Kamis, 31 Juli 2008

DAMPAK KRISIS ENERGI LISTRIK

DAMPAK KRISIS ENERGI LISTRIK
BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA

Departemen Kajian Keilmuan
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran

Saat ini Indonesia ditengah dihadapi krisis energi yang telah menggangu kondisi perekonomian Indonesia. Setelah beberapa saat yang lalu pemerintah memberlakukan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi yang telah memukul perekonomian, kini ditambah krisis listrik yang terjadi di hampir seluruh pelosok Indonesia. Benar-benar sebuah ujian berat yang harus dihadapi perekonomian negara yang kita cintai ini, apakah perekonomian ini akan tahan banting atau tidak. Ini merupakan sebuah ironi terbaru bangsa Indonesia yang sedang memperingati seratus tahun Kebangkitan Nasional.
Krisis listrik yang terjadi di Indonesia di sebabkan karena adanya mismacth antara supply dan demand. Ketidakselarasan ini disebabkan karena beberapa hal. Pertama, kemampuan pembangkit listrik milik PLN untuk memproduksi listrik serta kemampuan membeli listrik dari pihak swasta terbatas. Kedua, PLN menyatakan bahwa terjadi kekurangan pasokan bahan bakar pada beberapa pembangkit di Jawa. Ketiga, adanya pengalihan penggunaan listrik dari pembangkit listrik milik sendiri ke PLN, hal ini karena sejak terjadi kenaikan harga BBM membuat pengoperasian pembangkit milik pribadi menjadi sangat tidak ekonomis karena mahalnya harga solar. Namun, peningkatan konsumsi dari listrik ini tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas produksi listrik dari PLN.
Pihak PLN setiap kali berdalih bahwa krisis ekonomi pada tahun 1998 silam yang menjadi sebab terjadinya defisit listrik saat ini. Krisis ekonomi telah menyebabkan investasi dibidang kelistrikan mandek. Tetapi apakah hanya hal ini yang menyebabkan defisit listrik yang terjadi saat ini?



Audit Perusahaan Listrik Negara Mutlak Dilakukan
Selama ini pelayanan dari PLN dalam memasok listrik amatlah jauh dari memuaskan. Tengoklah dalam sebulan saja bisa beberapa kali terjadi pemadaman listrik bergilir, padahal pemadaman listrik ini telah menyebabkan kerugian yang amat luar biasa, terutama untuk para pelaku usaha. Dalam kaitan perbaikan layanan, para pelaku usaha tidak merasa keberatan bila nantinya PLN melakukan penyesuaian tarif, tetapi sebelum hal tersebut diberlakukan, mereka meminta dilakukan audit menyeluruh terhadap kinerja manajemen termasuk perhitungan biaya produksi listrik yang mencapai Rp. 1.304 per kWh. Audit ini mutlak dilakukan karena sudah menjadi sebuah rahasia umum bahwa selama ini kinerja PLN amat buruk, tidak efisien, serta tidak transparan.
Pelaku usaha juga mengingatkan pemerintah agar jauh-jauh hari dari sekarang mulai mengantisipasi ketersediaan pasokan batubara bagi proyek pembangunan berkapasitas 10.000 MW yang saat ini tengah dikerjakan. Sebab jika tidak, pembangunan PLTU tersebut akan sia-sia dan tidak menjadi solusi krisis listrik yang terjadi saat ini. Perlu juga dipikirkan tentang biaya produksi yang akan dikenakan pada industri dan masyarakat, mengingat 75 persen pembangkit baru yang akan dikebut penyelesaiannya pada 2010 itu masih mengandalkan penggunaan batu bara.
Saat ini harga kontrak batu bara dunia telah mencapai 180 dollar per ton. Kalau tingginya harga batu bara tersebut sepenuhnya dibebankan dalam perhitungan tarif dasar listrik industri, maka tidak banyak industri yang mampu memikulnya. Selain itu, seharusnya hal itu tidak terjadi karena selama ini Indonesia menjadi salah satu pemasok batu bara terbesar di dunia.
Amat ironis bila hal tersebut benar-benar terjadi, karena dua perusahaan tambang batu bara terbesar di Indonesia yakni, PT Tambang Bukit Asam adalah milik pemerintah dan PT Bumi Resource adalah milik salah satu menteri yang sedang menjabat saat ini.

Surat Keputusan Bersama Lima Menteri
Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani lima menteri yakni, Menteri Perindustrian, Menteri ESDM, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri BUMN disebutkan bahwa, setiap perusahaan industri diwajibkan mengalihkan satu atau dua hari kerja dalam sebulan, ke hari Sabtu atau Minggu. Sebelumnya, PLN melakukan penghematan listrik dengan melakukan pemadaman bergilir di seluruh Indonesia, yang lebih parahnya lagi, di beberapa daerah pemadaman listrik bisa terjadi seharian penuh dan empat kali dalam seminggu. Jelas terlihat bahwa selama ini kebijakan pemerintah hanya berorientasi jangka pendek.
Gagasan pergeseran hari operasional industri dilakukan karena kapasitas tak terpakai listrik selama sabtu-minggu cukup besar. Setiap sabtu dalam sistem kelistrikan Jawa-Bali terdapat daya listrik tak terpakai sebesar 1.000 MW, sedangkan untuk hari minggu sebesar 2.000 MW. Dengan kata lain, total setiap sabtu-minggu daya listrik tidak terpakai sebesar 3.000 MW. Dengan adanya kondisi tersebut, diharapkan kalangan industri bisa melakukan libur secara bergiliran.
SKB lima menteri yang telah mulai diberlakukan dipastikan semakin merepotkan pelaku industri. Para pelaku industri tentunya akan sulit bila harus melaksanakan ketentuan ini, karena selama ini hari sabtu dan minggu merupakan hari libur, jadi bila hari kerja di pindahkan ke hari itu maka para pekerja akan meminta bayaran tambahan sebagai bayaran overtime. Selama ini berbagai survey juga menyebutkan bahwa kalangan industri hanya menggunakan 50 hingga 70 persen dari kapasitas produksinya. Artinya masih banyak mesin-mesin pabrik yang tidak berjalan dengan kapasitas maksimal.

Dampak Krisis Listrik Pada Sektor Ekonomi
Krisis listrik yang terjadi saat ini menuntut PLN melakukan pemadaman listrik bergilir. Berbagai sektor penunjang perekonomian pun terkena imbasnya. Industri manufaktur sebagai penyumbang GDB terbesar Indonesia, yang larinya sekarang sedang terengah-engah akibat kenaikan harga BBM Mei lalu bertambah parah akibat pemadaman listrik ini. Selain itu, gerbang utama masuk Indonesia, yakni Bandara Soekarno Hatta juga terkena imbasnya, bahkan rumah sakit yang notabenenya tempat merawat orang sakit seharusnya tidak mengalami gangguan pasokan listrik juga terkena pemadaman pula. Pemadaman listrik tersebut turut membuat bengkak biaya operasional mereka karena harus menggunakan genset yang bermesin diesel dan amat boros dalam mengonsumsi bakar solar.
Seboros-borosnya pemakaian genset, tapi mereka patut beruntung karena masih dapat tertolong dengan penggunaan genset ini. Ada beberapa sektor yang sama sekali tidak dapat berkutik ketika terjadi pemadaman listrik yang dilakukan oleh PLN. Industri pengolahan ikan dan udang tidak dapat beroprasi ketika terjadi pemadaman, karena industri ini seratus persen membutuhkan listrik untuk mengoperasikan mesin pendingin. Mesin ruang pendingin sama sekali tidak bisa menggunakan genset sebagai pemasok daya listrik karena kebutuhan listriknya terlalu amat besar.
Ketika listrik ruang pendingin padam beberapa jam saja dapat meningkatkan suhu di dalam ruangan tersebut, hal ini dapat menyebabkan bentuk dan mutu produk hasil laut tersebut berubah. Bahkan negara pengimpor hasil laut dapat saja menolak masuknya produk hasil produksi Indonesia karena mutunya telah di bawah standar. Padahal ekspor hasil laut Indonesia merupakan salah satu sumber pemasukan yang terbesar.

Simpulan
Mungkin terlalu banyak hal yang seharusnya dibenahi dalam sistem kelistrikan di negara kita ini. Berbagai masukan pula telah banyak di berikan berbagai kalangan mulai dari para pelaku usaha, ahli bidang kelistrikan, hingga para ekonom. Maka dari itu, kita lihat saja ke depannya apakah semboyan 100-75, yang artinya pada ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-75, seluruh wilayah Indonesia telah dialiri listrik dengan baik, dapat diwujudkan oleh PLN.

Minggu, 27 Juli 2008

Selamat jalan, Bang Ciil -- AAP

Baru 15 menit yang lalu, saat saya melangkah masuk kantor, Mas Kom (Komara Djaja) mengabarkan, "Co, adik saya yang di Singapura barusan SMS. Bang Ciil sudah pergi". Segera saya cek ke Dede (Chatib Basri). Ya, kata Dede, jam 8:30 tadi pagi. Inna lillaahi wa inna ilaihi raji'un.

Saya termasuk yang beruntung pernah menjadi asisten Bang Ciil, panggilan akrab Dr. Sjahrir, ekonom UI dan penasehat Presiden SBY. Tahun 1994/95 saya menjadi asisten Bang Ciil untuk matakuliah Perekonomian Indonesia (PI), bersama Ujang (Firman Witoelar), dan Ira Setiati (sekarang di CSIS). Saya belajar banyak dari beliau. Setiap kali rapat, kami bertiga disodori seabrek-abrek buku baru -- untuk dijadikan referensi dalam kelas PI. Sebelum kami bertiga, asisten Bang Ciil yang juga menggawangi kelas PI adalah Ican (Moh. Ikhsan) dan Dede. Pertemanan dengan Bang Ciil tidak berhenti pada kuliah PI saja. Ia mengajarkan kami bagaimana menulis dengan baik. Memperkenalkan kami dengan literatur-literatur terbaru. Dan tentu saja, mentraktir kami makanan-makanan enak.

Selamat jalan, Bang Ciil...


Catatan:
Catatan Rizal, Cafe Salemba
Catatan Ap, Cafe Salemba
Catatan Ujang, Cafe Salemba
Komentar Bang Faisal, dari blog Faisal Basri

Senin, 14 Juli 2008

Memprediksi Kenaikan Angka Kemiskinan? -- Ari A. Perdana

Memprediksi Angka Kemiskinan?
Oleh Ari A. Perdana

Buat saya, salah satu pekerjaan tersulit adalah membuat prediksi indikator ekonomi. Saya merasa tidak pernah merasa mampu untuk memprediksi berapa angka inflasi, pertumbuhan ekonomi, apalagi nilai tukar, tahun depan dan seterusnya. Makanya saya kagum kalau ada yang bisa memprediksi angka kemiskinan. Salah satunya adalah rekan-rekan saya di INDEF.

Dalam kajian tengah tahun mereka, INDEF memperikirakan angka kemiskinan akan naik sebesar 1,3 poin persen. Baru-baru ini BPS mengeluarkan angka kemiskinan bulan Maret 2008 sebesar 15,42 persen, atau sekitar 35 juta jiwa. Kalau prediksi INDEF benar, artinya angka kemiskinan bulan Maret 2009 akan menjadi 16,7 persen, atau ada tambahan penduduk miskin sekitar 4 juta jiwa. Dasar perhitungan ini adalah inflasi tahun 2008 akan naik menjadi 12-12,5 persen, sebagai akibat kenaikan harga BBM. Kenaikan BBM akan mendorong inflasi kelompok transportasi dan makanan (bahan dan produk makanan) -- kelompok barang yang paling mempengaruhi angka kemiskinan.

Karena saya tidak bisa memprediksi tingkat inflasi, saya akan gunakan prediksi inflasi INDEF sebagai patokan. Tahun 2005, ketika harga BBM naik sebesar 130 persen dan harga beras mengalami kenaikan drastis, inflasi menjadi 17-18 persen (dari sebelumnya sekitar 7 persen, artinya lonjakan inflasi sebesar 10-11 poin persen). Saat itu angka kemiskinan naik sebesar 1,8 poin persen, atau kenaikan penduduk miskin sebesar 4,4 juta jiwa. Jika inflasi naik menjadi 12,5 persen dari titik awal yang sama (sekitar 7 persen di awal 2008), maka berdasarkan ekstrapolasi sederhana ini harusnya angka kemiskinan turun, atau setidaknya tetap. Ketika inflasi ada di kisaran 10-12 persen di awal 2000-an pun angka kemiskinan terus turun. Kecuali kalau ada justifikasi yang kuat mengapa kondisi kemiskinan tahun ini berbeda secara signifikan dengan tahun-tahun sebelumnya, kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 1,3 poin persen menurut saya menjadi prediksi yang terlalu pesimis.

Satu variabel yang penting dalam prediksi angka kemiskinan adalah asumsi tentang dampak Bantuan Langsung Tunai (BLT) terhadap kelompok miskin. Jika tidak ada BLT, atau jika BLT sama sekali tidak punya dampak, prediksi bahwa angka kemiskinan akan meningkat cukup masuk akal. Beberapa orang, termasuk M. Ikhsan Modjo -- peneliti INDEF yang juga salah satu pembicara di kajian tengah tahun mereka -- agaknya masuk dalam kategori yang percaya bahwa BLT tidak punya dampak.

Tentunya perbedaan pendapat dan metodologi perhitungan adalah hal yang sah dan wajar. Tapi mari kita diskusikan lebih lanjut. Ada dua alasan mengapa BLT tidak punya dampak positif: jumlah BLT yang diberikan tidak cukup, atau distribusi BLT tidak mencapai sasaran.

Besar nilai BLT

Sangat berlebihan jika nilai BLT yang sebesar Rp100 ribu per bulan per keluarga dikatakan tidak berarti apa-apa bagi kelompok miskin. Hitungan sederhananya begini. Garis kemiskinan di bulan Maret 2008 adalah Rp182 ribu per bulan per orang. Jika rata-rata anggota keluarga adalah lima orang, itu ekuivalen dengan Rp 913 ribu per bulan per keluarga. INDEF memprediksi inflasi umum sebesar 12,5 persen. Selama ini, inflasi makanan adalah 40-50 persen di atas inflasi umum, artinya sekitar 18,75 persen. Inflasi garis kemiskinan ada kurang lebih di pertengahan keduanya; atau sekitar 15 persen. Artinya, pada Maret 2009 garis kemiskinan akan menjadi sedikit di atas Rp 1 juta (Rp1.050.157 tepatnya).

Asumsikan inflasi garis kemiskinan terdistribusi merata selama 12 bulan. Maka, penduduk yang pada Maret 2008 berada tepat di garis kemiskinan harus mengalami kenaikan konsumsi setidaknya Rp11.500 per bulan untuk berada pada kondisi yang tidak berubah. Andaikan tingkat pengeluaran rata-rata kelompok miskin adalah 50 persen dari garis kemiskinan atau Rp525 ribu per keluarga per bulan. Maka untuk bisa berada di atas garis kemiskinan, mereka memerlukan tambahan pendapatan setidaknya Rp44 ribu per bulan. Artinya, nilai BLT lebih dari cukup sebagai mengompensasi inflasi pasca kenaikan harga BBM. Ini pun belum memperhitungkan kebijakan-kebijakan lain yang juga dinikmati oleh kelompok miskin seperti Raskin.

Betul bahwa di tahun 2005, BLT tidak berhasil mencegah kenaikan angka kemiskinan. Itu karena inflasi yang terjadi begitu tinggi, akibat dari kombinasi kenaikan harga BBM dan -- yang lebih signifikan -- kenaikan harga beras. Tapi pertanyaan counterfactual yang lebih relevan adalah: apa yang akan terjadi dengan angka kemiskinan jika saat itu tidak ada BLT?

Ada kritik lain soal nilai BLT yang dipotong. Memang betul ada banyak kasus dimana penerima tidak mendapatkan nilai bantuan yang utuh. Tapi berdasarkan data Susenas 2006 dan 2007 yang memuat modul khusus BLT, 95 persen penerima di tahap pertama, dan 90 persen di tahap kedua, melaporkan bahwa mereka menerima secara utuh. Dari mereka yang melaporkan mengalami potongan, alasan terbanyak yang adalah "untuk pemerataan (dibagi pada keluarga lain yang dianggap miskin tapi tidak termasuk daftar penerima," "biaya transportasi" serta "administrasi (pembuatan kartu identitas)." Untuk sebuah negara yang terkenal karena korupsinya, ini adalah sebuahg prestasi.

Distribusi BLT

Faktor lain yang memengaruhi efektifitas BLT adalah distribusi bantuan. Hal pertama yang perlu diketahui adalah target penerima BLT adalah keluarga miskin dan setengah-miskin (near poor) yang berjumlah 19,8 juta keluarga; atau sekitar 35 persen dari keseluruhan rumah tangga di Indonesia. Rumah tangga yang ada di bawah garis kemiskinan sendiri berjumlah sekitar 7 juta jiwa. Pertimbangannya, selain memberikan bantuan kepada penduduk yang ada di bawah garis kemiskinan, BLT diharapkan juga memberikan jaring pengaman kepada mereka yang sedikit ada di atas garis kemiskinan.

Memang, berdasarkan pengalaman tahun 2005, masih banyak catatan mengenai distribusi BLT. Data Susenas menujukkan, tingkat undercoverage BLT adalah moderat: sekitar 40 persen penduduk dalam kelompok 20 persen termiskin dalam distribusi (sekitar 4,5-5 juta dari 11-12 juta keluarga dalam kelompok ini) dilaporkan tidak menerima BLT. Lebih baik dibandingkan Raskin dan Askeskin, tapi lebih buruk dibandingkan kebijakan transfer sejenis di Amerika Latin. Hal yang wajar meningat kondisi ketimpangan di Amerika Latin juga jauh lebih parah sehingga identifikasi penduduk miskin vs. non-miskin di sana juga lebih mudah.

Apakah angka kemiskinan akan naik atau turun, dan sebesar berapa, akan tergantung pada bagaimana 4,5-5 juta keluarga yang tidak menerima BLT ini terdistribusi. Berapa banyak dari mereka yang ada di luar 7 juta keluarga yang ada di bawah atau di atas garis kemiskinan. Saya tidak tahu apakah hal ini bisa dimodelkan sehingga kita bisa mendapatkan angka prediksi akhir yang cukup pasti, kecuali kalau kita bisa mengasumsikan sebuah fungsi distribusi probabilitas memperoleh BLT yang cukup spesifik.

Kalaupun kita bisa mengatakan dengan pasti berapa banyak keluarga miskin yang tidak menerima BLT, untuk menyimpulkan bahwa angka kemiskinan akan naik, kita perlu mengasumsikan bahwa semua keluarga miskin yang tidak menerima BLT sama sekali tidak memiliki mekanisme atau akses untuk melakukan consumption smoothing dan bentuk-bentuk manajemen risiko lainnya, baik formal maupun informal.

Jadi, kemiskinan akan naik atau turun?

Poin utamanya, saya tidak tahu. Dari berbagai indikator ekonomi, angka kemiskinan adalah indikator yang tidak mudah untuk diprediksi.

Argumen yang saya sampaikan juga tergantung pada, antara lain, bagaimana penyaluran BLT di lapangan. Kuncinya adalah jika pemerintah bisa memperbaiki kualitas data dan penargetan. Selain itu, bagaimana pemerintah bisa lebih melibatkan komunitas dalam memperbaiki keberhasilan penyaluran. Saat ini dikabarkan PT Pos Indonesia, yang menjadi ujung tombak penyaluran BLT, tengah berusaha melakukan dan verifikasi penerima. Ini adalah langkah positif, tapi trade-off-nya adalah pengucuran dana BLT gelombang pertama yang sudah dimulai Maret lalu jadi agak terhambat. Ini adalah contoh variabel lain yang akan berpengaruh di lapangan.

Hal lain yang penting adalah seberapa jauh angka inflasi bisa dikendalikan, terutama inflasi pangan. Jangan lupa juga bahwa menjelang Pemilu akan banyak uang yang mengalir ke masyarakat lewat dana kampanye. Meski sulit diukur, pengaruh langsung maupun tidak langsungnya juga tidak bisa dikesampingkan.

*** Juga di-post di A Gallery of Mind.

Rabu, 09 Juli 2008

Kinerja Dirjen Bea&Cukai: Prestasi dan Korupsi

Bea dan Cukai (selanjutnya disingkat BC) adalah institusi pemerintah di bawah Departemen Keuangan yang berwenang terhadap 2 komponen penerimaan negara, pabean dan cukai, termasuk juga mengawasi proses ekspor impor, peredaran hasil tembakau dan sekaligus menjadi trade fasilitator. Seiring dengan mencuatnya kasus suap di Tanjung Priok, maka tugas BC sebagai pabean menjadi dipertanyakan.

Tugas BC sebagai pabean adalah memungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Mengapa hanya impor saja yang dikenai pajak? Hal ini berhubungan dengan tujuan diberlakukannya pajak impor, yaitu melindungi industri dalam negeri dari produk-produk impor. Hal ini disebut juga tariff barrier. Sementara untuk ekspor, pada umumnya pemerintah tidak memungut bea keluar, dengan maksud untuk mendukung perkembangan industri dalam negeri dan mendorong ekspor. Di samping itu, pemerintah memberikan insentif berupa pengembalian pajak. Akan tetapi, untuk beberapa komoditas, tetap dikenai bea keluar, khususnya bahan baku produksi seperti kayu, rotan, dengan maksud untuk melindungi sumber daya alam Indonesia dan diharapkan para eksportir akan mengolah produk mereka terlebih dahulu sebelum di ekspor.

Prosedur pengurusan izin impor beserta pajak yang harus dibayar juga cukup rumit. BC sendiri lebih terlibat pada proses pengeluaran barang. Importir terlebih dahulu harus mengurus dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Pada PIB disertakan kategori, harga, jumlah dan keterangan lain. Dokumen ini nantinya diperiksa oleh pemeriksa BC dan dicocokkan dengan kondisi barang yang sesungguhnya. Dari dokumen ini pula ditentukan jumlah pajak impor dan bea masuk yang harus dibayar importir. Setelah importir membayar bea masuk dan pajak impor, barulah PIB tersebut diproses oleh BC. Selanjutnya, jika semua berjalan lancar, importir dapat mengeluarkan barangnya. Untuk hewan dan tumbuhan biasanya harus menjalani karantina, dan untuk bahan makanan impor biasanya membutuhkan dokumen tambahan seperti certificate of origin dan sertifikasi halal. Untuk komoditas khusus seperti ini, BC juga bekerjasama dengan instansi lain yang terkait, seperti Departemen Perdagangan.

BC sendiri memiliki sistem penjaluran barang yang didasarkan pada profil importir, komoditas, track record dan informasi lain. Jalur pertama adalah prioritas, khusus untuk importir yang memiliki track record sangat baik dan improtir ini mendapat prioritas dari segi pelayanan dan sistem pengeluaran barangnya otomatis. Jalur kedua adalah jalur hijau, diperuntukkan importir yang memiliki track record baik dan komoditi impornya termasuk low risk. Jalur ketiga adalah jalur merah yang diperuntukkan bagi importir baru dan importir dengan risiko tinggi, track record tinggi atau adanya catatan lain. Untuk bea keluar, prosedur yang berlaku hampir sama.

BC sendiri memiliki termasuk salah satu sumber pendapatan negara. Selama ini, BC selalu mencapai 90% dari target yang dibebankan APBN, bahkan pada tahun 2005 BC berhasil melampaui target hingga menyentuh angka 103%. Untuk tahun 2008, karena adanya APBN-P, target BC dinaikkan hampir mencapai 2 triliun, dan sampai saat ini sudah mencapai 64,47% dari jumlah yang ditargetkan, yaitu Rp 72,69 triliun; dengan rincian dari bea masuk sebesar Rp 15,82 triliun dari bea masuk, Rp 45,71 triliun dari cukai dan Rp 11,20 triliun dari bea keluar.

Adanya praktik suap di BC, membuat pengusaha terpaksa mengeluarkan biaya lagi sebesar 5 – 15% dari biaya normal pengurusan dokumen pabean. Itupun berlaku untuk barang-barang yang masuk atau keluar ke Indonesia secara legal. Jika diasumsikan pengusaha masih harus mengeluarkan biaya 10% dari biaya normal pengurusan dokumen, maka negara akan mengalami kerugian sebesar (10% x (15,82 + 11,20)) = Rp 2,7 triliun, di tahun 2008. Dan angka ini masih bisa naik lagi.

Mengenai kasus di Tanjung Priok, petugas yang menerima suap adalah pelaksana, yaitu petugas yang bertugas memeriksa dokumen PIB dan melakukan pemeriksaan fisik. Petugas ini juga berkewajiban memeriksa jumlah pajak yang harus dibayar. Petugas penerima suap tersebut memalsukan jumlah pajak impor yang harus dibayar. Jumlah suap mencapai 500 juta. KPK menyatakan bahwa itu barulah temuan dalam satu hari setelah penggeledahan di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, Tanjung Priok, 30 Mei lalu.

Ini merupakan suatu kekecewaan besar bagi BC, mengingat mereka telah menghabiskan 4,3 triliun untuk reformasi birokrasi yang digunakan untuk perbaikan sistem kerja dan pemberian tunjangan kerja pejabat dan pegawai. Reformasi birokrasi ini sendiri dilakukan oleh Departemen Keuangan setelah BC masuk menjadi institusi terkorup ketiga se-Indonesia, setelah peradilan dan kepolisian.

Korupsi di dalam BC harus diusut lebih dalam, tidak hanya KPK saja yang aktif, lembaga lain seperti POLRI dan kejaksaan juga harus lebih serius dalam mengangani karena selama inihanya KPK yang dianggap paing benar. Di samping itu, reformasi birokrasi sebaiknya dilakukan tidak hanya pada tataran elite, tetapi sampai ke akar-akarnya.

Departemen Kajian Strategis

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Universitas Gadjah Mada

Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Nelayan

Harga BBM yang meningkat disertai dengan tingkat inflasi yang diperkirakan melebihi dua digit memberikan dampak cukup besar terhadap berbagai kalangan, seperti UKM, koperasi, perindustrian, perkebuanan, perikanan-kelauatan. Dampak langsung yang dirasakan oleh nelayan yaitu peningkatan biaya bahan bakar untuk melaut. Selain harga bahan bakar untuk pengoperasian kapal semakin tidak terjangkau, kenaikan harga BBM juga berdampak pada kenaikan biaya operasional lain seperti bahan kebutuhan pokok selama melaut yang mencapai 20 hingga 30 persen dari biaya produksi, serta penyediaan es balok.

Kenaikan harga solar dari Rp 4.300,00 menjadi Rp 5.500,00 menjadikan kondisi ekonomi nelayan semakin terpuruk, terlebih karena tanpa kenaikan harga BBM pun nelayan sudah menerima harga yang melebihi harga pasar. Hal ini terjadi karena biaya pengangkutan solar dari distributor ke daerah sekitar pesisir membutuhkan biaya yang besar karena jarak tempuh dalam pendistibusian BBM tersebut cukup jauh. Dengan kenaikan harga BBM, nelayan harus menerima harga yang begitu tinggi, yaitu harga BBM yang secara resmi dinaikkan oleh pemerintah ditambah dengan biaya pendistribusian yang semakin tinggi.

Kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya operasional nelayan. Di beberapa daerah, rata-rata nelayan melaut 3-4 kali dalam satu bulan, namun setelah kenaikan harga BBM, dalam satu bulan hanya melaut 1-2 kali. Padahal, kebanyakan nelayan di Indonesia hanya menggantungan sumber penghasilan dari hasil melaut. Setiap kali melaut, jenis perahu tertentu membutuhkan 10-15 liter solar. Misalkan 15 liter solar diambil sebagai sampel dalam perhitungan, dengan harga solar saat ini (Rp 5.500,00) berarti nelayan harus mengeluarkan biaya sebesar (15 X Rp 5.500,00) atau sebesar Rp 82.500,00. Biaya ini jauh berbeda dengan biaya sebelum kenaikan harga BBM, saat harga solar masih Rp 4.300,00, nelayan mengeluarkan biaya Rp (15 X Rp 4.300,00) atau sebesar Rp 64.500,00. Biaya bahan bakar ini belum ditambah dengan biaya pendistribusian BBM. Pada umumnya, biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar yaitu sekitar 45% dri total biaya produksi setiap melaut.

Peningkatan biaya untuk BBM juga berpengaruh terhadap komponen biaya lain yang merupakan bagian dari biaya operasional. Biaya lain yang turut membengkak yaitu biaya kebutuhan pokok selama melaut, biaya penyediaan es balok, serta biaya lain yang terpengaruh karena kenaikan harga BBM tersebut. Harga kebutuhan pokok dan barang lain sebenarnya telah meningkat sebelum kenaikan harga BBM secara resmi diumumkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga BBM, sehingga harga-harga barang meningkat sebelum hagra BBM resmi dinaikkan (terjadi expected inflation).

Ketika sebagian nelayan memutuskan untuk tetap melaut, tenyata kenaikan BBM tersebut diikuti oleh kelangkaan pasokan BBM bagi nelayan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPDN), padahal nelayan tidak diperbolehkan untuk membeli BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Berkurangnya pasokan BBM ke SPDN akan berpengaruh besar terhadap produktivitas nelayan. Di samping itu, tingkat pengagguran akan meningkat karena nelayan yang tidak mampu menutup biaya bahan bakar setelah kenaikan harga BBM akan memilih berhenti melaut daripada menanggung kerugian yang begitu besar. Terlebih, sejauh ini belum terdapat energi alternatif bagi nelayan selain BBM. Kalau BBM akan dihemat, misal penghematan solar, tetap saja solar tesebut harus dicampur dengan minyak tanah, oli atau zat lain yang persentasenya tetap lebih kecil dibandingkan solar yang digunakan. Pengoplosan bahan bakar tersebut akan memperpendek usia perahu nelayan.

Solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada nelayan. Dalam jangka pendek, kebijakan ini merupakan kebijakan yang efektif karena dalam jangka pendek pemerintah tidak dapat memenuhi atau memberikan bantuan secara spesifik terhadap setiap mata pencaharian dalam menghadapi kenaikan harga BBM. Nelayan perlu mendapatkan BLT untuk mengatasi lag yang terjadi akibat kenaikan harga BBM. Kebijakan ini memang hanya merupakan solusi alternatif dalam jangka pendek karena dalam jangka panjang harga-harga akan menyesuaikan dengan sendirinya. Kenaikan harga BBM nantinya akan menjadikan harga ikan laut meningkat pula. Dengan demikian, pendapatan nelayan juga akan meningkat, sehingga nelayan tetap dapat melaut. Namun, hal ini hanya akan terjadi pada jangka panjang karena pada jangka pendek ketika biaya operasional mengingkat dan nelayan meresponnya dengan meningkatkan harga ikan laut, maka permintaan terhadap ikan laut akan berkurang. Jika hal ini terjadi, maka pendapatan nelayan akan berkuranng, padahal biaya operasional membengkak. Akibatnya, apabila tidak diberikan BLT, maka kerugian nelayan dalam jangka pendek akan jauh lebih besar.

Pelaksanaan pemberian BLT kepada nelayan dengan tepat sasaran bukalah hal yang mudah. Terdapat berbagai kendala yang dapat menghambat pendistribusian BLT dengan tepat, yaitu bahwa Indonesia tidak memiliki data kependudukan yang akurat, sehingga dalam pelaksanaan kebijakan, sering sekali salah sasaran. Hal ini terjadi karena data yang dimiliki tidak diperbarui secara berkala, padahal dalam beberapa bulan saja, status pekerjaaan seseorang dapat berubah dan mata pencahariannya pun berubah. Di sisi lain, moral hazard masih banyak terjadi di Indonesia dengan berbagai alasan. Inilah yang perlu diawasi oleh setiap komponen masyarakat, termasuk mahasiswa.

Departemen Kajian Strategis

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis

Universitas Gadjah Mada

Selasa, 08 Juli 2008

Pengaruh Kinerja Dirjen Bea dan Cukai

Pengaruh Kinerja Dirjen Bea dan Cukai
Tehadap Investasi dan Ekspor Impor

Depatemen Kajian Keilmuan
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran



Beberapa waktu lalu terungkap sebuah kasus yang amat mencengangkan yang terjadi di lingkungan Departemen Keuangan dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Berawal dari inspeksi yang dilakukan secara mendadak oleh tim dari KPK dan bagian kepatutan internal Dirjen Bea dan Cukai, di temukan sejumlah besar uang dari laci dan loker-loker para pegawai dan pejabat, memperlihatkan bahwa praktek-praktek korupsi di lingkungan Dirjen Bea dan Cukai ini amat memprihatinkan. Uang temuan tersebut adalah hasil dari pemberian para pengusaha kepada para pegawai dan pejabat di lingkungan dirjen ini untuk mempercepat prosedur pemeriksaan barang serta dokumen-dokumen pengiriman barang.
Apa yang telah dilakukan oleh KPK layak mendapat acungan jempol dari masyarakat maupun pemerintah sendiri, langkah yang dilakukan sudah sesuai dengan harapan masyarakat dan juga dunia usaha, agar KPK memprioritaskan penanganan korupsi di sektor pelayanan publik. Inisiatif pimpinan Bea dan Cukai, yang berani menempuh sikap tidak populer di mata bawahanya dengan mengundang KPK membantu membersihkan oknum-oknum pegawai Bea dan Cukai merupakan hal yang luar biasa dan tidak sembarang pemimpin mampu melakukannya. Langkah yang dilakukan oleh KPK ini seiring dan sejalan dengan reformasi birokrasi internal yang dicanangkan di lingkungan Departemen Keuangan sejak 2007 yang merupakan salah satu agenda dari menteri keuangan saat ini.
Reformasi birokrasi yang dilakukan Departemen Keuangan ini telah menyedot dana yang amat besar mencapai Rp 4,3 triliun, sesuai dengan yang diberitakan berbagai media. Anggaran reformasi birokrasi untuk Departemen Keuangan ini dimaksudkan untuk memperbaiki sistem kerja serta pemberian tunjangan kerja kepada pejabat dan pegawai. Dengan adanya peningkatan gaji dan tunjangan yang diterima, para pegawai Departemen Keuangan diharapkan tidak menyalahgunakan wewenang. Pemberian tunjangan ini diberikan dalam bentuk tunjangan khusus pembinaan keuangan negara (TKPKN).

Permasalahan di Tubuh Dirjen Bea dan Cukai
Saat ini Bea dan Cukai sedang menghadapi berbagai masalah dan membutuhkan sebuah perbaikan yang amat segera dan mendesak demi meningkatkan iklim berusaha di Indonesia. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah pertama, adanya ekonomi biaya tinggi yang terjadi di lingkungan ini bagi para pengguna jasa. Hal itu terjadi karena ketidakprimaan dan tidak transparannya pelayanan yang dilakukan Bea dan Cukai. Bea dan Cukai juga dianggap tidak melaksanakan good government governance atau tata kelola pemerintahan yang baik.
Kedua, dalam melakukan penegakan hukum, masih terjadi diskriminasi terhadap perlakuan penegakan hukum, hal ini terjadi biasanya karena kedekatan seorang eksportir atau importir kepada pegawai maupun pejabat dirjen ini. Ketiga, masalah integritas dan kode etik yang ada di Dirjen Bea dan Cukai yang belum tertanam dengan baik di tubuh para pegawai dan pejabatnya.
Keempat, masalah manajemen yang buruk sehingga dirasa pengelolaan dirjen ini dinilai menghambat iklim berusaha di Indonesia karena segala kesulitan dalam melakukan ekspor maupun impor barang biasanya terjadi di lingkungan ini.

Reformasi di Tubuh Dirjen Bea dan Cukai
Melihat hal-hal yang memang dibutuhkan segera perbaikan, Dirjen Bea dan Cukai mencoba melakukan reformasi di bidang kepabeanan dan cukai. Salah satunya dengan membentuk Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Utama (KPU) di Tanjung Priok dan Batam. KPU sendiri merupakan kantor pelayanan Ditjen Bea dan Cukai yang dijanjikan akan memberi layanan prima kepada pengguna jasa kepabeanan dan cukai. KPU akan memberikan pelayanan kepabeanan dan cukai yang cepat, efisien, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan pengguna jasa. Dengan pembaruan sistem pelayanan dan pengawasan yang didukung integritas pegawai yang tinggi, kantor pelayanan utama ini diharapkan mampu menjalankan fungsi pengawasan dengan lebih efektif. Selain itu juga, para pengusaha membutuhkan adanya sebuah unit one stop service, call center atau call information dalam KPU ini. Unit tersebut nantinya akan menjadi front desk yang paling utama untuk bisa memberikan segala informasi pada pengguna jasa. Sebab, pada dasarnya pengguna jasa tidak mau menyalahi peraturan.
Selain itu salah satu cara lain untuk meningkatkan pelayanan dibidang kepabeanan dan cukai diperlukan SDM yang mumpuni, untuk itu di perlukan sebuah ujian saringan yang ketat agar hanya pegawai-pegawai yang berkompetenlah yang dapat mengisi posisi-posisi yang diperlukan. Memperoleh SDM yang sesuai dengan kriteria yang diharapkan adalah melakukan seleksi secara objektif dan transparan. Tes itu diperlukan agar Ditjen Bea dan Cukai bisa diisi SDM yang profesional dan berintegritas tinggi. Beberapa karakteristik SDM yang seharusnya bekerja di Ditjen Bea dan Cukai adalah memiliki integritas yang tinggi, paham dan taat kode etik dan perilaku Ditjen Bea dan Cukai, serta memiliki pengetahuan dan kemampuan teknis di bidangnya.

Simpulan
Berbagai langkah yang sedang dilakukan Departemen Keuangan untuk memperbaiki kinerja para pegawainya khususnya dilingkungan Dirjen Bea dan Cukai dengan melakukan reformasi birokrasi memang butuh dukungan dari berbagai pihak khususnya masyarakat, karena tanpa dukungan masyarakat reformasi ini tidak dapat berjalan dengan sebagai mana mestinya.
Bea dan Cukai merupakan pintu gerbang masuk dan keluarnya barang-barang produksi dan hasil produksi dari mupun ke Indonesia. Reformasi ditubuh Dirjen Bea dan Cukai amat dibutuhkan untuk meningkatkan iklim berusaha di Indonesia. Dengan berbagai perbaikan di sektor kepabeanan dan cukai, maka akan mempermudah proses yang dibutuhkan para pengusaha untuk melakukan ekspor maupun impor barang. Berbagai kemudahan ini tentunya akan memberikan kesan nyaman bagi para pengusaha dan investor untuk menanamkan usahanya di Indonesia, sehingga hal ini tentu akan meningkatkan perekonomian negara maupun masyarakat Indonesia.
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: Juli 2008 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates