjadi, berarti output perekonomian akan berkurang, padahal permintaan relatif meningkat menjelang puasa. Akibatnya, harga-harga barang akan melonjak dan masyarakat akan semakin dirugikan.

Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada

Rabu, 06 Agustus 2008

Sjahrir- MCB

Berikut tulisan saya tentang Dr. Sjahrir yang terbit di Majalah Tempo, Senin 4 Agustus 2008.

Sjahrir

Muhammad Chatib Basri

Sjahrir adalah sebuah pesta. Karena itu ia penuh warna. Dalam pesta, orang bergerak dari satu orang ke orang lain, dari tempat duduk ke lantai dansa, dari satu obrolan ke obrolan lain. Pesta adalah persinggungan dengan pelbagai titik. Mungkin itu sebabnya Sjahrir punya sederet atribut : ekonom, dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), aktivis, pelaku pasar modal, pemimpin partai, penasehat ekonomi Presiden – dan mungkin juga seorang selebritis. Pesta dan titik singgung itu tak lagi disana. Salah satu ekonom terbaik Indonesia itu meninggal dunia dalam usia 63 tahun pada tanggal 28 Juli 2008. Apa yang harus dikenang dari Sjahrir yang lahir di Kudus 24 Februari 1945 ?

Bagi saya, Sjahrir --kawan, kakak dan guru saya-- adalah sebuah inspirasi, sebuah kontroversi dan sekaligus sederet pertanyaan. Pertanyaan pertama yang muncul: bagaimana seorang yang menulis disertasi tentang kebutuhan pokok, dapat begitu tangkas bicara membela pasar bebas. Mereka yang terpasung dan menggemari kategorisasi atau kiri atau kanan, atau sosialis atau liberal akan kesulitan untuk menjawabnya.

Jika kita membaca lagi disertasi, yang ditulisnya dibawah bimbingan ekonom terkenal Prof. Peter Timmer, di Harvard University, Sjahrir menulis bahwa yang dibutuhkan untuk membantu rakyat miskin adalah pendekatan pemerintah (perdefinisi kebijakan negara) untuk mempengaruhi alokasi sumber daya melalui pasar atau institusi lain, sehingga dapat terpenuhinya konsumsi minimum dan pelayanan strategis seperti pendidikan dan kesehatan. Disini Sjahrir bicara soal infrastruktur. Ia sudah bicara soal itu di pertengahan tahun 1980 an. Saya kira pengalamannya sebagai aktivis berpengaruh besar dalam disertasi ini. Ia menunjukkan bagaimana tekanan oposisi dan gerakan mahasiswa yang mencapai kulminasi pada peristiwa Malari, tahun 1974 – yang membawanya mendekam di penjara-- telah memaksa pemerintah waktu itu untuk mengubah orientasi pembangunan kepada upaya pemenuhan kebutuhan pokok.

Tetapi disisi lain, jika kita membaca uraian-uraiannya di buku “Kebijaksanaan Negara” dan pelbagai media masa dan juga bicaranya di pelbagai seminar, maka Sjahrir, yang menamatkan Sarjana Ekonomi nya dari FEUI, adalah sosok, yang dengan keyakinan seorang Friedmanian, bicara tentang ‘betapa berbahayanya’ distorsi yang diakibatkan oleh intervensi pemerintah dalam pasar. Dengan cepat kita bisa menangkap pelbagai ‘warna’ disini. Jika saja kita bisa mengidentifikasi Sjahrir dalam label “atau neo-klasik atau neo-marxis”, penjelasan tak akan seruwet ini.

Sikap ogah negara sebenarnya bukan hal yang baru. Albert Hirschman dalam bukunya Essay in trespassing : economics to politics and beyond, menulis tentang ‘persekutuan yang aneh’ atau ‘persekutuan yang tak suci’ antara pemikiran ekonomi neo-klasik dan ekonomi neo-marxis. Bagi neo-klasik, negara merintangi kekuatan pasar untuk bekerja, dan bagi neo-marxis negara dianggap sebagai sekutu perusahaan multinasional dan modal lokal atau kaum komprador. Keduanya sangat kritis terhadap peranan negara atau pemerintah. Tapi persoalannya menjadi lain, karena Sjahrir bukan seorang neo-klasik, apalagi seorang neo-marxis. Ia amat pro pasar, tetapi ide ‘kebutuhan pokok’ nya justru melihat perlunya peran negara. Itulah sebabnya Sjahrir tetap ‘tak terjelaskan’.

Satu-satunya penjelasan yang paling dekat kepada kontradiksi ini sebenarnya adalah pemikiran Amartya Sen, pemenang nobel ekonomi 1998. Sen memang memiliki posisi yang sangat unik. Ia mencoba menjembatani peseteruan teoritis antara John Rawls dan Robert Nozick. Sen mengatakan bahwa kemiskinan harus dipandang dalam konsep kapabilitas. Kapabilitas merefleksikan kebebasan yang memungkinkan orang untuk menjalankan pelbagai fungsi dalam hidupnya (functionings). Orang menjadi miskin karena ruang kapabilitas mereka kecil, bukan karena mereka tidak memiliki barang. Dengan kata lain orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Implikasinya: kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, tetapi karena aktifitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut. Itu sebabnya peran dari kebebasan menjadi begitu penting. Kebebasan adalah syarat utama dari dimungkinkannnya sebuah tindakan untuk memiliki sesuatu. Mungkin itu sebabnya, Sjahrir begitu memuja Sen. Barangkali, sadar atau tak sadar, ia menemukan pembenaran posisinya lewat argumen teoritik yang diajukan oleh Amartya Sen.

Dari Sjahrir lah saya mengenal pemikiran Sen. Saya waktu itu mahasiswanya di kelas Perekonomian Indonesia di FEUI. Bagi banyak mahasiswa, termasuk saya, ia begitu bergelora, begitu mempesona. Kuliahnya mirip orasi dengan retorika yang menyengat. Saya ingat, bagaimana ia mengkritik kebijakan pemerintah soal monpoli cengkeh BPPC --yang menurutnya—menghina otak kita. Bagi mereka yang membutuhkan amunisi untuk gerakan mahasiwa waktu itu, Sjahrir adalah sebuah inspirasi. Setahun kemudian, bersama Mohamad Ikhsan, saya menjadi asistennya di mata kuliah itu. Dari sana diskusi mengenai Sen, kebutuhan pokok dan mekanisme pasar berlanjut. Mengherankan sebenarnya, karena waktu itu saya hanyalah mahasiswa tahun terakhir, yang belum lagi genap menyelesaikan skripsi, sedang Bang Ciil – begitu saya biasa memanggilnya— sudah menjadi salah satu ekonom paling baik di Indonesia. Tak ada jarak, tak soal rentang usia, kita duduk bersama mendiskusikan gagasan dan berdebat. Sjahrir memang tak mengenal senior-junior. Ia memperlakukan orang sebagai teman, karena ia tak pusing dengan struktur hirarki yang memasung. Saya sulit membayangkan, seorang dosen senior, ekonom kelas satu, datang ke rumah menjemput asistennya untuk berangkat ke kampus bersama! Jam 6.30 pagi hari Rabu, Sjahrir dengan tak sabar menunggu didepan rumah saya. Saya sering bangun terlambat dan bergegas lari keluar rumah. Tegurannya khas, tajam --agak tak sabar-- tapi bersahabat” Gue heran sama lu De, susah banget bangun pagi! Lu nggak sempet makan kan? Ntar kita cari makan.” Bang Ciil memang pribadi yang hangat, cerdas dan kocak.

Ia tak pernah tersinggung bila dilingkungan terdekatnya di olok-olok soal postur tubuhnya. Seorang teman mengatakan alasan Ciil jarang mengetik dengan komputer adalah karena jarinya lebih besar dari tuts nya. Ia akan tertawa renyah mendengar ini. Saya juga tak akan lupa, ketika peristiwa Semanggi II, bersama beberapa kawan, kita berada di Universitas Atmajaya, kita berlari menghindari peluru karet yang ditembakkan aparat. Sjahrir juga ikut berlari. Didepan, tembok pagar menghadang, Sjahrir diangkat bersama-sama keatas pagar, ia melompat dan jatuh masuk selokan yang kotor!

Sjahrir memang sebuah pesta. Ia penuh warna. Ia punya berbagai atribut. Sjahrir pernah menjadi pelaku pasar modal, ekonom sekaligus juga seorang aktivis. Mungkin hanya Sjahrir sendiri yang bisa menjelaskan tentang posisi ini. Tetapi jika kita ingin melihatnya dalam konteks pemikiran ekonominya, maka disini sebenarnya terlihat kekuatan dan sekaligus kelemahannya. Sebenarnya menjadi ekonom dan sekaligus pelaku pasar modal bukanlah cerita baru. Keynes dan David Richardo adalah seorang ekonom sekaligus pedagang surat berharga. Karena posisi ini pula –lewat Richardo-- ekonomi menjadi in dikalangan kaum borjuasi. Bila sebelumya di salon-salon di Inggris dibicarakan tentang drama Shakespeare atau sonata nya Purcell, maka konon karena Richardo kelompok borjuasi bicara tentang penggunaan modal dan pembentukan harga. Sjahrir sendiri pernah memilih untuk mengambil dua posisi sekaligus : pelaku pasar modal dan ekonom. Keunggulannya : ia tentu saja mampu menghubungkan sesuatu yang kerap disebutnya “macro-micro lingkange”. Tetapi harga yang harus dibayarnya adalah kita tak menemukan lagi karya akademis yang ketat, seperti disertasi Ph.D nya.

Ketika krisis ekonomi terjadi, saya kira Sjahrir cukup jujur dengan pelbagai keterbatasan penjelasan ekonomi saat ini. Praktis memang belum ada satu ekonom pun yang dengan sempurna dapat memberikan resep untuk menjawab krisis ekonomi saat itu. Penjelasan yang ada sekarang pun, saya kira bersifat post factum. Ia seolah benar, karena menjelaskan setelah kejadian. Saya kira Sjahrir benar, kita memang butuh ruang untuk kontemplasi.

Minat dan energinya didalam politik amat kental. Ada sebuah tulisannya di Harian Neraca yang kalau tak salah berjudul ‘Yang ada dan yang tiada’, dengan nada getir dan masygul ia menulis – saya kutip dari ingatan—“yang ada kini legalitas dan konstitusi. Yang hilang adalah legitimasi. Yang ada sekarang adalah kabinet reformasi, tapi kita kehilangan pelaksanaan reformasi….” Lalu ia mengatakan: daripada mengutuk kegelapan, lebih baik mulai menyalakan lilin. Mungkin karena itulah ia memutuskan untuk mendirikan Perhimpunan Indonesia Baru yang kemudian membidani lahirnya Partai Perhimpunan Indonesia Baru.
Sjahrir memang sebuah pesta dengan beragam warna, sederet pertanyaan dan sebuah eksplorasi yang tak sudah.

Indonesia Kembali dalam Radar Screen-MCB

Berikut tulisan saya di Analisis Ekonomi Kompas, Senin 4 Agustus 2008, hal 1

ANALISIS EKONOMI
Indonesia Kembali dalam "Radar Screen"

Oleh MUHAMMAD CHATIB BASRI

Ada suatu masa ketika kita begitu galau akan lemahnya sisi permintaan, daya beli, dan daya dorong perekonomian. Data empiris menunjukkan, identifikasi itu tak sepenuhnya benar.

Melihat pertumbuhan konsumsi selama 10 tahun terakhir, sulit bagi kita membuktikan argumen tentang lemahnya daya beli. Kalau begitu, di mana masalah kita? Di sini pentingnya membaca laporan Economic Assessment of Indonesia 2008 yang diluncurkan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) minggu lalu. Hal yang positif, Indonesia masuk kelompok ”negara-negara dengan keterlibatan yang ditingkatkan” atau enhanced engagement countries, bersama Brasil, India, China, dan Afrika Selatan. Indonesia kembali dalam radar screen.

Di sisi lain, laporan ini juga mengandung pesan: problem kita yang utama adalah sisi penawaran. Problem yang utama bukanlah daya dorong, tetapi daya dukung perekonomian.

Selengkapnya

Kamis, 31 Juli 2008

DAMPAK KRISIS ENERGI LISTRIK

DAMPAK KRISIS ENERGI LISTRIK
BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA

Departemen Kajian Keilmuan
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran

Saat ini Indonesia ditengah dihadapi krisis energi yang telah menggangu kondisi perekonomian Indonesia. Setelah beberapa saat yang lalu pemerintah memberlakukan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi yang telah memukul perekonomian, kini ditambah krisis listrik yang terjadi di hampir seluruh pelosok Indonesia. Benar-benar sebuah ujian berat yang harus dihadapi perekonomian negara yang kita cintai ini, apakah perekonomian ini akan tahan banting atau tidak. Ini merupakan sebuah ironi terbaru bangsa Indonesia yang sedang memperingati seratus tahun Kebangkitan Nasional.
Krisis listrik yang terjadi di Indonesia di sebabkan karena adanya mismacth antara supply dan demand. Ketidakselarasan ini disebabkan karena beberapa hal. Pertama, kemampuan pembangkit listrik milik PLN untuk memproduksi listrik serta kemampuan membeli listrik dari pihak swasta terbatas. Kedua, PLN menyatakan bahwa terjadi kekurangan pasokan bahan bakar pada beberapa pembangkit di Jawa. Ketiga, adanya pengalihan penggunaan listrik dari pembangkit listrik milik sendiri ke PLN, hal ini karena sejak terjadi kenaikan harga BBM membuat pengoperasian pembangkit milik pribadi menjadi sangat tidak ekonomis karena mahalnya harga solar. Namun, peningkatan konsumsi dari listrik ini tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi listrik dari PLN.
Pihak PLN setiap kali berdalih bahwa krisis ekonomi pada tahun 1998 silam yang menjadi sebab terjadinya defisit listrik saat ini. Krisis ekonomi telah menyebabkan investasi dibidang kelistrikan mandek. Tetapi apakah hanya hal ini yang menyebabkan defisit listrik yang terjadi saat ini?



Audit Perusahaan Listrik Negara Mutlak Dilakukan
Selama ini pelayanan dari PLN dalam memasok listrik amatlah jauh dari memuaskan. Tengoklah dalam sebulan saja bisa beberapa kali terjadi pemadaman listrik bergilir, padahal pemadaman listrik ini telah menyebabkan kerugian yang amat luar biasa, terutama untuk para pelaku usaha. Dalam kaitan perbaikan layanan, para pelaku usaha tidak merasa keberatan bila nantinya PLN melakukan penyesuaian tarif, tetapi sebelum hal tersebut diberlakukan, mereka meminta dilakukan audit menyeluruh terhadap kinerja manajemen termasuk perhitungan biaya produksi listrik yang mencapai Rp. 1.304 per kWh. Audit ini mutlak dilakukan karena sudah menjadi sebuah rahasia umum bahwa selama ini kinerja PLN amat buruk, tidak efisien, serta tidak transparan.
Pelaku usaha juga mengingatkan pemerintah agar jauh-jauh hari dari sekarang mulai mengantisipasi ketersediaan pasokan batubara bagi proyek pembangunan berkapasitas 10.000 MW yang saat ini tengah dikerjakan. Sebab jika tidak, pembangunan PLTU tersebut akan sia-sia dan tidak menjadi solusi krisis listrik yang terjadi saat ini. Perlu juga dipikirkan tentang biaya produksi yang akan dikenakan pada industri dan masyarakat, mengingat 75 persen pembangkit baru yang akan dikebut penyelesaiannya pada 2010 itu masih mengandalkan penggunaan batu bara.
Saat ini harga kontrak batu bara dunia telah mencapai 180 dollar per ton. Kalau tingginya harga batu bara tersebut sepenuhnya dibebankan dalam perhitungan tarif dasar listrik industri, maka tidak banyak industri yang mampu memikulnya. Selain itu, seharusnya hal itu tidak terjadi karena selama ini Indonesia menjadi salah satu pemasok batu bara terbesar di dunia.
Amat ironis bila hal tersebut benar-benar terjadi, karena dua perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia yakni, PT Tambang Bukit Asam adalah milik pemerintah dan PT Bumi Resource adalah milik salah satu menteri yang sedang menjabat saat ini.

Surat Keputusan Bersama Lima Menteri
Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani lima menteri yakni, Menteri Perindustrian, Menteri ESDM, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri BUMN disebutkan bahwa, setiap perusahaan industri diwajibkan mengalihkan satu atau dua hari kerja dalam sebulan, ke hari Sabtu atau Minggu. Sebelumnya, PLN melakukan penghematan listrik dengan melakukan pemadaman bergilir di seluruh Indonesia, yang lebih parahnya lagi, di beberapa daerah pemadaman listrik bisa terjadi seharian penuh dan empat kali dalam seminggu. Jelas terlihat bahwa selama ini kebijakan pemerintah hanya berorientasi jangka pendek.
Gagasan pergeseran hari operasional industri dilakukan karena kapasitas tak terpakai listrik selama sabtu-minggu cukup besar. Setiap sabtu dalam sistem kelistrikan Jawa-Bali terdapat daya listrik tak terpakai sebesar 1.000 MW, sedangkan untuk hari minggu sebesar 2.000 MW. Dengan kata lain, total setiap sabtu-minggu daya listrik tidak terpakai sebesar 3.000 MW. Dengan adanya kondisi tersebut, diharapkan kalangan industri bisa melakukan libur secara bergiliran.
SKB lima menteri yang telah mulai diberlakukan dipastikan semakin merepotkan pelaku industri. Para pelaku industri tentunya akan sulit bila harus melaksanakan ketentuan ini, karena selama ini hari sabtu dan minggu merupakan hari libur, jadi bila hari kerja di pindahkan ke hari itu maka para pekerja akan meminta bayaran tambahan sebagai bayaran overtime. Selama ini berbagai survey juga menyebutkan bahwa kalangan industri hanya menggunakan 50 hingga 70 persen dari kapasitas produksinya. Artinya masih banyak mesin-mesin pabrik yang tidak berjalan dengan kapasitas maksimal.

Dampak Krisis Listrik Pada Sektor Ekonomi
Krisis listrik yang terjadi saat ini menuntut PLN melakukan pemadaman listrik bergilir. Berbagai sektor penunjang perekonomian pun terkena imbasnya. Industri manufaktur sebagai penyumbang GDB terbesar Indonesia, yang larinya sekarang sedang terengah-engah akibat kenaikan harga BBM Mei lalu bertambah parah akibat pemadaman listrik ini. Selain itu, gerbang utama masuk Indonesia, yakni Bandara Soekarno Hatta juga terkena imbasnya, bahkan rumah sakit yang notabenenya tempat merawat orang sakit seharusnya tidak mengalami gangguan pasokan listrik juga terkena pemadaman pula. Pemadaman listrik tersebut turut membuat bengkak biaya operasional mereka karena harus menggunakan genset yang bermesin diesel dan amat boros dalam mengonsumsi bakar solar.
Seboros-borosnya pemakaian genset, tapi mereka patut beruntung karena masih dapat tertolong dengan penggunaan genset ini. Ada beberapa sektor yang sama sekali tidak dapat berkutik ketika terjadi pemadaman listrik yang dilakukan oleh PLN. Industri pengolahan ikan dan udang tidak dapat beroprasi ketika terjadi pemadaman, karena industri ini seratus persen membutuhkan listrik untuk mengoperasikan mesin pendingin. Mesin ruang pendingin sama sekali tidak bisa menggunakan genset sebagai pemasok daya listrik karena kebutuhan listriknya terlalu amat besar.
Ketika listrik ruang pendingin padam beberapa jam saja dapat meningkatkan suhu di dalam ruangan tersebut, hal ini dapat menyebabkan bentuk dan mutu produk hasil laut tersebut berubah. Bahkan negara pengimpor hasil laut dapat saja menolak masuknya produk hasil produksi Indonesia karena mutunya telah di bawah standar. Padahal ekspor hasil laut Indonesia merupakan salah satu sumber pemasukan yang terbesar.

Simpulan
Mungkin terlalu banyak hal yang seharusnya dibenahi dalam sistem kelistrikan di negara kita ini. Berbagai masukan pula telah banyak di berikan berbagai kalangan mulai dari para pelaku usaha, ahli bidang kelistrikan, hingga para ekonom. Maka dari itu, kita lihat saja ke depannya apakah semboyan 100-75, yang artinya pada ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-75, seluruh wilayah Indonesia telah dialiri listrik dengan baik, dapat diwujudkan oleh PLN.

Minggu, 27 Juli 2008

Selamat jalan, Bang Ciil -- AAP

Baru 15 menit yang lalu, saat saya melangkah masuk kantor, Mas Kom (Komara Djaja) mengabarkan, "Co, adik saya yang di Singapura barusan SMS. Bang Ciil sudah pergi". Segera saya cek ke Dede (Chatib Basri). Ya, kata Dede, jam 8:30 tadi pagi. Inna lillaahi wa inna ilaihi raji'un.

Saya termasuk yang beruntung pernah menjadi asisten Bang Ciil, panggilan akrab Dr. Sjahrir, ekonom UI dan penasehat Presiden SBY. Tahun 1994/95 saya menjadi asisten Bang Ciil untuk matakuliah Perekonomian Indonesia (PI), bersama Ujang (Firman Witoelar), dan Ira Setiati (sekarang di CSIS). Saya belajar banyak dari beliau. Setiap kali rapat, kami bertiga disodori seabrek-abrek buku baru -- untuk dijadikan referensi dalam kelas PI. Sebelum kami bertiga, asisten Bang Ciil yang juga menggawangi kelas PI adalah Ican (Moh. Ikhsan) dan Dede. Pertemanan dengan Bang Ciil tidak berhenti pada kuliah PI saja. Ia mengajarkan kami bagaimana menulis dengan baik. Memperkenalkan kami dengan literatur-literatur terbaru. Dan tentu saja, mentraktir kami makanan-makanan enak.

Selamat jalan, Bang Ciil...


Catatan:
Catatan Rizal, Cafe Salemba
Catatan Ap, Cafe Salemba
Catatan Ujang, Cafe Salemba
Komentar Bang Faisal, dari blog Faisal Basri
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: 2008 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates