Rabu, 30 Januari 2008

Menyikapi Peraturan BI Tentang Modal Minimum Bank Rp 100 Miliar

Musim berburu bank, itulah julukan media terkait kondisi dunia perbankan akhir tahun 2007 kemarin. Hal ini terkait dengan peraturan BI tentang penerapan modal inti minimum bank sebesar Rp 80 Miliar pada awal tahun 2008 dan Rp 100 Miliar pada awal tahun 2011. Jika hal ini tidak terpenuhi hukumannya adalah penurunan kelas (downgrade) dari Bank Umum menjadi Bank Pekreditan Rakyat (BPR) yang kegiatannya lebih terbatas. Akhirnya banyak bank-bank umum bermodal kecil yang menjadi buruan para pemodal untuk “menyelamatkan” bank-bank itu dari penurunan kelas.

Peraturan tentang modal minimum bank ini mengharuskan bank memenuhi permodalannya sesuai peraturan BI dengan berbagai cara, baik melalui penambahan modal sendiri, diakuisisi bank lain maupun merger dengan sesamanya. Namun dari tren menyusutnya jumlah bank di tanah air terlihat bahwa bank-bank kita cenderung tidak mampu menambah modal secara mandiri. Dan jika dilihat lebih jauh lagi ternyata bank-bank itu lebih banyak diakuisisi oleh bank-bank asing ketimbang melakukan konsolidasi (merger) dengan sesama bank domestik. Sampai Desember 2007 daftar pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank kecil telah berkurang, dari 51 menjadi 6 Bank. Pengurangan tersebut lebih didominasi oleh akuisisi yang dilakukan oleh bank asing, contohnya Bank Indomonex diakuisisi oleh Bank dari India, yaitu State Bank of India, lalu Bank of India mengakuisisi Bank Swadesi. Bank Haga dan Bank Hagakita dibeli oleh Rabobank International, bank koperasi asal Belanda. Bank Nusantara Parahyangan oleh ACOM Ltd, Bank Halim Indonesia diakusisi oleh Bank of Tokyo-Mitsubishi-UFJ Ltd. Industrial & Commercial Bank of China, terakhir Bank Australia membeli Bank ANK Tbk.

Kondisi ini akhirnya menimbulkan kekhawatiran tentang struktur permodalan perbankan kita nantinya akan lebih banyak dimiliki oleh pihak asing. Padahal idealnya adalah perbankan kita dapat berkonsolidasi dan melakukan merger sesama bank-bank kecil itu sendiri agar modalnya dapat bertambah, namun kenyataannya justru bank-bank kecil itu dikuasai asing. Untuk menghindari ketidakstabilan BI membuat peraturan yang mewajibkan pemodal asing untuk mempertahankan kepemilikannya di bank-bank tersebut minimal selama 5 tahun.

Sebenarnya tujuan BI menerapkan peraturan modal minimum bank tersebut adalah untuk meningkatkan kemampuan bank umum untuk meng-cover risiko-risiko yang ada baik risiko pribadi bank maupun systemic risk yang sulit untuk dihindari. Risiko pribadi bank adalah risiko yang timbul dari kegiatan pribadi bank yang bersangkutan, misalnya risiko akibat penyaluran kredit. Sedangkan systemic risk adalah risiko yang menimpa sistem, yang bersifat eksternal dan tidak dapat dikendalikan oleh bank yang bersangkutan. Mengingat risiko-risiko tersebut maka modal perbankan haruslah kuat untuk meng-cover berbagai risiko tersebut.

Penerapan peraturan ini juga dapat meningkatkan efisiensi bank karena selama ini bank yang modalnya di bawah Rp 100 miliar cenderung tidak efisien, memiliki rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) yang tinggi yaitu 136,8%. Jika dilihat dari rasio tersebut bisa dikatakan bank telah ’merugi’, dimana biaya operasional lebih besar dibandingkan pendapatan operasional. Akhirnya bank menutupi kerugian tersebut dari pendapatan bunga dengan menetapkan spread yang tinggi dan memberatkan sektor riil. Pendapatan atas aset yang dimiliki oleh bank-bank kecil itu juga tidak begitu besar (Return On Assets-nya hanya 1,3% padahal ROA industri perbankan nasional adalah 2,2%). ROA bank-bank bermodal kecil itu rendah karena mereka cenderung menyalurkan dananya di instrumen-instrumen yang relatif aman seperti SBI ataupun penanaman antar bank. Sedangkan untuk aktivitas pemberian kredit justru sangat kecil, padahal pendapatan dari bunga kredit ini biasanya cukup besar, namun karena risiko yang dihadapi juga cukup besar maka bank dengan modal kecil itu biasanya tidak berani menyalurkan kredit terlalu besar.

Modal minimum Rp 100 miliar juga memungkinkan bank umum untuk meningkatkan daya saingnya. Suatu hasil studi empiris menyebutkan bahwa bank akan efisien dalam melakukan kegiatannya jika aset yang dimiliki sebesar US$ 2 miliar sampai dengan US$ 10 miliar, untuk itu diperlukan modal sekitar US$ 130 juta (kurang lebih Rp 1 triliun). Jika disesuaikan dengan kondisi Indonesia saat ini tentu sangat sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu ketentua modal minimum bank Rp 100 miliar merupakan hasil penyesuaian terhadap kondisi Indonesia.

Jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya, modal minimum bank Rp 100 miliar terlihat masih sangat kurang. Korea memiliki modal minimum bank Rp 700 miliar, Malaysia dan Thailand Rp 4 triliun, bahkan Singapura Rp 7 triliun. Jelas sekali terlihat tingkat permodalan bank di Indonesia masih sangat rendah. Padahal kedepannya, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 6% per tahun Indonesia membutuhkan kredit sebesar 22% (sejauh ini baru terpenuhi 16%) sehingga dibutuhkan lebih banyak penambahan modal.

Sederhananya BI meyakini bahwa dengan modal yang besar bank akan memiliki kapasitas yang lebih untuk melaksanakan kegiatannya karena industri perbankan adalah industri yang bersifat capital intensive. Sementara pihak yang kontra menyatakan bahwa penerapan modal minimum bank Rp 100 miliar sangat tidak berpihak pada golongan kecil dan justri akan memberatkan bank–bank kecil. Padahal bank-bank kecil tersebut tidak pernah membebani pemerintah, contohnya adalah ketika krisis moneter dimana yang berjatuhan dan membutuhkan biaya rekap justru bank-bank besar.
HASIL KAJIAN INTERNAL
DEPARTEMEN KAJIAN STRATEGIS
SENAT MAHASISWA FEUI


Selasa, 29 Januari 2008

kastrat bem fe unpad

Pengaruh Konsolidasi Perbankan
Terhadap Kinerja Sektor Riil
Departement Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran


Perbankan merupkan sebuah industri yang memiliki karakteristik khusus. Kekhususannya industri perbankan dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, bank merupakan lembaga yang berfungsi sebagai financial intermediary, dimana karakteristik bisnis perbankan merupakan bisnis intermediasi. Hal ini berbeda dengan industri manufaktur atau industri jasa lainnya. Bank memiliki kegiatan usaha pokok menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat atau menyalurkan dana dari pihak surplus kepada pihak defisit.
Kedua, karakteristik struktur keuangan bank juga berbeda dengan industri lainnya. Sisi aset bank sebagian besar terdiri dari piutang kepada kreditur yang berjangka panjang, dan sisi kewajiban berupa deposit (tabungan, deposito, dan lainnya) dari para nasabah yang berjangka pendek. Mismatch aset dan kewajiban menyebabkan bank harus mampu melakukan manajemen risiko dengan lebih baik dibandingkan perusahaan manufaktur atau jasa lainnya. Dalam menjalankan perannya, perbankan Indonesia harus selalu berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian (prudential banking).
Ketiga, sisi kewajiban bank melibatkan sangat banyak pihak (nasabah), sehingga bila sisi kewajiban tidak mampu terbayar maka akan berefek sangat luas pada perekonomian. Kita mengenal istilah bank run, yang menunjukan adanya penarikan besar-besaran dana para nasabah yang selanjutnya dapat menjadi bank panic (menimpa tidak hanya bank bersangkutan, namun juga bank yang masih sehat) dan memberikan efek berantai (contagion effect) pada perekonomian. Ketiga hal inilah yang antara lain mendorong industri perbankan harus diawasi dengan baik oleh Bank Sentral, dalam hal ini Bank Indonesia.


Konsolidasi Perbankan Indonesia
Jumlah bank yang banyak berpotensi membuat industri perbankan tidak efisien. Selain itu, jumlah bank yang banyak juga mempersulit pengawasan oleh Bank Indonesia (BI). Untuk itu, Bank Indonesia amat fokus terhadap permasalahan ini. Berbagai aturan telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam rangka untuk mendorong konsolidasi perbankan untuk menciptakan industri perbankan yang lebih sehat, kokoh, dan efisien.
Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi perbankan diharapkan terjadi peningkatan economic of scale dari bank-bank di Indonesia dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, khususnya melalui pengawasan bank secara terkonsolidasi.
Proses konsolidasi perbankan yang tengah berlangsung di Indonesia tidak hanya mengenai akuisisi dan merger di antara bank-bank kecil, tetapi juga bank-bank papan atas. Tak hanya sekadar ingin bertumbuh, bank-bank besar memanfaatkan momentum konsolidasi untuk meraih posisi baru dalam peta persaingan antar bank di masa mendatang. Tak ayal, akhir-akhir ini bank-bank besar banyak memburu bank-bank kecil yang memiliki kinerja yang sehat untuk dilakukan akuisisi. Akuisisi menjadi penting karena seluruh bank papan atas kini tengah mereposisi peran mereka dalam peta persaingan bisnis perbankan di Tanah Air. Bank yang tak melakukan akuisisi dipastikan akan menurun daya saingnya. Beberapa bank bahkan menjadikan konsolidasi sebagai momentum untuk melakukan transformasi bisnis menjadi bank dengan daya saing lebih tinggi.
Aturan yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang telah mendorong bank saling berkonsolidasi. Arsitektur Perbankan Indonesia (API) meupakan program untuk mewujudkan perbankan Indonesia yang kokoh, sehat, dan efisien dalam beberapa tahun ke depan. Dalam API, Bank Indonesia (BI) membagi bank dalam empat kategori. Pertama, bank internasional dengan modal di atas Rp 50 triliun. Kedua, bank nasional dengan modal antara Rp 10 triliun-Rp 50 triliun. Ketiga, bank fokus dengan modal Rp 100 miliar-Rp 10 triliun. Keempat, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas dengan modal dibawah Rp 100 miliar. Untuk memicu terjadinya konsolidasi, Bank Indonesia mewajibkan bank memiliki modal minimum Rp 100 miliar pada akhir 2010 nanti. Faktor inilah yang memicu para pemilik bank kecil menawarkan sahamnya kepada investor baru yang lebih kuat.
Selain itu, langkah-langkah konsolidasi perbankan dilakukan antara lain melalui penataan kembali struktur kepemilikan pada perbankan Indonesia, khususnya melalui penerapan kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy/SPP), dimana kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/16/PBI/2006. Pada prinsipnya kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia diberlakukan untuk kepemilikan saham bank oleh pemegang saham pengendali yang diperoleh setelah berlakunya ketentuan ini. Namun demikian untuk mendukung tercapainya tujuan dari kebijakan tersebut, maka pemegang saham pengendali bank yang telah mengendalikan lebih dari satu bank umum pada saat mulai berlakunya ketentuan ini juga wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sahamnya pada bank-bank yang dikendalikannya.
Untuk melakukan penyesuaian struktur kepemilikan saham bank dimaksud pemegang saham pengendali dapat memilih dari beberapa alternatif cara penyesuaian yang disediakan oleh ketentuan ini. Beberapa alternatif cara penyesuaian tersebut diberikan dengan mengacu pada tujuan kebijakan kepemilikan tunggal, yakni konsolidasi perbankan dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, dengan tetap memperhatikan kepentingan para pemegang saham pengendali yang sudah menanamkan modalnya di perbankan Indonesia. Alternatif penyesuaian itu yaitu:
mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi pemegang saham pengendali pada satu Bank; atau
melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-bank yang dikendalikannya; atau
membentuk perusahaan induk di bidang perbankan (Bank Holding Company), dengan cara :
mendirikan badan hukum baru sebagai Bank Holding Company;
atau menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai Bank Holding Company.
Penerapan kebijakan kepemilikan tunggal, termasuk kewajiban penyesuaian struktur kepemilikan bagi pemegang saham pengendali yang telah mengendalikan lebih dari satu bank, memberikan pengecualian bagi kantor cabang bank asing dan bank campuran, mengingat Indonesia terikat pada komitmen yang telah diberikan dalam perjanjian putaran Uruguay pada forum World Trade Organization (WTO) untuk tetap menghargai kehadiran pihak asing dalam bentuk kantor cabang bank asing dan bank campuran (Joint Venture Bank). Demikian juga pengecualian diberikan bagi pemegang saham pengendali yang mengendalikan dua bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip yang berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinisp syariah, mengingat berdasarkan karakteristiknya, kedua jenis bank dimaksud lebih tepat melakukan kegiatan usaha sebagai badan usaha yang terpisah.

Lalu apa dampak yang dikeluarkan kebijakan ini terhadap kinerja sektor riil?
Perekonomian Indonesia digerakan oleh 2 motor perekonomian yakni sektor keuangan dan sektor riil. Tetapi beberapa tahun belakangan, terutama setalah krisis ekonomi menerpa bangsa kita, perekonomian Indonesia mengalami sebuah ketimpangan, dimana sektor keuangan berkembang dengan amat pesat sedangkan sektor riil berkembang dengan lambat.
Perbaikan makroekonomi diakui memang telah dicapai oleh pemerintah. Lihat saja indikator-indikator perekonomian seperti inflasi, tingkat suku bunga, kurs rupiah, cadangan devisa serta tak ketinggalan indeks yang ada di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang terus membuat rekor baru. Semua angka-angka itu memperlihatkan adanya kondisi ekonomi yang membaik dan stabil. Namun jika kita telisik lebih jeli, ternyata kondisi makro tersebut bukanlah cerminan dari sektor riil ditingkatan mikro. Banyak kalangan mengeluhkan keengganan perbankan untuk menyalurkan kredit.
Keadaan ini memang cukup menyedihkan mengingat perbankan saat ini memiliki dana yang melimpah dilihat dari dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dikumpulkan sekitar Rp 1.453,656 triliun sampai November 2007. Namun penyaluran kreditnya baru mencapai Rp 953,259 triliun. Walaupun loan to deposit ratio (LDR) terdorong sedikit mencapai 65,58 persen, namun jumlah ini dirasa masih jauh dari porsi idealnya. Alih-alih meningkatkan penyaluran kreditnya, bank-bank malah lebih senang menempatkan dananya ke instrument Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Tidak mengherankan kalau jumlah SBI terus meningkat. Dana yang dianggap oleh bank sebagai idle money ini mengisi instrument SBI hingga mencapai Rp312,8 triliun per 17 Januari 2008. Jumlah ini disinyalir sudah mendekati jumlah uang yang beredar (base money) di masyarakat. Ekses likuiditas yang terjadi itu dianggap merupakan imbas dari iklim yang kurang bersahabat bagi sektor riil dan perbankan. Rendahnya penyerapan dana oleh sektor riil tersebut disebabkan beberapa indikator yakni daya beli masyarakat masih lemah serta hambatan sektor riil berupa pasar tidak sempurna, infrastruktur lemah, birokrasi, kepastian hukum, otonomi daerah dan ketenagakerjaan.

Bank Indonesia selaku otoritas moneter dituntut mendorong industri perbankan agar proaktif dalam menggerakan perekonomian, terutama di daerah yang memiliki potensi yang amat besar tetapi belum tergarap optimal. Selama ini, perbankan Indonesia cenderung hanya ingin beroperasi di daerah yang telah berkembang. Bank jarang sekali menjadi lokomotif pembangunan di suatu daerah. Data membuktikan, 50 persen dari total kredit nasional yang besarnya mencapai Rp 953,259 triliun tersalurkan di DKI Jakarta, sedangkan 50 persen sisanya terbagi di 33 provinsi. Situasi ini jelas menjadi salah satu penyebab buruknya pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi pemerataan dan penyerapan tenaga kerja.
Kebijakan konsolidasi perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, dibuat untuk menciptakan struktur perbankan yang sehat, kokoh, serta efisien. Melalui konsolidasi ini pula sebuah bank dapat meningkatkan daya saingnya. Merger atau akuisisi yang menjadi salah satu pilihan dalam melaksanakan kebijakan ini, akan meningkatkan aset dari bank tersebut yang melakukan hal ini. Dengan demikian, daya saing bank akan meningkat dalam memperebutkan dana pihak ketiga (DPK) dari para nasabah. Single presence policy/SPP merupakan salah satu aturan yang dibuat untuk mendorong perbankan melakukan konsolidasi. Bank-bank yang terkena aturan ini kebanyakan adalah bank-bank besar di Indonesia yang memiliki aset dan modal yang kuat juga.
Berharap dari dikelurkan kebijakan dan aturan ini, sektor riil ingin mendapakan perhatian lebih dari dunia perbankan. Dengan bersatunya bank-bank besar yang menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar perbankan umum di Indonesia, nilai dari capital adequacy ratio (CAR) dan aset yang dimiliki sebuah bank akan membengkak sehingga keberanian perbankan dalam menyalurkan kredit akan lebih besar lagi. Sehingga fungsi dari sebuah bank yakni sebagai lembaga intermediasi dapat berjalan dengan lebih optimal dan tentunya kinerja dari sektor riil akan lebih baik lagi.
Selain itu, Bank Indonesia akan mengeluarkan paket program kebijakan untuk mendorong terciptanya Banks Leading the Development. Pertama, mewajibkan bank membina pengusaha produktif di suatu wilayah yang progresif ataupun sektor tertentu yang selama ini memiliki potensi, tetapi belum dikembangkan. Kedua, menurunkan aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR) untuk kredit usaha rakyat (KUR) dari 85 persen menjadi 30 persen. Jadi, dengan modal yang sama, bank memiliki kemampuan menyalurkan kreditnya lebih besar lagi. Ketiga, mengarahkan penyaluran kredit bank pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah produktif dalam suatu porsi tertentu terhadap total kedit. Keempat, mewajibkan bank menerapkan program tanggung jawab sosial dalam suatu rasio yang akan disepakati.
Dalam hal penurunan bobot resiko kredit dari 85 persen menjadi 30 persen saat ini, tentunya hal ini akan amat menguntungkan bagi sektor riil terutama para pengusaha mikro, kecil, dan menengah, apalagi bila aturan kepemilikan tunggal perbankan telah berjalan. Dengan berbarengannya diberlakukannya aturan ini, bank akan mengalami peningkatan nilai dari capital adequacy ratio/CAR karena melakukan konsolidasi dan dengan diturunkannya nilai ATMR menjadi 30 persen, bank akan dapat melakukan penyaluran kredit hampir dua kali lipat dari sebelumnya. ATMR merupakan nilai eksposur kredit dikalikan bobt resiko. ATMR digunakan dalam perhitungan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR).
Misal, bank dengan modal Rp 85 miliar diperkenankan memiliki ATMR maksimal Rp 850 miliar agar CAR tetap sebesar 10 persen. Hal itu dengan asumsi tidak ada resiko-resiko lain. Jika bobot resiko setiap kreditnya sebesar 100 persen, total kredit yang dapat tersalurkan adalah sebesar ATMR, yaitu Rp 850 miliar. Akan tetapi, bila bobot dari resiko dari keseluruhan kreditnya sebesar 50 persen, bank tersebut dapat menyalurkan kreditnya hingga dua kali lipat, yakni sebesar Rp 1,7 triliun.
Kebijakan kepemilikan tunggal perbankan akan meningkatkan kesehatan serta kecukupan modal dunia perbankan, sedangkan penurunan nilai ATMR akan membantu meningkatkan penyaluran kredit. Kita tunggu saja bagaimana selanjutnya dengan diberlakukannya aturan-aturan tersebut dengan kondisi sektor riil kedepannya.

Senin, 21 Januari 2008

Mana yang lebih baik: subdisi BBM atau makanan?-MCB

Aco punya tulisan yang menarik soal kedele. Dalam sebuah diskusi informal, kita coba melihat langkah apa yang bisa dlakukan untuk mengatasi soal kedelai ini.
Pertama, mungkin baik untuk memahami persoalannya: harga internasional naik sangat tinggi dan kemudian dampaknya dirasakan pada harga domestik (pass-through effect). Disisi lain, produksi domestik terus menurun, sedangkan konsumsinya terus naik. Akibatnya dapat diduga: harga melambung. Yang perlu diperhatikan, fenomena ini terjadi bukan hanya pada kedelai, tetapi juga bahan makanan lain. Kita lihat pola yang mirip untuk beras sebenarnya, juga untuk terigu. Tampaknya, dampak dari perubahan iklim sedikit banyak menganggu panen dibanyak negara di dunia. Selain itu subsititusi dari makanan ke bio-fuel juga menganggu peningkatan produksi. Karena itu fenomena kedelai, adalah fenomena yang mirip dengan jenis komoditi pertanian lain.
Kedua, kalau memang soalnya adalah pass through effect, maka penambahan impor tak akan membuat harga domestik lebih rendah dari harga internasional. Namun, penambahan impor setidaknya akan menjamin harga domestik comparable dengan harga internasional. Dalam kasus dimana stok kurang, karena produksi menurun dan konsumsi naik, dan impor dihambat, maka dalam jangka pendek Indonesia pasti akan merasakan kenaikan harga. Langkah yang bisa dilakukan adalah menambah supply. Persoalannya, dengan suppply domestik yang terbatas, maka penambahan pasokan hanya bisa dilakukan melalui impor. Sayangnya hanya 4 perusahaan yang berani melakukan impor. Secara formal tidak ada larangan impor, karena importir kedelai termasuk kategori importir umum (IU) --siapa saja boleh impor. Namun, dalam praktek, karena resiko dari fluktuasi harga yang begitu tinggi, praktis tak besar insentif bagi perusahaan melakukan impor. Akibatnya terjadilah natural oligopoli. Implikasinya: impor pun terbatas. Langkah pemerintah menurunkan bea masuk menjadi 0% memang solusi jangka pendek. Namun perlu dicatat bahwa impor pun membutuhkan waktu. Selain itu, jika yang melakukan impor hanya 4 perusahaan, maka jumlah yang bisa diimpor juga akan terbatas. Karena itu seperti yang ditulis Aco, saya kira upaya penambahan impor bisa dilakukan dengan meminta Bulog untuk melakukan impor.
Ketiga, perlu dicatat solusi jangka pendek ini, maksimal hanya akan mampu membuat harga domestik hampir sama dengan harga internasional (harga kedelai+biaya transpor). Tapi dia tidak akan mampu menurunkan harga kedelai seperti sebelum kenaikan harga di pasar internasional. Implikasinya, harga masih akan tetap relatif mahal.
Ketiga, jika pemerintah menginginkan harga kedelai atau bahan makanan lain menjadi relatif murah, maka alternatifnya adalah memberikan subsidi. Persoalannya adalah kalau semua komoditi harus disubsidi termasuk juga BBM, maka pertanyaanya adalah uanganya dari mana? APBN jelas tak akan sanggup mensubsidi semuanya. Karena itu pemerintah harus menentukan prioritasnya. Porsi makanan termasuk kedelai dalam porsi pengeluaran atau konsumsi jelas lebih besar dibanding porsi konsumsi bensin, apalagi bagi penduduk miskin. Karena itu jika subsidi BBM dialukan sebagian (tetap pertahankan minyak tanah) dan kemudian dialokasikan kepada subsidi makanan, maka dampak dari transfer pendapatannya akan lebih besar dibandingkan subsidi BBM. Itu sebabnya subsidi makanan jelas akan lebih bermanfaat dibanding subsidi BBM. Lagi pula mengapa harus mensubsidi bensin yang dinikmati oleh kelompok menengah atas. Dari sisi ini saya kira lebih adil bila subsidi dialokasikan pada makanan termasuk kedelai, ketimbang premium.
Keempat, solusi subsidi jelas bukan first best solution. Sayangnya kita memang hidup bukan pada dunia first best, kita hidup pada dunia second best, karena itu mungkin subsidi harus diterima sebagai kompensasi dalam jangka pendek. Secara politik juga lebih baik mensubsidi makanan yang terkait langsung dengan kebutuhan pokok orang ketimbang premium. Dalam jangka menengah panjang, solusi yang harus dilakukan adalah meningkatkan produkftitas. Disini kita bicara tentang perlunya perbaikan irigasi, infrastruktur, bibit, teknologi, akses pasar. Dan juga mungkin penting jika Presiden memanggil bupati, gubernur untuk memastikan bahwa daerah-daerah meningkatkan produksi pertaniannya. Kasus kedelai, adalah contoh kesalahan kita bagaimana masalah produktifitas yang rendah selama ini diatasi dengan solusi kebijakan perdagangan dengan melarang impor atau memberikan bea masuk tinggi. Akibatnya tak ada kompetisi yang memaksa pertanian domestik untuk memperbaiki dirinya. Kita terlena karena toh, tanpa meningkatkan produkifitas, kita tetap aman karena impor kita hambat. Ini mirip seorang anak yang tak pernah dewasa karena si orang tua selalu melindunginya. Dan pada saat sang anak harus berinteraksi langsung dengan dunia, ia menjadi terkejut karena kenyataan tak seindah perlindungan orang tua. Itu sebabnya solusi jangka menengah panjang adalah peningkatan produktifitas. Sayangnya produktifitas tak bisa naik dalam waktu sekejap, maka solusi menambah impor adalah langkah yang tepat. Selain itu mengapa tidak mengaloksikan subsidi BBM kepada subsidi makanan? Toh, jika kita ingin melindungi, yang perlu dilindungi adalah mereka yang miskin bukan kelas menengah atas

Selasa, 15 Januari 2008

Obligasi Indonesia di pasar yang bergejolak-MCB

Berikut tulisan saya yang terbit tanggal 15 Januari 2008 di Harian Bisnis Indonesia hal 1


Obligasi Indonesia di pasar yang bergejolak

10 Januari 2008 mungkin tercatat sebagai tanggal di mana Indonesia menerbitkan obligasi pemerintah (sovereign bond) negara berkembang yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir ini.

Penawaran yang berjumlah US$2 miliar ini terdiri dari dua tahap. Senilai US$1 miliar tranche berjangka waktu 10 tahun dengan tingkat bunga sebesar 6,875% (pada harga 99,466%) dan US$1 miliar tranche berjangka waktu 30 tahun dengan tingkat bunga 7,75% pada harga 100,00%.

Penawaran obligasi ini menarik hampir 200 permintaan (orders) dari investor institusi di seluruh dunia dan terjadi oversubscribe sebesar 1,5 kali. Barclays Capital, HSBC, and Lehman Brothers bertindak selaku lead managers dan joint bookrunners dalam penawaran ini.

Bagaimana kita membaca penerbitan obligasi ini? Selengkapnya
POLEMIK APBN 2008
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang menjadi salah satu penggerak laju perekonomian nasional. APBN menjadi penjabaran rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga dalam menyelenggarakan pemerintahan, mengalokasikan sumber-sumber ekonomi, mendistribusikan barang dan jasa, serta menjaga stabilisasi dan akselerasi kinerja ekonomi. Oleh karena itu, strategi dan pengelolaan APBN memegang peranan yang cukup penting dalam mencapai sasaran pembangunan nasional.

APBN merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perekonomian secara agregat. Setiap perubahan yang terjadi pada variabel-variabel ekonomi makro akan berpengaruh pada besaran-besaran APBN. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan APBN pada gilirannya juga akan mempengaruhi aktivitas perekonomian.

Pada prinsipnya APBN merupakan bentuk campur tangan pemerintah terhadap aktivitas perekonomian dalam rangka menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat. Adapun fungsi pokok kebijakan anggaran Pemerintah adalah; (i) fungsi alokasi, (ii) fungsi distribusi, dan (iii) fungsi stabilisasi. Fungsi alokasi berkaitan dengan kebijakan anggaran Pemerintah dalam rangka memberikan stimulasi kepada perekonomian baik melalui instrumen penerimaan (insentif) maupun belanja (anggaran sektoral). Fungsi distribusi berkaitan dengan upaya Pemerintah untuk mengurangi kesenjangan pendapatan masyarakat (pemerataan). Sementara itu fungsi stabilisasi berkaitan dengan peran kebijakan anggaran Pemerintah dalam rangka mengurangi gejolak perekonomian (counter-cyclical) yang dilakukan baik melalui kebijakan belanja maupun penerimaan negara. Hal ini terkait erat dengan fungsi kebijakan fiskal sebagai instrumen pengelolaan ekonomi makro (macroeconomic management) dari sisi permintaan agregat (aggregate demand).

Mengingat kebijakan anggaran negara melalui APBN merupakan bagian integral dari perilaku perekonomian secara keseluruhan, maka besaran-besaran pada APBN secara langsung maupun tak langsung akan mempunyai dampak yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia. Secara umum, dampak kebijakan APBN terhadap ekonomi makro dapat diamati dari pengaruhnya terhadap tiga besaran pokok berikut ini:
(i) sektor riil (permintaan agregat)
(ii) moneter, dan
(iii) neraca pembayaran (cadangan devisa)

Selain mengacu pada RKP tahun 2008, penyusunan RAPBN Tahun 2008 dilakukan dengan mempertimbangkan: (i) faktor-faktor eksternal, seperti kinerja perekonomian internasional dan harga minyak mentah internasional yang mempengaruhi perkembangan berbagai indikator ekonomi makro sehingga pada gilirannya berpengaruh terhadap besaran pendapatan nasional, belanja negara, dan pembiayaan anggaran, (ii) berbagai permasalahan dan tantangan pembangunan yang dihadapi, (iii) penilaian (assessment) terkini atas kondisi ekonomi, sosial dan politik dalam negeri pada tahun berjalan, serta perkiraan prospek pada tahun mendatang, serta (iv) perkiraan realisasi pelaksanaan APBN tahun berjalan.

Prospek kinerja perekonomian nasional dalam tahun 2008 khususnya beberapa indikator utama ekonomi makro, merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap penentuan besaran-besaran RAPBN tahun 2008. Indikator-indikator utama ekonomi makro tersebut yang mendasari perhitungan besaran-besaran RAPBN Tahun 2008 adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, suku bunga SBI 3 bulan, harga minyak mentah Indonesia (ICP), dan volume lifting minyak mentah Indonesia.

Berikut adalah hasil kajian internal BEM FE Unpad terhadap RAPBN 2008 yang diajukan oleh pemerintah, terutama mengkritisi beberapa hal “aneh” yang terkait dengan gejolak harga minyak dunia:

Dalam sebuah reportase, Dirjen Pajak Darmin Nasution mengatakan bahwa lonjakan harga minyak mentah dunia yang terus mendekati level US$ 100 per barel telah mendongkrak Pajak Penghasilan (PPh) migas tahun ini sebesar 4 –5 triliun rupiah. Menurut Darmin Nasution, kenaikan harga minyak mentah otomatis mendorong kenaikan PPh migas, khususnya pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Soalnya, kenaikan harga minyak dunia turut mengangkat harga komoditas lain seperti batubara, gas, dan minyak sawit mentah (CPO). "Penerimaan PPh migas tahun ini bisa naik Rp 4 – 5 triliun dari target APBN-P 2007. Peningkatan paling besar terjadi pada PNBP," tuturnya. Dia menambahkan, besaran penerimaan negara dari PPh migas dan pungutan ekspor (PE) CPO tetap lebih besar dibanding subsidi BBM dan listrik yang naik akibat tekanan harga minyak dunia. "Walaupun subsidi BBM dan listrik naik akibat pelonjakan harga minyak mentah, penerimaan migas masih lebih tinggi dari kenaikan subsidi," ujarnya.

Mungkin itulah yang mendasari pemerintah tetap menggunakan asumsi harga minyak mentah sebesar US$ 60 per barel pada RAPBN 2008. Mungkin pemerintah menggunakan data tersebut sehingga dengan hitungan matematis kenaikan penerimaan migas masih lebih tinggi dibandingkan kenaikan subsidi akibat “selisih yang disengaja”. Dikatakan demikian karena walaupun harga minyak dunia masih berada di level tinggi bahkan mencapai US$ 98 per barel, pemerintah tetap keukeuh menggunakan asumsi US$ 60 per barel.
Ini adalah sebuah hal yang aneh karena pemerintah tidak belajar dari pengalaman tahun 2007. Data di sebuah media menyebutkan bahwa dengan asumsi yang sama (US$ 60 per barel), tahun 2007 kemarin pemerintah harus mengeluarkan subsidi BBM tambahan dari Rp 55,6 triliun menjadi Rp 91 triliun, dan subsidi listrik dari Rp 32,4 triliun menjadi Rp 50 triliun. Sekarang mari kita bandingkan dengan pernyataan ditjen pajak yang mengatakan kenaikan penerimaan PPh migas sebesar Rp 4 – 5 triliun. Sudah jelas ada hal yang sangat kontradiktif terjadi di sini. Bagaimana mungkin angka satu digit dapat dikatakan lebih besar dari angka dua digit?
Dan semakin aneh lagi, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa walaupun Indonesia adalah negara pengekspor minyak, namun ironinya saat ini kita adalah tergolong negara net-importir minyak. Ya, hal ini karena kita walaupun memang mengekspor minyak mentah, tetapi mengimpor minyak siap konsumsi yang harganya tentu lebih mahal. Lalu dimanakah keuntungan yang didapat dari kenaikan harga minyak tersebut? Kemudian pemerintah dalam nota keuangan 2008 mengatakan: Harga rata-rata minyak ICP dalam tahun 2008 diperkirakan berada pada US$60 per barel. Harga ini tidak berbeda apabila dibandingkan dengan perkiraan realisasi rata-rata harga minyak ICP dalam RAPBN-P Tahun 2007 yang mencapai US$60 per barel. Perkiraan harga minyak mentah ICP dalam RAPBN Tahun 2008 terkait dengan perkiraan menurunnya permintaan minyak mentah internasional sejalan dengan perkiraan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun 2008 dan masih tingginya harga minyak mentah internasional dalam tahun 2007.

NAMUN dalam nota keuangan yang sama di halaman yang berbeda, dikatakan: Relatif masih kondusifnya kinerja perekonomian internasional memberikan harapan positif bagi prospek perekonomian Indonesia. Hal tersebut ditunjukkan oleh masih kuatnya pertumbuhan ekonomi dan volume perdagangan dunia, harga minyak mentah internasional yang relatif stabil, serta kecenderungan kebijakan moneter global yang cenderung bias netral. Ada 2 hal yang patut dikritisi:

1. Di satu sisi pemerintah mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat. Namun di sisi lain ternyata pemerintah pun menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia masih menguat. Hal ini menjadi paradoks, karena tentu saja pemerintah tetap bertahan di angka US$ 60 per barel adalah karena asumsi pertama. Tapi hal tersebut langsung dipatahkan oleh asumsi ke dua. Mana yang sebenarnya lebih dipercaya oleh pemerintah? Jika memang yang ke dua, maka pemerintah tidak boleh bertahan di asumsi US$ 60 per barel, karena pertumbuhan ekonomi dunia yang kuat tentunya akan membutuhkan konsumsi energi yang tetap tinggi.
2. Pemerintah mengatakan bahwa asumsi US$ 60 per barel adalah ada hubungannya dengan tingginya harga minyak mentah internasional tahun2007. Kemudian dilanjutkan dengan pernyataan bahwa harga minyak mentah internasional relatif stabil. Bila demikian, seharusnya asumsi US$ 60 per barel tidak digunakan, karena harga di tahun 2007 mendekati angka US$ 100 per barel. Akan lebih wajar dan konsisten bila pemerintah menggunakan asumsi yang lebih dekat dengan harga minyak mentah di tahun 2007 tersebut.

Sekarang, mari kita lihat dari tinjauan logika ilmu ekonomi. Secara logika ekonomi, kenaikan harga suatu komoditi bisa disebabkan permintaan yang meningkat melebihi persediaan. Naiknya permintaan minyak dunia disebabkan karena meningkatnya kebutuhan minyak bumi untuk konsumsi maupun produksi. Di sisi persediaan, secara global cadangan minyak bumi sudah mulai menipis. Amerika bahkan mengumumkan cadangannya menurun sebesar 800 juta barel. Demikian juga dengan negara – negara produsen minyak lainnya, termasuk Indonesia.
Pemerintah jelas berharap permintaan energi dunia akan berkurang di tahun 2008 sehingga mampu menurunkan harga minyak, namun tidakkah seharusnya kita menyadari bahwa justru konsumsi energi akan banyak digunakan di tahun 2008. Sebutlah event olimpiade dunia yang akan diselenggarakan di China, sementara kita mengetahui bahwa China banyak menggunakan sumber energi dari luar negaranya. Begitu pula akan ada event euro di eropa yang juga tentunya akan menyerap energi banyak. Belum lagi siklus musim dingin dan salju yang akan tetap hadir rutin setiap tahunnya di eropa, amerika, rusia, maupun berbagai belahan dunia lainnya (dan ini disinyalir cukup membawa pengaruh kuat dalam peningkatan harga minyak).
Jika kita berbicara faktor dalam negeri, dampaknya diperparah menipisnya cadangan minyak bumi Indonesia (sisi supply) yang tidak diikuti oleh menurunnya sisi permintaan (konsumsi minyak). BAHKAN pemerintah (Bappenas) pun BELUM begitu yakin apakah TARGET PRODUKSI MINYAK Indonesia sebesar 1.034 juta barel per hari bisa diwujudkan untuk meningkatkan sisi penerimaan dari pos ekspor minyak bumi. Data yang ada menunjukkan bahwa bahkan dalam APBN-P 2007 sekalipun yang menggunakan asumsi lifting sebesar 950 ribu barel per hari, ternyata hanya dapat terealisasi 910 ribu barel per hari. Lalu dari mana pemerintah mendapatkan keyakinan produksi 1 juta barel per hari?
Patut juga dicermati apa yang dikatakan oleh ekonom Faisal Basri, yang mengatakan “ Setiap kenaikan harga minyak US$ 10 per barel akan meningkatkan defisit Rp 0,4 – 0,5 triliun. Kalau tahun 2008 lifting minyak dinaikkan menjadi 1,034 juta barel per hari, akan memicu defisit yang lebih besar lagi.” Di samping itu, meningkatnya penjualan otomotif (akibat sinergi perusahaan otomotif dengan perusahaan leasing) malah makin meningkatkan konsumsi minyak bumi Indonesia. Data dari Gaikindo (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia) menyebutkan pada tahun 2007 sekitar 80% - 90% pembelian kendaraan dilakukan secara kredit. Hal ini berarti akan memudahkan setiap orang untuk memiliki motor ataupun mobil dan selanjutnya meningkatkan konsumsi BBM.
Pemerintah pun tampaknya harus berpikir ulang tentang inflasi yang akan terjadi. Asumsi penurunan inflasi yang terus terjadi tampaknya harus dikaji ulang. Banyak hal memang yang terkait dengan inflasi. Namun jika ditinjau dari hubungannya dengan gejolak harga minyak dunia, maka kita dapat melihat bahwa program konversi minyak tanah ke gas merupakan salah satu pemicu inflasi. Dan program tersebut merupakan tindakan pemerintah mengamankan anggaran karena tentunya akan mengurangi konsumsi minyak bumi dalam negeri dan subsidi yang diberikan. Namun ironisnya justru hal ini akan menjadi penyebab inflasi dan ketidakmakmuran masyarakat yang telah lama bergantung pada minyak tanah.
Sebagai penutup, ada beberapa hal yang pada akhirnya BEM FE Unpad sarankan:
1. Mengubah asumsi – asumsi APBN dalam besaran yang lebih realitis, terutama yang terkait dengan gejolak harga minyak dunia. Dengan mengambil asumsi yang lebih realitis, pemerintah dapat mempersiapkan rencana pemasukan dan alternatif sumber pembiayaan dengan lebih baik dan lebih awal, sehingga tidak akan menimbulkan kepanikan nantinya ketika defisit anggaran tiba – tiba membengkak.
2. Alternatif sumber pembiayaan hendaknya tidak memberatkan masyarakat. Dan tidak juga dengan merekayasa sesuatu yang pada akhirnya pun merugikan masyarakat. Tidak juga dengan memperbesar hutang berlebihan yang suatu saat nanti justru akan merugikan generasi masa depan.
3. Tingkatkan kemampuan teknologi anak bangsa sehingga minyak Indonesia tidak berharga murah di pasar internasional.
4. Tingkatkan produksi komoditas pertanian, karena ternyata saat harga minyak melambung, harga komoditas pertanian Indonesia pun melambung di pasaran dunia. Tantangan Indonesia adalah mendorong produktivitas komoditas unggulan ini.
5. Tingkatkan efisiensi pasar dan hapus ekonomi biaya tinggi. Jika efisiensi pasar baik dan supremasi hukum berjalan dengan baik, maka dampak dari kenaikan harga minyak tidak akan sebesar kalau efisiensi pasar tidak dijalankan serta berbagai pungutan liar dibiarkan begitu saja.
6. Tutup kebocoran anggaran. Pemerintah mengatakan akan melakukan penghematan anggaran departemen / lembaga pemerintah sebesar Rp 11,7 triliun, tapi tahun 2003 BPK melaporkan bahwa kebocoran APBN mencapai 150 trilliun.

JAYALAH INDONESIAKU....

- BEM FE UNPAD -

Senin, 14 Januari 2008

Perbuatan baik dan analisa biaya-manfaat -- Akhmad Rizal Shidiq

Di bagian majalah yang terbit tiap akhir pekan, harian New York Times, 13 Januari 2008, menurunkan tulisan amat menarik, walaupun agak panjang, dari Steven Pinker, Professor Psikologi dari Harvard. Judulnya “The Moral Instinct”.

Isi tulisan tersebut kira-kira mengurai bagaimana soal moral (perbuatan baik) diterangkan secara positivistik (alih-alih normatif) melalui pendekatan interdisiplin game theory, neuroscience, dan evolutionary biology --saya agak repot menerjemahkan ketiganya dalam Bahasa Indonesia, jadi biarlah seperti itu.

Dari situ saya belajar banyak hal baru. Misalnya bagaimana ilmu saraf menjelaskan secara fisiologis reaksi bagian otak tertentu ketika dihadapkan pada dilema moral, juga antropologi dan psikologi sosial memetakan beberapa nilai moral yang kurang lebih universal dan juga asal usulnya (genealogy).

Dengan segala keterbatasan terhadap ilmu-ilmu di atas, yang paling menarik buat saya adalah dengan bantuan penjelasan interdisiplin sekalipun --terutama evolutionary biology dan game theory--; soal moral (atau kenapa orang berbuat baik untuk orang lain) ternyata tidak terlalu jauh dari pertimbangan biaya-manfaat.

Bagaimana ceritanya? Pinker, mengutip biolog Robert Trivers, menyatakan bahwa dalam seleksi alam, strategi paling maksimal (tit-for-tat game, bagi yang familiar dengan game theory) bagi manusia adalah berbuat baik pada pihak lain (menjadi moralis). Dalam setting interaksi tersebut, si pelaku kebaikan tentu tidak mau dibalas dengan kejahatan, sehingga lebih memilih partner sesama pelaku kebaikan. Karena ada potensi keuntungan (gain) dalam interaksi resiprositas, maka orang berkompetisi untuk masuk dalam interaksi tersebut, alias menjadi baik.

Dalam jangka pendek, orang bisa saja pura-pura baik, tetapi dalam jangka panjang (repetitive game), strategi yang paling efektif, ya benar-benar berbuat baik.

Ini soal maksimisasi dan analisa biaya manfaat, bukan?

Di bagian lain, ketika mempertanyakan apakah soal moral ini cuma sesuatu yang semu dan sifatnya subjektif, Pinker menggunakan pendekatan filsafat Plato: ada suatu realitas abstrak (Plato realm) yang bernama kebenaran moral, seperti hal nya kebenaran matematika, yang harus digali. Manusia terlahir dilengkapi konsep mentah moral, --seperti halnya angka atau bilangan--, yang bila dilakukan operasi tertentu (reasoning), --misalnya operasi matematika--, akan menghasilkan kebenaran (truths) yang sifatnya objektif.

Soalnya kemudian bagaimana caranya kemudian manusia sampai pada kebenaran moral yang objektif tersebut --alias ada sesuatu yang baik dan buruk yang ditentukan secara objektif? Operasi atau reasoning seperti apa yang dilakukan?

Pinker, lagi-lagi, menggunakan logika game theory di atas. Dalam kehidupan, yang sebagian besar bukan zero sum game, berbuat baik untuk orang lain adalah strategi yang paling optiman. Inilah reasoning --sesuatu yang identik dengan operasi matematika dalam kasus konsep bilangan-- yang membawa kita pada realitas objektif moral

Oh ya, logika game theory tersebut di atas berangkat dari premis bahwa manusia mengoptimalkan utilitasnya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian berbuat baik.

Demikian.

** Akhmad Rizal Shidiq adalah dosen FEUI, peneliti LPEM, dan anggota Cafe Salemba. Rizal menulis dari George Mason University.

Jumat, 11 Januari 2008

Ketika insentif tidak cukup -- Ari A. Perdana

Seperti halnya MCB, saya sangat menikmati serial diskusi tentang faktor non-ekonomi di blog ini. Saya, dan tentunya juga rekan-rekan ekonom di sini, belajar banyak dari perspektif yang ditawarkan melalui komentar rekan-rekan.

Dari berbagai tanggapan, satu isu menarik dilontarkan oleh Tirta. Ia bertanya, dalam kasus apa pendekatan insentif tidak cocok, atau kurang powerful, sebagai pisau analisis? Reaksi spontan saya dan Aco adalah "tidak ada." Dalam pemikiran saya, pertanyaan yang lebih relevan adalah insentif macam apa, tapi semua hal terkait dengan pilihan dan keputusan individu (atau agent) tetap bisa dijelaskan dalam kerangka insentif.

Harus saya akui, tanggapan-tanggapan lanjutan dari Tirta dan juga Roby membuat saya (setidaknya saya, tidak tahu bagaimana dengan Aco) terus berpikir ulang. Dalam komentar lanjutan, saya sempat mengatakan bahwa pendekatan insentif tidak cocok untuk kasus agent yang mengambil keputusan secara random -- artinya, tidak ada motivasi atau 'fungsi utility' yang mendasari keputusan yang diambil. Ada dua kondisi lain yang saya rasa tidak bisa didekati lewat kerangka insentif, meski tidak sekuat kondisi yang saya ajukan pertama kali:
  • Kondisi dimana agent tidak memiliki kendala yang mengikat, baik itu kendala biaya, waktu, spasial dan apapun yang menjadi kendala. Saya tidak bisa memikirkan contoh yang realistis untuk kondisi ini, selain tokoh Q dalam serial Star Trek: The Next Generations.
  • Kondisi dimana agent tidak memiliki kehendak bebas. Dalam kondisi ini, agent tidak memiliki fungsi utility pribadi, melainkan bergerak atas dasar utility atau motivasi yang murni eksternal. Contohnya adalah komunitas Borg dalam, lagi-lagi, serial Star Trek.

Yang menarik adalah beberapa kasus yang terletak dalam wilayah abu-abu. Maksudnya, kasus dimana kita tidak bisa menyimpulkan apakah pendekatan insentif bisa/cocok menjelaskan perilaku agent. Atau, kalaupun bisa, pendekatan insentif hanya mampu menjelaskan sebagian (kecil). Contohnya adalah ilustrasi yang diajukan Tirta tentang seorang anak yang memutuskan membaca buku karena melihat kembarannya membaca buku.

Seperti halnya Aco, saya setuju bahwa teori ekonomi -- dalam hal ini pendekatan insentif -- tidak bisa menjelaskan hal itu. Mungkin saja perilaku si anak murni copycat kembarannya, dan ini membutuhkan teori psikologi atau neuroscience untuk menjelaskannya. Tapi bukan berarti pendekatan insentif jadi tidak punya tempat. Mungkin saja si anak punya motivasi, misalnya keinginan untuk menjadi mirip, dan berlaku mirip, dengan kembarannya.

Kalau penjelasan ini terdengar lemah, mungkin kita bisa membandingkan dengan fenomena tawuran. Kita banyak mendengar cerita tentang pelaku tawuran yang kalau tidak bersama rekan-rekannya adalah seorang pendiam dan berperilaku baik. Begitu ia ada bersama rekan-rekannya, ia menjaid beringas. Ini sedikit banyak terkait dengan apa yang dilontarkan Roby soal diskrepansi antara perilaku individu dan agregat/sosial. Banyak penelitian psikologi dan sosiologi yang coba menjelaskan fenomena ini, setahu saya. Dan salah satu penjelasannya adalah adanya motivasi untuk tampil, diakui, atau mirip dengan yang lain. Dengan kata lain, ada insentif bagi si agent untuk tidak menjadi dirinya sehari-hari.

Mengapa orang ikut pemilu?

Kasus lain yang sudah cukup banyak menjadi objek studi adalah perilaku individu dalam pemilihan umum. Ada dua pertanyaan: a) mengapa seseorang memutuskan untuk memilih di hari pemilihan, dan b) mengapa ia menjatuhkan pilihan pada partai/kandidat tertentu?

Dalam kerangka insentif, atau sering disebut juga dengan model 'pilihan rasional,' jawaban untuk (a) adalah cost si individu untuk datang ke tempat pemilihan lebih kecil dari benefitnya. Pertanyaannya, apakah benefit dari ikut pemilu? Secara sederhana, jawabannya adalah memastikan bahwa kandidat yang didukung menang. Di sini timbul paradoks. Dalam pemilu yang diikuti oleh jutaan orang, maka suara satu individu menjadi tidak penting. Apakah si individu memutuskan ikut pemilu atau tidak, ia tidak punya kontrol atas benefit potensial yang akan ia terima. Kecuali kalau memang ada mekanisme koordinasi dimana ia bisa memastikan bahwa orang-orang lain yang akan memilih kandidat sama juga akan memilih (alasan lain adalah adanya penggalangan pemilih atau politik uang).

Bagaimana menjelaskan paradoks ini? Satu kemungkinan adalah si individu menganggap bahwa ada peluang sebesar x persen bahwa suaranya akan mempengaruhi hasil akhir. Ia akan memutuskan untuk datang ke tempat pemilihan hanya jika ia percaya bahwa x lebih besar dari nilai tertentu.

Kemungkinan lain adalah keputusan untuk memilih bukan didasarkan semata-mata atas cost vs. benefit dari pergi ke tempat pemilihan, melainkan sebagai bentuk ekspresi tertentu. Entah sebagai dukungan atau penolakan terhadap sebuah ideologi, isu yang diusung, platform atau figur partai atau kandidat yang bersangkutan. Artinya, bentuk utility si individu adalah 'menunjukkan ekspresi' itu sendiri.

Tapi seberapa jauh kita bisa mengatakan bahwa insentif atau kalkulasi cost-benefit tidak menjelaskan keputusan untuk memilih? Untuk itu, kita perlu menjawab pertanyaan (b). Kalau memang faktor cost-benefit tidak berperan dalam menjelaskan orang datang memilih, maka yang akan memilih di hari pemilihan (selain yang dibayar) adalah mereka yang i) benar-benar memutuskan secara random, atau ii) memilih karena kedekatan identitas dengan partai/kandidat.

Dari berbagai studi mengenai perilaku pemilih, (i) bisa kita tolak karena ada pola yang sistematis antara latar belakang pemilih dengan pilihannya. Spesifik untuk kasus Indonesia, Saiful Mujani, lewat beberapa studi empirisnya, menunjukkan bahwa (ii) masih menjadi alasan bagaimana seseorang menjatuhkan pilihan. Ini berlaku untuk 'massa tradisional,' misalnya yang memilih PDIP, PAN atau PKB karena keluarganya dari dulu memilih PNI. Muhammadiyyah atau NU. Tapi, menurut Saiful, hipotesis bahwa pemilih memutuskan berdasarkan kalkulasi rasional juga tidak bisa ditolak. Salah satunya, seperti ia tunjukkan di studi ini, adalah tidak signifikannya identitas agama, dan pentingnya variabel kepemimpinan, dalam menjelaskan pilihan. Lanjut Saiful, ada kecenderungan bahwa pemilih menggunakan pemilu sebagai mekanisme reward dan punishment, yang menunjukkan bahwa pemilih Indonesia memang punya ekspektasi terhadap hasil pemilihan, dan bukan semata-mata didorong atas faktor-faktor psikologis atau kedekatan identitas.

Kesimpulannya? Sebenarnya, saya tidak sedang berusaha menyimpulkan apapun. Saya hanya ingin, sekali lagi, menunjukkan beberapa kasus dimana pendekatan insentif dan lainnya selalu bisa saling melengkapi.

** Ari A. Perdana adalah dosen FEUI, peneliti CSIS, dan anggota Cafe Salemba.

Rabu, 09 Januari 2008

Selamat jalan, Pak Sadli -- AAP

Ironi memang seringkali tidak terduga. Walaupun kami sadar akan kesehatan Pak Sadli yang cukup naik-turun beberapa bulan belakangan, berita kepergian beliau tetap mengagetkan. Dosen FEUI Kahlil Rowter bertanya di milis pengajar kemarin apakah ada yang dapat memberikan update terakhir kabar kesehatan Pak Sadli. Pertanyaan itu berjawab duka. Pak Sadli telah pergi untuk selamanya tadi malam, 8 Januari 2008 di usianya yang ke-85.

18 Agustus 2007, Pak Thee Kian Wie mengirim email kepada saya dan beberapa kawan, mengatakan bahwa kondisi Pak Sadli yang memang sudah sakit beberapa waktu, memburuk. "I regret to say that Pak Sadli looked bad, his eyes were wide open, but he did not recognize me and could not talk. His breathing was helped with an oxygen tent. I felt bad and helpless seeing him", demikian email Pak Thee. Kami semua sedih dan mendoakan Pak Sadli.

Harapan itu bersambut. Tanggal 5 September kembali Pak Thee mengirim email. Rupanya kondisi Pak Sadli sudah membaik dan karenanya sudah dirawat di rumah. Dalam bahasa gado-gado Chris Manning, "That is marvellous, meskipun not ideal, of course...".

Dalam suasana lebaran, saya menghubungi Pak Thee dan bertanya apakah Pak Sadli bisa ditengok. Pak Thee menjawab, mungkin sebaiknya tidak dulu, mengingat Pak Sadli membutuhkan banyak sekali istirahat. Dan saya menunggu.

Maka ketika email Pak Kahlil muncul di milis, saya segera mem-forward ke Pak Thee. Dan ironi itu pun datang. Pagi tadi M. Ikhsan menelpon saya dengan kabar duka itu, hampir bersamaan dengan SMS dari Adi Z. Afiff. Inna lillaahi wa inna ilaihi raji'un. Saya segera menelpon Pak Thee dan Pak Thee pun kaget. Jam 10 saya bersama Pak dan Ibu Thee tiba di rumah duka. Kepada Ibu Sadli saya sampaikan rasa duka dan simpati segenap staf dan karyawan LPEM, lembaga yang pernah dipimpin oleh Pak Sadli.

Saya memang tidak banyak berinteraksi langsung dengan Pak Sadli. Tapi saya adalah pengagum beliau. Tulisan-tulisannya yang tajam dan jernih selalu saya ikuti. Produksi kolomnya yang sangat produktif selalu di-forward ke milis FEUI. Dan kami belajar banyak dari situ. Pak Sadli memang akrab dengan teknologi. Walaupun suatu hari beliau mengeluh kepada saya, betapa banyaknya spam yang ia peroleh di inbox-nya. Itu di suatu pagi ketika Pak Sadli main-main ke LPEM sembari mengantarkan buku kumpulan tulisannya yang baru tentang pemerintahan SBY-JK. Sekaligus Pak Sadli memberitahu saya bahwa "ada typo dalam tulisan kamu (dan M. Chatib Basri) tuh di BIES (jurnal tentang Indonesia, dari Australian National University)". Pak Sadli memang teliti sekali.

Saya menjadi tahu lebih banyak tentang Pak Sadli ketika saya, Thee Kian Wie, dan Chris Manning menjadi convenor untuk acara The Sadli Lecture, sebuah acara seminar akademik yang disponsori oleh Australian National University dan FEUI untuk menghormati Pak Sadli. Acara itu berlangsung di Jakarta tanggal 24 April 2007. Di malam sebelum acara berlangsung, kami masih sempat makan malam dengan Pak Sadli di Kemang. Makan yang akrab itu dihadiri juga oleh Chatib Basri, Prema-chandra Athukorala, Howard Dick, dan Peter McCawley. Rencananya, besok dalam acara Lecture, Pak Sadli akan memberikan beberapa patah kata, sebelum kuliah umum dari Athukorala. Namun ternyata, keesokannya Pak Sadli sakit lagi. Jadilah acara The Sadli Lecture tanpa Pak Sadli. Ibu Mari Pangestu, ketika memberikan sambutan, menceritakan beberapa pengalaman menariknya bersama Pak Sadli. Sayang Pak Sadli tidak hadir.

Sejak itu saya masih menunggu. Beberapa kali kesehatan Pak Sadli membaik, namun juga beberapa kali memburuk lagi. Lebaran berlalu. Dalam acara ulang tahun LPEM November lalu, beberapa mantan kepala LPEM hadir: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, S.B. Joedono, Rustam Didong, Arsjad Anwar, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Faisal Basri. Kami pun "menunggu" Pak Sadli.

Dan ketika ketemu pagi tadi, Pak Sadli adalah jenazah. Selamat jalan, Bapak.

Update

Catatan Ari A. Perdana (Cafe Salemba)
Catatan Arya Gaduh (Indonesia|Economics)
Catatan Akhmad Rizal Shidiq (Cafe Salemba)
Catatan Rizal Mallarangeng (Kompas)
Catatan Mari Pangestu (The Jakarta Post)
Catatan M. Chatib Basri (Majalah Tempo)

Jumat, 04 Januari 2008

Mengapa jumlah kunjungan ke blog ini naik ? (lanjutan faktor non-ekonomi)-MCB


Ketika kita menempatkan eksplorasi menjadi sesuatu hal yang sama pentingnya --bahkan kadang lebih penting-- dibanding konklusi, maka diskusi menjadi sesuatu yang amat memikat dan memperkaya kita semua. Diskusi blog ini dalam seminggu terakhir praktis didominasi oleh perdebatan mengenai faktor non-ekonomi baik oleh posting dari AAP, Ari A. Perdana , ARS, dan saya, yang kemudian ditanggapi oleh banyak rekan-rekan seperti Sonny, Dendi, Roby, Tirta, Anymatters, Go-clean-corporate dsb (maaf kalau ada yang tertinggal). Dan diskusi serta kritik yang muncul saya kira sangat memperkaya --paling tidak pemahaman saya. Disana saya belajar banyak. Dan satu hal yang penting: saya semakin optimis akan begitu banyak kualitas-kualitas yang baik untuk sebuah diskusi yang substantif. Terima kasih

Dalam tulisan ini saya ingin menggunakan studi kasus perdebatan faktor-non ekonomi sebagai bahan diskusi kita mengenai soal benefit-cost analysis. Saya minta maaf terlebih dahulu kepada rekan-rekan semua jika ada yang merasa menjadi sample penelitian tanpa minta izin terlebih dahulu.

Data dari Stat-counter menunjukkan bahwa frekuensi kunjungan ke blog ini meningkat tajam pada minggu pertama Januari 2008 dibanding minggu sebelumnya (lihat grafik). Stat-counter tentu punya berbagai kelemahan dalam mencatat statistik yang ada (silakan lihat kualifikasi yang dibuat oleh stat-counter sendiri, namun secara umum ia punya kemampuan untuk memberikan profil suatu blog. Saya sendiri seorang pemula dalam dunia blog. Guna stat-counter ini diberikan oleh Aco kepada saya). Statistik menunjukkan bahwa frekuensi kunjungan relatif rendah ketika blog ini "istirahat" karena AAP dan saya "menjadi tawanan pekerjaan kita". Namun sejak blog ini kembali aktif, maka frekuensi meningkat dan semakin meningkat tajam sejak 1 Januari 2008.

Dari data ini pertanyaan penelitiannya adalah: mengapa kunjungan ke blog ini (berdasarkan jumlah hit) meningkat tajam selama minggu terakhir? Atau faktor apa yang mempengaruhi peningkatan kunjungan ke blog ini? Apakah ini pengaruh tahun baru? Apakah ini pola ini random? Posting ini tentu bukan penelitian yang sangat serius, ia hanya mencoba merekam dan melihat sebuah pola.

Kita dapat menggunakan model demand for leisure untuk menjelaskan ini. Saya tidak akan masuk pada penjelasan formal dan teknis (mereka yang tertarik dapat membuat model formal matematika nya). Anggaplah mengunjungi blog ini adalah leisure. Misalnya, pengunjung blog harus memilih berapa banyak waktu yang digunakan untuk bekerja (disini membaca blog dikategorikan bukan bekerja tetapi kesenangan) dan berapa banyak waktu membaca blog. Harga dari per jam membaca blog adalah pendapatan yang harus dikorbankan karena tidak bekerja. Karena itu harga dari membaca blog adalah upah perjam. Dalam prinpsi optimisasi anda akan mendapatkan titik optimal pada saat marginal utility membaca blog dari tambahan jam berikutnya tidak lagi lebih besar dibanding upah per jam. Ketika anda menganggap bahwa tambahan utility dari membaca blog ini masih lebih besar dibanding upah per jam, maka anda akan mengkonsumsi membaca blog ini. Dari sisi ini kita bisa menduga bahwa permintaan mengunjungi blog ini meningkat karena tambahan dari kepuasan mengunjunginya masih relatif besar dibandingkan dengan pengorbanan yang anda lakukan (saya sama sekali tak bermaksud mengklaim blog ini baik).

Penjelasan ini sebenarnya refleksi dari cost and benefit analysis. Karena itu motivasi membaca blog ini mungkin bisa dijelaskan dengan besarnya manfaat yang lebih besar dibanding biayanya. Jika misalnya rekan-rekan yang memberikan komentar terhadap posting faktor non-ekonomi merasa tidak ada gunanya melakukan posting dan lebih baik mengerjakan pekerjaannya atau menyelesaikan disertasinya, maka mereka tidak akan memilih mengunjungi blog ini. Motivasinya tentu saja bisa bermacam-macam seperti ingin mematahkan argumen neo-classic, ingin memberikan kontribusi approach baru, ingin menimbulkan noise. Walau motivasinya bisa berbeda, pengunjung blog ini akan mengunjungi blog selama manfaat atau kepuasan yang ia rasakan lebih besar dari pengorbanan yang harus ia berikan. Apakah ada kemungkinan motif lain mengunjungi blog ini diluar analisis diatas? Jawabannya: ada. Yaitu jika keputusan mengunjungi blog ini hanyalah sekedar random atau sekedar kebiasaan saja.

Untuk menguji ini maka kita coba lihat data statistik dari Stat-Counter. Hasilnya menarik! Statistik minggu pertama Januari menunjukkan bahwa 80% dari posting-posting yang dikunjungi adalah posting Faktor non-ekonomi (MCB, ARS, Ari A Perdana dan AAP). Hal ini juga tercermin dari tingginya komentar dalam topik ini. Selain itu jika kita lihat dari referring link nya, hampir 80% langsung masuk ke blog ini tanpa melalui google atau link dari web-site atau blog lain. Artinya, ada kemungkinan pengunjung memang secara khusus masuk ke blog ini. Yang tak kalah menariknya juga, 71% dari pengunjung menggunakan waktu lebih dari 5 menit sampai lebih dari 1 jam di blog ini. Dari kelompok ini porsi yang terbesar adalah yang lebih dari 1 jam. Statistik ini menolak bahwa motif mengunjungi blog ini hanyalah sekedar random saja. Jika random, maka pengunjung mungkin tidak akan menggunakan waktunya sedemikian panjang di blog ini. Mungkin jika random, ia masuk dan dan kemudian meninggalkan blog ini segera. Motif sekedar kebiasaan juga tidak konsisten dengan statistiknya. Jika memang mengunjungi blog ini sekedar kebiasaan saja, maka frekuensi kunjungan akan praktis konstan. Namun data menunjukkan ada perubahan dari pola kunjungan dalam seminggu terakhir, dimana posting yang dicari adalah faktor non-ekonomi.

Jika kita menggunakan analisis regresi untuk menguji data statsitik ini dimana jumlah kunjungan (yang mencerminkan permintaan aktual blog ini) adalah dependent variable sedangkan dummy posting faktor non-ekonomi sebagai independent variable, saya duga dummy posting faktor non-ekonomi akan signifikan mempengaruhi permintaan terhadap blog ini.

Disini kita bisa melihat kemungkinan pendekatan ekonomi dalam menjelaskan motif anda mengunjungi blog ini. Apakah pasti benar? Apakah ini bukan sekedar analisa post factum? Bisa saja. Bagaimana cara mengujinya? Saya teringat risalah Milton Friedman yang berjudul The Methodology of Positive Economics. Milton Friedman menulis bahwa model ekonomi hanya dapat diterima, jika ia konsisten dengan fakta atau bukti empiris. Lebih jauh ia berargumentasi: teori atau model tidak bisa disimpulkan benar hanya karena model itu konsisten dengan bukti empiris, namun teori atau model dapat dikatakan salah jika ia tidak konsisten dengan bukti empirisnya. Artinya penjelasan model optimisasi mungkin saja hanya sekedar spurious atau penjelasan cost-benefit belum tentu benar, ia hanya kebetulan konsisten dengan data empiris. Kita tak bisa menyimpulkan. Namun saya bisa mengatakan tidak ada bukti empiris yang mendukung bahwa mayoritas kunjungan ke blog ini sekedar random atau sekedar kebiasaan. Dari sisi ini kita bisa melihat bahwa analisa cost benefit belum tentu benar, tetapi argumen bahwa kunjungan ke blog ini sekedar random atau sekedar kebiasaan tak punya basis empiris.

Ini jelas bukan sebuah penelitian ilmiah. Ini hanyalah sebuah upaya memanfaatkan data dan mencoba menguji hipotesa apakah analysis cost-benefit konsisten dengan fenomena meningkatnya pengunjung blog secara tajam. Bagaimana predictive powernya? Kita harus lihat, namun mungkin kita bisa membangun hipotesa bahwa tema-tema seperti ini akan membuat permintaan terhadap blog meningkat. Tentu ini harus dibuktikan. Yang menarik adalah ketika saya menyatakan hal ini, bisa saja setelah ini pungunjung blog menjadi turun karena mungkin ingin membuktikan bahwa prediksi ini salah. Bisa saja terjadi demikian. Kalau toh begitu, ini sebenarnya adalah bentuk ekspresi lain dari komentar atau reaksi terhadap blog ini, yang tetap bisa dijelaskan dalam kerangka pilihan diatas. Disini, saya kira penggunaan game theory akan sangat menarik. Selamat berdiskusi

P.S: Minggu depan saya akan berada di US untuk urusan pekerjaan, jadi mungkin tidak bisa terlalu rutin melihat blog ini. Namun saya akan coba untuk tetap mengunjungi blog ini dan memberikan komentar semampu saya, jika memang waktunya memungkinkan. Selamat berdiskusi

Catatan: Keterangan Grafik 1 (dari StatCounter):

Returning Visitors - Based purely on a cookie, if this person is returning to your website for another visit an hour or more later

First Time Visitors - Based purely on a cookie, if this person has no cookie then this is considered their first time at your website.

Unique Visitor - Based purely on a cookie, this is the total of the returning visitors and first time visitors - all your visitors.

Page Load - The number of times your page has been visited.

Rabu, 02 Januari 2008

Faktor non-ekonomi (menambahi MCB, ARS, AP) - AAP


Membaca diskusi tentang faktor non-ekonomi (MCB, ARS, dan AP), saya teringat kepada sebuah landasan berpikir yang pernah saya gunakan untuk sebuah paper. Saya coba tampilkan di sini (klik gambar di sebelah untuk memperbesar).

Salah satu alat analisis ekonometrik yang lebih fleksibel dalam memperlakukan keputusan agen ekonomi adalah choice modeling. Dalam perkembangannya sekarang alat ini mengintegrasikan teori pilihan dasar dari ilmu ekonomi dan teori perilaku dari ilmu psikologi. Implikasi praktisnya di lapangan adalah dimungkinkannya data-data survei yang bersifat atitudinal dan persepsi ke dalam model. (Catatan: ekonom cenderung lebih percaya data historis berdasarkan observasi ketimbang data subjektif berdasarkan survei. Namun ada saat-saat di mana data historis objektif tidak ada sama sekali. Hal ini jamak terjadi dalam sub-bidang ekonomi lingkungan, ekonomi kesehatan, dan lain-lain). Kedua sumber informasi ini membentuk apa yang disebut oleh D. McFadden sebagai data psikometrik. Gambar di atas adalah proses keputusan konsumen yang diadopsi dari paper McFadden di Marketing Science tahun 1986. Kotak-kotak yang putih dalam gambar menunjukkan faktor-faktor yang dapat diamati (baik historis maupun melalui eksperimen), sedangkan kotak-kotak berbayang adalah apa yang disebut variabel laten. Kerangka berpikir ini memungkinkan kita untuk mengakomodasi heterogenitas konsumen yang ikut berpengaruh dalam perilaku pilihan mereka, selain faktor-faktor ekonomi semata. Operasi modelnya biasanya dilakukan dengan apa yang dikenal sebagai latent segmentation modeling. Di sini, faktor-faktor "lain" (termasuk "faktor non-ekonomi" jika risetnya adalah ekonomi) di-"perbolehkan" untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan agen-agen yang diamati.

Teknik ini sudah biasa dipakai di sosiologi (a.l. Eid, Langeheine, dan Diener, 2003; Yamaguchi, 2000), studi opini publik (McCutcheon dan Nawojcyzk, 1995), dan relatif baru di dalam aplikasi ekonomi (ekonomi kesehatan: Thacher, Morey, dan Craighead, 2005; ekonomi lingkungan: Boxall dan Adamowicz, 2002). Saya sendiri menggunakannya untuk mengestimasi manfaat ekonomi dari pembersihan lingkungan di sebuah pelabuhan terkontaminasi di Chicago, AS (Patunru, Braden, dan Chattopadhyay, 2007). Dalam paper tersebut, saya "meminjam" peralatan yang dibangun para ilmuwan dari psikologi, sosiologi, dan matematika. Dan memang mereka sangat membantu memperkaya analisis biaya-manfaat. Pada akhirnya, rekomedasi kebijakan (jika ada) adalah hal memperbandingkan manfaat dan biaya.

Faktor non-ekonomi (menanggapi MCB dan ARS) - Ari A. Perdana

Dede (MCB) dan Rizal (ARS) membahas sebuah isu yang cukup klasik: bagaimana harusnya 'faktor non-ekonomi' diperlakukan dalam analisis ekonomi? Ada dua pesan penting dari mereka. Pertama, jangan terburu-buru mengakhiri sebuah analisis dengan membuang hal-hal yang belum bisa dibahas ke dalam keranjang 'faktor non-ekonomi.' Kedua, kembalilah ke analisis tentang pilihan, juga demand dan supply. Maka apa yang disebut sebagai 'faktor non-ekonomi' itu tetap masih bisa dijelaskan dalam kerangka analisis ekonomi.

Di posting ini, saya akan memberikan catatan tambahan bagi kedua posting terdahulu. Ada sejumlah studi yang saya kira relevan untuk disebutkan sebagai contoh bagaimana 'faktor non-ekonomi' menjadi fokus pembahasan dalam sebuah studi ekonomi. Studi-studi itu juga menunjukkan, 'faktor non-ekonomi' bukan hanya sebatas membantu menjelaskan menjelaskan preferensi atau pilihan produksi, seperti dikatakan ARS. Ada dua kerangka berpikir lain yang akan saya tuliskan di sini.

Faktor non-ekonomi sebagai penjelasan atas preferensi individu/masyarakat

ARS menulis bagaimana Becker mendapat Nobel sekaligus dibenci oleh akademisi dari disiplin lain atas karya-karyanya yang memasukkan aspek politik, sosiologi, krimonologi atau antropologi dalam analisis ekonomi. Sebenarnya, Becker cukup rendah hati dengan mengatakan "ilmu sosial lain punya banyak pertanyaan menarik, ekonomi punya metodologi yang solid untuk menganalisisnya."

Kebanyakan artikel Becker berupa model atau penjelasan teoretis. Tapi banyak juga studi-studi ekonomi empiris yang memasukkan 'faktor-faktor non-ekonomi' untuk menjelaskan berbagai fenomena ekonomi. Contohnya adalah sejumlah studi mengenai household decision making. Duncan Thomas menulis sejumlah paper mengenai hal ini, termasuk beberapa tentang Indonesia. Fumio Hayashi (1995) pernah melihat apakah pola kekeluargaan di Jepang dan banyak negara Asia, dimana orang tua lanjut usia tinggal bersama anak mereka yang sudah dewasa, ada kaitannya dengan pola konsumsi. Contoh lain adalah studi Andrew Foster dan Mark Rozensweig (1996) yang menunjukkan bahwa pola perkawinan patrilocal exogamy di beberapa daerah di India ada kaitannya dengan manajamen risiko.

Analisis soal preferensi dan ketimpangan gender juga sebuah topik yang menjadi persimpangan antara ekonomi dan sosiologi atau antropologi. Pertanyaan utamanya adalah mengapa di banyak negara berkembang perempuan berada dalam posisi marginal dibandingkan laki-laki. Apakah ini adalah sesuatu yang alami, atau karena adanya perbedaan perlakuan terhadap perempuan? Dan kalau memang ada perbedaan perlakuan terhadap perempuan, apakah itu bisa dirunut hingga ke aspek preferensi: bahwa masyarakat memang lebih suka punya anak laki-laki dibanding perempuan? Beberapa memperkuat dugaan bahwa memang sejumlah masyarakat punya preferensi tertentu terhadap anak laki-laki. Ini berdampak pada perbedaan alokasi sumber daya rumah tangga terhadap anak laki-laki dan perempuan, dan ujungnya adalah perbedaan endowment yang dimiliki kedua gender (Monica DasGupta 1997, Lena Edlund 1999, serta sebuah paper Robert Jensen yang masih dalam proses tentang kaitan antara preferensi gender, perilaku fertilitas dan alokasi sumber daya rumah tangga di India).

Tahun 1990, Amartya Sen pernah menulis sebuah paper tentang 'perempuan-perempuan yang hilang' (the missing women). Pertanyaan penting dalam paper itu adalah mengapa di banyak negara berkembang tingkat mortalitas lebih tinggi di kalangan perempuan. Menurut Sen, hal ini lebih banyak disebabkan oleh faktor sosial alias preferensi terhadap perempuan ketimbang faktor alamiah. Paper Sen ini disusul oleh sejumlah studi lain yang terkait. Salah satunya, Emily Oster menunjukkan bahwa hampir separuh dari perempuan yang hilang versi Sen bisa dijelaskan secara medis: Hepatitis B. Sekedar catatan, paper Oster juga sempat mengalami kritik dan penolakan oleh kalangan ahli kesehatan dan kedokteran yang tidak menganggap serius pendekatan ekonometrik dalam menganalisis penyakit menular (informasi dari rekan Firman Witoelar).

Faktor non-ekonomi sebagai kendala yang mengikat

Ekonom biasanya berpikir dalam kerangka 'maksimisasi sesuatu dengan kendala tertentu.' Jika kita menganggap bahwa proses pembangunan adalah upaya memaksimalkan sebuah variabel hasil (pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja dll). Dalam mencapai tujuan itu, seringkali kita terbentur pada kendala. Faktor non-ekonomi bisa -- seringkali -- menjadi kendala yang mengikat (binding constrain) atas proses pembangunan, baik secara umum atau pada intervensi-intervensi spesifik.

Satu contoh anekdotal yang cukup klasik adalah penolakan kelompok agama terhadap program Keluarga Berencana (terlepas dari apakah kita menganggap program Keluarga Berencana adalah sesuatu yang perlu), upaya pencegahan HIV/AIDS dan penyakit hubungan seksual lainnya, atau diadopsinya sebuah teknologi baru. Sejumlah inisiatif kredit mikro tidak berjalan efektif karena tidak mempertimbangkan karakteristik sosial budaya masyarakat penerima (menganggap jika sebuah inisiatif berhasil di satu tempat akan berhasil juga di tempat lain). Bantuan bagi masyarakat terbelakang sering tidak mencapai sasaran karena menempatkan kepala keluarga (laki-laki) sebagai penerima, sementara perempuan lebih peka terhadap kebutuhan-kebutuhan spesifik terkait kesejahteraan anggota keluarga.

MCB secara spesifik menulis tentang korupsi dan latar belakang budaya. MCB benar -- soal budaya memang tidak bisa menjelaskan mengapa ada korupsi, atau mengapa korupsi di satu tempat lebih tinggi dari yang lain. Tapi ia tidak sedang berbicara dalam konteks budaya sebagai kendala yang mengikat dalam pemberantasan korupsi. Mungkin memang benar, pemberantasan korupsi di Korea dan Jepang bisa lebih efektif karena latar belakang budaya di sana membuat pelaku korupsi lebih memilih untuk dihukum dibandingkan 'malu.' Dan itu yang mungkin tidak ada dalam konteks Indonesia.

Satu catatan, meski benar budaya adalah kendala mengikat, pada akhirnya solusi yang ditawarkan oleh ekonomi (lewat mekanisme insentif, hukuman, hadiah atau semacamnya) tetap menjadi sebuah pilihan terbaik. Namun pemahaman lebih baik mengenai apa yang menjadi kendala spesifik untuk satu negara dan satu kasus membantu kita menemukan solusi yang paling efektif dari sejumlah alternatif yang ada.

Faktor non-ekonomi sebagai variabel eksogen bagi perbedaan kinerja ekonomi

Bergeser dari analisis mikro (individu) ke makro (antarnegara). Pertanyaan yang sering terlontar adalah: mengapa ada negara kaya dan negara miskin? Menurut teori pertumbuhan standar seperti Solow dan berbagai variasinya, kemungkinan penyebabnya adalah perbedaan dalam akumulasi modal fisik, tingkat pendidikan, pertumbuhan penduduk, keterbukaan ekonomi, dan dalam jangka panjang teknologi. Kelemahan terbesar dari teori pertumbuhan standar adalah variabel-variabel yang dianggap mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah endogen. Apakah sebuah negara menjadi kaya karena perdagangan, investasi dan pendidikan, atau sebaliknya? Bahkan teknologi pun tidak sepenuhnya eksogen.

Belakangan, banyak ekonom mencari jawaban lewat pendekatan sejarah. Adakah hal-hal di luar variabel ekonomi yang menjelaskan perbedaan kinerja ekonomi tiap negara ratusan, bahkan ribuan, tahun lalu? Saya pernah menulis sebuah posting mengenai hal ini di blog Ruang 413. Saya akan mengulangi sedikit di sini.

Menurut Jared Diamond dalam Guns, Germs and Steel, jawabannya adalah geografi (catatan: saya pernah menyinggung bagaimana Diamond secara eksplisit menunjukkan bahwa nenek moyang kita juga seorang ekonom). Jeffrey Sachs juga menunjuk geografi untuk menjelaskan mengapa Afrika begitu terbelakang, meski saya tidak terlalu sepakat pada solusinya yang ia tulis dalam bukunya. Tapi Menurut David Landes dalam The Wealth and Poverty of Nations, penjelasannya adalah budaya. Spesifiknya, menurut Landes, adalah budaya yang mendukung sekularisasi dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Itu yang menjelaskan mengapa sejarah ekonomi modern ditulis oleh Eropa, bukannya Cina atau dunia Islam. Terkait soal budaya, Glaeser dan kawan-kawan mengatakan bahwa tingkat fraksionalisasi bahasa, budaya dan agama suatu negara menjelaskan mengapa ada negara yang berhasil maju sementara yang lain mengalami hambatan.

Menurut pandangan lain, perbedaan kinerja ekonomi tidak bisa lepas dari perbedaan kualitas institusi antarnegara. Kalau kita ingat, Milton Friedman selalu mengangkat pentingnya property rights dalam mekanisme pasar. Institusi suatu negara menentukan bagaimana property rights didefinisikan, dibuktikan, dilindungi dan ditegakkan. Argumen institusi dikemukanan oleh, antara lain, Douglass North dalam bukunya tahun 1990. Pertanyaan selanjutnya, apa yang menjelaskan kualitas institusi sebuah negara? Interaksi antara kondisi geografi dan strategi kolonialisme menyebabkan perbedaan dalam kualitas institusi tiap negara, demikian tulis Acemoglu, Johnson dan Robinson dalam paper mereka tahun 2001. Sebelumnya La Porta, Lopez, Schleifer dan Vishny (1998) juga menunjukkan bahwa perbedaan sistem hukum yang dianut sebuah negara akan berpengaruh pada perlindungan hak kepemilikan.

Moga-moga ini bisa menunjukkan betapa dinamisnya ilmu ekonomi dan bagaimana ekonom punya ketertarikan dan antusiasme dalam melihat variabel-variabel non-ekonomi.

** Ari A. Perdana adalah dosen FEUI, peneliti CSIS, dan anggota Cafe Salemba.
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: Januari 2008 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates