Senin, 28 April 2008

Dilema Kebijakan Ekonomi-MCB

Berikut tulisan saya di Harian Kompas, Senin 28 April 2008, hal 1

ANALISIS EKONOMI

Dilema Kebijakan Ekonomi

Pagi ini, mungkin baik kita mengingat kalimat kuno dari mantan Presiden Perancis Charles De Gaulle: ”To govern is always to choose among disadvantages (memerintah berarti memilih di antara pilihan yang tak menguntungkan).”

Pilihan kebijakan memang jadi semakin sulit. Kenaikan konsumsi energi telah mendorong peralihan produksi dari makanan kepada biofuel. Perubahan iklim juga telah mengakibatkan produksi pangan dunia menurun. Dapat diduga, harga komoditas melonjak seiring dengan naiknya harga energi. Untuk menjamin pasokan dan harga domestik, beberapa negara lalu memutuskan melarang ekspor.

Tak salah memang. Namun, jika sebagian besar negara memilih langkah ini, ketersediaan pangan di pasar dunia akan makin terbatas sehingga harga akan semakin melangit. Situasi eksternal yang tak bersahabat ini tampaknya masih akan bersama kita ke depan.

Indonesia juga berada dalam situasi yang amat dilematis. Tekanan harga minyak dan komoditas membuat beban subsidi pemerintah melonjak dan stabilitas makro dipertanyakan. Ada dua soal. Pertama, bagaimana menjaga daya beli kelompok miskin akibat kenaikan harga pangan? Kedua, bagaimana menjaga stabilitas ekonomi makro?

Selengkapnya

Minggu, 27 April 2008

Ekonomi Politik Beras (5) - AAP

Sekalipun berita bahwa Indonesia surplus beras sulit dipercaya (lihat posting di bawah), bagaimana menjelaskan suara-suara anti eskpor belakangan ini?

Tentu ini butuh penelitian serius. Tapi berikut adalah beberapa hipotesa yang ingin saya uji.

  • Sekedar efek ikut-ikutan (locomotive effect): karena India, Vietnam, dan Thailand membatasi ekspor, mengapa Indonesia tidak?
  • Filosofi "harus menyelamatkan diri sendiri" dari ancaman krisis pangan dunia (lihat posting di bawah). Banyak yang tidak menyadari bahwa implikasi dari filosoi ini adalah "biarkan orang lain yang kelaparan".
  • Sekedar spekulasi dengan memanfaatkan informasi asimetrik: "Mudah-mudahan orang lain tidak ekspor, sehingga hanya saya yang ekspor dan menarik keuntungan besar dari harga internasional yang tinggi".

Catatan: perdebatan dan diskursus beras sayang sekali agak kehilangan arah. Banyak yang menyangka bahwa jika Anda setuju membuka keran impor, "harusnya" Anda tidak setuju membuka keran ekspor. Ini implikasi logis yang keliru (lihat sebuah debat di Cafe Salemba). Kebanyakan mereka yang setuju dilepaskannya keran impor juga setuju dibebaskannya ekspor, karena yang mereka tidak setujui adalah distorsi pada perdagangan (baik impor maupun ekpsor).

Ekonomi Politik Beras (4) - AAP

Benarkah ada ancaman krisis pangan dunia?

Sebelumnya, apa penyebab kenaikan harga-harga pangan yang begitu tajam?

  • Subsidi besar-besaran pemerintah AS untuk industri biofuel berbasis dan mandat pemerintah EU untuk memproduksi biofuel. Akibatnya, insentif untuk menanam untuk tujuan konsumsi manusia menurun drastis, pindah ke menanam untuk biofuel. Kasarnya, manusia bersaing dengan mobil (SUV) untuk mendapatkan makanan.
  • Manusia juga bersaing dengan binatang. India dan Cina yang semakin "makmur" mengubah pola makannya menjadi lebih sedikit bergantung kepada padi-padian dan umbi-umbian (tumbuhan) dan mulai lebih banyak mengkonsumsi daging. Masalahnya, hewan butuh makanan dari tumbuhan juga. Maka, permintaan akan tumbuhan tetap tinggi. Selain itu, proses produksi makanan berbasis hewan lebih membutuhkan banyak energi ketimbang yang berbasis tumbuhan. Maka permintaan terhadap bahan bakar juga meningkat.
  • Gangguan alam: banjir, kekeringan dsb menyebabkan gagalnya panen di mana-mana.
  • Depresiasi dollar AS terhadap matauang-matauang utama menyebabkan makin mahalnya barang-barang yang dinilai dlaam dollar.
  • Spekulasi: disparitas harga adalah insentif yang besar untuk spekulasi/arbitrase.
  • Kebijakan penahanan ekspor: membuat pasar dunia semakin tipis, memberi tekanan ke atas kepada harga.

Apa akibat yang mungkin terjadi, jika tidak ada solusi?

  • Menurut Bob Zoellick (Bank Dunia), 100 juta orang akan jatuh miskin.
  • Menurut Peter Timmer (Center for Global Development), 10 juta orang terancam kematian dini (premature death).

Apa solusinya?

  • Tidak bisa tidak, harus ada koordinasi tingkat global (atau paling tidak regional). Karena, dunia dalam posisi prisoner's dilemma: tidak ada yang mau duluan melakukan ekspor, karena takut harga di negaranya sendiri meroket, walaupun kalau semua melakukan ekspor, kuatitas dunia bertambah dan kemungkinan malnutrisi dan kelaparan mengecil.
  • Pada jangka pendek, perlu ada koordinasi di antara setidaknya India, Cina, Thailand, Vietnam, Indonesia, dan Filipina. Menurut Timmer, paling tidak mereka perlu sepakat untuk membuka diri satu sama lain selama 6 bulan, untuk sembari memikirkan rencana untuk jangka yang lebih panjang.

Ekonomi Politik Beras (3) - AAP

Berikut adalah poin-poin presentasi saya dalam sebuah seminar tentang kebijakan perberasan di Indonesia beberapa waktu lalu, di Jakarta.

Ekonomi Politik Beras
Arianto A. Patunru

Indonesia ikut dalam arus liberalisasi ekonomi sejak tahun 1980an. Puncaknya terjadi pada saat krisis, ditandai dengan paket reformasi IMF 1997/98. Untuk beras, hambatan impor ditiadakan.

Namun, proteksi untuk kembali marak tahun 2000-2004. Untuk beras, tarif khusus sebesar Rp430/kg dikenakan untuk impor pada tahun 2000. Tarif ini naik menjadi Rp750/kg pada tahun 2003. Selain tarif, juga ada hambatan non-tarif, seperti kuota impor. Pada tahun 2004-2006 impor dilarang sama sekali (kecuali jika dilakukan oleh Bulog dengan ijin pemerintah). Sebagai akibatnya, perbedaan di antara harga internasional dan harga domestik semakin besar. Perbedaan ini tercermin pada kecenderungan tingkat nominal proteksi (NRP). Artinya, harga domestik dipengaruhi oleh proteksi perdagangan.

Khusus untuk beras yang menarik adalah: Indonesia adalah konsumen neto beras, tapi permintaan untuk proteksi sangat kuat. Mengapa? Siapa sebenarnya yang diproteksi?

Tujuan pemerintah sehubungan dengan beras adalah 1) menjaga "stok aman", dan 2) menjaga kestabilan harga. Selama ini impor selalu ditentang oleh pihak-pihak seperti HKTI, FPSI, DPR, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, pengamat, bahkan banyak ekonom. Apakah tujuan ini benar dan mengapa impor selalu ditentang?

Indeks kemiskinan naik 1,8 basis point dari 16% pada bulan Februari 2005 menjadi 17,8% pada bulan Maret 2006. Pada periode tersebut harga beras naik 33%. Dengan elastisitas indeks kemiskinan terhadap perubahan harga beras sebesar 0.04, maka setidaknya 72% dari kenaikan ndeks kemiskinan disebabkan oleh kenaikan harga beras. Dan kenaikan harga beras terutama disebabkan oleh proteksi berupa larangan impor. Artinya, proteksi justru menjadi penyebab kenaikan jumlah orang miskin. Siapakah yang paling diuntungkan? Pemilik sawah, pedagang perantara, dan sejumlah kelompok kepentingan lainnya. Siapa yang dirugikan? Sebagian besar masyarakat miskin, terutama petani pekerja yang tidak memiliki tanah (menanam padi sebagai pekerjaan, tapi harus membeli beras untuk makan). Tentu saja anggapan bahwa kenaikan harga beras bisa memberi insentif pemilik sawah untuk menambah petani pekerja. Artinya, harusnya ada penciptaan lapangan kerja yang baru atau peningkatan pendapatan petani pekerja yang sudah ada. Penelitian Warr (2005) dengan model keseimbangan umum menemukan bahwa dampak positif tidak langsung itu ternyata lebih kecil dari dampak negatif langsung kenaikan harga beras.

Konsekuensi dari proteksi. Untuk kasus restriksi impor sangat mungkin yang menjadi korban adalah mereka yang paling miskin. Terdapat 82% dari seluruh rumah tangga di Indonesia yang merupakan konsumen neto beras; 93% rumah tangga perkotaan dan 63% rumah tangga pedesaan tidak menanam padi; dan 9% dari rumah tangga pedesaan yang menanam padi ternyata adalah konsumen neto. Selanjutnya, lebih dari 28% pengeluaran rumah tangga termiskin (desil atau persepuluh terbawah dari urutan rumah tangga berdasarkan pendapatan) adalah untuk makanan (25% untuk beras sendiri). Artinya, kenaikan harga pasti memukul masyarakat miskin. Termasuk petani, dan terutama petani pekerja.

Untuk kasus restriksi ekspor, saat ini berita bahwa Indonesia surplus beras masih sangat diragukan. Pertama, bulan Desember yang lalu Indonesia masih dalam kondisi butuh tambahan impor. Kedua, terjadi kekeringan dampak El Nino tahun lalu dan kebanjiran sebagai dampak La Nina di banyak sentra produksi. Ketiga, harga yang tetap tinggi menunjukkan bahwa secara nasional, kuantitas yang tersedia di pasar relatif tidak mencukupi permintaannya (harus diingat bahwa sayang sekali tidak ada data produksi maupun konsumsi yang dapat dijadikan dasar keputusan impor atau tidak). Sentra produksi seperti Sulawesi Selatan bisa saja (dikabarkan) kelebihan, tapi sentra konsumsi di tempat lain kekurangan (bahkan beberapa sentra produksi tradisional juga masih kekurangan). Berarti masih ada masalah besar dengan distribusi. Kelima, produktivitas di Indonesia masih sangat rendah.

Lalu, bagaimana menjelaskan kenyataan bahwa proteksi tetap kuat, sekalipun yang dirugikan lebih banyak daripada yang diuntungkan? Model dan teori politik tradisional seperti "political support model", "majority voting model" dan "median voter model" tampaknya tidak dapat menjelaskan fenomena di Indonesia (dan juga di negara-negara lain) mengenai paradoks proteksi ini. Kelihatannya model "collective action" Mancur Olson yang paling bisa menjelaskan situasinya. Dalam hal ini kita bisa menjelaskan mengapa kelompok konsumen (atau tepatnya konsumen neto) yang jumlahnya besar "dikalahkan" oleh kelompok produsen yang berjumlah lebih kecil. Sebabnya adalah, bagi kelompok konsumen, biaya koordinasi tinggi sekali sementara manfaat yang bisa didapat, sekalipun besar secara total, harus dibagi sehingga masing-masing mendapatkan bagian yang kecil – sangat mungkin, lebih kecil daripada biaya untuk berkoordinasi. Di lain pihak, kelompok produsen jumlahnya kecil sehingga biaya koordinasinya juga relatif kecil. Sebaliknya, manfaat yang mereka bisa dapat lebih besar sekalipun dibagi di antara mereka. Bagaimana memecahkan masalah ini? Olson menganjurkan agar ada sistem insentif selektif untuk mengurangi biaya koordinasi kelompok konsumen. Misalnya dengan perwakilan yang diberi insentif untuk mewakili mayoritas. Dalam praktiknya, ini mungkin bisa diwujudkan dalam bentuk lembaga konsumen (sayang sekali YLKI tampaknya tidak "terlalu peduli" dengan masalah ini).

Selain logika aksi kolektif, paradoks proteksi beras juga mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan murni (pure ignorance) bahwa yang dirugikan adalah petani pekerja yang miskin dan/atau semata ideologi. Eksperimen kecil yang dilakukan terhadap sekelompok petani pekerja, petani pemilik lahan, masyarakat umum, dan mahasiswa menunjukkan bahwa ada ketidaktahuan di kalanagan masyarakat umum dan mahasiswa tentang fakta konsumen neto di atas. Juga, sekalipun mereka semua setuju bahwa "inflasi itu tidak baik", mereka tidak tahu bahwa beras memegang peran besar dalam keranjang komoditi untuk menghintung inflasi. Akan halnya ideologi, secara sosial, masyarakat Indonesia sudah terlanjur percaya bahwa Indonesia adalah negara agraris dan bahwa "petani harus dilindungi". Sayangnya, "ideologi" ini kadang diterima begitu saja tanpa mau peduli bahwa "petani yang dilindungi" ternyata bukanlah petani yang termiskin. Ia menafikan para komponen masyarakat miskin lainnya yang jelas-jelas adalah konsumen: buruh angkut, nelayan, tukang becak, dsb.

Apa solusi dari semua ini? Jelas ini bukan hal yang mudah. Untuk jangka panjang, sudah saatnya memfokuskan "revitalisasi pertanian" pada isu produktivitas dan perbaikan infrastruktur untuk distribusi, ketimbang melulu berfokus pada kebijakan harga (HPP, subsidi pupuk, dsb) dan restriksi impor. Dalam jangka pendek, pangkas subsisdi BBM dan gunakan dananya untuk membantu petani miskin lewat program bantuan langsung tunai (kondisional atau tidak) atau uang-untuk-kerja (cash for work).

Senin, 07 April 2008

Inflation Overhang dan beban anggaran-MCB

Berikut adalah tulisan saya di Bisnis Indonesia, 7 April 2008, hal 1


Inflation overhang dan beban anggaran
oleh : Muhammad Chatib Basri (Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi, FEUI)

Pada Kamis pekan lalu, kita mencatat gejolak di pasar keuangan nasional. Saat itu, pasar saham jatuh cukup tajam, yield surat utang pemerintah (SUP) juga melonjak, yang merefleksikan turunnya harga surat utang tersebut.

Ini memang bukan hal baru. Selama ini, gejolak pasar keuangan Indonesia umumnya dipicu oleh gejolak pasar global.

Namun, pada Kamis pekan lalu itu situasinya berbeda. Kekhawatiran mulai merebak, karena indeks regional praktis positif pada hari itu, sedangkan Bursa Efek Indonesia terpuruk.

Orang juga melepas SUP. Apa yang terjadi dalam stabilitas ekonomi makro kita? Selengkapnya

Minggu, 06 April 2008

Kendala Sisi Penawaran: Infrastruktur dan Logistik (4/4) -- Arianto A. Patunru

(Sambungan)

Apa yang telah dilakukan

Patut dicatat bahwa pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah di atas. Untuk tujuan umum menarik investasi, pemerintah telah mengeluarkan 3 paket kebijakan pada tahun 2006: paket infrastruktur (Peraturan Menteri Keuangan No. 38/PMK.01/2006), paket investasi (Instruksi Presiden No. 3/2006), paket sektor finansial (Keputusan Bersama Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Juli 2006). Bulan Juni 2007 pemerintah kembali mengeluarkan sebuah paket kebijakan (Instruksi Presiden No. 6/2007) untuk investasi, sektor keuangan, infrastruktur, dan UMKM. Juga pada tahun 2007 DPR akhirnya mensahkan undang-undang investasi setelah sekian lama dibahas (UU No. 25/2007) yang selain menghilangkan dikotomi PMA-PMDN juga menyederhanakan regulasi, melindungi hak milik dan investasi, dan memberikan insentif fiskal. Peraturan yang menyertai undang-undang ini antara lain adalah kriteria dan daftar negatif investasi (Peraturan Presiden No. 76 dan 77/2007). Seperti diduga, daftar negatif langsung menimbulkan kontroversi (Takii dan Ramstetter 2007). Merespon hal ini, pemerintah mengeluarkan revisi atas daftar negatif tersebut (Peraturan Presiden No.111/2007).

Lebih spesifik untuk isu infrastruktur dan logistik, pemerintah melakukan beberapa kebijakan yang bertujuan untuk memberi insentif kepada pihak swasta untuk berinvestasi di sektor infrastruktur di samping kebijakan lain untuk membantu pendanaan dan untuk memperbaiki manajemen. Misalnya, pada tahun 2006 Menteri Keuangan membentuk Unit Manajemen Risiko untuk mengawasai pelaksanaan mekanisme bagi-risiko proyek-proyek kerjasama pemerintah-swasta. Pemerintah juga memutuskan memberikan dukungan kredit untuk proyek listrik 10,000 megawatt dan untuk proyek tol Trans-Jawa. Untuk memperbaiki proses pembebasan tanah yang seringkali menjadi masalah dalam proyek infrastruktur, pemerintah juga membentuk Unit Investasi Pemerintah dan mengalokasikan sekitar Rp 2 triliun tahun 2006, 2007, dan 2008 kepada unit ini untuk membantu percepatan pembangunan infrastruktur.

Semua upaya di atas patut dihargai. Namun kendala lagi-lagi muncul di dalam implementasi. Salah satu ciri umum dari berbagai paket investasi adalah adanya daftar rencana (biasanya dalam bentuk matriks kebijakan) yang secara eksplisit menyebutkan kebijakan, program, aksi, keluaran, waktu, serta pihak yang bertanggung jawab serta dibentukan berbagai tim ad hoc untuk membantu pelaksanaannya. Tetapi, pengamatan seksama terhadap matriks-matriks tersebut akan memberikan kesan bahwa faktor pentingnya target-target tertentu serta tingkat kesulitan untuk mencapainya dapat dengan mudah diabaikan (Basri dan Patunru, 2006). Selain itu, banyak item di dalam paket kebijakan yang secara alamiah berada pada posisi yang bertentangan dengan kepentingan kementerian teknis. Hal ini menyebabkan timbulnya resistensi yang tidak sedikit dari kalangan pemerintah sendiri (Takii dan Ramstetter 2007). Karena itu, berbagai kalangan sudah menganjurkan agar reformasi tidak bisa hanya dilakukan pada kebijakan saja, tapi juga terhadap birokrasi itu sendiri (Synnerstrom 2007). Beberapa kementerian, seperti Departemen Keuangan telah melakukan hal ini.

Namun mereformasi birokrasi akan jauh lebih susah daripada sekedar mereformasi kebijakan. Ia akan lebih mudah mengalami apa yang disebut ”dilema reformasi”: manfaat dari reformasi biasanya baru terlihat dalam jangka menengah atau panjang sementara biayanya langsung terlihat dalam jangka pendek (Basri dan Patunru 2008). Karena itu, tugas yang paling berat bukan hanya untuk memastikan keberlanjutan dari reformasi, tetapi juga untuk mendapatkan dukungan bagi reformasi itu sendiri. Ini memerlukan kemampuan menentukan prioritas, karena dalam negara yang besar dan komples melakukan reformasi menyeluruh dengan cara menghilangkan semua distorsi secara simultan akan sangat sulit; lebih mudah untuk melakukan secara bertahap dengan berfokus kepada kendala yang paling utama (Rodrik 2008). Untuk Indonesia, tampaknya, kendala utama ini ada di sisi penawaran: infrastruktur dan logistik. ***

Kendala Sisi Penawaran: Infrastruktur dan Logistik (3/4) -- Arianto A. Patunru

(Sambungan)

Logistik

Studi LPEM-FEUI (2005b) menemukan bahwa biaya logistik di Indonesia mencapai 14% dari biaya produksi total, jauh melebihi biaya di Jepang misalnya yang hanya mencapai 4,9%. Survei tersebut memilah biaya logistik ke dalam tiga segmen, yaitu logistik input (dari vendor atau pelabuhan ke pabrik), logitik internal (dalam pabrik), serta logistik output (dari pabrik ke pelabuhan). Biaya logistik terbesar terjadi di segmen logistik input yaitu 7.2%, diikuti oleh logistik output 4% dan logistik internal 2.9%. Masalah-masalah utama dalam logitik meliputi infrastruktur jalan yang jelek, pungutan liar di jalan dan di pelabuhan, serta peraturan pemerintah (terutama pajak lokal dan upah minimum).

Manajemen pelabuhan yang buruk disertai infrastruktur yang tidak memadai memberi jalan lebih luas bagi pungutan liar. Waktu tunggu menjadi lebih panjang karena fasilitas seperti crane, forklift, dan docking juga terbatas, kompetensi sumber daya manusia masih rendah (lebih rendah daripada Singapura, Malaysia, China, Thailand, dan India, menurut survei Bank Dunia 2008), serta perangkat elektronik untuk pertukaran data belum berfungsi efisien. Dalam situasi seperti ini insentif untuk meminta dan membayar pungutan tambahan meningkat – untuk mempercepat proses klarifikasi barang maupun dokumen. Benar bahwa, sekalipun masih lebih kompleks daripada di Malaysia dan Singapura (Bank Dunia, 2008) prosedur impor dan ekspor mengalami perbaikan dalam hal waktu penyelesaiannya di pelabuhan (LPEM-FEUI 2007a). Namun ada indikasi bahwa semakin cepatnya proses klarifikasi adalah fungsi dari pembayaran informal.

Di jalan, hal yang serupa terjadi. Pungutan liar memang sebagian besar terjadi di dalam proses pengantaran. Pemungut bervariasi dari oknum aparat pemerintah sampai oknum petugas polisi, dari organisasi yang mengaku LSM sampai preman secara kelompok maupun individu (LPEM-FEUI 2007a). Pungutan liar ini berkisar antara 1,3% (survei 2007) sampai 1,7% (survei 2005) dari biaya produksi total, berdasarkan informasi dari responden. Studi lain juga menemukan bahwa biaya operasi kendaraan truk untuk kebutuhan usaha dagang di Indonesia lebih tinggi daripada di negara lain di Asia, sebagian dikarenakan oleh buruknya infrastrukutur jalan maupun kondisi geografis serta terbebaninya supir truk oleh berbagai pungutan: retribusi lokal, pungutan resmi maupun tidak resmi di jembatan timbang, serta pungutan oleh oknum polisi dan preman (LPEM-FEUI 2007b).


(Bersambung)

Kendala Sisi Penawaran: Infrastruktur dan Logistik (2/4) -- Arianto A. Patunru


Infrastruktur

Targat pertumbuhan ekonomi pemeritahan SBY sebesar 7% akan sulit tercapai kecuali jika dilakukan perbaikan signifikan terhadap infrastruktur (LPEM-FEUI 2005a). Kondisi infrastruktur yang dianggap paling menghambat oleh pelaku bisnis terdapat di jalan, listrik, pelabuhan, air, dan telekomunikasi (LPEM-FEUI 2006, 2007a). Tidak memadainya infrastuktur menurut Kong dan Ramayandi (2008) disebabkan oleh tiga faktor: kurangnya alokasi anggaran, penggunaan yang tidak optimal atas anggaran yang ada, serta koordinasi yang buruk antara yurisdiksi. Sayangnya, partisipasi swasta juga masih kurang. Narjoko dan Jotzo (2007) mencatat bahwa pihak swasta tidak banyak terlibat dalam proyek-proyek infrastuktur karena sektor perbankan domestik juga enggan mengucurkan kredit ke sektor tersebut, implementasi dari kebijakan infrastruktur tidak efektif, serta banyak proyek infrastruktur harus beroperasi di bawah kondisi non-pasar: jasa infrastruktur kebanyakan harus dijual pada harga jauh di bawah biaya pengadaannya.

Dalam hal listrik, adalah benar bahwa penjualan PLN (dengan pertumbuhan rata-rata 15%) telah melebihi dua kali lipat penjualan sebelum krisis (Bank Dunia, 2004). Namun permintaan dan kebutuhan akan listrik pasca krisis tumbuh jauh melebihi kemampuan penyediaannya. Akibatnya, dengan tarif yang dipatok, seringkali terjadi pemutusan aliran listrik – kondisi yang sangat merugikan terutama bagi industri. Sekalipun waktu untuk mendapatkan sambungan baru tidak terlalu lama, masalah lebih besar timbul ketika perusahaan ingin meningkatkan kapasitas terpasangnya. Seringkali perusahaan harus membeli transformer sendiri lalu melakukan skema bagi-biaya dengan PLN: tarif lebih rendah selama periode waktu tertentu sampai transformer dinyatakan menjadi milik PLN dan tarif dinaikkan kembali. Biaya pembelian tansformer sendiri tidak kecil: untuk ukuran menengah sekitar Rp 500 juta.

Gambaran yang hampir sama terjadi dalam hal penyediaan air. Dalam sebuah survei (LPEM-FEUI, 2005a) responden dari kalangan industri melaporkan bahwa dalam 6 bulan mereka mengalami masalah serius dengan air rata-rata sebanyak 29 kali (berkaitan dengan bau, warna, serta pemutusan aliran air). Karena kapasitas yang terbatas, PDAM memang memprioritaskan pelayanan kepada rumah tangga ketimbang industri. Akibatnya kebanyakan industri menggunakan sumber air sendiri (umumnya sumur dalam) untuk tujuan produksi dan hanya menggunakan air yang disediakan PDAM untuk kebutuhan aktivitas kantor. Sama halnya dengan PLN, PDAM juga menawarkan skema bagi-biaya, yang umumnya dimanfaatkan oleh industri yang berada di lokasi jauh dari pipa distribusi air. Pengusaha akan menanggung biaya instalasi pipa dari terminal air terdekat ke lokasi industri.

Dalam hal telekomunikasi, gambarannya tidak separah listrik dan air. Survei LPEM tahun 2005 tersebut melaporkan rata-rata 9 kali gangguan serius dalam 6 bulan pada sambungan telpon tetap yang dioperasikan oleh PT Telkom. Namun pertumbuhan yang sangat pesat dari industri telpon seluler tampaknya telah membantu meringankan masalah dalam hal telekomunikasi. Studi LPEM-FEUI (2007a) melaporkan bahwa jumlah sambungan telpon seluler untuk setiap 100 individu di wilayah tertentu (’teledensitas’) pada tahun 2005 meningkat lebih dari 20 kali sambungan pada thaun 1999.

Kendala Sisi Penawaran: Infrastruktur dan Logistik (1/4) -- Arianto A. Patunru

Pendahuluan

Sebelum krisis ekonomi 1997/1998, perekonomian Indonesia mencatat kemajuan yang mengesankan: PDB tumbuh 7,5% per tahun selama dua dekade. Namun krisis merontokkan pertumbuhan hingga minus 13% pada tahun 1998 disertai inflasi 76% dan hilangnya 2/3 pendapatan per kapita. Sepuluh tahun kemudian perekonomian pulih: PDB, pendapatan per kapita, konsumsi, dan ekspor telah melebihi tingkat sebelum krisis. Inflasi relatif terkendali pada 6-7%, nilai tukar lebih stabil di sekitar Rp 9,100, dan indeks harga saham menembus 2,000. Defisit fiskal serta hutang dapat ditekan secara signifikan. Namun investasi masih belum mencapai tingkat sebelum krisis. Perekonomian masih sangat bergantung pada konsumsi (terutama oleh pemerintah) dan ekspor (terutama karena harga internasional yang tinggi).

Ternyata pola perekonomian Indonesia pasca krisis tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Malaysia, Thailand, dan Korea: konsumsi melebihi tingkatnya sebelum krisis, namun tidak demikian halnya dengan investasi (kecuali Korea sejak 2004). Dalam hal ekspor, Indonesia masih relatif lambat dibanding negara-negara korban krisis lainnya. Kendala utama dari pertumbuhan ekspor yang lambat ini terjadi di sektor manufaktur yang mengandalkan tenaga kerja. Nilai dollar dari ekspor sektor ini turun drastis dari 23% tahun 1990-1996 ke 2% tahun 1996-2006.

Basri dan Patunru (2008) menyimpulkan bahwa rendahnya tingkat investasi dan lambatnya pertumbuhan ekspor Indonesia di atas disebabkan oleh kendala-kendala di sisi penawaran yang pada gilirannya bermuara pada apresiasi nilai tukar, ekonomi biaya tinggi (termasuk kondisi infrastruktur yang jelek, pungutan liar, biaya logistik – atau masalah iklim investasi pada umumnya), serta perubahan pola investasi dari sektor tradable (umumnya adalah komoditi ekstraktif) ke non-tradable (umumnya adalah konstruksi, transportasi, dan komunikasi). Tulisan ini menyoroti masalah dan isu seputar infrastruktur dan biaya logistik.

Selasa, 01 April 2008

REDD : antara Ekonomi vs Ekologi

Desember 2007 yang lalu, Indonesia telah menandatangani sebuah perjanjian baru antara negara- negara berkembang dengan negara- negara maju dalam wacana pemeliharaan lingkungan. REDD, alias Reducing Emmission from Deforestation in Developing Countries yaitu sebuah proyek yang ditujukan untuk mengurangi emisi dari deforestasi di negara- negara berkembang dengan cara melakukan reforestasi hutan- hutan yang ada di negara- negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada intinya, negara kita menyetujui untuk memulai lingkungan bebas polusi dengan cara mencegah laju deforestasi dan perusakan hutan secara besar- besaran sekaligus menjadi lokasi pilot project proyek tersebut. Proyek ini menjadi yang pertama di dunia sebelum skema REDD diberlakukan pasca-Protokol Kyoto pada 2012 mendatang. Proyek ini awalnya mendapat kesulitan dalam konvensinya, yaitu ketika negara- negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada dan Jepang menolak deeper cut dalam pengurangan emisi karbon di negaranya sebesar 25-40 persen di tahun 2020 dikarenakan ketakutan akan jatuhnya perekonomian mereka. Akan tetapi, REDD berhasil disetujui dengan prosedur pemeliharaan hutan tropis yang ada dengan pemberian imbalan kepada negara penyumbang hutan yaitu negara berkembang.
REDD merupakan salah satu poin dari Bali Road Map; selain mengenai adaptasi, teknologi, IPCC, CDM dan negara miskin. Semua poin tersebut tertuju kepada penanganan climate change yang menyebabkan penurunan produktivitas dan bencana alam yang terjadi di banyak negara. Berangkat dari kesepakatan tersebut, mari kita lihat apa yang terjadi pada sisi ekonomi negara Indonesia ketika persetujuan ini mulai dijalankan. Pertama, Indonesia mendapat pendanaan untuk pemeliharaan hutan sebesar US$ 30 juta atau sekitar 300 triliun rupiah dan hutan kita disewa sebagai pusat reduksi emisi karbon dunia. Pendanaan tersebut diberikan kepada negara langsung ke pemerintah pusat, dan rencananya dana tersebut akan dikelola bersama dengan pemerintah daerah dalam hal pemeliharaan dan pengawasan hutan tersebut. Dan sesuai peraturan pemerintah tahun 2008, dana tersebut akan masuk kedalam penerimaan negara. Namun, pemerintah masih harus berkontroversi mengenai peraturan- peraturan yang dibuatnya, antara lain tentang PP no.2 tahun 2008 yang menyebutkan bahwa hutan lindung dapat digunakan untuk aktivitas pertambangan dengan hanya membeli tanah dari hutan tersebut perhektar senilai 3 juta rupiah saja. Tentu saja hal itu sangat kontras dengan kesepakatan untuk menurunkan emisi karbon dunia yang sangat melindungi hutan lindung. Apakah pemerintah kita berpikir bahwa hutan kita adalah salah satu komoditi yang besar dalam produktivitas negara ? Kenapa dengan begitu mudahnya negara dapat membuat dan mensahkan peraturan tersebut hanya untuk kegiatan pertambangan yang belum tentu akan dikelola oleh negara ? Apalagi jika kegiatan pertambangan tersebut hanya akan berujung kepada perusakan lingkungan yang akan menyebabkan bencana yang berkepanjangan, contoh lumpur Lapindo. Namun, ternyata Presiden sendiri mengatakan bahwa PP tersebut bertujuan untuk melindungi kelestarian hutan lindung. Tidak salahkah?
Memang susah untuk mengkaitkan ekonomi dan ekologi untuk kesejahteraan dunia. Pasti adakalanya terlintas pikiran untuk mengkonversi hutan menjadi sebuah bisnis dan itu bukanlah sebuah hal yang baik bagi keberlangsungan hidup dunia karena pengeksploitasian hutan dapat menyebabkan punahnya ekologi dan pada akhirnya akan mengganggu kesejahteraan dunia. Akan tetapi, ada kalanya pemikiran politis mengalahkan kebutuhan manusiawi, sehingga keputusan-keputusan yang didasari kepentingan politis lebih sering menguntungkan segelintir orang daripada menyejahterakan seluruh rakyat secara merata.


Kastrat 2008


*Maaf, mungkin agak melebar.. lagi ujian ni.. jadi agak gak konsen.. maaf ya..
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: April 2008 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates