Sabtu, 29 Maret 2008

Mimpi Aneh Kaum Muda (Bag. 2) -- Akhmad Rizal Shidiq

(Sambungan)

Lalu mengapa kemudian sistem pasar tidak ditengok sebagai solusi? Mengapa kaum muda intelektual tersebut menghindari sistem pasar?

George Stigler (1984) dalam bukunya, “The Intellectual and the Marketplace” menulis bahwa ketidaksukaan kaum intelektual terhadap sistem pasar terutama sekali karena ketidaktahuan mereka terhadap logika dan cara kerjanya.

Misalnya, Bryan Caplan (2007) dalam “The Myth of Rational Voters: Why Democracies Choose Bad Policies”, mencatat bahwa sentimen anti pasar terjadi karena publik tidak memahami bahwa pembayaran dalam pasar (market payment) tidak sama dengan transfer (pemberian tanpa syarat). Atau dengan kata lain, profit (yang selalu dipandang rendah) bukan hadiah atau setoran.Profit atau pembayaran dalam pasar dilakukanhanya setelah seseorang melakukan sesuatu usaha.

Kedua, publik tidak memahami bahwa monopoli bukan hasil, tetapi bentuk kegagalan sistem pasar membentuk harga dan alokasi sumberdaya yang benar. Sistem pasar yang berhasil (dengan pergerakan keluar masuk pasar yang bebas) tidak akan menciptakan monopoli. Secara konseptual perilaku monopolistik sendiri selalu terancam gagal, apalagi bila melibatkan banyak pemain pasar. Dengan demikian, menyamakan perilaku monopoli dengan sistem pasar, tentu saja jauh panggang dari api.

Masih terkait dengan kegagalan membedakan monopoli dengan sistem pasar adalah kecenderungan publik menyalahkan monopolis (yang kemudian disamakan dengan pasar) apabila terjadi kenaikan harga. Monopoli bisa dipersalahkan untuk harga yang tinggi, tetapi bukan harga yang naik --karena monopolis sudah menetapkan harga yang paling tinggi pada tingkat penawaran dan permintaan tertentu (Landsburg, 2007).

Ketiga, terdapat kecenderungan intelektual untuk memberikan label tertentu yang salah alamat. Misalnya, menyatakan bahwa Amerika Serikat adalah negara neo-liberal. Karakter neo-liberal, hantu yang belum terdefinisi dengan jelas, adalah pasar yang bebas dan peran negara yang minimal. Situasi ekonomi politik Amerika Serikat saat ini belum memenuhi persyaratan tersebut. Subsidi pertanian masih besar, tunjangan sosial masih dilakukan, proteksi dan pembatasan imigrasi masih kerap terjadi, dan yang jelas, peran negara masih besar dalam aktivitas ekonominya. Debat soal perlunya upaya bail out pemerintah dalam krisis sub prime mortgage belakangan ini adalah contoh jelasnya.

Agenda neo-liberal sejati, jika memang ada, masih berada di luar sistem utama ekonomi politik AS, dan masih terus disuarakan dari pinggir oleh para pendukungnya; sementara realitasnya pendulum politik bergerak tidak jauh dari tengah, sebatas isu seberapa besar subsidi atau tax cut yang akan dilakukan.

Di dalam negeri, upaya labeling juga problematis. Bagaimana mungkin kita menganggap SBY pro pasar, manakala ia menyatakan bahwa harga BBM tidak akan naik tahun depan, alias subsidi akan terus dijalankan. Atau misalnya, Megawati yang dalam masa pemerintahannya, Letter of Intent dengan IMF ditandatangani menteri-menterinya, adalah pembela ekonomi kerakyatan.

Jadi, daripada bermimpi di siang bolong, lebih baik kaum muda Indonesia bekerja dengan sebaik-baiknya, berpikir sedikit lebih jernih dan tertata, terbuka terhadap perubahan, berani berbeda pendapat (sekalipun dengan pendiri bangsa), dan menyebar dalam berbagai pandangan ekonomi politik. Demokrasi yang sehat tidak menawarkan pandangan yang seragam dan final, tetapi sebuah proses yang tidak pernah berhenti, dan membuka peluang untuk koreksi kesalahaan tanpa lewat paksaan dan kekerasan.

Dan seperti kata Kang Mohamad Sobary (Kompas, 2/12/07), kaum muda perlu menghormati demokrasi dengan menghindari kemalasan membentuk partai politik jika ingin menyatukan kekuatan untuk memperbaiki negeri ini dari jalur kekuasaan.

*** Akhmad Rizal Shidiq
Fairfax, Virginia, 6 Desember 2007.

Catatan: Artikel ini telah dikirim ke redaksi opini Kompas sejak Desember 2007, tanpa memperoleh tanggapan.

Mimpi Aneh Kaum Muda (Bag. 1) -- Akhmad Rizal Shidiq

Menurut Sukardi Rinakit (Kompas, 4/12/07) kaum muda Indonesia, --entah kaum muda yang mana--, sedang dihantui mimpi buruk; didatangi arwah Soekarno, Hatta, dan Sjahrir yang meminta warisannya, Republik ini, dijaga. Salah satu caranya adalah dengan mengamalkan kembali ajaran lama, yang kemudian diterjemahkan dalam sebuah istilah Ekonomi Pasar Sosial (Epasos) ala Indonesia. Saya tidak tahu apa jadinya kalau yang datang arwah Tan Malaka.

Susahnya model Epasos ala Indonesia ini tidak lazim, Model ini tidak sama dengan interpretasi Sonny Mumbunan (Kompas, 21/11/07) yang dengan jernih menguraikan asal muasal istilah Epasos, yang lahir di Jerman selepas Perang Dunia kedua. Menurut Sonny, secara singkat, Epasos ala Jerman adalah kapitalisme dengan wajah yang diusahakan humanis.

Sementara itu, definisi Epasos ala Indonesia menurut Sukardi, --supaya tidak salah interpretasi, saya kutip utuh-- adalah sebagai berikut:

“...Secara filosofis, apa yang saya bayangkan dari epasos model Indonesia adalah menempatkan keluarga sebagai unsur dominan dalam paradigma pembangunan berdampingan dengan negara. Negara-negara kesejahteraan Eropa selama ini menempatkan keluarga dalam kotak marjinal bersama dengan pasar. Adapun negara mempunyai peran dominan. Sebaliknya, negara-negara penganut neoliberal, seperti Amerika Serikat, menempatkan pasar dalam kotak dominan. Sementara itu, peran negara dan keluarga adalah marjinal...”

Dari satu paragraf ini kita akan membahas beberapa kerancuan berpikir yang terjadi dalam membayangkan sebuah konsep sistem perekonomian.

Model Epasos ala Indonesia memasukkan agen baru, yaitu keluarga. Saya kira keluarga dalam hal ini bukanlah terjemahan dari household (rumah tangga) yang lazim didapati dalam model circular flow interaksi perekonomian antara perusahaan, rumah tangga, dan negara, yang selalu diajarkan dalam kuliah pertama Pengantar Ekonomi. Keluarga dalam hal ini lebih mirip entitas sosiologis, sebuah sistem kekerabatan.

Persoalan akan muncul dalam upaya memasukkan sistem kekerabatan sebagai kategori sosiologis dalam sebuah sistem perekonomian, Tapi sebelumnya ada baiknya, kita perlebar perspektif kita tentang kategorisasi berbagai sistem perekonomian dalam kajian ekonomi politik, yang sebagian telah disinggung dalam kutipan di atas.

Kita mulai dari sistem pasar bebas. Dalam sistem ini, sumberdaya dimiliki oleh individu atau swasta. Alokasi sumberdaya tersebut, dalam mengatasi persoalan kelangkaan, dilakukan melalui mekanisme pasar, atau perdagangan. Harga, dalam mekanisme tersebut, berfungsi sebagai sumber informasi bagi para pelaku pasar (individu) dalam melakukan kegiatan ekonomi (produksi, konsumsi, perdagangan) dan menentukan arah pergerakan sumberdaya (alokasi) menuju efisiensi.

Bergerak ke kiri, di sisi lain, dalam sosialisme dan ekonomi terpimpin (planned economy), sumberdaya hampir semuanya dimiliki oleh negara. Alokasi sumberdaya juga dilakukan oleh negara melalui aparatus perencanaan, produksi, dan distribusi. Informasi pasar dikumpulkan dalam sebuah biro perencanaan yang serba tahu.

Tentu pada prakteknya, negara-negara di dunia berada di antara dua kutub tersebut. Seberapa besar peran pemerintah vis-a-vis swasta adalah soal derajat. Welfare states, atau negara kesejahteraan, adalah salah satu variannya. Di sini, hak milik pribadi sangat dominan dan ditegakkan, tetapi negara mengatur alokasi sumberdaya di bidang-bidang kesejahteraan sosial, terutama kesehatan, pendidikan, dan juga kesempatan kerja. Cara pembiayaan untuk subsidi dan tunjangan bidang kesejahteraan sosial tersebut adalah melalui perpajakan yang relatif tinggi.

Dalam model sosialisme, pasar bebas, dan welfare states, memang tidak pernah ada elemen sistem kekerabatan, atau keluarga. Jadi bagaimana mungkin yang tidak ada kemudian ditaruh dalam kotak marjinal, sebagiamana dilansir dalam kutipan di atas?

Menolak sistem pasar bebas sekaligus welfare states, sembari memasukkan elemen baru bernama keluarga, kemudian membawa dua pokok dalam sistem perekonomian: Apakah sumberdaya dimiliki oleh sistem kekerabatan? Bagaimana alokasi sumberdaya dilakukan dalam sistem kekeluargaan tersebut?

Sejarah kepemilikan sumber daya bergerak dari sistem komunalisme menuju ke sistem kepemilikan pribadi. Apakah kemudian kembali ke sistem kekeluargaan berarti semacam nasionalisasi, tapi kali ini dilakukan atas nama sistem kekerabatan?

Yang lebih krusial adalah soal bagaimana kemudian sumberdaya dialokasikan secara efisien dalam sistem kekeluargaan. Bagaimana informasi soal kelangkaan di satu tempat disampaikan ke tempat yang mengalami kelebihan? Bagaimana caranya anggota-anggota sistem kekerabatan menentukan berapa yang hendak diproduksi, dikonsumsi, dan dipertukarkan?

Soal-soal ini pernah dicoba dijawab dengan gagah berani melalui sistem ekonomi perencanaan, atau sosialisme. Tapi saya kira aman kalau kita bilang ekonomi sosialisme adalah proyek yang hanya berhasil menghasilkan diktator. Reproduksi model tersebut, dengan mengganti kata negara menjadi keluarga, saya kira adalah resep menuju kegagalan yang kemungkinan besar lebih dalam. Secara konseptual bahkan Epasos ala Indonesia tersebut lebih lemah ketimbang ekonomi terpimpin yang gagal tersebut.



*** Akhmad Rizal Shidiq
Fairfax, Virginia, 6 Desember 2007.
Catatan: Artikel ini telah dikirimkan ke redaksi opini Kompas sejak Desember 2007, tanpa memperoleh tanggapan.

Jumat, 28 Maret 2008

Pendekatan Ekonomi dalam pengelolaan lingkungan

Departement Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran


Sumber daya alam merupakan faktor input dalam kegiatan ekonomi. Namun demikian, pengertian sumberdaya alam tidak terbatas sebagai faktor input saja karena proses produksi akan menghasilkan output seperti limbah yang kemudian menjadi faktor input bagi kelangsungan dan ketersediaan sumberdaya alam. Dari sisi ekonomi pencemaran lingkungan disebabkan oleh kegagalan pasar. Pencemaran lingkungan disebabkan oleh tidak terjadi salah satu dari permintaan atau penawaran. Dengan demikian untuk mengatasi adalah menciptakan pasar, atau memberi jaminan bahwa permintaan dan penawaran harus terjadi. Pemikiran ini pada akhirnya melahirkan bidang ilmu baru yang saat ini kita kenal dengan ekonomi lingkungan.

Nilai dari Lingkungan
Berapa rupiah nilai lingkungan yang dihasilkan oleh suatu ekosistem, sampai kini masih tetap kabur. Kuantifikasi nilai ekonomi kerusakan ataupun manfaat lingkungan karena pembangunan umumnya belum memiliki keandalan ataupun kesamaan pendapat. Padahal, true value sumber daya tersebut sangat perlu diketahui. Kalau ada angka kuantitatif, wujudnya baru berupa jumlah produk dari sumber daya atau angka kerusakan fisik akibat aktivitas memperolehnya. Berapa nilai rupiah kerusakan lingkungan karena kegiatan pembangunan, berapa rupiah yang diperlukan untuk memperbaikinya, dan berapa nilai kemanfaatan ekonomi kalau lingkungan itu dijaga atau diperbaiki, merupakan pertanyaan yang perlu dijawab secara kuantitatif.
Nilai ekonomi lingkungan yang dianggap tak terukur, intangible, dan sering kali bahkan dianggap tidak layak dipertanyakan karena memiliki nilai yang sulit dihitung secara nyata tersebut dapat didekati hingga menjadi tangible, terukur, meskipun cara pendekatannya bersifat relatif dan malahan tak jarang dianggap mengada-ada.
Nilai pokok lingkungan paling sering dihitung dari kejadian bencana tata air, kerusakan lahan, dan polusi. Nilai lainnya yang tidak kalah penting, namun sering dilupakan adalah nilai konservasi alam hayati dan plasma nutfah maupun nilai keberadaan sumber daya terhadap aktivitas eksogen baik makro maupun yang bersifat mikro. Hutan dan pepohonan berperan paling besar dalam perlindungan ekosistem lingkungan ini, sampai kepada nilai keteduhan dan estetikanya. Bahkan, sumber daya hutan mampu membentuk pola budaya dan sosial setempat.

Pembangunan Ekonomi
Paradigma pembangunan yang berlandaskan prinsip pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan terjadinya distribusi yang tidak adil dari sumberdaya alam. Selama ratusan tahun negara-negara di belahan bumi utara telah dimakmurkan oleh eksploitasi sumberdaya alam yang terjadi di belahan bumi selatan melalui kolonialisme. Eksploitasi sumberdaya alam secara masif dan dilakukan secara destruktif tersebut dilakukan untuk memasok bahan baku bagi proses industrialisasi yang berlangsung di negara-negara utara demi mengejar pertumbuhan ekonomi. Proses ketidakadilan dalam eksploitasi dan distribusi resources telah menyebabkan marjinalisasi masyarakat serta kerusakan lingungan hidup di negara-negara selatan.
Dalam perkembangan selanjutnya, negara-negara selatan yang termarjinalisasi pun terseret pada pola-pola pembangunan mainstream, yaitu yang berlandaskan pada pertumbuhan ekonomi. Negara-negara selatan yang memang minim modal kemudian harus mengikuti pola pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang padat modal dan eksploitatif. Proses pembangunan padat modal dan eksploitatif terus berlangsung di negara dunia ketiga melalui tangan-tangan korporasi-korporasi multinasional yang notabene berasal dari negara-negara maju. Melalui Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Investment), korporasi-korporasi menanamkan modalnya di negara-negara dunia ketiga dan melakukan eksploitasi resources.
Akibatnya, alih-alih mencapai kemakmuran, negara dunia ketiga malah makin termarjinalkan dan bahkan terjebak dalam perangkap utang yang dikomandani oleh Brettonwoods Institution seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Kondisi tersebut diperparah dengan rusaknya lingkungan hidup dan makin menipisnya sumberdaya alam yang menjadi aset negara dunia ketiga tersebut untuk memakmurkan rakyatnya.

Kepentingan Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan
Anggapan bahwa alam mempunyai kemampuan dalam menanggapi berbagai perubahan iklim di bumi ternyata sering keliru. Bumi kita ini memang sudah seringkali mengalami perubahan iklim, namun karena pengaruh manusia perubahan iklim itu berlangsung semakin cepat. Peningkatan suhu bumi atau lebih sering disebut dengan pemanasan global memang merupakan hal yang nyata, dan terbukti dari sejumlah pengamatan atas meningkatnya suhu udara dan samudra, meluasnya salju dan es yang meleleh, dan naiknya tinggi muka air laut rata-rata. Disadari atau tidak, sudah banyak atau bahkan berulang kali dilakukan upaya-upaya oleh negara tertentu, tokoh aktivis, dan kelompok pecinta lingkungan di seluruh dunia, tapi tetap saja berlangsung pemanasan global. Kalau disebut ulah kita, itu sudah pasti karena kita semua masih bergantung pada sektor industri. Pemanasan global adalah kesalahan manusia yang terlalu serakah, dan juga akibat dari revolusi industri yang terlalu dibanggakan orang Barat tanpa memikirkan akibat yang timbul kemudian. Sedikit sekali orang-orang yang menyadari dampak pemanasan global, tapi banyak juga orang yang punya perhatian terhadap hal tersebut. Namun masih ada keterbatasan kemampuan ataupun ilmu untuk membantu mengatasi pemanasan global.
Emisi gas rumah kaca mengalami kenaikan 70 persen antara 1970 hingga 2004. Konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer jauh lebih tinggi dari kandungan alaminya dalam 650 ribu tahun terakhir. Rata-rata temperatur global telah naik 1,3 derajat Fahrenheit (setara 0,72 derat Celcius) dalam 100 tahun terakhir. Muka air laut mengalami kenaikan rata-rata 0,175 centimeter setiap tahun sejak 1961. Sekitar 20 hingga 30 persen spesies tumbuh-tumbuhan dan hewan berisiko punah jika temperatur naik 2,7 derajat Fahrenheit (setara 1,5 derajat Celcius). Jika kenaikan temperatur mencapai 3 derajat Celcius, 40 hingga 70 persen spesies mungkin musnah.
Meski negara-negara miskin yang akan merasakan dampak sangat buruk, perubahan iklim juga melanda negara maju. Pada 2020, 75 juta hingga 250 juta penduduk Afrika akan kekurangan sumber air, penduduk kota-kota besar di Asia akan berisiko terlanda banjir dan rob. Di Eropa, kepuanahan spesies akan ekstensif, sementara di Amerika Utara, gelombang panas makin lama dan menyengat sehingga perebutan sumber air akan semakin tinggi. Kondisi cuaca ektrim akan menjadi peristiwa rutin. Badai tropis akan lebih sering terjadi dan semakin besar intensitasnya. Gelombang panas dan hujan lebat akan melanda area yang lebih luas. Risiko terjadinya kebakaran hutan dan penyebaran penyakit meningkat. Sementara itu, kekeringan akan menurunkan produktivitas lahan dan kualitas air. Kenaikan muka air laut akan memicu banjir lebih luas, mengasinkan air tawar, dan menggerus kawasan pesisir.
Pemanasan global ini terjadi akibat naiknya gas rumah kaca yang terdiri dari karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitroksida (N20). Pola konsumsi energi bahan bakar fosil (minyak, gas dan batu bara) yang berlebihan dan tidak efisien menjadi penyebab utama meningkatnya gas rumah kaca di atmosfir bumi. Ekonomi pasar yang mendorong model produksi yang tak hentinya mengubah sumber daya alam menjadi komoditas dan terus-menerus menciptakan permintaan baru dipastikan ikut menjadi penyebab dari meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil terutama di negara maju. Sistem ekonomi pasar menyebar secara tak merata.
Di jantung ranah lahirnya yaitu di belahan bumi utara, ekonomi pasar telah berkembang secara berlebihan, sedangkan di belahan bumi selatan ekonomi pasar hadir dalam bentuk yang agak terbelakang. Karena itu, dampak lingkungan yang dihasilkan juga tersebar secara heterogen. Salah satu contoh yang paling jelas adalah perbedaan tingkat emisi gas rumah kaca per-kapita. Satu orang Amerika Serikat (AS) menghasilkan efek emisi sebanding dengan 17 orang Maldive, 19 orang India, 30 orang Pakistan, 49 orang Sri Lanka, 107 orang Bangladesh, 134 orang Bhutan, dan 269 orang Nepal. Meskipun menjadi penyumbang gas rumah kaca terbesar di dunia, namun secara konsisten AS dengan gigih menolak pengurangan emisi gas rumah kaca ini. Bahkan George Bush senior pernah menggertak pertemuan puncak Rio de Janeiro dengan pernyataan "Gaya hidup Amerika bukan untuk dinegosiasi" (Simpang Johannesburg, Walden Bellob).
Negara-negara maju lainnya seperti negara-negara Eropa dan Jepang pun sempat terkejut dengan pernyataan ini. Tapi seiring perjalanan waktu, akhirnya gaya hidup yang didasarkan pada konsumsi pun kembali menjadi panglima juga bagi Jepang dan Eropa. Hal itu disebabkan konsumsi yang senantiasa meningkat adalah resep umum dalam mempertahankan keberlanjutan ekonomi pasar. Dampak lingkungan dari ekonomi pasar yang terus berkembang dipastikan lebih jauh dari yang terungkap pada angka-angka statistik. Hal itu dikarenakan untuk menanggapi maraknya gerakan lingkungan di negaranya, negara di belahan bumi utara telah menggeser beban keseimbangan lingkungan global ke pundak negara di belahan bumi selatan. Kondisi tersebut nampak ketika Jepang menggapai standar kualitas lingkungan hidup mereka dengan cara memacu konsumsi sumber daya alam dan produksi limbah di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Konsumsi Jepang menyerap 70% dari kayu yang ditebang (kebanyakan secara ilegal) di Filipina dari 1950-an sampai 1990-an. Konsumsi komoditas di Jepang berasal dari produksi yang diletakkan jauh dari negara itu. Mulai tahun 1960-an, proses produksi massal yang padat polusi ditransfer secara masif ke kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia, lengkap dengan dampak lingkungan hidup yang membahayakan.
Akhir-akhir ini modal Eropa dan Amerika bergabung dengan modal Jepang juga berkontribusi dalam mengubah China yang menjadi pusat produksi dan pusat 'buang sampah' global. Apa yang terjadi pada China dan Asia sekarang ini hanyalah salah satu bagian akhir skenario dari proses memindahkan biaya lingkungan dari pusat ekonomi pasar ke wilayah pinggirannya. Dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim akan dirasakan oleh seluruh penghuni bumi ini seharusnya mampu membuka mata hati para pengambil keputusan pembangunan negara-negara di dunia untuk bersama-sama mengkaji ulang manfaat sistem ekonomi pasar yang selama ini telah menjadi semacam 'dewa' bagi pembangunan di dunia. Negara berkembang seperti Indonesia sebenarnya lebih mempunyai kesempatan untuk mengantisipasi kegagalan ekonomi pasar dalam menangkap biaya lingkungan dengan tidak mencontek habis pola pembangunan dari negara-negara maju. Perlu keberanian dari para pimpinan di negara-negara berkembang untuk melakukan intervensi terhadap ekonomi pasar agar mampu menangkap biaya-biaya lingkungan dan sosial yang diakibatkannya.
Banyak skema yang didorong dalam upaya mengurangi dampak dari pemanasan global ini, diantaranya yang paling sering disebut adalah Perdagangan Karbon. Bagi banyak kalangan industrial, pemerintah dan juga akedemisi yang pro terhadap Carbon Trade. Carbon Trade dianggap sebagai sebuah upaya "Win-Win Sollution" dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan pemanasan iklim global. Dimana mereka menilai bahwa adalah sewajarnya negara Selatan untuk memelihara hutannya dan negara Utara menggantikannya dengan uang. Mekanisme dan aturan dalam Carbon Trade dinilai adil dan menguntungkan. Tetapi kalau kita cermati dengan lebih dekat, maka akan dapat kita lihat ketidak-adilan dalam mekanisme ini dan juga akan kita lihat banyak kebohongan di dalamnya.
Perdagangan Karbon lebih menguntungkan kaum industri di negara-negara Utara dan merugikan banyak pihak di negara-negara Selatan, terutama rakyat di negara-negara Selatan. Negara-negara Anex 1 akan mendapatkan manfaat lebih besar, sementara negara macam Indonesia yang masuk kategori negara non anex hampir tidak mendapat keuntungan dari situ. Carbon Trade adalah suatu upaya dari negara-negara industri untuk menipu dunia. Kalau kita melihat dari jenis perdagangan karbon yang ada, pada dasarnya ada dua jenis perdagangan karbon diikuti oleh varian-variannya. Pertama adalah perdagangan emisi (emission trading). Yang kedua adalah perdagangan kredit berbasis proyek (trading in project based credit). Seringkali dua kategori tersebut disatukan menjadi sistem perdagangan hibrida.
Dalam protokol Kyoto para negara-negara pencemar menyepakati target pengurangan emisi hingga masa tertentu sebelum Protokol Kyoto. Para pembuat polusi diberikan sejumlah "kredit emisi" yang setara dengan tingkat emisi mereka tahun 1990 dikurangi dengan komitmen target pengurangan emisi. Kredit ini diukur dalam unit gas rumah kaca, jadi satu ton CO2 setara dengan satu kredit. Kredit ini adalah lisensi untuk mengotori udara untuk mencapai reduksi rata-rata 5.2 % seperti yang disepakati di Kyoto. Negara-negara kemudian dapat mengalokasikan kuota kredit pada basis wilayah negara, terutama dengan cara "grandfathering", jadi semakin besar negara tersebut melakukan polusi semakin besar jatah kreditnya. Sistem ini menganut membayar untuk mencemari.
Bantuan uang pada negara pemilik hutan tak akan menyelesaikan masalah perubahan iklim. Bantuan ini harus diiringi kemauan negara industri menurunkan kadar emisinya. Perlu keadilan internasional dalam masalah perubahan iklim. Bantuan uang pada negara-negara pemilik hutan tak akan berhasil, bila negara industri tak menurunkan emisi karbonnya. Hingga saat ini, negara industri besar terus tercatat sebagai penyumbang besar kadar karbon ke angkasa. Karbon sendiri dipercaya sebagai sebab pemanasan bumi.
Sayangnya, negara industri besar di wilayah utara belum juga menunjukkan niat menurunkan kadar emisi karbon dari industri. Perlu ada keseimbangan internasional mengenai upaya mengatasi perubahan iklim. Selain negara selatan, yang kebanyakan masih memiliki hutan, diberikan bantuan untuk memperbaiki kondisi kehutanan. Negara-negara di utara, yang kebanyakan merupakan negara industri besar, harus juga mau menurunkan kadar emisi karbonnya.

Ekonomi Berbasis Lingkungan
Ilmu Ekonomi Lingkungan amat diperlukan dewasa ini. Hal ini tidak lain dari adanya kenyataan motif berbisnis yang tidak semata-mata untuk mengejar laba. Dalam kenyataan sehari-hari, kegiatan bisnis saat ini akan semakin terkendala oleh keterbatasan pengetahuan, energi dan ambisi perusahaan meraih laba jangka pendek dan jangka panjang. Perusahaan yang sedang berkembang dituntut kemampuannya mengendalikan teknologi, kalkulasi harga dan biaya, dan menghindari ancaman dari kebangkrutan serta proses pengambil alihan perusahaan. Pemilik saham perusahaan pada saat ini mungkin rela menerima lebih sedikit imbal saham, sepanjang perusahaan yang dimilikinya tetap berkembang dalam jangka panjang. Seluruh motif dan kejadian ini terkait erat dengan permasalahan-permasalahan lingkungan hidup di sekitar lokalitas perusahaan.
Dunia bisnis pada abad modern sekarang terjalin erat hubungannya dengan para pemangku kepentingan yang lebih luas. Mereka terdiri dari pelaku ekonomi seperti pemegang saham, kreditur, direktur, manajer, konsumen, pemasok, pekerja, ahli pemasaran dan iklan, konsultan, anggota masyarakat dan lembaga pemerintahan dan publik pada tingkat pusat dan daerah. Hubungan ekonomi, sosial dan politik dengan pelaku-pelaku ini sebagian telah diikat melalui perjanjian kontrak, tetapi sebagian lagi tidaklah demikian. Proses perubahan lingkungan bisnis, perubahan alam sekitar, perubahan ketentuan dan peraturan pemerintah maupun perkembangan tuntutan-tuntutan dari pelaku lainnya yang tidak terikat dengan kontrak bisnis, semuanya akan semakin mempengaruhi kepentingan pemangku kepentingan, khususnya para pemegang saham.
Dari kondisi tersebut maka acuan bisnis ke depan sebenarnya bukanlah lagi mengejar laba perusahaan, tetapi lebih kepada keberlanjutan usaha (survival). Tiadanya faktor efisiensi pasar dan berbagai potensi timbulnya kegagalan pasar semakin menuntut kalangan bisnis untuk memperhatikan dan menguasai ilmu lingkungan hidup.
Ilmu lingkungan hidup membahas masalah dan tantangan isu pengendalian polusi, perubahan iklim, perlindungan lingkungan hidup, konservasi sumber bahan baku yang semakin menipis, keragaman dan ancaman kelangsungan hidup mahluk hidup alam semesta, serta permasalahan alokasi sumber daya alam dan energi dalam proses produksi yang berkelanjutan. Memang benar aset maupun harta karun di sekitar alam sekitar kita bukan merupakan aset yang kepemilikannya dipegang dan dikendalikan oleh generasi manusia sekarang, tetapi mereka merupakan juga hak milik (equity) dari seluruh generasi-generasi penerus di kemudian hari. Oleh karenanya aset tersebut harus dikelola dengan baik, dipelihara kesehatannya agar pemanfaatannya dapat berkelanjutan (Alan Gilpin, 2000).
Pengelolaan lingkungan hidup menuntut para investor dan pengusaha untuk melakukan proses kalkulasi manfaat dan biaya dari kegiatan produksi, perdagangan dan investasi pada kegiatan bisnisnya secara benar dan cermat. Di dalam kalkulasi tersebut perlu juga dimasukkan aspek internalisasi biaya pengendalian lingkungan, dan internalisasi akibat kerusakan-kerusakan yang timbul dalam proses produksi barang dan jasa — yang kepemilikannya berada ditangan masyarakat (community) dan generasi penerus kita. Tragedi jurang kemiskinan, dampak mulplier lokal yang minimal, pengangguran setempat yang tinggi, kasus kebocoran pembangkit nuklir di wilayah Three Miles Island dan Bhopal, berikut proses pembalakan hutan dan kebakaran asap serta kasus luapan lumpur panas Sidoardjo merupakan peristiwa-peristiwa negatif yang patut dihindari.
Belum lagi kerusakan kualitas sungai, langkanya sumber air minum bersih, pembuangan sampah, perubahan tataruang (yang kontra lingkungan hidup) semuanya membuktikan adanya fakta telah terjadinya gejala penularan dampak lingkungan hidup yang semakin bersifat jangka pendek. Ketidakpedulian kita terhadap kasus-kasus global seperti rumah kaca, limbah radioaktif, rusaknya biodiversity laut, hutan dan fauna serta kelangkaan sumber pangan dunia tentunya pada saatnya akan memberikan dampak serupa dalam percepatan hipotesa tersebut jika tidak dikendalikan.
Kita sebagai pelaku bisnis perlu juga menghormati dan menjalankan berbagai peraturan lingkungan hidup secara lokal, nasional dan internasional. Mengatasi masalah dan isu lingkungan hidup yang dampak negatifnya dinikmati oleh masyarakat dunia, seperti kasus global warming dan perubahan cuaca dunia memang harus ditangani secara bersama seperti yang telah diatur dalam Perjanjian Internasional Protokol Kyoto. Mitigasi terhadap ancaman jangka panjang ini merupakan kewajiban bagi generasi masa kini agar pembangunan dan kesejahteraan dunia dapat berlangsung secara berkelanjutan bagi generasi-generasi penerus.
Dari perspektif ekonomi, persoalan lingkungan dapat menimbulkan persoalan biaya tinggi, ternyata juga merupakan persoalan ekonomi. Artinya, ada korelasi erat antara ekonomi dan lingkungan. Karenanya, sudah sewajarnya, dilakukan pendekatan ekonomi yang dapat memadukan lingkungan ke dalam proses pembangunan. Hal ini telah banyak dikenal oleh para penyusun kebijakan di negara-negara maju, tetapi masih merupakan hal langka di negara–negara berkembang.



Simpulan
Berbagai cara telah dilakukan dunia dalam mengatasi kerusakan lingkungan yang teramat parah saat ini hingga telah menyebabkan berbagai bencana termasuk bencana luar biasa yang bernama “global warming”. Mulai dari Sidang Bumi di Rio de Janeiro pada 1992, Protokol Kyoto pada tahun 1997, hingga yang baru-baru ini dilahirkan dari hasil Konferensi Perubahan Iklim di Nusa Dua tahun 2007 silam yakni Bali Roadmap.
Jalan yang panjang dalam memperjuangkan perbaikan lingkungan demi tetap mempertahankan peradaban ini telah dilakukan. Butuh sebuah komitmen yang kuat, terutama negara-negara maju, dalam melaksanakan hasil-hasil perjuangan para negara berkembang dalam berbagai konferensi yang telah dilakukan sehubungan dengan perubahan iklim global ini.
Akhirnya, mengendalikan lingkungan dengan pendekatan ekonomi, dinilai sudah saatnya. Berapa nilai keuntungan suatu kegiatan pembangunan dibandingkan dengan nilai kerugiannya akibat rusaknya lingkungan dan kehidupan sosial bukanlah hal yang sulit dan mustahil dilakukan. Paling tidak, gambarannya diperlukan untuk memberikan masukan obyektif bagi para pengambil keputusan.

Sabtu, 01 Maret 2008

Pembatasan BBM, APBN dan Masyarakat

Tahun 2008 adalah tahun dimana kelangkaan energi mulai dipermasalahkan. Dari adanya pematokan harga minyak dunia pada kisaran US$90-US$100 hingga berkurangnya produktivitas minyak negeri sendiri yang seharusnya dapat memenuhi permintaan pasar sebagai negara anggota OPEC. Hal tersebut akhirnya menyudutkan kita pada satu permasalahan, yaitu adanya pembatasan penggunaan BBM demi memyelamatkan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang terancam defisit anggaran. Pemerintah telah merencanakan regulasi pembatasan penggunaan BBM dengan mengunakan berbagai kebijakan, diantaranya pematokan anggaran APBN untuk BBM yang dibatasi hanya 35,8 juta kiloliter serta adanya penerapan penggunaan SMART Card . Pemerintah mengharapkan bahwa dengan adanya kebijakan tersebut anggaran dapat dihemat sebesar 7- 8 triliun. Namun, setiap kebijakan yang diberlakukan akan selalu menimbulkan sebab dan akibat tertentu. Masyarakat Indonesia memang masih berada di posisi ragu-ragu dalam menanggapi masalah ini, tidak bisa dibilang pro ataupun kontra. Banyak yang mengatakan bahwa dari tahun ke tahun, pemerintah masih belum bisa mendistribusikan kebijakan – kebijakannya secara tepat sasaran; yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan tersendiri terhadap kebijakan- kebijakan yang akan diberikan.
Salah satu kebijakan yang cukup kontroversial adalah diberlakukannya SMART Card. SMART Card adalah inovasi baru yang dicetuskan oleh pemerintah dalam bentuk sebuah kartu yang memiliki IC yang dapat memproses data. Penggunaan kartu ini hampir sama dengan kartu- kartu magnetic lainnya dimana, kartu ini harus dipindai dengan reader untuk membaca data. Akan tetapi, kartu ini berbeda dengan kartu ATM dan sejenisnya dalam pemrosesan data informasinya. Jika pada kartu ATM datanya tersimpan di data base pusat, maka pada SMART Card ini memiliki data sendiri didalamnya sehingga proses data hanya terjadi diantara reader dan card. Rencananya kartu ini akan ditujukan pada mobil pribadi dengan kapasitas mesin dibawah 2000cc dan jatah perharinya sebesar 5 liter bensin bersubsidi, jika jumlah tersebut dirasa masih kurang, maka konsumen harus membeli bensin non subsidi.
Namun ini semua masih dalam tahap perencanaan dan belum adanya keputusan yang jelas mengenai sasaran pastinya, sebagai contoh adalah kendaraan diatas 2000cc yang merupakan kendaraan produksi seperti truk dan bus yang merupakan alat transportasi produksi atau umum, akan tetapi kemungkinan juga dikenai kebijakan SMART Card ini. Hal ini pada akhirnya mengundang berbagai kontroversi dari berbagai pihak baik dari pemerintah sendiri maupun masyarakat yang merasakannya secara langsung. Belum lagi subsidi minyak tanah yang akan dihilangkan dan dikonversi ke dalam gas. Proses konversi itu sendiri membutuhkan waktu yang lama untuk menyesuaikan dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih tetap ingin menggunakan minyak tanah untuk memasak ketimbang menggunakan gas. Agak terlihat aneh memang, kenapa sektor produksilah yang harus menanggung biaya non-subsidi tersebut. Seharusnya sektor konsumsilah yang harus terus ditekan pengeluarannya agar dapat menghemat BBM secara efektif dan efisien.
Jadi, kalau kita rumuskan secara analisis SWOT( Strength Weakness Opportunity Treat) berdasarkan kasus kebijakan pemerintah mengenai penghematan BBM maka :
Strength yang dimiliki yaitu :
1. Media massa dapat dengan mudah menginformasikan kebijakan –kebijakan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat
Weakness yang dimiliki yaitu :
1. SMART Card membutuhkan waktu dan biaya yang banyak dalam pelaksanaannya
2. SMART Card harus didukung oleh IT dan HR yang memadai, tetapi kenyataannya di Indonesia masih belum tercukupi
3. Budaya masyarakat Indonesia yang boros
4. Kurangnya koordinasi antara pemerintah dan masyarakat dalam implementasi kebijakan tersebut
5. Supply minyak dari lokal masih belum mencukupi demand domestik, sehingga perlu impor
Opportunity yang dimiliki yaitu :
1. Adanya inovasi kendaraan berbahan bakar non-fosil
2. Eksplorasi menemukan titik- titik potensial penghasil minyak baru di Indonesia
3. Inovasi mengenai penambahan jumlah public transportation yang bebas BBM seperti trans Jakarta
Treat yang dimiliki yaitu :
1. Kondisi perekonomian Indonesia yang masih fluktuatif
2. Jumlah kendaraan yang menggunakan bahan bakar fosil terus meningkat
3. Kecurangan akibat ketidakjelasan tender

Pada kesimpulannya terdapat berbagai masalah yang saling tumpang tindih, sehingga ketika kita ingin menyelesaikan satu permasalahan, maka permasalahan lainnya pun harus turut diselesaikan juga karena masalah-masalah tersebut saling berkaitan satu sama lain. Solusi yang disarankan pun seharusnya bisa mmenyelesaikan permasalahan- permasalahan dengan efektif. Analisis lanjut mengenai masalah tersebut yaitu sbb. :
1. Pembatasan penggunaan BBM terkesan condong kepada sektor produksi, maka tingkat produktivitas masyarakat akan menurun secara signifikan karena BBM adalah salah satu faktor produksi utama. Sama halnya dengan yang terjadi pada kendaraan umum. Apabila BBM dibatasi, maka masyarakat dengan berbagai macam kepentingannya akan terhambat mobilitasnya dan tidak dapat menjalankan proses produksi dengan baik, akibatnya perekonomian akan macet.
2. Dalam jangka panjang pembatasan penggunaan BBM dapat memicu terjadinya kenaikan harga berbagai macam barang, karena mahalnya biaya produksi yang harus dikeluarkan dan turunnya jumlah produksi yang mengakibatkan kelangkaan yang berimbas pada naiknya harga barang.
3. Beralihnya pengguna kendaran pribadi ke kendaraan umum. Karena SMART Card hanya diberlakukan pada mobil pribadi dan jatah 5 liter tersebut dirasa sangat kurang maka akan memicu peralihan alat transportasi dari mobil pribadi ke kendaraan umum, namun ini hanya akan terjadi jika adanya peningkatan kualitas pelayanan transportasi umum. Sebab, masih banyak masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa memiliki transportasi sendiri adalah sebuah prestige. Jadi, kedua hambatan tersebut harus dihilangkan secara bersamaan dengan memberikan anjuran atau himbauan kepada masyarakat agar lebih memilih alat transportasi umum.
4. Pengadaan SMART Card hanya akan berlangsung secara efektif apabila biaya, waktu dan informasi yang jelas tercukupi. Setiap SPBU di seluruh Indonesia mau tidak mau harus melakukan renovasi dan itu akan menimbulkan cost yang besar, hal ini juga belum tentu bisa terselesaikan jika manajemen dan sumber daya manusia yang ada tidak mendukung. SMART Card juga tidak akan berfungsi secara efektif apabila target yang ditujukan tidak tepat, oleh karena itu dibutuhkan kontrol antara pihak pemerintah dengan penyedia layanan SMART Card ini. Hal lain yang perlu diperhatukan adalah apakah kendaraan yang diberi SMART Card itu digunakan untuk proses konsumsi atau produksi.
5. Kecurangan akibat adanya ketidakjelasan kesepakatan tender. Proyek pengadaan SMART Card ini yang mekanismenya hanya melalui penunjukan oleh pemerintah dengan alasan efesiensi waktu dikhawatirkan akan memicu terjadinya penyelewengan dana oleh pihak penerima tender maupun oleh pemerintah.
6. Peralihan atau konversi minyak ke gas telah mengundang berbagai kontroversi sehingga perlu kontrol lebih lanjut dari pemerintah dengan turun langsung ke masyarakat dan tetap memberikan kemudahan dalam pendistribusian produk tersebut.
7. Dengan ditemukannya titik-titik potensial penghasil minyak baru, stok minyak untuk lokal diharapkan dapat memnuhi kebutuhan dan dapat dikelola secara mandiri oleh ahli lokal tanpa melibatkan pihak luar yang kemungkinan hanya akan menambah masalah baru.
8. Impor adalah jalan terakhir dalam pemenuhan demand pasar, akan tetapi jikalau produksi lokal dapat ditingkatkan maka kita akan mampu menghemat atau mungkin menjadi swasembada, walaupun dengan pembatasan- pembatasan tertentu. Hal ini pun dapat mengurangi cost yang dikeluarkan oleh pemerintah.
9. Biaya adalah faktor utama kenapa kebijakan pembatasan penggunaan BBM ini diterapkan, maka, diharapkan pemerintah mampu mempertimbangkan kepentingan mana yang harus didahulukan, juga memutuskan apakah dengan deficit agar mampu membantu perekonomian berjalan, ataukah menghambat perekonomian dengan mengusahakan agar tidak deficit.

Pada kesimpulannya, kebijakan pembatasan penggunaan BBM ini mengundang banyak permasalahan yang perlu ditangani secara kontinu dan berkesinambungan. Pemerintah harus memberikan seluruh informasi mengenai kebijakan ini secara jelas dan terbuka kepada seluruh pihak, dan jika hal itu terpenuhi, maka pihak- pihak yang terkait diharapkan mampu memberikan feedback yang baik dan solutif dalam pelaksanaan. Penerapan SMART Card juga bukanlah sebuah hal mudah yang bisa dilakukan oleh pemerintah, karena masih banyak lag yang terjadi diantara pihak-pihak yang terkait dengan inovasi ini baik secara budaya ataupun teknologi. Oleh karena itu, penerapan SMART Card ini harus dilakukan secara bertahap agar dapat mendapatkan benefit dan tidak membuang- buang cost dengan jumlah besar. Perhatian terhadap sektor transportasi umum yang merupakan penopang kebijakan pembatasan BBM ini juga harus diperhatikan. Sementara untuk pihak yang menjadi supplier yaitu Pertamina, diharapkan cukup mampu mengontrol kondisi institusinya agar dapat mengantisipasi masalah intern yang timbul dan mampu menghilangkan masalah korupsi yang telah dialaminya selama beberapa dekade.



Kastrat BEM FEB UGM 2008

BBM dan SUBSIDI BBM

BBM dan Subsidi BBM

BBM (bahan bakar minyak) adalah jenis bahan bakar yang merupakan salah satu produk minyak yang dihasilkan dari pengilangan minyak mentah (crude oil) yang berasal dari perut bumi. Sedangkan Subsidi BBM, sesuai dengan naskah RAPBN dan Nota Keuangan setiap tahun, adalah “pembayaran” yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada PERTAMINA (pemegang monopoli pendistribusian BBM di Indonesia) dalam situasi dimana pendapatan yang diperoleh PERTAMINA dari tugas menyediakan BBM di Tanah Air adalah lebih rendah dibandingkan biaya yang dikeluarkannya untuk menyediakan BBM tersebut”. Namun apabila bernilai positif, seperti dulu sering dialami, angka itu disebut Laba Bersih Minyak.Elemen biaya penyediaan BBM di dalam negeri antara lain:
1. Biaya impor minyak mentah
2. Biaya pembelian minyak mentah produksi dalam negeri
3. Biaya impor BBM
4. Biaya pengilangan (refening)
5. Biaya distribusi
6. Biaya tak langsung

Subsidi BBM terjadi apabila jumlah penjualan-penjulan produk BBM lebih kecil daripada biaya-biaya untuk menghasilkan BBM tersebut. Kenyataan yang sering terjadi saat ini adalah dimana penjualan lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan, akibatnya apabila jumlah subsidi BBM cukup besar maka keuangan negara dapat menjadi defisit.


Perhitungan Subsidi BBM

Subsidi BBM adalah aliran dana dari pemerintah ke pertamina. Pendapatan minyak adalah aliran dana dari penjulan minyak mentah milik pemerintah, yang diterimakan ke rekening Departemen Keuangan. Sebagian besar kegiatan penjualan minyak mentah dan penyediaan BBM dilakukan oleh pertamina. Perhitungan subsidi BBM secara sederhana dapat dilakukan dengan model sebagai berikut :

· Penjualan produk-produk BBM = Σ Volume BBM x Harga BBM
· Biaya menghasilkan BBM = Σ Biaya (impor crude, pembelian minyak mentah dalam negeri, impor BBM, pengilangan, distribusi tak langsung).
· Subsidi BBM = penjualan produk BBM - biaya untuk menghasilkan BBM
Dalam naskah APBN terminologi mengenai subsidi BBM yang dikembangkan pemerintah, tidak terdapat kaitan langsung antara butur subsidi BBM dengan pendapatan minyak.

Sehingga kritik yang sering diajukan oleh masyarakat pada umumnya adalah dimana letaknya pendapatan minyak dalam akuntansi subsidi BBM yang dilakukan pemerintah? Mengapa tidak memasukkan pendapatan pendapatan minyak sebagai bagian (sisi input) dari mekanisme perhitungan subsidi BBM tersebut?Dengan memasukkan pendapatan minyak ke dalam perhitungan, maka industri minyak di Indonesia selalu menghasilkan surplus. Disisi lain, masyarakat masih memiliki kesan bahwa Indonesia adalah negara ekspor, sehingga seharusnya kenaikan harga minyak dunia memberikan “windfall profit” atau keuntungan tambahan bagi Indonesia, bukannya beban subsidi BBM yang besar.Dari teori sumber daya alam, memasukkan pendapatan minyak ke dalam model perhitungan “subsidi BBM” adalah hal logis dan fair, karena “produksi dari alam” merupakan bagian dari keseluruhan proses produksi. Industri sumber daya alam seperti minyak bumi yang sifatnya dari alam tidak tepat bila diperlakukan sama dengan industri pemrosesan atau manufaktur. Juga dalam menggunakan terminologi “subsidi” tersebut.Namun demikian, ada pertimbangan lain bahwa minyak mentah merupakan komoditi yang dapat diperdagangkan secara internasional (internationally tradable), sehingga membiarkan minyak mentah dikonsumsi secara “murah” di dalam negeri juga bukan merupakan tindakan yang bijaksana. Menghitung harga minyak mentah di dalam negeri hanya dari biaya produksinya saja juga tidak tepat, karena selain kehilangan kesempatan (opportunity losses) bila harga minyak bumi di pasar internasional meningkat tinggi. Dalam APBN, membiarkan penerimaan minyak tetap seperti semula (pos penerimaan sumber daya alam migas dan pos penerimaan pajak migas) akan membuat “penyaluran/pemanfaatan” dari penerimaan itu untuk membiayai program-program pembangunan yang lain menjadi lebih leluasa dan tidak dibatasi hanya untuk memenuhi pos “subsidi BBM” saja. Dalam situasi dimana pendapatan migas masih menjadi penerimaan negara, mempertahankan pos penerimaan migas di satu jalur dan “subsidi BBM” di jalur lain adalah yang lebih tepat.
Dampak terhadap APBN dan Perekonomian

1. Dampak Langsung
Pada kurun waktu tahun 1970-an hingga 1980-an, naiknya harga minyak memberikan keuntungan yang sangat besar kepada Indonesia. Pada kurun waktu tersebut, Indonesia kehujanan windfall dari kenaikan harga minyak karena pada saat itu Indonesia merupakan eksportir minyak.
Sedangkan mulai dari tahun 2004, apa yang disebut windfall di masa lampau tidak dapat lagi dirasakan oleh Indonesia karena Indonesia sekarang berada dalam masa-masa transisi dari eksportir ke importir dimana kenaikan harga minyak akan berpengaruh terhadap perekonomian dan anggaran pemerintah.
Kenaikan harga minyak memiliki pengaruh dua sisi terhadap anggaran pemerintah, di sisi Indonesia sebagai pengimpor (menambah beban subsidi BBM) dan di sisi Indonesia sebagai pengekspor. Dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga ini pasti akan mempengaruhi beban fiskal berupa defisit anggaran. Akan tetapi dampak tersebut relatif tidak terlalu besar atau cenderung netral, ini disebabkan karena sejak tahun 2005 subsidi BBM untuk bensin dan solar sebagian besar sudah dihapuskan dan yang masih disubsidi dengan cukup besar adalah minyak tanah.
Dapat dilihat bila pertumbuhan konsumsi BBM di dalam negeri tetap meningkat, sedangkan target produksi minyak tidak tercapai, peningkatan defisit akan lebih disebabkan oleh penurunan produksi ketimbang harga minyak mentah. Perhitungannya, setiap penurunan produksi minyak mentah sebesar 50.000 barel per hari dapat meningkatkan defisit APBN sebesar Rp 4 triliun.

Dampak kenaikan harga minyak baru dapat terlihat jelas jika penyelundupan BBM ke luar negeri marak kembali akibat disparitas harga di dalam negeri dan luar negeri bertambah lebar sebagaimana terjadi tahun 2003-2004. Pada tahun 2004, setiap kenaikan harga sebesar US$10 di atas harga asumsi APBN akan menambah defisit sebesar Rp 2 triliun.

2. Dampak Tak Langsung
Harus diperhitungkan pula dampak tak langsung dari kenaikan harga minyak terhadap APBN dan perekonomian.

Pertama, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 6,8 persen untuk tahun 2008 hampir mustahil bisa dicapai. Sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang dipangkas dari 5,2% menjadi 4,8% untuk tahun 2008, Dana Moneter Internasional atau IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan hanya 6,1%.

Dengan gambaran kondisi perekonomian yang lebih suram ini, sudah barang tentu potensi penerimaan pajak pun akan turun. Dengan demikian, defisit APBN akhirnya semakin menganga dan bisa mendekati 2 persen dari produk domestik bruto.

Kedua, kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik nonsubsidi akan menambah beban sektor industri dan pada gilirannya sektor pertanian pangan. Sektor industri manufaktur yang pertumbuhannya sudah mulai kembali merangkak naik sampai ke tingkatan 5,5 persen pada triwulan kedua 2007 diperkirakan sangat sulit berlanjut mendekati pertumbuhan produk domestik bruto di tahun ini, apalagi melampauinya karena dapat mengakibatkan turunya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga barang sehingga pada akhirnya akan dapat mengganggu target perekonomian.


Analisis Ekonomi

Kenaikan harga minyak yang melonjak hingga pernah mencapai US$101 per barel, ketegangan Timur Tengah yang tak kunjung reda, dan jugapertumbuhan produksi yang lebih kecil daripada pertumbuhan permintaan menumbuhkan perkiraan bahwa harga minyak mentah dunia akan masih tetap ketat hingga akhir tahun 2008 sehingga sangat kecil kemungkinan harga turun kembali di bawah US$60 per barrel. Perkiraan ini memaksa pemerintah untuk bekerja keras meringankan beban subsidi BBM.

Walaupun kenaikan harga minyak menyebabkan penerimaan migas meningkat, tapi di sisi lain beban subsidi BBM ikut pula mempengaruhi neraca anggaran pengeluaran negara dengan meningkatkan biaya, khususnya untuk impor minyak mentah dan impor BBM karena harga jual di pasar domestik harus mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, sehingga subsidi BBM juga meningkat.

Namun, dengan keadaan yang dijelaskan diatas, apakah meringankan beban subsidi BBM yang dimaksud pemerintah dan DPR adalah dengan memasang asumsi harga minyak hanya sebesar US$60 per barel dalam APBN 2008? Seburuk itukah kualitas perencanaan mereka? Atau cerminan ketakutan pembengkakan subsidi BBM? Belum lagi, para elite politik terlanjur berjanji untuk tidak menaikkan harga BBM hingga pemilu 2009.


Opsi Pemerintah Dalam Penyelamatan APBNPemerintah melalukan berapa langkah atau opsi dalam mengatasi beban Subsidi ini. Diantara opsi-opsi tersebut adalah :
1. Efisiensi BBM
Pola konsumsi BBM kita termasuk dalam kategori boros dibanding negara-negara Asia lainnya. Sektor transportasi merupakan sektor terbesar yang menggunakan BBM. Sistem transportasi yang buruk, faktor yang mengakibatkan rendahnya efisiensi BBM di Indonesia adalah mesin-mesin tua industri, pemakaian solar yang terlalu besar untuk pembangkit tenaga listrik, juga penggunaan minyak tanah bersubsidi yang terlalu besar. Pemerintah harus segera mengambil langkah kongkret.

Opsi yang dilakukan misalnya dengan cara membatasi jumlah penjualan kendaraan bermotor di Indonesia, mengganti mesin-mesin industri yang sudah tua dan sebagainya. Di tahun 2008 ini di sebagian SPBU penggunaan premium diganti dengan premium beroktan 90 atau disebut Pertamax dimulai dari SPBU di Jakarta dan diikuti di kota-kota besar di Indonesia. Dengan cara ini pemerintah dapat menghemat sebesar Rp 4 triliun hinggaRp 5 triliun.

2. Pembatasan konsumsi BBM
Subsidi BBM diberikan oleh pemerintah kepada pertamina dalam bentuk aliran uang. Pola ini mengandung kelemahaan bahwa subsidi BBM tidak tepat menjangkau kelompok masyarakat yang lebih pantas memperoleh subsidi. Beberapa studi juga menyatakan bahwa subsidi BBM yang dilakukan pemerintah tidak mengena pada kelompok yang dituju. Orang kaya memiliki banyak kendaraan, sedangkan orang miskin tidak memiliki sama sekali kendaraan bermotor, dan sektor industri dengan BBM subsidi yang sama, padahal ketiganya memiliki kebutuhan BBM yang sangat berbeda dan timpang.

Adapun untuk meringankan beban subsidi BBM dan meminimalkan ketidakefisiensi yang dijelaskan diatas, pemerintah melakukan program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Dalam perencanaannya, rencana BBM bersubsidi hanya untuk angkutan umum dan mobil yang kurang dari 1800 cc. Target penghematan subsidi BBM adalah sebesar Rp 10 triliun. Pembatasan konsumsi BBM bersubsidi ini (premium dan solar) diperkirakan menyumbang penghematan sebesar Rp 78 triliun. Sedangkan sisanya (Rp 23 triliun)diperoleh dari penghematan konsumsi minyak tanah.

Namun, bagaimanapun juga pembatasan ini membatasi gerak perekonomian masyarakat Indonesia. Bisa jadi program ini membebani kalangan pengusaha. Mungkin tidak begitu berpengaruh pada pengusaha besar, tapi yang akan jelas terkena imbas negatifnya adalah pengusaha kecil. Sebagian besar pengusaha kecil menggunakan mobil pribadi untuk aktivitas bisnisnya. Program inipun ikut membatasi ruang gerak perusahaan yang terkena windfall, seperti CPO, karet, dsb, sehingga dapat menghambat pengembangan mereka yang kemudian ikut menghambat optimalisasi potensi tambahan penerimaan APBN.

3. Mengadakan disparitas hargakendaraan dan memantau disparitas harga domestik dan internasional
Pemerintah membedakan harga untuk kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Untuk kendaraan pribadi harga dinaikkan, sedangkan untuk kendraaan umum harga tetap. Opsi ini sepertinya kurang efektif, akibat yang ditimbulkannya adalah masih ada celah bagi konsumen atau sopir-sopir angkutan untuk melakukan korupsi atau pengoplosan minyak, dan kecurangan-kecurangan lain. Tapi memang harus kita akui, cara apapun tetap saja potensi manipulasi itu ada.

Pemerintah harus memperhatikan dampak kenaikan harga minyak yang membuat disparitas harga domestik dengan harga internasional meningkat sehingga aktifitas penyelundupan meningkat karena dapat berakibat fatal terhadap proses perekonomian secara keseluruhan dan defisit anggaran.

4. Peningkatan Produksi minyak nasional
Dampak lonjakan harga minyak bumi dapat diminimalkan salah satunya dengan meningkatkan produksi minyak mentah. Target yang ditetapkan pemerintah untuk menaikkan produksi nasional dari 950.000 barel per hari menjadi 1,0347 juta barel per hari tampaknya terus diupayakan walaupun agak sulit kenyataanya, karena sayangnya kita susah menemukan ruang yang leluasa untuk meningkatkan produksi minyak mentah.

Karena hal itulah cara ini tentu memiliki banyak faktor yang harus ditempuh diantaranya dengan terus menggali potensi produksi nasional dan membangun infrastruktur energi di tanah air yang lebih baru dan mahal yang berarti harus ada investasi baru. Namun satu-satunya kemungkinan peningkatan produksi dalam jangka pendek bukanlah dari ladang-ladang besar, melainkan dari ladang-ladang kecil.
karena pengalaman selama delapan tahun terakhir menunjukkan bahwa asumsi APBN untuk lifting lebih sering disesuaikan ke bawah daripada ke atas sama seperti seringnya perubahan asumsi harga minyak mentah. Mungkin juga sudah waktunya kita memiliki sistem anggaran yang lebih baik dan akurat agar fungsi anggaran untuk menggerakkan pembangunan bisa lebih optimal.

Lepas dari kenyataan bahwa banyak para pengusaha minyak yang enggan melakukan investasi baru karena regulasi yang belum menentu dan juga respon dari regulator Departemen ESDM dan BP Migas yang dinilai lamban, jika produksi tidak meningkat dan pertumbuhan konsumsi BBM di dalam negeri tetap meningkat seperti sekarang, hampir bisa dipastikan bahwa hal ini akan berdampak terhadap defisit APBN.

Jadi, peningkatan defisit mungkin lebih disebabkan penurunan produksi ketimbang harga minyak mentah. Dapat dilihat dari perhitungan setiap penurunan produksi minyak mentah sebesar 50.000 barel per hari dapat meningkatkan defisit APBN sebesar Rp 4 triliun.

5. Penghematan dan peningkatan kinerja pada sektor anggaran lain
Untuk mengurangi besarnya beban subsidi yang ditimbulkan, pemerintah juga harus melakukan opsi ini yaitu melakukan penghematan belanja lembaga dan kementrian. Kemungkinan dapat terjadi underspending (belanja tidak terserap) dan sisanya dapat dipakai untuk menutup penambahan subsidi tanpa harus melebarkan defisit.

Bisa jadi opsi ini merupakan pilihan yang paling elegan bagi pemerintah, yaitu dengan mengoptimalkan sektor-sektor yang menikmati “berkah” (windfall), seperti minyak sawit, karet, dan komoditas pertambangan yang harganya melambung. Dari ekspor sawit saja, potensi tambahan penerimaan APBN bisa mencapai lebih dari US$1 miliar.

6. Memperbaiki kinerja PLN dan Pertamina
Beban industri yang meningkat serta beban eksternal (biaya ekonomi tinggi) yang tak kunjung bisa dipangkas juga harus menjadi perhatian pemerintah. PLN dan Pertamina adalah penyumbang biaya energi terbesar. Untuk itu harus dilakukan berbagai upaya dan kebijakan untuk mengelola dua BUMN ini. Dalam melakukan penghematan tenga listrik pemerintah misalnya telah berencana membagikan lampu hemat energi kepada masyarakat sebanyak 50 juta buah pada tahun 2008. Investasi pembangkitan kelistrikan non BBM juga harus dikembangkan. Pemerintah harus memberikan insentif yang memadai untuk memberikan kesempatan bagi investor untuk menanamkan modalnya di bidang ini. Jika pemerintah mempercepat pembangunan proyek pembangkit listrik 10 ribu Mw, beban subsidi yang terasa berat dapat ditekan.

7. Optimalisasi target penerimaan pajak dan deviden BUMN
Target PPh dinaikkan Rp 9 triliun, cukai Rp 1 triliun dan usaha ekstra Ditjen pajak ditambah Rp 5 triliun. Pertamina diperkirakan mendapat windfall profit sebesar Rp 9 triliun dan pemerintah akan mengambil dari devidennya.

8. Substitusi BBM dan mempercepat konversi energi dengan energi alternatif
Opsi ini sebenarnya sudah dilakukan oleh berbagai pihak dari tahun-tahun sebelumnya, namun hingga sekarang belum membuahkan hasil yang nyata. Opsi ini merupakan opsi yang paling efektif karena BBM merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan di Indonesia mempunyai beberapa sumber energi alternatifnya. Sumber energi tersebut juga berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui atau (renewables). Hal ini sangatlah penting mengingat kegagalan menejemen energi yang telah lalu yang menjadikan minyak satu-satunya sumber energi sehingga menimbulkan kecendrungan ketergantungan.
· Substitusi BBM dengan energi lain
Kita mempunyai cadangan gas bumi dan batubara yang cukup besar, kenapa kita tidak memanfaatkannya? Penggunaan sumber daya ini sebenarnya masih cukup terbuka. Pemerintah harus menekan ekspor sumber daya ini dan menggunakan untuk keperluan bangsa. Langkah yang telah ditempuh pemerintah diantaranya konversi penggunaan minyak tanah dengan kompor dan tabung gas merupakan cara yang lumayan efektif. Walau pemerintah terkesan kurang siap dengan pengadaan kompor dan tabung gas melalui impor.

Kemudian untuk sektor angkutan umum, pemerintah dapat membangun stasiun pengisian bahan bakar gas (BBG) karena diversifikasi energi bisa dijalankan dengan menggalakkan BBG. Bila busway dan bajaj bisa menggunakan BBG, seharusnya angkutan umum yang lain juga bisa.

· Mempercepat konversi dengan energi alternatif / diversifikasi energi
Sebenarnya bila ingin menghemat anggaran subsidi BBM, pemerintah dapat menjalankan alternatif lain seperti mempercepat program diversifikasi energi. Contohnya, pelaksanaan konversi minyak ke elpiji yang sebenarnya menguntungkan semua pihak. Selain masyarakat mendapatkan energi baru yang bersih, pemerintah juga dapat menghemat anggaran subsidi minyak tanah.

9. Menaikkan harga BBM
Opsi ini merupakan opsi yang tidak populer dan sangat memberatkan bagi masyarakat. Apalagi jelang Pemilu 2009, tentu sangat berpengaruh bagi kepemimpinan sekarang. Namun opsi ini dapat dilakukan bila pemerintah telah mempertimbangkannya dengan baik dan tidak merugikan masyarakat (misalnya dengan pengecualian angkutan umum). Pemerintah dapat menetapkan harga sesuai dengan mekanisme pasar. Cara ini sebenarnya dapat mengurangi disparitas atau perbedaan harga antara harga impor minyak mentah dan BBM dan harga jual BBM di dalam negeri.

10. Penerbitan obligasi dan SUN (Surat Utang Negara)
Opsi ini dilakukan apabila negara benar-benar dalam kesulitan dan dalam keadaan defisit.

BBM dan SUBSIDI BBM

KASTRAT BEM FE UNPAD

BBM (bahan bakar minyak) adalah jenis bahan bakar yang merupakan salah satu produk minyak yang dihasilkan dari pengilangan minyak mentah (crude oil) yang berasal dari perut bumi. Sedangkan Subsidi BBM, sesuai dengan naskah RAPBN dan Nota Keuangan setiap tahun, adalah “pembayaran” yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada PERTAMINA (pemegang monopoli pendistribusian BBM di Indonesia) dalam situasi dimana pendapatan yang diperoleh PERTAMINA dari tugas menyediakan BBM di Tanah Air adalah lebih rendah dibandingkan biaya yang dikeluarkannya untuk menyediakan BBM tersebut”. Namun apabila bernilai positif, seperti dulu sering dialami, angka itu disebut Laba Bersih Minyak.Elemen biaya penyediaan BBM di dalam negeri antara lain:
1. Biaya impor minyak mentah
2. Biaya pembelian minyak mentah produksi dalam negeri
3. Biaya impor BBM
4. Biaya pengilangan (refening)
5. Biaya distribusi
6. Biaya tak langsung

Subsidi BBM terjadi apabila jumlah penjualan-penjulan produk BBM lebih kecil daripada biaya-biaya untuk menghasilkan BBM tersebut. Kenyataan yang sering terjadi saat ini adalah dimana penjualan lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan, akibatnya apabila jumlah subsidi BBM cukup besar maka keuangan negara dapat menjadi defisit.


Perhitungan Subsidi BBM

Subsidi BBM adalah aliran dana dari pemerintah ke pertamina. Pendapatan minyak adalah aliran dana dari penjulan minyak mentah milik pemerintah, yang diterimakan ke rekening Departemen Keuangan. Sebagian besar kegiatan penjualan minyak mentah dan penyediaan BBM dilakukan oleh pertamina. Perhitungan subsidi BBM secara sederhana dapat dilakukan dengan model sebagai berikut :

· Penjualan produk-produk BBM = Σ Volume BBM x Harga BBM
· Biaya menghasilkan BBM = Σ Biaya (impor crude, pembelian minyak mentah dalam negeri, impor BBM, pengilangan, distribusi tak langsung).
· Subsidi BBM = penjualan produk BBM - biaya untuk menghasilkan BBM
Dalam naskah APBN terminologi mengenai subsidi BBM yang dikembangkan pemerintah, tidak terdapat kaitan langsung antara butur subsidi BBM dengan pendapatan minyak.

Sehingga kritik yang sering diajukan oleh masyarakat pada umumnya adalah dimana letaknya pendapatan minyak dalam akuntansi subsidi BBM yang dilakukan pemerintah? Mengapa tidak memasukkan pendapatan pendapatan minyak sebagai bagian (sisi input) dari mekanisme perhitungan subsidi BBM tersebut?Dengan memasukkan pendapatan minyak ke dalam perhitungan, maka industri minyak di Indonesia selalu menghasilkan surplus. Disisi lain, masyarakat masih memiliki kesan bahwa Indonesia adalah negara ekspor, sehingga seharusnya kenaikan harga minyak dunia memberikan “windfall profit” atau keuntungan tambahan bagi Indonesia, bukannya beban subsidi BBM yang besar.Dari teori sumber daya alam, memasukkan pendapatan minyak ke dalam model perhitungan “subsidi BBM” adalah hal logis dan fair, karena “produksi dari alam” merupakan bagian dari keseluruhan proses produksi. Industri sumber daya alam seperti minyak bumi yang sifatnya dari alam tidak tepat bila diperlakukan sama dengan industri pemrosesan atau manufaktur. Juga dalam menggunakan terminologi “subsidi” tersebut.Namun demikian, ada pertimbangan lain bahwa minyak mentah merupakan komoditi yang dapat diperdagangkan secara internasional (internationally tradable), sehingga membiarkan minyak mentah dikonsumsi secara “murah” di dalam negeri juga bukan merupakan tindakan yang bijaksana. Menghitung harga minyak mentah di dalam negeri hanya dari biaya produksinya saja juga tidak tepat, karena selain kehilangan kesempatan (opportunity losses) bila harga minyak bumi di pasar internasional meningkat tinggi. Dalam APBN, membiarkan penerimaan minyak tetap seperti semula (pos penerimaan sumber daya alam migas dan pos penerimaan pajak migas) akan membuat “penyaluran/pemanfaatan” dari penerimaan itu untuk membiayai program-program pembangunan yang lain menjadi lebih leluasa dan tidak dibatasi hanya untuk memenuhi pos “subsidi BBM” saja. Dalam situasi dimana pendapatan migas masih menjadi penerimaan negara, mempertahankan pos penerimaan migas di satu jalur dan “subsidi BBM” di jalur lain adalah yang lebih tepat.
Dampak terhadap APBN dan Perekonomian

1. Dampak Langsung
Pada kurun waktu tahun 1970-an hingga 1980-an, naiknya harga minyak memberikan keuntungan yang sangat besar kepada Indonesia. Pada kurun waktu tersebut, Indonesia kehujanan windfall dari kenaikan harga minyak karena pada saat itu Indonesia merupakan eksportir minyak.
Sedangkan mulai dari tahun 2004, apa yang disebut windfall di masa lampau tidak dapat lagi dirasakan oleh Indonesia karena Indonesia sekarang berada dalam masa-masa transisi dari eksportir ke importir dimana kenaikan harga minyak akan berpengaruh terhadap perekonomian dan anggaran pemerintah.
Kenaikan harga minyak memiliki pengaruh dua sisi terhadap anggaran pemerintah, di sisi Indonesia sebagai pengimpor (menambah beban subsidi BBM) dan di sisi Indonesia sebagai pengekspor. Dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga ini pasti akan mempengaruhi beban fiskal berupa defisit anggaran. Akan tetapi dampak tersebut relatif tidak terlalu besar atau cenderung netral, ini disebabkan karena sejak tahun 2005 subsidi BBM untuk bensin dan solar sebagian besar sudah dihapuskan dan yang masih disubsidi dengan cukup besar adalah minyak tanah.
Dapat dilihat bila pertumbuhan konsumsi BBM di dalam negeri tetap meningkat, sedangkan target produksi minyak tidak tercapai, peningkatan defisit akan lebih disebabkan oleh penurunan produksi ketimbang harga minyak mentah. Perhitungannya, setiap penurunan produksi minyak mentah sebesar 50.000 barel per hari dapat meningkatkan defisit APBN sebesar Rp 4 triliun.

Dampak kenaikan harga minyak baru dapat terlihat jelas jika penyelundupan BBM ke luar negeri marak kembali akibat disparitas harga di dalam negeri dan luar negeri bertambah lebar sebagaimana terjadi tahun 2003-2004. Pada tahun 2004, setiap kenaikan harga sebesar US$10 di atas harga asumsi APBN akan menambah defisit sebesar Rp 2 triliun.

2. Dampak Tak Langsung
Harus diperhitungkan pula dampak tak langsung dari kenaikan harga minyak terhadap APBN dan perekonomian.

Pertama, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 6,8 persen untuk tahun 2008 hampir mustahil bisa dicapai. Sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang dipangkas dari 5,2% menjadi 4,8% untuk tahun 2008, Dana Moneter Internasional atau IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan hanya 6,1%.

Dengan gambaran kondisi perekonomian yang lebih suram ini, sudah barang tentu potensi penerimaan pajak pun akan turun. Dengan demikian, defisit APBN akhirnya semakin menganga dan bisa mendekati 2 persen dari produk domestik bruto.

Kedua, kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik nonsubsidi akan menambah beban sektor industri dan pada gilirannya sektor pertanian pangan. Sektor industri manufaktur yang pertumbuhannya sudah mulai kembali merangkak naik sampai ke tingkatan 5,5 persen pada triwulan kedua 2007 diperkirakan sangat sulit berlanjut mendekati pertumbuhan produk domestik bruto di tahun ini, apalagi melampauinya karena dapat mengakibatkan turunya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga barang sehingga pada akhirnya akan dapat mengganggu target perekonomian.


Analisis Ekonomi

Kenaikan harga minyak yang melonjak hingga pernah mencapai US$101 per barel, ketegangan Timur Tengah yang tak kunjung reda, dan jugapertumbuhan produksi yang lebih kecil daripada pertumbuhan permintaan menumbuhkan perkiraan bahwa harga minyak mentah dunia akan masih tetap ketat hingga akhir tahun 2008 sehingga sangat kecil kemungkinan harga turun kembali di bawah US$60 per barrel. Perkiraan ini memaksa pemerintah untuk bekerja keras meringankan beban subsidi BBM.

Walaupun kenaikan harga minyak menyebabkan penerimaan migas meningkat, tapi di sisi lain beban subsidi BBM ikut pula mempengaruhi neraca anggaran pengeluaran negara dengan meningkatkan biaya, khususnya untuk impor minyak mentah dan impor BBM karena harga jual di pasar domestik harus mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, sehingga subsidi BBM juga meningkat.

Namun, dengan keadaan yang dijelaskan diatas, apakah meringankan beban subsidi BBM yang dimaksud pemerintah dan DPR adalah dengan memasang asumsi harga minyak hanya sebesar US$60 per barel dalam APBN 2008? Seburuk itukah kualitas perencanaan mereka? Atau cerminan ketakutan pembengkakan subsidi BBM? Belum lagi, para elite politik terlanjur berjanji untuk tidak menaikkan harga BBM hingga pemilu 2009.


Opsi Pemerintah Dalam Penyelamatan APBNPemerintah melalukan berapa langkah atau opsi dalam mengatasi beban Subsidi ini. Diantara opsi-opsi tersebut adalah :
1. Efisiensi BBM
Pola konsumsi BBM kita termasuk dalam kategori boros dibanding negara-negara Asia lainnya. Sektor transportasi merupakan sektor terbesar yang menggunakan BBM. Sistem transportasi yang buruk, faktor yang mengakibatkan rendahnya efisiensi BBM di Indonesia adalah mesin-mesin tua industri, pemakaian solar yang terlalu besar untuk pembangkit tenaga listrik, juga penggunaan minyak tanah bersubsidi yang terlalu besar. Pemerintah harus segera mengambil langkah kongkret.

Opsi yang dilakukan misalnya dengan cara membatasi jumlah penjualan kendaraan bermotor di Indonesia, mengganti mesin-mesin industri yang sudah tua dan sebagainya. Di tahun 2008 ini di sebagian SPBU penggunaan premium diganti dengan premium beroktan 90 atau disebut Pertamax dimulai dari SPBU di Jakarta dan diikuti di kota-kota besar di Indonesia. Dengan cara ini pemerintah dapat menghemat sebesar Rp 4 triliun hinggaRp 5 triliun.

2. Pembatasan konsumsi BBM
Subsidi BBM diberikan oleh pemerintah kepada pertamina dalam bentuk aliran uang. Pola ini mengandung kelemahaan bahwa subsidi BBM tidak tepat menjangkau kelompok masyarakat yang lebih pantas memperoleh subsidi. Beberapa studi juga menyatakan bahwa subsidi BBM yang dilakukan pemerintah tidak mengena pada kelompok yang dituju. Orang kaya memiliki banyak kendaraan, sedangkan orang miskin tidak memiliki sama sekali kendaraan bermotor, dan sektor industri dengan BBM subsidi yang sama, padahal ketiganya memiliki kebutuhan BBM yang sangat berbeda dan timpang.

Adapun untuk meringankan beban subsidi BBM dan meminimalkan ketidakefisiensi yang dijelaskan diatas, pemerintah melakukan program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Dalam perencanaannya, rencana BBM bersubsidi hanya untuk angkutan umum dan mobil yang kurang dari 1800 cc. Target penghematan subsidi BBM adalah sebesar Rp 10 triliun. Pembatasan konsumsi BBM bersubsidi ini (premium dan solar) diperkirakan menyumbang penghematan sebesar Rp 78 triliun. Sedangkan sisanya (Rp 23 triliun)diperoleh dari penghematan konsumsi minyak tanah.

Namun, bagaimanapun juga pembatasan ini membatasi gerak perekonomian masyarakat Indonesia. Bisa jadi program ini membebani kalangan pengusaha. Mungkin tidak begitu berpengaruh pada pengusaha besar, tapi yang akan jelas terkena imbas negatifnya adalah pengusaha kecil. Sebagian besar pengusaha kecil menggunakan mobil pribadi untuk aktivitas bisnisnya. Program inipun ikut membatasi ruang gerak perusahaan yang terkena windfall, seperti CPO, karet, dsb, sehingga dapat menghambat pengembangan mereka yang kemudian ikut menghambat optimalisasi potensi tambahan penerimaan APBN.

3. Mengadakan disparitas hargakendaraan dan memantau disparitas harga domestik dan internasional
Pemerintah membedakan harga untuk kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Untuk kendaraan pribadi harga dinaikkan, sedangkan untuk kendraaan umum harga tetap. Opsi ini sepertinya kurang efektif, akibat yang ditimbulkannya adalah masih ada celah bagi konsumen atau sopir-sopir angkutan untuk melakukan korupsi atau pengoplosan minyak, dan kecurangan-kecurangan lain. Tapi memang harus kita akui, cara apapun tetap saja potensi manipulasi itu ada.

Pemerintah harus memperhatikan dampak kenaikan harga minyak yang membuat disparitas harga domestik dengan harga internasional meningkat sehingga aktifitas penyelundupan meningkat karena dapat berakibat fatal terhadap proses perekonomian secara keseluruhan dan defisit anggaran.

4. Peningkatan Produksi minyak nasional
Dampak lonjakan harga minyak bumi dapat diminimalkan salah satunya dengan meningkatkan produksi minyak mentah. Target yang ditetapkan pemerintah untuk menaikkan produksi nasional dari 950.000 barel per hari menjadi 1,0347 juta barel per hari tampaknya terus diupayakan walaupun agak sulit kenyataanya, karena sayangnya kita susah menemukan ruang yang leluasa untuk meningkatkan produksi minyak mentah.

Karena hal itulah cara ini tentu memiliki banyak faktor yang harus ditempuh diantaranya dengan terus menggali potensi produksi nasional dan membangun infrastruktur energi di tanah air yang lebih baru dan mahal yang berarti harus ada investasi baru. Namun satu-satunya kemungkinan peningkatan produksi dalam jangka pendek bukanlah dari ladang-ladang besar, melainkan dari ladang-ladang kecil.
karena pengalaman selama delapan tahun terakhir menunjukkan bahwa asumsi APBN untuk lifting lebih sering disesuaikan ke bawah daripada ke atas sama seperti seringnya perubahan asumsi harga minyak mentah. Mungkin juga sudah waktunya kita memiliki sistem anggaran yang lebih baik dan akurat agar fungsi anggaran untuk menggerakkan pembangunan bisa lebih optimal.

Lepas dari kenyataan bahwa banyak para pengusaha minyak yang enggan melakukan investasi baru karena regulasi yang belum menentu dan juga respon dari regulator Departemen ESDM dan BP Migas yang dinilai lamban, jika produksi tidak meningkat dan pertumbuhan konsumsi BBM di dalam negeri tetap meningkat seperti sekarang, hampir bisa dipastikan bahwa hal ini akan berdampak terhadap defisit APBN.

Jadi, peningkatan defisit mungkin lebih disebabkan penurunan produksi ketimbang harga minyak mentah. Dapat dilihat dari perhitungan setiap penurunan produksi minyak mentah sebesar 50.000 barel per hari dapat meningkatkan defisit APBN sebesar Rp 4 triliun.

5. Penghematan dan peningkatan kinerja pada sektor anggaran lain
Untuk mengurangi besarnya beban subsidi yang ditimbulkan, pemerintah juga harus melakukan opsi ini yaitu melakukan penghematan belanja lembaga dan kementrian. Kemungkinan dapat terjadi underspending (belanja tidak terserap) dan sisanya dapat dipakai untuk menutup penambahan subsidi tanpa harus melebarkan defisit.

Bisa jadi opsi ini merupakan pilihan yang paling elegan bagi pemerintah, yaitu dengan mengoptimalkan sektor-sektor yang menikmati “berkah” (windfall), seperti minyak sawit, karet, dan komoditas pertambangan yang harganya melambung. Dari ekspor sawit saja, potensi tambahan penerimaan APBN bisa mencapai lebih dari US$1 miliar.

6. Memperbaiki kinerja PLN dan Pertamina
Beban industri yang meningkat serta beban eksternal (biaya ekonomi tinggi) yang tak kunjung bisa dipangkas juga harus menjadi perhatian pemerintah. PLN dan Pertamina adalah penyumbang biaya energi terbesar. Untuk itu harus dilakukan berbagai upaya dan kebijakan untuk mengelola dua BUMN ini. Dalam melakukan penghematan tenga listrik pemerintah misalnya telah berencana membagikan lampu hemat energi kepada masyarakat sebanyak 50 juta buah pada tahun 2008. Investasi pembangkitan kelistrikan non BBM juga harus dikembangkan. Pemerintah harus memberikan insentif yang memadai untuk memberikan kesempatan bagi investor untuk menanamkan modalnya di bidang ini. Jika pemerintah mempercepat pembangunan proyek pembangkit listrik 10 ribu Mw, beban subsidi yang terasa berat dapat ditekan.

7. Optimalisasi target penerimaan pajak dan deviden BUMN
Target PPh dinaikkan Rp 9 triliun, cukai Rp 1 triliun dan usaha ekstra Ditjen pajak ditambah Rp 5 triliun. Pertamina diperkirakan mendapat windfall profit sebesar Rp 9 triliun dan pemerintah akan mengambil dari devidennya.

8. Substitusi BBM dan mempercepat konversi energi dengan energi alternatif
Opsi ini sebenarnya sudah dilakukan oleh berbagai pihak dari tahun-tahun sebelumnya, namun hingga sekarang belum membuahkan hasil yang nyata. Opsi ini merupakan opsi yang paling efektif karena BBM merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan di Indonesia mempunyai beberapa sumber energi alternatifnya. Sumber energi tersebut juga berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui atau (renewables). Hal ini sangatlah penting mengingat kegagalan menejemen energi yang telah lalu yang menjadikan minyak satu-satunya sumber energi sehingga menimbulkan kecendrungan ketergantungan.
· Substitusi BBM dengan energi lain
Kita mempunyai cadangan gas bumi dan batubara yang cukup besar, kenapa kita tidak memanfaatkannya? Penggunaan sumber daya ini sebenarnya masih cukup terbuka. Pemerintah harus menekan ekspor sumber daya ini dan menggunakan untuk keperluan bangsa. Langkah yang telah ditempuh pemerintah diantaranya konversi penggunaan minyak tanah dengan kompor dan tabung gas merupakan cara yang lumayan efektif. Walau pemerintah terkesan kurang siap dengan pengadaan kompor dan tabung gas melalui impor.

Kemudian untuk sektor angkutan umum, pemerintah dapat membangun stasiun pengisian bahan bakar gas (BBG) karena diversifikasi energi bisa dijalankan dengan menggalakkan BBG. Bila busway dan bajaj bisa menggunakan BBG, seharusnya angkutan umum yang lain juga bisa.

· Mempercepat konversi dengan energi alternatif / diversifikasi energi
Sebenarnya bila ingin menghemat anggaran subsidi BBM, pemerintah dapat menjalankan alternatif lain seperti mempercepat program diversifikasi energi. Contohnya, pelaksanaan konversi minyak ke elpiji yang sebenarnya menguntungkan semua pihak. Selain masyarakat mendapatkan energi baru yang bersih, pemerintah juga dapat menghemat anggaran subsidi minyak tanah.

9. Menaikkan harga BBM
Opsi ini merupakan opsi yang tidak populer dan sangat memberatkan bagi masyarakat. Apalagi jelang Pemilu 2009, tentu sangat berpengaruh bagi kepemimpinan sekarang. Namun opsi ini dapat dilakukan bila pemerintah telah mempertimbangkannya dengan baik dan tidak merugikan masyarakat (misalnya dengan pengecualian angkutan umum). Pemerintah dapat menetapkan harga sesuai dengan mekanisme pasar. Cara ini sebenarnya dapat mengurangi disparitas atau perbedaan harga antara harga impor minyak mentah dan BBM dan harga jual BBM di dalam negeri.

10. Penerbitan obligasi dan SUN (Surat Utang Negara)
Opsi ini dilakukan apabila negara benar-benar dalam kesulitan dan dalam keadaan defisit.
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: Maret 2008 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates