Senin, 19 Mei 2008

Perlindungan Kelompok Miskin - MCB

Berikut adalah tulisan saya di Analisis Ekonomi Kompas, 19 Mei 2008, hal 1


ANALISIS EKONOMI
Perlindungan Kelompok Miskin


Muhammad Chatib Basri

Mahatma Gandhi pernah menulis dengan nada lirih, kemiskinan adalah kekerasan dalam bentuk yang paling buruk. Orang miskin memang seperti sebuah representasi nasib buruk. Mereka bukanlah sebuah kesudahan yang tragis, melainkan keseharian yang harus dijalani.

Lalu bagaimana mereka mesti dilindungi, terutama ketika harga pangan dunia melonjak?

Selengkapnya

Debat BBM (3) -- Ari A. Perdana

Berikut adalah komentar Ari A. Perdana atas beredarnya sebuah surat elektronik tentang subsidi dan BBM, yang antara lain menggunakan argumen Kwik Kian Gie bahwa "[adanya] subsidi adalah sebuah kebohongan". Ari menulis ini di blog pribadinya, Gallery of Mind. Kita muat kembali di sini.


Mengapa Kwik Keliru?

Oleh Ari A. Perdana

Menjelang pengumuman kenaikan harga BBM, sebuah artikel lama yang ditulis oleh Kwik Kian Gie kembali menjadi wacana. Artikel itu bertajuk “Menaikkan Harga Bensin Premium,” dimuat di harian Kompas hampir dua tahun lalu (1/8/06). Poin dari artikel itu: subsidi BBM sesungguhnya tidak pernah ada (linknya sudah ditutup oleh Kompas).

Landasan argumen Kwik adalah sebuah perhitungan akuntansi. Biaya yang diperlukan untuk menghasilkan satu liter bensin premium, mulai dari pengeboran, pengilangan hingga pengangkutan ke pompa bensin sama dengan 10 Dolar AS per barel (159 liter). Dengan nilai tukar Rp8.600 per Dolar AS, dua tahun lalu Kwik mengatakan bahwa biaya produksi per liter premium sama dengan Rp540. Kwik menambahkan, tidak ada subsidi karena dengan harga jual premium sebesar Rp1.810 per liter, sebenarnya untuk setiap liter premium yang dijual pemerintah mendapat surplus.

Menurut Kwik, “pemerintah merasa memberi subsidi kepada rakyat yang membeli bensin premium karena seandainya bensin premium itu dijual di luar negeri, [saat itu] harganya 50 dollar AS per barel … Pemerintah merasa memberi subsidi karena tidak bisa menjual bensin dengan harga dunia, gara-gara adanya kewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya akan bensin premium dengan harga yang rendah … Pemerintah jengkel, merasa sial benar tidak dapat menjual bensinnya di luar negeri … kesempatan itulah yang hilang [menjadi subsidi], bukan uang tunai.”

Dengan dasar logika dan perhitungan serupa, sebuah artikel yang sekarang ini berdar lewat media surat elektronik dan blog menyesuaikan perhitungan itu dengan angka-angka terbaru. Kesimpulannya sama, subsidi adalah sebuah kebohongan. Menurut artikel itu, “Jika harga minyak Internasional 125 Dolar AS/barel dan biaya 15 Dolar AS/barel serta impor 200 ribu barel/hari maka pemerintah Indonesia dengan harga Rp4.500/liter (77 Dolar AS/barel) untung 49,4 juta Dolar AS per hari atau Rp165,8 trilyun dalam setahun (1 Dolar AS = Rp 9.200).”

Yang benar dan yang keliru

Kwik (dan Agusnizami) benar, secara akuntansi harga jual domestik sekarang masih lebih besar dari biaya produksi. Artinya, untuk per liter premium pemerintah masih mendapat surplus. Kwik benar, yang disebut sebagai subsidi memang selisih antara harga internasional (harga yang akan diterima oleh penjual minyak, dalam hal ini pemerintah) dengan harga domestik. Sampai di sini Kwik benar, 'subsidi' memang terjadi karena adanya 'kesempatan yang hilang' (opportunity cost) -- pemerintah kehilangan pendapatan potensial dengan menjual bensin dengan harga di bawah harga internasional.

Tapi Kwik salah ketika ia mengatakan 'tidak ada subsidi.' Kwik salah ketika melihat bahwa masalahnya hanya sekedar "pemerintah jengkel benar" (karena tidak bisa mengambil untung lebih besar dari harga internasional karena harus melayani rakyatnya). Kwik lupa bahwa pendapatan yang hilang itu adalah dana yang bisa digunakan untuk mendanai pembangunan sekolah, jalan desa, jembatan, irigasi, Puskesmas dll. Dengan mengatakan bahwa BBM itu "milik pemerintah yang bisa didapat dengan gratis" ia sama saja dengan mengatakan "potensi pendapatan Rp120 triliun dari menjual di harga internasional juga bukan milik pemerintah." Lupa, atau pura-pura lupa?

Justru di sinilah terjadi subsidi -- dari konsumen BBM ke konsumen barang publik yang lain. Siapa konsumen (penikmat subsidi) BBM? Menurut Sakernas 2006, hampir 3/4 subsidi BBM dinikmati oleh 30% penduduk terkaya. Hanya kurang dari 5% dinikmati oleh 20% penduduk termiskin.

Saya tidak percaya Kwik tidak paham konsep opportunity cost. Yang lebih mungkin adalah ia pura-pura tidak paham. Kwik betul, memang terjadi pembodohan. Sayangnya, ia juga berkontribusi pada pembodohan ini.

Catatan: Arya Gaduh sudah pernah membahas hal ini ketika pertama kali artikel Kwik keluar. Teguh Dartanto menyajikan analisis lebih dalam berikut perhitungan-perhitungan tentang produksi dan konsumsi minyak Indonesia.

Debat BBM (2) -- Teguh Dartanto

Berikut adalah tulisan dari Teguh Dartanto tahun 2005 tentang BBM, subsidi, dan kemiskinan. Tulisan ini tampaknya masih relevan dalam perdebatan BBM belakangan ini. Teguh adalah peneliti LPEM-FEUI yang saat ini kuliah di Hitotsubashi University. Tulisan ini dimuat di Inovasi Online, media komunikasi PPI Jepang.


BBM, Kebijakan Energi, Subsidi, dan Kemiskinan di Indonesia

Oleh Teguh Dartanto

Kenaikan harga minyak yang mencapai 60.63 US$/Barel memberikan masalah tersendiri bagi negara-negara pengimpor minyak. Kenaikan harga minyak secara langsung akan meningkatkan biaya produksi barang dan jasa dan beban hidup masyarakat dan pada akhirnya akan memperlemah pertumbuhan ekonomi dunia. Terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi kenaikan harga minyak secara tajam. Pertama, invasi Amerika Serikat ke Irak: invasi ini menyebabkan ladang minyak di Irak tidak dapat berproduksi secara optimal sehingga supply minyak mengalami penurunan. Kedua, permintaan minyak yang cukup besar dari India dan Cina. Ketiga, badai Katrina dan Rita yang melanda Amerika Serikat dan merusak kegiatan produksi minyak di Teluk Meksiko. Keempat, ketidakmampuan dari OPEC untuk menstabilkan harga minyak dunia.

....

Kenaikan harga minyak menjadi petaka tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Pada kenyataannya Indonesia yang saat ini dikenal sebagai salah satu penghasil minyak dunia sekarang merupakan salah satu negara pengimpor minyak. Kenaikan ini akan meningkatkan beban anggaran pos subsidi BBM dan pada akhirnya akan meningkatkan defisit APBN dari sekitar 0.7% Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 1.3% PDB. Upaya pemerintah untuk menutupi defisit APBN adalah menaikkan BBM pada bulan Maret 2005 sebesar 29% dan disusul kenaikan yang tidak wajar dibulan Oktober 2005 sebesar lebih dari 100%. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu menimbulkan pro-kontra dikalangan masyarakat dan banyak opini/pendapat muncul tanpa diikuti oleh data-data yang akurat sehingga membingungkan masyarakat.

Selanjutnya baca di sini

Minggu, 11 Mei 2008

Ekonomi Politik Beras (6) - AAP


Rekan saya Sonny Mumbunan mengomentari tulisan ini di blognya, Nomor Delapan. Komentar Sonny sangat informatif, silakan baca di sini.

Menurut Sonny, saya keliru menggunakan pendekatan Olson untuk menjelaskan interaksi agen-agen ekonomi dalam kasus beras di Indonesia. Sonny benar, bahwa kerangka Olson dapat digunakan pada agen-agen yang memiliki kepentingan yang beririsan. Dan setelah itu, baru bisa dipikirkan mekanisme insentif selektif untuk memecahkan masalah.

Saya mungkin kurang jelas sewaktu mendiskusikan interaksi antara kelompok produsen dan konsumen. Di dalam papernya sendiri (Basri dan Patunru, 2007, Why the Government Hurts the Poor, presentasi di Keio University, dalam revisi untuk sebuah jurnal), kami menggunakan ilustrasi game theory untuk menjelaskan interaksi pada level sub-kelompok, yaitu kelompok konsumen. Jadi ada kepentingan yang beririsan (common interest) di sini. Dengan logika yang sama, seharusnya ada interaksi yang paralel pada level sub-kelompok produsen. Bedanya, biaya koordinasi di dalam kelompok konsumen lebih besar daripada kelompok produsen. Di samping itu, manfaat total menjadi kecil per kapita di dalam kelompok pertama, relatif dibandingkan yang terjadi pada kelompok kedua.

Dalam gambar di atas (klik untuk memperbesar), saya mencoba menggambarkan interaksi antara konsumen dan konsumen (bukan antara konsumen dan produsen). Dengan kata lain, ini adalah interaksi pada level sub-kelompok. Memahami motif yang bertentangan (walaupun ada kepentingan yang sama: harga yang lebih rendah) di dalam kelompok konsumen diharapkan bisa memberi penjelasan mengapa konsumen (neto) beras di Indonesia "diam" saja walaupun mereka sebenarnya dirugikan. Cara ini sekaligus memberikan landasan untuk membayangkan apa yang terjadi pada kelompok produsen.

Kembali ke gambar. Misalkan ada dua sub-kelompok konsumen. Masing-masing akan memilih apakah "Fight" atau menyuarakan keberatan mereka terhadap proteksi yang menyebabkan harga naik, atau "Giveup", diam saja. Kita asumsikan bahwa biaya dan manfaat dari kedua "strategi" ini adalah seperti yang dicantumkan di dalam Tabel 3 (maaf penomoran ini mengikuti urutan aslinya dalam paper). Jika salah satunya memutuskan untuk "Fight" sendiri, maka sub-kelompok itu dan sub-kelompok lainnya akan memperoleh manfaat masing-masing sebesar b1 dengan biaya c1 yang hanya ditanggung oleh kelompok yang "Fight". Tapi jika kedua sub-kelompok tersebut bekerjasama untuk "Fight", maka manfaat untuk masing-masing adalah b2 dengan biaya masing-masing c2.

Berdasarkan anatomi biaya dan manfaat di atas, kita lalu membangun interaksi hipotetis dalam kerangka game theory seperti pada Tabel 4. Perhatikan bahwa jika kedua sub-kelompok memutuskan untuk "Giveup", masing-masing akan memperoleh manfaat sebesar d. Dalam konteks ini, d adalah biaya yang selama ini dibayarkan oleh konsumen beras rata-rata di Indonesia, sehubungan dengan proteksi yang diberlakukan (lihat juga posting Rizal di Cafe Salemba).

Ilustrasi interaksi di atas menunjukkan apa yang disebut sebagai situasi prisoners' dilemma, jika b1 > b2-c2, d > b1-c1, dan b2-c2 > d. Dalam kondisi seperti ini, tindakan paling rasional ("best response", BR) sebagai respon atas "Fight" adalah "Giveup", BR untuk "Giveup" adalah juga "Giveup". Juga dapat dilihat bahwa strategi bersama "Fight, Fight" (kedua sub-kelompok menyuarakan keberatannya dengan bersamaan) seharusnya memberikan manfaat lebih banyak kepada masing-masing sub-kelompok dibandingkan strategi "Giveup, Giveup". Seandainya, kedua sub-kelompok mau berkoordinasi dan bekerjasama, maka niscaya keseimbangannya adalah menentang bersama-sama, ketimbang masing-masing diam. Kita katakan, situasi akan optimal secara sosial, jika 2(b2 - c2) > 2b1 - c1. Namun apa daya, karena biaya koordinasi tampaknya mahal sekali, keseimbangan Nash justru terjadi pada "Giveup, Giveup": masing-masing memilih bungkam.

Dengan konstruksi yang sama, kita bisa membayangkan apa yang terjadi dalam kelompok produsen (yang mempunyai kepentingan berupa harga yang tinggi). Bedanya, ukuran kelompok ini jauh lebih kecil daripada kelompok konsumen. Akibatnya, mereka lebih mudah berkoordinasi. Dalam konteks Indonesia, tampaknya ada sub-kelompok dalam kelompok produsen yang sesuai dengan apa yang disebut Olson sebagai "privileged group" atau (sub)kelompok yang paling diuntungkan yang anggotanya bersedia membayar bahkan biaya keseluruhan untuk mencapai tujuan kelompok.

Terakhir, apa implikasi dari ilustrasi di atas? Kembali ke solusi Olsonian, ciptakan insentif selektif (lihat tulisan Sonny). Misalnya dengan jalur YLKI.

Jumat, 09 Mei 2008

Debat Kenaikan BBM di SCTV - MCB


Bagi mereka yang tertarik dan tidak sempat menonton debat mengenai kenaikan BBM antara Arianto Patunru, Dradjat Wibowo, Budiman Sudjatmiko dan saya

Silahkan lihat disini

Kamis, 08 Mei 2008

Bom Waktu Subsidi BBM

Harga minyak dunia yang hampir mencapai 120 US dollar per barrel, bahkan pernah mencapai 120 US dollar per barrel beberapa hari yang lalu, menjadikan kondisi keuangan negara semakin carut-marut. APBN pun rajin disesuaikan dengan kondisi yang cukup berfluktuasi.

Saat ini tidak banyak alternatif solusi yang dapat dipilih pemerintah, bahkan mungkin hanya terlintas satu solusi atas permasalahan ini, yaitu dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Pada awalnya, pemerintah enggan menaikkan harga BBM sampai tahun 2009. Faktor politislah yang banyak mendominasi keputusan untuk tetap mempertahankan harga BBM hingga tahun 2009. Pemerintah akan dianggap gagal jika tidak mampu mempertahankan harga BBM. Hal ini akan berdampak pada pilihan masyaraat dalam pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 2009 mendatang.

Kenaikan BBM bersubsidi direncanakan akan mulai dilaksanakan pada bulan Juni 2008. Harga premium akan dinaikkan mejadi Rp 6.000,00 per liter, sedangkan harga solar akan naik menjadi Rp 5.500,00 per liter, dan harga minyak tanah dinaikkan menjadi Rp 2.500,00 per liter. Kenaikan harga BBM ini akan menghemat beban subsidi pemerintah sebesar Rp 35 triliun.

Kebijakan penghematan beban subsidi dengan cara menaikkan harga BBM dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap masyarakat. Pertama, kenaikan harga BBM dengan pengurangan subsidi akan mengurangi kesejahteraan masyarakat. Masyarakat akan menerima harga BBM lebih tinggi yang akan berdampak pada peningkatan biaya produksi dan bagian pendapatan yang digunakan untuk konsumsi. Kedua, pengurangan subsidi BBM akan meningkatkan harga barang lain, dengan kata lain inflasi akan meningkat. Peningkatan harga yang tidak disertai dengan peningkatan pendapatan masyarakat pada persentase yang sama dengan tingkat inflasi akan menurunkan pendapatan riil. Terlebih, saat ini masyarakat tidak mengalami peningkatan pendapatan walaupun harga BBM akan dinaikkan. Ketiga, masyarakat akan mengalami dampak psikologis terkait dengan kenaikan harga BBM yang tidak disertai dengan transparansi pengalokasian dana sebagai akibat dari pengurangan subsidi tersebut. Keempat, kemiskinan akan meningkat karena masyarakat yang berada pada kondisi hampir miskin turut mengalami shock akibat adanya kenaikan harga.

Walaupun terdapat berbagai dampak negatif dengan adanya pengurangan subsidi BBM yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia, namun terdapat pula beberapa hal yang layak untuk dipertimbangkan. Pertama, peningkatan harga BBM berarti peringataan untuk seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak menghambur-hamburkan BBM. Kedua, pengurangan subsidi BBM pada masa sekarang berarti membantu generasi mendatang agar tidak begitu besar untuk menanggung beban utang negara sebagai akibat dari pembiayaan defisit APBN. Bagaimanapun juga, pemberian subsidi dari pemerintah yang berlebihan merupakan bom waktu terhadap perekonomian negara.

Rencana program pemberian BLT Plus sebesar Rp 100.000,00 per kepala keluarga setiap bulan, minimal selama satu tahun hanya merupakan solusi jangka pendek terhadap kenaikan harga BBM. Namun, hal ini jauh lebih baik dibandingkan jika pemerintah tidak melakukan apapun untuk mengurangi beban masyarakat. Akan lebih baik lagi jika ability to pay dari masyarakat ditingkatkan secara bertahap, sehingga ketergantungan masyarakat terhadap ’ikan’ pemberian pemerintah berangsur-angsur berkurang. Sudah saatnya pemerintah menyediakan ’pancing’ kemudian memberikannya kepada masyarakat, tidak lagi memberikan ’ikan’ secara cuma-cuma.

Departemen Kajian Strategis
BEM FEB UGM

Sabtu, 03 Mei 2008

HASIL KAJIAN SENAT MAHASISWA FEUI : APRIL 2008

Pemerintah di Persimpangan Jalan
Setelah diguncang dengan krisis subprime mortgage di pasar finansial kini dunia kembali ditekan oleh munculnya krisis baru yaitu krisis energi yang tercermin dari meningkatnya harga minyak mentah dunia. Krisis harga minyak dunia ini jelas mempengaruhi konsumsi energi dan alokasi anggaran untuk energi setiap negara di dunia. Ada negara yang mendapat keuntungan besar dari kenaikan harga ini yaitu negara-negara yang menjadi net eksporter minyak dan di sisi lain juga banyak negara-negara yang harus berpikir ulang untuk memperbaiki alokasi anggarannya ataupun mencari dan mengembangkan sumber energi baru untuk menghindari kebangkrutan anggaran. Sayangnya Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang pontang-panting mencari cara menyelamatkan anggaran negaranya akibat kenaikan harga minyak ini dengan memunculkan beberapa opsi diantaranya melakukan kenaikan harga BBM untuk menghindari kebangkrutan anggaran akibat subsidi yang membengkak.



Subsidi yang Mematikan


Ketika harga minyak terus melonjak hingga melebihi harga US$120 per barel , bahkan diprediksi bakal terus melonjak hingga mencapai angka US$ 200 per barrel seiring dengan terus terkikisnya nilai USD, pemerintah merasa khawatir akan jebolnya APBN-P tahun ini dengan besarnya subsidi yang harus ditanggung. Dengan harga minyak dunia yang sekarang saja, yakni sekitar US$ 120 per barrel , pemerintah harus menyediakan dana subsidi sekitar Rp 260 triliun, padahal angka yang disepakati pada APBN-P hanya sebesar Rp 126 triliun, melonjak dari alokasi awal di APBN sebesar Rp 45 triliun.


Bila prediksi betul-betul menjadi kenyataan di angka US$ 200 per barrel, berarti pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk subsidi nyaris dua kali lipat, yakni sekitar Rp 400 triliun. Dalam APBN-P besar defisit yang telah disepakati adalah sebesar 2 % terhadap PDB dan apabila harga minyak terus berada di kisaran harga US$ 118-US$ 120 sedangkan pemerintah tetap mempertahankan harga BBM untuk konsumsi masyarakat di tingkat domestik seperti saaat ini (misalnya premium Rp 4500 per liter) maka bantalan pengaman yang disediakan oleh pemerintah untuk subsidi BBM bisa membengkak dari rencana semula sekitar Rp 9,3 triliun.


Alhasil pemerintah pun dengan sangat terpaksa melakukan pinjaman kepada ADB sebesar 650 juta dollar AS untuk menutupi defisit yang semakin besar. Sebetulnya berdasarkan saran dari para pengamat ekonomi, pemerintah harus meningkatkan harga BBM domestik sebesar 10 – 15 %. Namun, pemerintah dengan segala kegamangan serta pertimbangan politis untuk pemilu 2009 memutuskan bahwa kenaikan harga BBM merupakan opsi terakhir.


Pemerintah tidak bisa terus melakukan peminjaman kepada pihak asing untuk menutupi defisit APBN, sebab dengan kondisi terbatasnya likuiditas global akibat krisis subprime mortgage di AS, persyaratan yang diajukan akan cenderung lebih berat dari biasanya dan tentunya akan semakin membelenggu kebebasan pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang diinginkannya dan pada akhirnya akan membebani pemerintah di masa depan. Sedangkan untuk pembiayaan dalam negeri, pemerintah sudah tidak bisa lagi mencari pembiayaan dari dalam negeri karena nilai pembiayaan dari dalam negeri yang dilakukan pemerintah sudah cukup besar dan apabila pemerintah kembali mencari pembiayaan dari dalam negeri, ditakutkan dapat memberikan crowding out effect yang dapat meningkatkan biaya bagi sektor ekonomi swasta dan dapat menekan pertumbuhan ekonomi.



Usulan Solusi


Ketika pemerintah pada akhirnya harus mengambil kebijakan kenaikan harga BBM, menurut hemat saya ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Pertama, besarnya persentase kenaikan harga BBM. Kenaikan sebesar 10-20 % dirasakan cukup proporsional dalam kondisi masyarakat yang sudah mengalami pukulan cukup berat akibat kenaikan harga pangan dan minyak goreng dan tanah. Dikhawatirkan bila kenaikan harga BBM lebih dari 20 %, daya beli masyarakat akan semakin terpukul. Belajar dari kenaikan BBM di tahun 2005 yang mencapai 120% dan menimbulkan shock yang besar di perekonomian sehinggga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk recovery, kenaikan yang terlalu besar akan memberi efek yang sangat buruk terhadap perekonomian saat ini.


Kedua, pemerintah juga harus meningkatkan koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter dengan BI untuk mengantisipasi inflasi yang akan terjadi karena saat ini 80% inflasi di indonesia berasal dari ekspektasi inflasi. Dapat terjadi inflation overhang. Kebijakan ini sendiri dianggapoleh beberapa pengamat sebagai langkah yang tepat karena selama ini subsidi sebenarnya masih lebih banyak dinikmati oleh golongan menengah keatas yang memiliki kendaraan pribadi.


Terakhir, pemerintah harus menerapkan kebijakan lainnya yang dapat meringankan beban rakyat yang sudah berat untuk mengompensasi kenaikan harga ini yang bersifat sebagai cushion. Contohnya adalah memberikan subsidi langsung dalam bidang pangan kepada rakyat miskin dengan mengambil sedikit dari proporsi subsidi BBM yang telah dikurangi; dapat juga mengurangi SPP bagi rakyat kecil, dll. Tentu saja kebijakan-kebijakan yang diusulkan ini sangat mensyaratkan berubahnya kinerja para birokrat ke arah yang lebih baik dalam melaksanakannya di lapangan sebab kalau tidak hanya sekedar utopia belaka.



Grafik menunjukkan siapa yang sebenarnya menerima subsidi!!
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: Mei 2008 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates