Selasa, 17 Juni 2008

Undangan Diskusi: Kesenjangan Pendapatan

Kesenjangan Pendapatan di Dunia: Mengapa?

Sebagaimana yang telah menjadi diskusi serius, kita memang hidup di dunia yang tidak merata. Menurut Branko Milanovic (1999), 25% penduduk terkaya di dunia menikmati 75% pendapatan dunia. Dalam konteks antarnegara, rata-rata pendapatan per kapita 20 persen negara terkaya mencapai 25 kali pendapatan per kapita 20 persen negara termiskin di tahun 2000.

Namun sebuah potret yang diambil pada satu waktu tentu tidak bisa bicara banyak. Ada beberapa pertanyaan yang perlu diajukan: 1) Bagaimana kecenderungan kesenjangan pendapatan dari waktu ke waktu? 2) Mengapa terjadi kesenjangan? 3) Apakah kesenjangan pendapatan adalah sesuatu yang tidak terelakkan? 4) Apakah kita harus fokus pada menghilangkan kesenjangan, atau pada peningkatan kesejahteraan penduduk di bagian terbawah distribusi pendapatan?

Freedom Institute, Friedrich Naumann Stiftung, dan Café Salemba kembali akan mengadakan sebuah diskusi ekonomi, kali ini dengan topik di atas. Tempat di Freedom Institute, Jalan Irian No. 8, Menteng, Jakarta, hari Kamis 19 Juni 2008, 18.00 - 21.00, bersama Ari A. Perdana (FEUI, Café Salemba) dan Teguh Yudo Wicaksono (CSIS, Ruang 413) dan moderator Hamid Basyaib (Freedom Institute).

Bagi anda yang berminat untuk hadir dalam diskusi tersebut dapat menghubungi Freedom Institute, dengan kontak: Tata atau Imie pada nomor telp. 021 3190 9226.

Senin, 09 Juni 2008

Dampak Kenaikan Harga BBM dilihat dari berbagai perspektif matapencaharian masyarakat

KENAIKAN HARGA BBM DAN DAMPAK
TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN INDONESIA

Departement Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran

Sesuai yang dikatakan pemerintah, tahun 2008 pasti akan menjadi tahun yang amat berat bagi pemerintahan SBY-JK dan masyarakat Indonesia. Kenaikan harga minyak dunia turut meningkatkan angka defisit APBN yang telah mengalami perubahan pada bulan Maret lalu. ICP (Indonesian Crude Price) hingga akhir bulan Mei saja telah mencapai $117 per barel, padahal dalam APBN-P 2008 ICP dipatok pada level $95 per barel. Dalam rangka penyelamatan APBN inilah pemerintah menaikan harga BBM bersubsidi yang direalisasikan pada tanggal 24 Mei 2008 lalu. Kenaikan ini disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia yang telah menyentuh rekor tertinggi baru sepanjang masa, menyentuh level $139 per barel.
Pemerintah mengambil opsi ini berdasarkan UU APBN-P 2008, Pasal 14 ayat (2) yakni, dalam hal terjadi perubahan harga minyak yang sangat signifikan dibandingkan asumsi harga minyak yang ditetapkan, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah kebijakan yang diperlukan dibidang subsidi BBM dan/atau langkah-langkah lainnya untuk mengamankan pelaksanaan APBN 2008 .
Di satu sisi, pemerintah ingin menyelamatkan APBN dari defisit yang terus meningkat, tetapi disisi lain kenaikan harga BBM hampir dipastikan akan menyebabkan multiplier efek yang luar biasa. Inflasi merupakan akibat yang amat ditakutkan setelah terjadinya kenaikan harga BBM bersubsidi, belum lagi persoalan-persoalan lain yang juga membayangi kenaikan harga BBM ini, seperti persoalan politik dan sosial masyarakat. Angka inflasi Indonesia bulan Mei 2008 saja telah mencapai 10,38 % YoY, 5,37 % YTD atau lebih dari 2 kali lipat inflasi Mei 2007. Diperkirakan angka inflasi pada tahun ini dapat mecapai angka 12 % setelah pemerintah merealisasikan kenaikan harga BBM bersubsidi. Padahal pemerintah dan BI mematok inflasi pada tahun ini sebesar 6,5 %, plus-minus satu persen. Daya beli masyarakat yang belum pulih sejak kenaikan harga BBM tahun 2005 dipastikan akan bertambah parah.
Meski pemerintah mengikuti kebijakan menaikan harga BBM bersubsidi dengan membagikan BLT (Bantuan Tunai Langsung) sebesar seratus ribu rupiah per bulan selama satu tahun, cara ini bukanlah jalan yang tepat, bantuan sebesar itu hanya cukup digunakan selama satu minggu. Tekanan inflasi yang paling berat jelas secara nyata sebenarnya dialami oleh kalangan masyarakat berpendapatan rendah. Sekitar 60 persen dari pengeluaran kalangan masyarakat ini tersedot untuk belanja makanan. Kenaikan harga makanan yang berada pada kisaran 15-30 persen tentu berdampak pada penurunan kualitas hidup. Turunnya daya beli masyarakat tentu akan turut memukul dunia industri. Akibatnya angka pertumbuhan ekonomi akan tertekan pula.

Kejanggalan dalam Kenaikan Harga BBM Bersubsidi
Kenaikan harga BBM bersubsidi akibat tingginya harga minyak dunia sangat tidak masuk akal, karena selama ini produksi per tahun minyak Indonesia selalu di atas rata-rata kebutuhan tahunan. Menkeu pernah memberikan angka-angka di berbagai media, yakni lifting : 339,28 juta barrel per tahun, harga minyak mentah : US$ 95 per barrel, nilai tukar rupiah : Rp. 9.100 per US$, dan penerimaan migas diluar pajak : Rp. 203,54 trilyun.
Telah kita ketahui bersama bahwa 90 persen minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan minyak asing, maka mereka pun berhak atas sebagian minyak yang mereka eksploitasi. Menkeu tidak memberi tahu berapa bagian yang kita peroleh dari eksploitasi tersebut, tetapi kita dapat menghitungnya dari angka-angka yang dibeberkan Menkeu.
Hasil lifting minyak dalam rupiah : (339.280.000 x 95) x 9.100 = Rp. 293,31 trilyun. Penerimaan migas Indonesia di luar pajak : Rp. 203,54 trilyun atau sama dengan (Rp. 203,54 trilyun : Rp. 293,31 trilyun) x 100 % = 69,39 %, maka dari 339,28 juta barel hasil lifting, 235,43 juta barel adalah bagian milik Indonesia. Konsumsi BBM dikatakan bahwa sekitar 37 juta kiloliter per tahun atau sama dengan (37.000.000.000 : 159) = 232,7 juta barel, berarti sebenarnya kita mengalami sebuah surplus bukannya defisit seperti yang selama ini dikatakan oleh pemerintah.

Kenaikan Harga BBM Menetang Konstitusi
Dalam menaikan harga BBM bersubsidi ini, pemerintah menyebutkan alasan bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi mutlak dilakukan karena beban APBN 2008 semakin berat dan dapat membuat jebol APBN sendiri karena ICP dipatok pada level U$ 95 per barel sementara harga minyak dunia yang terbentuk New York Mercantile Exchange (NYMEX) berada diatas level U$ 125 per barel bahkan sempat meyentuh level U$ 139 per barel.
Dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi disebutkan dalam Pasal 28 bahwa harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Jadi menentukan harga BBM yang diserahkan pada mekanisme persaingan usaha dinyatakan bertentangan dengan Konstitusi kita, walaupun persaingan usahanya dikategorikan sehat dan wajar.
Mantan Menko Perekonomian Boediono yang sekarang menjabat sebagai Gubernur BI bahkan sempat mengatakan bahwa pemerintah akan menyamakan harga bahan bakar minyak atau BBM untuk umum di dalam negeri dengan harga minyak di pasar internasional secara bertahap mulai September 2008. Ini dilakukan karena anggaran subsidi akan ditekan lebih rendah dan pemerintah ingin mengarahkan kebijakan harga BBM pada mekanisme penyesuaian otomatis dengan harga dunia. Pemerintah tidak ragu memberlakukan harga pasar dunia di dalam negeri karena langkah ini sudah dilakukan di banyak negara dan berhasil menekan subsidi BBM. Apakah masih perlu penjelasan bahwa yang dimaksud adalah harga BBM di Indonesia diserahkan sepenuhnya pada mekanisme persaingan usaha yang berlangsung di NYMEX? Apakah keadaan perekonomian di negara kita sama dengan keadaan perekonomian di negara lain yang menurut pemerintah telah memberlakukan harga pasar untuk BBMnya? Dan apakah masih perlu penjelasan lagi bahwa pemerintah jelas-jelas bertindak melawan konstitusi?
Bahkan secara implisit Menkeu mengatakan bahkan kenaikan harga BBM bersubsidi sekarang ini belum final dan diupayakan terus sampai harga persis sama dengan harga di pasar dunia, atau sepenuhnya diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang berlangsung di NYMEX. Benar-benar sesuatu yang tidak pantas dikatakan seorang menteri, yang seharusnya membela rakyat yang telah mempercayai dan menggaji mereka pula.
Persaingan usaha yang dijadikan landasan mutlak bagi penentuan harga BBM di Indonesia sama sekali tidak sehat dan tidak wajar.
Volume minyak yang diperdagangkan di NYMEX hanya 30 persen dari volume minyak di seluruh dunia. Sisanya yang 70 persen diperoleh perusahaan-perusahaan minyak raksasa atas dasar kontrak-kontrak langsung dengan negara-negara produsen minyak mentah. Di Indonesia melalui apa yang dinamakan Kontrak Bagi Hasil atau production sharing.
Bagian terbesar minyak dunia diproduksi oleh negara-negara yang tergabung dalam sebuah kartel yang bernama OPEC. Kalau mekanisme persaingan masih tetap terdapat sebuah kartel, apa masih bisa disebut sehat dan wajar persaingan tersebut? Para menteri ekonomi kita tetap secara tegas menerapkan dalil bahwa harga minyak yaitu yang ditentukan di NYMEX, walaupun jelas-jelas menentang konstitusi.
Harga yang terbentuk di NYMEX sangat dipengaruhi oleh perdagangan derivatif dan perdagangan oil future trading yang juga berlangsung di NYMEX.

Kenaikan Harga Minyak Dunia Bukan Akibat Faktor Fundamental
Naiknya harga komoditas di dunia termasuk minyak dunia yang terus-menerus membentuk rekor tertinggi baru bukan merupakan hal yang fundamental. Disaat musim dingin telah usai, harga minyak masih terus naik, maka bukanlah karena adanya faktor permintaan, melainkan akibat permainan future trading, akibat banyaknya uang yang menganggur di dunia. Bahkan OPEC secara tegas menyatakan bahwa selama ini produksi minyak mereka selalu berada diatas kebutuhan minyak dunia sehingga mereka enggan untuk menaikan produksi.
Para pemilik dana di dunia memilih untuk mendapatkan return yang lebih tinggi dari perdagangan komoditas karena tingkat suku bunga yang ada tidaklah menarik. Apalagi Federal Reserve terus memangkas tingkat suku bunga untuk menghindari kelesuan ekonomi sebagai akibat kredit macet subprime mortgage. Hal tersebut telah menyebabkan US dolar secara umum terdepresi terhadap mayoritas mata uang dunia. Inflasi tinggi di Amerika Serikat dan depresiasi dolar mendorong para spekulan memburu komoditas sebagai hedging. Bahkan yang lebih mengejutkan dari hasil investigasi badan pengawas bursa berjangka Amerika menyebutkan bahwa setiap kenaikan harga minyak U$ 20, sebesar U$ 10 adalah akibat ulah spekulan dan ternyata banyak diantara para spekulan itu adalah bank-bank besar Amerika. Herannya pemerintah Indonesia terus ikut-ikutan lotre tebak nilai kontrak ini tanpa mempedulikan bagaimana sengsaranya bangsa ini.
Sempat penulis juga merasakan bagaimana transaksi yang terjadi di Bursa Berjangka Jakarta, dan hasilnya memang mencengangkan. Setiap kali kita bertransaksi dan mendapatkan sebuah gain, kita bahkan dapat mendulang untung hingga dua kali lipat dari modal yang kita keluarkan, tergantung kita pintar-pintar menebak nilai sebuah kontrak. Dan tidak jarang orang yang tiba-tiba kaya mendadak dari permainan ini. Lalu bagaimana dengan NYMEX yang para investornya berasal dari seluruh dunia? Tidak perlu ditanya lagi, jelas keuntungan dari setiap transaksinya pasti akan membuat ngiler para spekulan di dunia.

Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menekan Industri
Sudah sejak lama industri di Tanah Air tidak lagi menggunakan BBM bersubsidi untuk menjalankan proses produksinya karena sudah menggunakan harga sesuai dengan harga pasar. Lantas mengapa kenaikan harga BBM bersubsidi begitu berdampak bagi dunia industri?
Kenaikan harga BBM bersubsidi akan meningkatkan biaya distribusi baik bahan baku yang akan diproses maupun barang jadi yang siap disalurkan kepada konsumen. Selama ini, pendistribusian bahan baku maupun barang jadi masih menggunakan BBM bersubsidi, sehingga ketika harga BBM bersubsidi meningkat maka ongkos distribusi pun ikut meningkat.
Sebenarnya kenaikan harga BBM bersubsidi dampaknya dapat ditekan apabila sejak dahulu pemerintah dapat menyediakan infrastruktur transportasi dengan baik serta menekan ekonomi biaya tinggi. Infrastuktur transportasi yang amat buruk seperti jalan yang rusak telah menyebabkan biaya transportasi membengkak, belum lagi pungutan liar yang terjadi turut menyebabkan biaya transportasi menjadi amat tinggi. Hal ini lah yang menyebabkan ketika harga BBM bersubsidi naik, harga-harga barang meningkat dengan amat tajam karena tingginya biaya pendistribusian.

Simpulan
Kenaikan harga BBM bersubsidi yang telah dilakukan pemerintah beberapa waktu lalu benar-benar hal yang telah membuat sengsara rakyat. Jelas nampak bahwa pemerintah menjilat ludah mereka sendiri, ketika janji-janji yang dulu diumbar untuk tidak menaikan harga BBM akhirnya mereka ingkari juga.
Ketika pahlawan kita dahulu, Bung Hatta dan rekan-rekannya, merumuskan bahwa perekonomian kita harus berlandaskan asas kekeluargaan bukan berlandaskan atas asas kapitalisme yang menitikberatkan pada persaingan yang sehat dan wajar, bahkan untuk barang yang vital serta menguasai hajat hidup orang banyak, harus dibawah ketentuan pemerintah dengan menggunakan asas kebijaksanaan serta sebesar-besarnya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, tentunya telah dipikirkan dengan masak-masak oleh beliau, karena minyak merupakan komoditas yang sangat strategis, tetapi sayangnya kini apa yang dicita-citakan beliau telah dinodai oleh pemikiran pemimpin-pemimpin yang tidak berhatinurani, tidak membela kaum tertindas, serta beraliran kapitalis.
Lantas mengapa pemerintah tetap menaikan harga BBM padahal rakyat kita benar-benar telah terhimpit kesulitan ekonomi yang berkepanjangan ini? Apakah pemerintah belum puas terus-menerus membuat rakyat semakin sulit padahal kenaikan harga BBM pada tahun 2005 sudah cukup membuat rakyat pedih? Mengapa pemerintah tetap ingin mengenakan harga BBM sesuai dengan harga minyak yang terjadi di NYMEX? Padahal jelas-jelas semua alasan yang dikemukakan pemerintah tidak bisa dijadikan landasan untuk menaikan harga BBM.

Kamis, 05 Juni 2008

Debat BBM (4) - Syarief Syahrial

Berbagi dengan Daerah

Oleh Syarief Syahrial

Seperti kita tahu, berkaitan dengan BBM terdapat jenis pajak daerah di tingkat provinsi yaitu Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) tarif 5%. Memang namanya adalah pajak daerah tetapi, secara hakikat, mekanismenya adalah bagi hasil. Mengapa? Jika ia pajak provinsi, maka yang memungut seharusnya adalah pemerintah provinsi cq. SKPD yang berwenang dalam mengelola pendapatan daerah. Penerimaannya adalah 5% dikali dengan nilai jual objek pajak atau dalam hal ini harga jual dikali volume BBM. Saat ini, besaran penerimaan PBB KB untuk setiap provinsi diperoleh dari data Pertamina yang menentukan besaran konsumsi BBM setiap provinsi. Karenanya, jenis pajak ini bersifat “no effort” dari pemerintah provinsi seperti halnya Pajak Penerangan Jalan Umum di tingkat kabupaten/kota yang ditentukan oleh PLN. Implikasinya, kebenaran penerimaan PBB KB bagi masing-masing provinsi hanya Pertamina yang tahu. Kita pun dapat mengecek kebenaran data konsumsi BBM sebagai dasar asumsi dari penentuan besaran subsidi BBM dengan data konsumsi yang menjadi basis membagi Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

Memang ide ini hanya untuk jenis BBM yang digunakan kendaraan bermotor padahal subsidi BBM juga berkaitan dengan subsidi minyak tanah sehingga tentu besaran target pengurangan subsidi tidak bisa 100% tercapai dibandingkan dengan penggunaan cara yang diambil oleh Pemerintahan SBY saat ini. Ide saya adalah mengubah jenis PBB KB dari pajak provinsi menjadi pajak pusat. Sesuai dengan teori, objek pajak yang bersifat “mobile” seharusnya menjadi pajak pemerintahan yang lebih tinggi. Definisi “mobile” ini yang lalu menjadi pertanyaan. Tadinya, saya berpikiran untuk tetap menjadikan PBB KB ini menjadi pajak provinsi dengan menaikkan tarifnya dari 5% menjadi 30%. Implikasinya, jika Pemda tidak mau harga BBM naik di daerahnya, ia bisa menggunakan instrumen ini dengan memindahkan subsidi BBM dari APBN menjadi beban APBD. Tokh, kita tahu juga masih banyak Pemda yang surplus anggarannya pada saat pemerintah pusat menjalankan sistem penganggaran yang defisit. Namun, mekanisme ini akan membuat kita tidak terhindar dari potensi masalah arbitrase.

Dari kondisi ini, seharusnya PBB KB menjadi Pajak Pusat yang memang pada prakteknya merupakan mekanisme bagi hasil. Sebagai kompensasi, PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) menjadi pajak daerah yang memang objek pajaknya bersifat “immobile” dan selama ini secara riil berperilaku seperti Pajak Daerah padahal secara de jure ia melalui mekanisme bagi hasil. Apakah ini mengurangi pendapatan dalam APBN? Ya. Namun, tokh, selama ini PBB 100% dibagihasilkan 90% untuk daerah (termasuk bea pemungutan) 10% untuk pusat. 65% dari 10% milik pusat dikembalikan lagi dengan asas sama rata serta 35% dibagi lagi ke daerah untuk insentif bagi daerah yang "over-target". Jadi tidak bersisa, bukan? Sekarang, sedang digodok perubahan UU 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Mungkin ini pula kesempatan bagi pusat mengubah jenis pajak ini. Ada banyak pihak yang takut jika mekanisme seperti ini, disparitas fiskal antar daerah meningkat. Bedakan harga tanah di DKI dengan harga tanah di Bangka Belitung. Jauh bukan? Tetapi, jika mekanisme PBB-KB juga benar, maka tentu timbul disparitas yang besar pula antar DKI Jakarta dan Babel secara jumlah dan kualitas kendaraannya jauh berbeda.

Bagaimana mekanisme dari pajak pusat untuk bahan bakar kendaraan bermotor ini? Menurut saya, ini dilakukan dengan teknik “ditumpangkan” di kantor Samsat (sekarang namanya Unit Pelayanan Teknis Daerah Dispenda Provinsi) ketika kendaraan bermotor melakukan pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Cara ini juga diikuti dengan penelitian ilmiah berapa rata-rata kilometer suatu kendaraan dalam satu tahun ia lewati. Sangat gampang pula kita mengetahui rasio kompresi berapa kebutuhan BBM (liter) untuk satu kilometer nya. Dengan cara ini kita akan tahu perkiraan kebutuhan BBM dalam satu tahun. Bagaimana jika kilometer nya melewati asumsi pengenaan? Kita juga dapat mengenakan pajak terhadap kilometer yang ia lewati seperti yang dilakukan oleh Denmark. Bagaimana jika orang bisa me-reset tera pada speedometer? Tentu ini juga dikenakan denda maksimum.

Teknik “ditumpangkan” ini juga mencontek apa yang dilakukan pada PBB selama ini. Dimana PBB, Pajak Pusat, dipungut oleh Dispenda Kabupaten Kota. Nantinya, Dispenda mendapatkan 10% berupa Bea Pemungutan. Berbeda dengan PBB yang sangat high effort, PBB KB relatif sangat mudah dilakukan karena berbarengan dengan saat pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor. Jadi, misalnya diberi Bea Pemungutan 5%, untuk aparat Samsat dan Polantas, merupakan kontribusi yang sangat besar bagi mereka. Teman saya polisi yang takut membawa duit haram untuk makanan anak istri, jadi bersemangat untuk “merazia” kendaraan-kendaraan bermotor yang tidak bayar pajak.

Sebenarnya, di Indonesia saat ini pun ada juga Pajak Kendaraan Bermotor di atas air maupun Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor di Atas Air. Sehingga, mekanisme yang sama pun bisa diberlakukan untuk pemilik kapal nelayan. Tapi, implementasinya di lapangan sangat sulit. “Kurang galak” aparat hukumnya dibandingkan dengan nelayan.

Hanya ada kelemahan memang dari ide ini, yaitu sulitnya kita menjamin mekanisme arbitrase yang dilakukan oleh SPBU secara langsung baik dengan menjual BBM ke industri maupun ke luar negeri. Itu jelas memerlukan pemikiran lebih lanjut.

*** Peneliti LPEM-FEUI

Selasa, 03 Juni 2008

Undangan Diskusi: Modal dan Kekuasaan

Relasi Modal dan Kekuasaan Pasca Soeharto

Majalah Tempo dan Globe Asia baru-baru ini memuat liputan tentang para pelaku bisnis di Indonesia. Globe Asia menunjukkan “ranking” termutakhir tentang siapa orang/keluarga terkaya, sementara Tempo lebih melihat siapa saja pemain lama yang bertahan dan pemain baru yang muncul setelah berakhirnya era Orde Baru. Kesimpulan kedua media itu cukup menarik: meski banyak wajah baru muncul, sejumlah pemain lama dalam peta bisnis Indonesia tetap bertahan.

Dalam perspektif yang lebih luas, kita bisa melihat fenomena ini dari kacamata relasi antara modal dan kekuasaan. Studi yang mencoba menjelaskan hubungan antara keduanya di era Orde Baru sudah cukup banyak. Ben Anderson melihatnya sebagai sebuah relasi patrimonial. Richard Robison menganggap negara sebagai kepanjangan tangan kepentingan modal global. William Liddle dan Andrew MacIntyre melihat adanya pola yang lebih kompleks. Sepuluh tahun setelah krisis dan tumbangnya Orde Baru, apa yang berubah dan apa yang tetap? Seberapa jauh teori-teori klasik tersebut bisa menjelaskan fenomena saat ini? Bagaimana desentralisasi dan pluralisme politik mengubah pola hubungan modal-kekuasaan?

Freedom Institute, bekerjasama dengan Friedrich Naumann Stiftung dan Café Salemba, akan mengadakan diskusi yang membahas topik menarik ini dengan Chatib Basri (FEUI, Diskusi Ekonomi), Rizal Mallarangeng (Freedom Institute) dan Ari A. Perdana (FEUI, Café Salemba) di Freedom Institute, Jalan Irian 8 Menteng, Jakarta, Kamis 5 Juni, pukul 19.00-21.00 (konfirmasi: Tata/Imie 02131909226)
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: Juni 2008 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates