Sabtu, 14 Februari 2009

KRISIS KEUANGAN GLOBAL
DAN EKONOMI INDONESIA

Departemen Kajian Keilmuan
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran


Krisis keuangan global yang terjadi saat ini, terutama di negara-negara maju, memberikan sebuah tantangan yang amat berat bagi perekonomian Indonesia. Perekonomian global mulai memasuki periode paling kritis dari krisis ekonomi yang berpusat di Amerika Serikat. Untuk meredam krisis, sejumlah negara secara bersama-sama telah atau berencana menggelontorkan paket stimulus fiskal senilai triliunan dollar AS. Suku bunga secara global juga sudah berada di titik terendah sejak beberapa dekade terakhir. Namun, semua itu belum mampu mengangkat ekspektasi positif dan membawa krisis global terus ke dalam jurang.
Keadaan seperti ini terus membangkitkan rasa pesimisme dan ketakutan. Para pekerja ketakutan akan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Pelaku usaha ketakutan kesulitan dalam mendapatkan kredit untuk usahanya. Pemerintah ketakutan terjadinya defisit perdagangan dan merosotnya pertumbuhan ekonomi. Kepercayaan bisnis dan konsumen pun berada pada titik terendah. Sektor keuangan dan perekonomian kini dipenuhi lembaga-lembaga keuangan dan korporasi raksasa yang secara teknis sudah bangkrut dan hidup dari suntikan besar dana pemerintah atau bank sentral.
Kondisi ekonomi global terus memburuk sejak terjadinya krisis kredit macet perumahan di AS tahun 2007 silam. Perekonomian dunia nyaris tak bergerak, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia hanya sekitar 0,5 persen pada tahun 2009. Untuk negara-negara maju diperkirakan akan tumbuh negatif. Pertumbuhan positif terutama disumbangkan oleh perekonomian negara-negara berkembang (emerging markets) yang sangat bergantung pada perdagangan. Dengan volume ekspor global yang diperkirakan mengalami kontraksi 2,8 persen tahun ini dan investasi modal swasta merosot 82 persen tahun lalu, pijakan emerging markets Asia sebagai benteng terakhir perekonomian global juga mulai goyah. Motor penggerak perekonomian Asia seperti Korea, Singapura, Taiwan, Hongkong, dan Jepang saat ini sudah memasuki dalam tahap resesi.

Pecahnya Perekonomian Gelembung Sabun

Sebenarnya telah nampak tanda-tanda bahwa perekonomian AS yang mengalami sebuah laju yang luar biasa cepat di sektor finansialnya suatu saat pasti akan mengalami sebuah koreksi akibat bubble economy yang belebihan. Sektor keuangan telah berkembang sedemikian rupa dengan melupakan sektor ril.
Gelembung itu akhirnya meletus dan menyebabkan sebuah bencana finansial. Pertanda awal dari meletusnya gelembung ini adalah kebangkrutan dari Lehman Brothers dan menyeret AS ke jurang resesi. Selama ini, “peternakan uang” di sektor finansial tidak melulu dikaitkan dengan fundamental perusahaan. Saham-saham di Wallstreet dapat dengan cepat mengalami kondisi bullish karena ada sebuah sentimen positif tanpa adanya peningkatan kinerja laporan keuangan. Semuanya terjadi serba instan sehingga menyebabkan sebuah gelembung sabun yang selalu siap meletus. Gelembung sabun tersebut diyakini bersifat semu, sehingga begitu mengempis selanjutnya perekonomian akan berjalan mendatar seperti halnya Jepang pada tahun 1990-an ketika beberapa bank mengalami krisis.
Dalam kasus bubble economy di AS, tanda-tanda koreksi mulai nampak ketika harga minyak dunia secara terus-menerus dari tahun 2005 mengalami kenaikan yang amat fantastis dari level U$30 per barel menjadi U$147 per barel pada bulan Juli 2008 lalu. Kemudian disusul dengan krisis Subrime Mortgage jilid I pada bulan Juli 2007, jilid II pada Januari 2008, dan puncaknya pada bulan September 2008.
Secara perlahan-lahan The Fed coba untuk mengawal koreksi ini agar tidak memberikan dampaknya yang terlalu parah dengan melakukan penurunan bunga acuannya sedikit demi sedikit dari sekitar 5 persenan menjadi 2 persen. Langkah ini nampaknya tidak cukup, dibuktikan dengan bangkrutnya Lehman Brother. Tanpa bantuan berupa dana talangan dari pemerintah, Lehman nampaknya tidak sanggup lagi berdiri. Terlalu fatal akibatnya bila membangkrutkan perusahaan investasi sebesar Lehman tanpa memberi bailout sepeser pun. Hal ini kemudian yang memicu terjadinya ketidakpercayaan di pasar.
Dapat kita lihat ketidakpercayaan pasar telah menghancurkan pasar modal di seluruh dunia. Ini merupakan imbas dari ambruknya bursa AS. Dow Jones sebagai salah satu indeks terpenting AS sempat anjlok di bawah level 8.000, dibawah level psikologisnya di 10.000.
Telah kita ketahui saat ini Amerika Serikat sedang berada di ambang kehancuran financial sebagai imbas dari krisis ekonomi. Trauma akan krisis ekonomi di tahun 1929 yang sering disebut Great Depression kembali menghantui. Pada saat itu dampak krisis itu menasional bagi rakyat Amerika Serikat, seperti kesulitan keuangan karena lapangan pekerjaan sedikit hingga kelaparan.
Seperti mengulang kejadian Great Depression, dimana saat ini banyak saham-saham yang menjadi maskot Wall Street berguguran. Apalagi perusahaan sekelas Lehman brothers dan Washington Mutual menyatakan kebangkrutan. Belum lagi raksasa asuransi AIG dan otomotif General Motor yang menyatakan kekeringan likuiditas.
Ekonomi AS saat ini, menurut ekonom terkemuka Joseph Stiglitz, dihadapkan pada krisis likuiditas, krisis solvensi, dan problem makroekonomi sekaligus. Kemerosotan ekonomi sekarang ini nampaknya baru memasuki fase pertama penurunan ekonomi secara tajam yang harus dilalui AS dalam proses penyesuaian yang tak terelakkan sampai harga rumah kembali ke level ekuilibrium dan utang eksesif yang menopang ekonomi AS selama ini teratasi.
Rekapitalisasi perbankan yang akan ditempuh pemerintah sekarang ini juga baru satu tahap dari lima tahap yang harus ditempuh untuk keluar dari krisis finansial. Langkah lainnya, meredam gelombang kebangkrutan dan penyitaan rumah. Selain itu, kebijakan stimulus untuk menggerakkan ekonomi termasuk dengan meningkatkan tunjangan pengangguran serta investasi di infrastruktur dan teknologi.
Langkah lainnya adalah memulihkan kepercayaan pasar melalui perbaikan regulasi pasar finansial serta membentuk badan multilateral yang efektif untuk mengawasi jalannya sistem finansial global

Resesi Dunia dan Perekonomian Indonesia

Dampak dari krisis finansial dunia nampaknya belum begitu nyata terlihat di Indonesia, bahkan hingga Triwulan III/2008 pertumbuhan ekonomi Indonesia saja masih dapat mencapai 6,1 persen. Dampak krisis ini nampaknya baru mulei terasa pada Triwulan I/2009.
Namun dampak dari capital fligth lah yang akan benar-benar terasa. Nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot dan sempat menembus level psikologis di Rp 12.000, telah menyebabkan kepanikan pasar, Bank Indonesia, dan Pemerintah yang luar biasa (walaupun pihak BI dan Pemerintah dalam siaran persnya selalu mengatakan bahwa mereka tidak panik, dan berusaha selalu tenang). Kepanikan ini jelas-jelas nyata, nampak terjadinya irasionalisasi di pasar. Para investor asing terus-menurus membuang portofolio mereka ke pasar, investor domestik juga yang ikut membuang portofolio mereka. Belum lagi terjadinya force sell transaksi marjin para nasabah anggota bursa dan akibat aksi short selling banyak investor turut membuat anjlok bursa Indonesia, bahkan IHSG hampir menyentuh level support kuat yang merupakan level psikologis sebesar 1.000.
Langkah kepanikan BI terlihat jelas ketika seluruh bank sentral di dunia menurunkan tingkat suku bunganya, Bank Indonesia malah sebaliknya. Bank Indonesia seolah-olah takut terjadinya rush di perbankan yang akhirnya menaikan tingkat suku bunga acuannya. Belum lagi pemerintah yang buru-buru menaikan nilai penjaminan simpanan para nasabah dari Rp. 100 juta menjadi Rp. 2 miliar, jelas nampak kepanikan dari BI dan Pemerintah.
Sebenarnya langkah ini dinilai sudah cukup tepat, namun sayangnya langkah tersebut belum cukup dapat menahan kejatuhan rupiah. Diyakini oleh banyak ekonom bahwa rupiah sedang mencari sebuah keseimbangan baru, dimana pada saat sebelumnya di level Rp. 9.300an per U$, rupiah telah mengalami overvalued sehingga perlu mengalami sebuah koreksi berupa depresiasi nilai. Hal ini disebabkan karena selama ini surplus perdagangan kita terus melemah, masyarkat menjadi hobi mengkonsumsi produk impor karena murah. Angka inflasi yang terus membengkak hingga 12 persen pula yang membuat orang lebih memilih untuk menyimpan uangnya dalam bentuk dolar.
Program bailout dan stimulus ekonomi yang siap di gelontorkan pemerintah AS senilai lebih dari U$ 800 miliar nantinya akan didanai melalui Treasury bill yang diterbitkan pemerintah AS secara otomatis pula akan menyedot dolar yang berada di luar Amerika untuk kembali masuk ke negara asalnya, hal ini pula lah yang mendorong penguatan nilai dolar di seluruh dunia.
Selain itu, penjaminan simpanan di bank oleh LPS hanya sebesar Rp. 2 miliar per rekening. Menurut data dari LPS, 99 persen rekening berisi dana nasabah kurang dari Rp. 2 miliar sehingga diyakini bahwa langkah pemerintah ini sudah tepat karena melindungi mayoritas nasabah. Tapi bila kita tilik lebih jauh, nampaknya 1 persen nasabah perbankan yang tidak diberi jaminan oleh LPS, memiliki total dana hingga Rp. 600 triliun. Jumlah yang amat besar dan berpotensi dilarikan ke luar negeri. Terlebih lagi negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura dan Hongkong telah menerapkan skema Blanket Guarantee yang menjamin simpanan nasabah hingga 100 persen.
Krisis keuangan global yang terjadi saat ini juga akan lebih terasa dampaknya bagi sektor riil yang mempunyai pangsa pasar ekspor, hal ini disebabkan karena adanya penurunan permintaan luar negeri akan produk Indonesia. Hal ini akan memacu produsen lokal untuk memasarkan produknya dalam negeri. Kita sebagai masyarakat hendaknya turut membantu pemerintah dengan lebih mencintai produk dalam negeri karena dengan menggunakan produk dalam negeri kita dapat membantu perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk dapat berproduksi dan bertahan dalam krisis keuangan saat ini.
Perlu diwaspadai juga akan adanya serbuan barang-barang impor yang menggiurkan karena memiliki harga yang murah. Itu sebenarnya merupakan produk dari negara lain yang tidak laku di pasaran Amerika dan negara-negara maju karena daya beli di negara-negara tersebut telah turun drastis sehingga tidak terserap. Sekali lagi, lebih baik kita menggunakan produk dalam negeri dengan demikian kita juga telah membantu memberi makan bangsa kita sendiri, toh saat ini banyak produk impor yang masuk ke Indonesia seperti makanan yang tidak memenuhi standar bahkan termasuk dalam kategori membahayakan bagi kesehatan orang yang mengkonsumsinya.

Kesimpulan

Perekonomian Indonesia belum terlalu terkena imbas dari krisis finansial global yang menerpa negara-negara maju dengan pusat di AS. Namun ada baiknya bila pemerintah beserta Bank Indonesia terus melakukan upaya jaga-jaga agar bencana finansial ini tidak ikut menerpa Indonesia. Bank Indonesia diharapakan dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong perbankan untuk terus menyalurkan kreditnya ke sektor riil terutama sektor UMKM yang terbukti ampuh melawan krisis pada 1998 lalu. Pemerintah juga harus mengambil andil agar perekonomian berjalan dengan kondusif. Skema blanket guarantee nampaknya perlu juga diterapkan untuk mencegah pelarian dana ke luar negeri. Selain itu, pemerintah sebaiknya tetap dapat menjaga daya beli masyarakat dengan tetap menjaga harga-harga barang tetap stabil.
KRISIS KEUANGAN DAN PENGANGGURAN

Departemen Kajian Keilmuan
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran

Tahun 2009 ini nampaknya akan menjadi tahun yang amat berat bagi perekonomian Indonesia. Selain kondisi politik yang mulai memanas karena akan segera dilaksanakannya pemilihan umum legislatif dan presiden, di luar sana juga sedang terjadi bencana ekonomi yang luar biasa. Resesi ekonomi yang melanda AS dan negara-negara maju lainnya terus membayangi dengan awan hitamnya pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Resesi ekonomi yang kini melanda AS dan negara-negara maju lainnya tidak boleh dipandang remeh. Pemerintah harus waspada dan antisipatif, karena resesi ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat dan belahan dunia lainnya, kemungkinan semakin parah sehingga bisa berdampak hebat terhadap kehidupan ekonomi di dalam negeri. Ekonomi Indonesia tahun ini dipandang akan sangat rentan oleh volatilitas eksternal, termasuk resesi ekonomi. Cepat atau lambat resesi ekonomi AS bakal berimbas ke mana-mana, termasuk ke Indonesia.
Saat ini sektor produksi di dalam negeri mulai terguncang oleh imbas situasi ekonomi global. Efek domino krisis ekonomi AS maupun Eropa sangat nyata dan berbahaya, hal ini membuat struktur ekonomi negara-negara maju yang menjadi tujuan ekspor Indonesia menjadi lemah. Ketergantungan Indonesia terhadap impor pun kian besar akibat sektor produksi di dalam negeri gagal karena mandeknya investasi. Perekonomian kita pun semakin rapuh.




Membengkaknya Angka Pengangguran

Krisis finansial global yang berujung pada krisis ekonomi di negara-negara maju, telah memberikan sebuah dampak buruk, salah satunya berupa lonjakan pengangguran yang amat tinggi. Di AS sendiri, dampak krisis mulai menyebar ke seluruh penjuru ekonomi. Pemutusan hubungan kerja masal mulai terjadi, baik di perusahaan swasta maupun pemerintah.
Lima sektor dengan angka PHK terbesar adalah sektor finansial, otomotif, organisasi nirlaba, transportasi, dan sektor ritel. Separuh lebih industri peleburan baja sudah tutup karena anjloknya permintaan. Belanja masyarakat juga terus terpuruk. Pemulihan ekonomi AS dan negara maju lain diperkirakan belum akan terjadi dalam waktu dekat. The Fed dan bank sentral negara maju lainnya telah menurunkan suku bunga antarbank ke titik terendah sejak krisis dot.com tahun 2003 hampir mendekati 0 persen, tetapi perbankan masih enggan menyalurkan kredit ke sektor riil dan masyarakat.
Bagi perekonomian global dan negara berkembang, kondisi seperti ini nampaknya menjadi sebuah badai sekaligus pesan untuk menghadapi kemungkinan resesi berkepanjangan. Sebelumnya, IMF memprediksikan akan terjadi perlambatan ekonomi global beberapa triwulan ke depan. Pemulihan ekonomi baru akan terjadi tahun 2010 dengan pertumbuhan ekonomi global menciut dari 5 persen (2007) menjadi 3,9 persen tahun 2008 dan 3 persen tahun 2009. Di AS sendiri, ekonomi diperkirakan hanya tumbuh 0,1 persen tahun 2009.
Di Indonesia sendiri nampaknya angka pengangguran akan terus membengkak seiring dengan makin memburuknya kondisi ekonomi negara-negara maju sebagai negara tujuan ekspor dan masuknya serbuan barang-barang impor dari negara-negara lain.
Sektor yang diperkirakan akan mengalami PHK yang besar di Indoensia sendiri adalah sektor perkebunan dan pertambangan dan sektor manufaktur. Sektor perkebunan dan pertambangan akan terpukul oleh anjloknya harga-harga komoditas dunia seperti kelapa sawit, kokoa, kopi, timah, nikel, dan sebagainya akibat dari terus turunnya harga minyak dunia. Anjloknya harga komoditas dunia ini membengkakan biaya produksi dari barang-barang komoditas sehingga akan menggerus laba perusahaan-perusahaan dibidang perkebunan dan pertambangan. Rasionalisasi yang paling mudah diambil perusahaan adalah dengan melakukan pengurangan tenaga kerja. Perlu kita ketahui juga bahwa masyarakat Indonesia yang menjadi TKW di Malaysia banyak bekerja di sektor kelapa sawit, maka tidak heran bila arus pengangguran masyarakat Indonesia yang bekerja di luar akan semakin besar juga.
Industri manufaktur nampaknya juga akan mengalami hal yang serupa dengan industri berbasis komoditas. Banyak industri manufaktur mulai tutup karena tidak adanya permintaan. Pabrik pengolahan besi dan baja seperti Krakatau Steel amat terpukul oleh krisis ini karena permintaan besi dan baja juga anjlok. Selain itu, pabrik-pabrik alat berat juga akan mengalami pukulan yang hebat, karena selama ini mereka memasok alat-alat berat untuk perkebunan dan pertambangan yang sedang mengalami kejatuhan juga serta proyek-proyek infrastruktur yang seketika mandeg akibat krisis ini.
Hal yang perlu diwaspadai juga untuk para pekerja di industri keuangan karena dapat terjadi serbuan dari para pekerja di luar negeri yang mempunyai kualifikasi yang amat baik. Bank-bank besar seperti Citigroup, JP Morgan, dan Merril Lynch yang telah melakukan PHK besar-besaran para karyawannya, turut juga melakukan PHK terhadap karyawan-karyawan hebatnya. Inilah yang perlu kita waspadai agar mereka tidak menyerbu Indonesia sehingga masyarakat Indonesia tersingkir dari persaingan dalam mencari pekerjaan dan akan menambah daftar pengangguran rakyat Indonesia.

Stimulus Moneter dan Stimulus Fiskal

Berbagai stimulus perlu segera dikeluarkan baik oleh pemerintah maupun Bank Indonesia agar perekonomian kita dapat memperbaiki dari kerapuhan ekonomi dan tetap tahan terhadap gejolak yang terjadi di luar sana.
Pertama, stimulus moneter harus segera diberikan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia sebaiknya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat membantu meningkatkan penyaluran kredit-kredit ke sektor riil. Para pengusaha berharap tingkat suku bunga BI dapat berada di bawah level 8 persen, mengingat tingkat inflasi yang kini telah dapat terkendali. Dengan kebijakan ini di harapakan perbankan dapat lebih agresif lagi dalam melakukan penyaluran kredit.
Selama ini penyaluran kredit sebagian besar jatuh ke sektor konsumtif yang menjadi sumber kerapuhan ekonomi nasional sebaiknya mulai dibatasi dan kredit tersebut disalurkan kepada sektor riil yang membutuhkan sebaagi kredit investasi atau kredit modal kerja. Selama ini sektor konsumsi kita telah dikuasai oleh asing. Bank Indonesia pun sebaiknya memberikan sedikit kelonggaran dalam aturan pemberian kredit perbankan ke sektor yang selama ini sulit atau bahkan tidak pernah terjangkau oleh kredit perbankan.
Kedua, stimulus fiskal dari pemerintah sebaiknya segera dilaksanakan. Stimulus berupa pengurangan pajak nampaknya dapat meringankan para pengusaha dalam menjalankan produksinya. Di harapakan dengan stimulus ini pengusaha dapat lebih meningkatkan produksinya lagi. Selain itu, pengusaha diharapkan juga dapat meningkatkan kesejahteraan para pegawainya, karena defisit antara pendapatan dan konsumsi para pekerja semakin membesar. Dengan meningkatkan pendapatan pekerja, maka konsumsi masyarakat dapat tetap berjalan dan pabril-pabrik pun dapat tetap berproduksi sehingga PHK dapat ditekan.
Stimulus fiskal lainnya yang paling penting adalah peningkatan kualitas infrastruktur Indonesia. Dengan proyek infrastruktur diharapkan akan banyak menyerap banyak lapangan pekerjaan, selain itu dengan membaiknya infrastruktur di negeri ini, maka para investor pun tidak akan ragu-ragu lagi dalam melakukan investasi uangnya.
Selain stimulus itu, hal lain yang perlu segera dan mendesak dipikirakan pemerintah adalah melakukan diversifikasi tujuan ekspor dan memberlakukan hambatan impor. Ini diharapakan dapat membantu para pengusaha Indonesia untuk tetap dapat bertahan.
Krisis global yang terjadi saat ini bila dibanding krisis pada tahun 1998 lalu nampaknya akan terasa dampaknya lebih berat bagi Indonesia karena bila melihat pada tahun 1998 lalu wilayah yang terkena krisis adalah hanya Asia Tenggara, sedangkan saat ini adalah hampir seluruh dunia. Pada tahun 1998 negara-negara maju tujuan ekspor Indonesia tidak terkena dampak krisis, sehingga perusahaan-perusahaan ekspor dapat tetap berproduksi, sementara saat ini kondisinya jauh lebih parah hampir seluruh negara tujuan ekspor Indonesia telah terkena dampak krisis sehingga seluruh permintaan barang-barang hasil produksi anjlok. Hal ini lah yang harus segera dipikirkan pemerintah untuk segera melakukan diversifikasi ekspor.
Anjloknya permintaan barang ekspor Indonesia akan memaksa para pengusaha memasarkannya di dalam negeri. Karena barang-barang tersebut adalah barang-barang ekspor yang kemudian dikembalikan lagi oleh importir dari negara tujuan ekspor, maka untuk menutup biaya para pengusaha akan menjual barang-barang tersebut lebih tinggi. Hal ini lah yang juga dikawatirkan karena inflasi akan semakin tinggi, syukur-syukur daya beli masyarakat tetap ada. Bila daya beli masyarakat benar-benar anjlok maka banyak perusahaan-perusahaan yang berpotensi akan berhenti berproduksi dan akan semakin menambah panjang daftar pengangguran di negeri ini.

Penutup

Perbaikan ekonomi mutlak harus segera dilakukan disegala sektor agar kita sebagai bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa lain. Perbaikan yang bertujuan pada pengentasan kemiskinan tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan yang berorientasi pasar dan investasi asing seperti selama ini. Kita harus menumbuhkan kekuatan sendiri dalam mengelola ekonomi kita tanpa campur tangan bangsa lain. Pemerintah juga harus terus menggerakkan sektor informal seperti usaha menengah kecil dan mikro karena banyak menyerap tenaga kerja. Usaha mikro, kecil dan menengah harus dilindungi dan diberi stimulus maupun kemudahan agar tetap mampu berkembang karena merekalah salah satu benteng kekuatan ekonomi Indonesia dalam menghadapi krisis global ini.

Senin, 02 Februari 2009

PENGANGGURAN AKIBAT KRISIS GLOBAL

ANALISA PENGANGGURAN DI INDONESIA
AKIBAT KRISIS GLOBAL

Krisis Global dan Bom Waktu

Tahun 2008 telah berlalu,begitu banyak peristiwa besar yang terjadi. Krisis global merupakan salah satu yang terbesar. Dimulai dengan kasus subprime mortgage yang memukul Amerika Serikat, terbongkarnya kebrobokan finansial dunia dan mencapai titik puncak saat jatuhnya harga saham hampir diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Dampak langsung di Indonesia adalah ditariknya investasi hot money di beberapa perusahaan di Indonesia yang menyebabkan perusahaan tersebut colaps. Dampak yang lain adalah menurunnya ekspor Indonesia yang mencapai 20-30%(Replubika,29/01/09) akibat turunnya tingkat konsumsi di negara-negara importir yang terkena dampak krisis tersebut. Namun dampak terbesarnya ternyata masih tersembunyi. Bagai Bom waku yang setiap saat dapat meledak, dampak terbesar dan yang akan paling kita rasakan adalah gelombang pengangguran yang akan melonjak tinggi.
Sistem kontrak dan pesanan yang dipakai dalam perjanjian ekspor impor merupakan salah satu penyebab belum terjadinya pengangguran secara besar-besaran. Kontrak atau pesanan yang memang harus ditepati tentu akan memaksa importir untuk tetap membeli barang impor, dan tentu saja merupakan alasan mengapa perusahaan pengekspor masih memperkerjakan pegawainya. Namun apa jadinya jika kontrak tak lagi diperpanjang akibat daya beli negara pengimpor turun? Tentu saja perusahaan pengekspor mau tak mau harus melakukan PHK terhadap pegawainya. Menurut Depnakertrans sejak September hingga Januari ini tercatat 27,578 orang telah di-PHK, sedangkan 24.817 lainnya terancam untuk di-PHK, sebanyak 11.993 karyawan telah dirumahkan dan 19.191 lainnya kemungkinan besar akan menyusul. Namun jangan lupa, yang tercatat di data ini hanya tenaga kerja yang telah tercatat oleh Depnakertrans, padahal pengangguran paling besar justru akan menimpa pegawai kontrak dan pekerja yang tak tercatat. Namun apakah cuma karena sistem kontrak saja sehingga gelombang pengangguran masih belum terasa signifikan? Kemungkinan besar peran politik juga cukup berperan dalam meredam arus pengangguran tsb. 2009 adalah tahun pemilu dan tentu saja para elite politik berusaha untuk tetap menjaga stabilitas sosial ekonomi agar pesta demokrasi yang akan digelar tetap berjalan dengan baik sekaligus menjadikannya alat politik untuk menjaga pamor mereka. Namun apakah peredaman ini akan berdampak baik? Dikhawatirkan dengan peredaman ini justru menjadi bom waktu, karena perusahaan dipaksa untuk tetap memperkerjakan karyawannya walaupun sebenarnya keadaan mengharuskan untuk bertindak sebaliknya. Berbagai cara telah ditempuh oleh perusahaan untuk menghindari PHK karyawannya, antara lain pengurangan jam kerja, penghapusan lembur, hingga lay off karyawannya. Namun jika hal ini tak segera diantipasi atau perekonomian dunia tak kunjung membaik maka mungkin ini akan berdampak serius terhadap stabilitas sosial ekonomi Indonesia.

Tentang Pengangguran

Pengangguran sebenarnya bukan masalah baru di Indonesia. Pengangguran sendiri, adalah suatu kondisi dimana terjadi kelebihan jumlah pekerja yang ditawarkan dibandingkan permintaan. Jenisnya sendiri terbagi menjadi pengangguran friksional, struktural, siklis,dan musiman.Dan kondisi pengangguran yang akan kita alami adalah pengangguran siklis. Karena pengangguran ini disebabkan adanya imbas dari naik turunnya kondisi ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah dari penawaran. Memang selalu tejadi trade-off antara pengangguran dengan tingkat inflasi, seperti yang tergambarkan jelas dalam Kurva Philip. Dimana saat angka pengangguran ingin diturunkan, angka tingkat inflasi akan meninggi,dan begitupun sebaliknya, disaat kita ingin menurunkan tingkat inflasi , angka pengangguran menjadi tinggi. Diperlukan keadaan equilibrium yang sesuai antara kedua trade-off di atas, dan tentu saja krisis global ini akan mengganggu kestabilan kurva tersebut. Selain itu di Indonesia sendiri terjadi miss antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, ketidak mix and match-nya tenaga kerja dengan pendidikan. Misalnya saja, perusahaan banyak membutuhkan tenaga ahli yang bergerak dibidang mesin namun justru lebih banyak orang memilih untuk belajar ilmu kedokteran atau ekonomi yang realitanya, di kota-kota besar telah terjadi surplus tenaga kerja dalam bidang tersebut. Paradigma-paradigma seperti inilah yang harusnya diubah dan lebih diarahakan oleh pemerintah.

Sektor yang Terpukul

Menurut Apindo DKI, dalam beberapa bulan terakhir ini sektor yang paling banyak melakukan PHK adalah industri otomotif, elektronik dan perhotelan. Namun kami perkirakan bahwa industri kerajinan dan mebel yang konsumennya adalah masyarakat luar negeri khususnya Amerika Serikat-lah yang paling banyak akan melakukan PHK. Selain itu pegawai industri inilah yang paling rawan terhadap PHK karena kebanyakan adalah pegawai kontrak Padahal jenis industri ini adalah UMKM yang sangat penting dalam menunjang perekonomian masyarakat kecil sekaligus industri yang banyak menyerap tenaga kerja. Namun ternyata UMKM jugalah yang paling resist terhadap dampak dari krisis global. UMKM khususnya yang bergerak di tingkat lokal tidak akan terpengaruh oleh carut-marutnya stock-exchange di dunia, tidak akan terpengaruh oleh menurunnya impor dari negara lain, dan tentu saja tak terpengaruh oleh intervensi politik.

Solusi

Solusi untuk menanggulangi dan mengantisipasi pengangguran ini tak lain harus dengan memberikan stimulus bagi dunia usaha, sehingga dapat menyerap tenaga kerja dan mencegah adanya PHK. Peningkatan investasi dan tingkat konsumsi yang produktif harus maju beriringan sehingga produksi dapat meningkat. Kebijakan-kebijakan pemerintah juga harus mendukung baik kebijakan dalam maupun luar negeri.
Beberapa kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia perlu diacungi jempol. Penurunan BI-Rate bertahap hingga mencapai angka 8.75 % adalah keputusan strategis yang tepat, karena akan menjadi stimulus bagi pasar untuk meningkatkan tingkat konsumsi dan mendorong iklim usaha yang kondusif. Moment penurunan BI-rate ini juga cukup tepat mengingat tingkat inflasi Indonesia saat ini yang relatif rendah. Terlepas dari berbagai pro-kontra, penurunan harga BBM juga membantu perusahaan mengurangi cost of production-nya sehingga keuntungan yang diperoleh dapat untuk menjaga kelangsungan kerja karyawannya. Pemerintah juga berencana menaikkan anggaran penanggulangan pengangguran dari 1.1 Triliun menjadi 1.2 Triliun(Replubika 29/01/09), namun belum terealisasi karena harus menunggu persetujuan DPR.
Solusi yang dapat ditawarkan adalah Diversivikasi negara tujuan ekspor. Selama ini kita terfokus untuk melakukan ekspor ke Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, sedangkan negara-negara lain kurang mendapat perhatian. Karena itu perlu adanya diversivikasi terhadap negara tujuan ekspor sehingga kekacauan perekonomian yang melanda suatu negara tak akan berdampak terlalu besar terhadap negara kita (ingat falsafah Manajemen Keuangan,”jangan menaruh telur dalam satu keranjang”). Beberapa negara seperti Arab Saudi merupakan salah satu pasar yang potensial bagi ekspor kita, namun tetap saja perlu penelitian serta pengkajian lebih lanjut mengenai negara tujuan ekspor yang lain.
Beberapa stimulus ekonomi seperti penurunan tingkat pajak tentu akan menjadi angin segar bagi dunia industri, namun hal ini juga perlu diimbangi dengan kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, reformasi sistem pajak tentu akan membantu . Jadi tingkat pajak turun namun secara kuantitas naik, sehingga pemerintah tidak akan mengalami penurunan penerimaan dan jika berhasil justru akan meningkatkan penerimaan. Dengan penerimaan yang tinggi dan belanja pemerintah yang diarahkan ke sektor yang produktif tentu akan mengakselerasi laju perekonomian.
Perbaikan dan reformasi sistem birokrasi tak dapat dielakkan jika ingin iklim usaha dapat kondusif. Pemerintah harus menjadi mitra usaha dan stakeholder yang baik bagi pebisnis. Perbaikan pelayanan birokrasi dan mempermudah perizinan usaha adalah salah satu langkah konkret yang dapat mulai dijalankan. Pemberantasan korupsi dan stabilitas ketersediaan energi juga merupakan hal-hal yang harus segera dibenahi.
Penguatan industri kebutuhan primer terutama pertanian juga salah satu sarana untuk menjamin ketahanan perekonomian Indonesia dari gejolak ekonomi dunia. Karena industri inilah yang paling tahan terhadap naik turunnya demand , kebutuhan primer bersifat inelastis sehingga turunnya tingkat konsumsi di negara importir tak akan terlalu berpengaruh karena mereka tetap akan mengimpor kebutuhan pokok dari Indonesia. Pengembangan sektor riil dan UMKM tentu juga akan membantu mengatasi pengangguran. Namun yang terpenting adalah kerjasama dari semua pihak, tanpa kerjasama hal-hal diatas akan sulit diwujudkan dan pengangguran tak dapat dielakkan. Semoga Indonesia dapat terhindar dari krisis ini dan tingkat pengangguran dapat ditekan serendah mungkin.

Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: Februari 2009 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates