Minggu, 29 Maret 2009

Eksistensi Pasar Tradisional Di Tengah Gempuran Ritel Modern

Eksistensi Pasar Tradisional Di Tengah Gempuran Ritel Modern

Menjamurnya peritel – peritel besar di berbagai kota di Indonesia benar – benar membuat para pelaku usaha di pasar tradisional kalang kabut. Peritel modern yang umumnya menyediakan kebutuhan pokok hingga kebutuhan elektronik ini mulai menggerus keberadaan pasar tradisional. Bahkan, omzet penjualan pasar tradisional di kota Bandung turun hingga 60 %. Tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti pasar tradisional akan benar – benar punah apabila perkembangan ritel modern tidak dibendung oleh kebijakan pemerintah. Lebih dahsyatnya lagi, ritel – ritel modern kini hadir sangat dekat dengan pasar tradisional seperti Alfamart dan Indomaret. Ritel – ritel tersebut juga membidik konsumen kalangan menengah ke bawah untuk berbelanja di outlet mereka.
Kalangan skeptis mengemukakan pendapat jika pasar tradisional tidak akan punah di Indonesia. Banyak penduduk di desa – desa hingga kota – kota kecil yang akan setia berbelanja di pasar. Penduduk di desa – desa hingga kota – kota kecil memiliki daya beli yang rendah. Sedangkan harga kebutuhan pokok utama mereka seperti sayur mayur ataupun ikan segar di ritel modern masih tergolong mahal dan tidak terjangkau. Selain itu, budaya tawar menawar dalam berbelanja di Indonesia juga tidak akan bisa ditemui di ritel modern. Padahal ibu – ibu di Indonesia gemar sekali untuk menawar. Maka kalangan skeptis 100 % percaya bahwa pasar tradisional tidak akan pernah punah di Indonesia.
Lebih baik mencegah daripada mengobati. Di dunia ini memang tidak ada yang tidak mungkin. Jadi bisa –bisa saja suatu saat nanti pasar tradisional di Indonesia akan punah ditelan oleh waktu. Senjata yang diperlukan untuk menyelamatkan pasar tradisional dari kepunahan hanya ada dua, yaitu peraturan pemerintah tentang perlindungan pasar tradisional dan perubahan dari pasar tradisional itu sendiri. Dua senjata pamungkas itu dijamin akan mengembalikan kejayaan pasar tradisional di Indonesia seperti puluhan tahun yang lalu di mana peritel modern belum memasuki atmosfer persaingan bisnis. Kita tidak ingin melihat jutaan orang menjadi pengangguran gara – gara pasar tradisional tempat mereka mencari nafkah punah ditinggalkan oleh pembeli yang beralih berbelanja ke ritel modern.
Dalam UU nomor 5 tahun 1999 disebutkan bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau usaha jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi pasar yang wajar. Undang - undang ini menjadi benteng utama dalam membentengi kepunahan pasar tradisional dari praktik monopoli ritel-ritel modern yang semakin merajalela. Harga-harga barang kebutuhan pokok di ritel-ritel modern yang terkadang sangat murah juga mulai dilarang sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat 1 UU nomor 5 tahun 1999 yang berbunyi pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Perda juga mempunyai andil penting dalam melindungi pasar tradisional. Setiap pemerintah daerah harus berani menolak suap dari para developer yang akan membangun ritel modern di sekitar pasar tradisional. Berbagai Perda ampuh yang harus diterapkan untuk membombardir ritel modern adalah :
1. Setiap ritel modern yang memiliki luas 1 – 200 m2 harus berada minimal 200 m dari lokasi pasar tradisional. Ritel modern ini digolongkan sebagai minimarket dimana jumlahnya maksimal 1 unit di kota kecil, 2 unit di kota besar, dan 3 unit di kota metropolitan per kelurahan.
2. Setiap ritel modern yang memiliki luas 201 – 1.000 m2 harus berada minimal 400 m dari lokasi pasar tradisional. Ritel modern ini digolongkan sebagai supermarket dimana jumlahnya maksimal 1 unit di kota kecil, 3 unit di kota besar, dan 5 unit di kota metropolitan per kecamatan.
3. Setiap ritel modern yang memiliki luas > 1.001 m2 harus berada minimal 1 km dari lokasi pasar tradisional. Ritel modern ini digolongkan sebagai hypermarket dimana jumlahnya maksimal 1 unit di kota kecil, 3 unit di kota besar, dan 5 unit di kota metropolitan per kota / kota bagian.
Perda ini dijamin maknyus melindungi keeksistensian pasar tradisional. Masyarakat juga harus berani menyegel hingga membakar apabila ada ritel modern yang akan berdiri di dikat pasar tradisional. Kembali lagi, pasar tradisional Indonesia yang melindungi ya orang-orang Indonesia itu sendiri. Bahkan di Mesir, mal-mal berada belasan kilometer dari pasar tradisional. Peraturan yang dibuat Pemerintah Mesir dalam memproteksi pasar tradisional ini perlu ditiru oleh Pemerintah Indonesia.
Sudah saatnya pasar tradisional di Indonesia berbenah diri mulai dari infrastruktur hingga pelayanan. Masyarakat kota yang mengutamakan kenyamanan dalam berbelanja juga harus merasakan kenyamanan dalm berbelanja di pasar tradisional. Para pemerintah daerah maupun pihak swasta harus memberikan kontribusi dalam perubahan pasar tradisional ini. Pemerintah harus mengeluarkan jurus-jurus jitu untuk mengembalikan minat masyarakat agar kembali berbelanja di pasar tradisional. Beberapa langkah yang dapat ditempuh pemerintah kota / daerah untuk mengembalikan keeksistensian pasar tradisional adalah :
1. Merenovasi bangunan pasar tradisional seperti mengganti lantai yang kotor dengan keramik, mengecat bangunan pasar tradisional agar terlihat menarik, dan memperbaiki kamar mandi sehingga menjadi bersih. Dana renovasi diambil dari APBD dan sumbangan pemerintah provinsi / pusat.
2. Menata pedagang-pedagang yang ada di dalam pasar sesuai barang dagangan mereka. Jadi ada zona-zona tersendiri seperti zona sayur mayur, zona ikan laut, zona daging-dagingan, zona kue basah, dan zona kebutuhan dapur. Penataan ini membuat para pembeli di pasar tradisional tidak kebingungan mencari kebutuhan mereka.
3. Melatih para pedagang pasar tradisional agar menjaga kebersihan pasar. Pedagang pasar harus membuang sampah dagangan pada tempat sampah yang telah disediakan. Menyapu dan mengepel bedak mereka setiap kali akan menutupnya.
4. Membentuk tim pembersih pasar yang terdiri atas pasukan kuning. Tim ini bertugas untuk membersihkan pasar sekali dalam seminggu. Tim ini membersihkan lantai, bedak, kios, hingga kamar mandi yang ada di dalam pasar sehingga pembeli merasa nyaman ketika berbelanja di pasar.
5. Membentuk tim keamanan pasar yang terdiri atas hansip atau kamra. Tim ini bertugas untuk menjaga keamanan pasar seperti memberantas preman dan anak jalanan sehingga pembeli merasa aman ketika berbelanja di pasar.
6. Mengombinasikan pasar tradisional dengan pasar wisata. Jadi pasar tradisional juga menjual suvenir – suvenir atau oleh – oleh khas daerah tersebut. Pasar wisata tradisional ini juga menjadi sarana pariwisata Indonesia.
7. Mengadakan even – even menarik di pasar – pasar tradisional seperti goyang dangdut grebek pasar atau demo memasak gratis di pasar-pasar tradisional sehingga menarik banyak perhatian masyarakat untuk berbelanja di pasar tradisional.
8. Menginstruksikan kepada semua sekolah di Indonesia agar mengajak murid-muridnya berbelanja atau mengadakan penelitian di pasar tradisional. Kebiasaan untuk berkecimpung di pasar biasanya akan menimbulkan kecintaan terhadap pasar itu.
9. Melarang berdirinya ritel –ritel mini modern yang beroperasi di sekitar pasar tradisional seperti Alfamart, Indomaret, Circle K, Giant Supermarket, dan Carrefour Express. Pemerintah harus berani menyegel ritel-ritel mini modern yang mendirikan tempat usaha di sekitar pasar tradisional.
Niscaya dengan adanya berbagai langkah proteksi dari pemerintah dan masyarakat, pasar tradisional akan tetap eksis seperti sediakala. Kita ingin melihat pasar-pasar tradisional di Indonesia menjadi bersih dan nyaman. Kita masih ingin melihat anak-cucu kita merasakan berbelanja di pasar tradisional. Harapan besar yang digantungkan oleh penulis adalah pasar tradisional menjadi tuan rumah tempat berbelanja di negerinya sendiri. Sejarah pasar tradisional selama ratusan tahun tidak boleh lenyap begitu saja oleh gempuran ritel modern yang tak kenal ampun.


Oleh :
GUSTI RENDI OKTAVIANO B.
Dept. SOSPOL BEM FE UB

PASAR TRADISIONAL, RIWAYATMU KINI...

Fatma Rosyida Azhari
0810233016

Pasar tradisional merupakan sentra kehidupan ekonomi masyarakat Indonesia, tumbuh dan berkembang baik di desa maupun di kota seiring perkembangan masyarakat. Pasar tradisional sendiri merupakan simbolisasi dari kemandirian rakyat karena bertahun-tahun pasar tradisional menjadi tempat transaksi jual beli dan srana bagi berkembangnya ekonomi rakyat. Di sana bergabunglah segala elemen masyarakat yang tergabung dalam transaksi jual beli.
Namun dewasa ini keberadaan pasar tradisional mulai terancam dengan adanya retail-retail besar maupun kecil yang lebih modern dan nyaman. Patut diakui pasar modern memiliki keunggulan di tengah masyarakat yang berkarakter manja, hedonis, dan serba instan. Pasar ini melakukan penjualan barang-barang kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sembilan bahan pokok secara eceran dan langsung kepada konsumen akhir. Pembeli dimanjakan dengan harga barang yang menarik, kemasan rapi, jenis barang lengkap, situasi yang bersih dan nyaman, petugas layanan yang ramah dan menarik menyebabkan pasar ini selain menjadi sebuah one stop shopping juga menjadi tempat wisata keluarga yang murah dan menyenangkan. Konsumen datang ke pasar modern untuk membeli semua kebutuhan, sekaligus dengan gengsinya.
Pasar ini tidak saja memenuhi kebutuhan konsumen, tapi dia juga menciptakan kebutuhan. Banyak barang yang tidak dikenal sebelumnya, dan tidak menjadi kebutuhan, akhirnya dibeli karena penyajiannya menimbulkan selera konsumen. Diketahui sebanyak 85 persen konsumen berbelanja secara impuls. Dalam artian, keinginan membeli timbul akibat rangsangan atau gerak hati yang muncul secara tiba-tiba setelah melihat barang yang dijajakan tanpa pertimbangan masak.
Dari aspek harga pun pasar modern kadang-kadang diopinikan lebih murah daripada harga barang di pasar tradisional. Dengan strategi subsidi silang, membuat harga suatu jenis barang lebih murah, namun harga barang lain jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga di pasar tradisional. Selain itu harga beli juga bisa ditekan karena keunggulan dapat membeli dalam jumlah besar, dan biaya stok minimum dengan bantuan teknologi informasi.
Tanpa disadari kemanjaan dan kenyamanan itu harus dibayar mahal karena terjadinya penyedotan uang ke luar. Ritel-ritel modern tersebut pada umumnya milik asing, misalnya Makro, Carrefour, Giant, Goro , Indogrosir, Clubstore. Bahkan sekelas Indomaret yang mulai merembet ke lingkungan lebih kecil juga milik pemodal Singapura. Sementara pemain lokal, yakni Alfa Gudang Rabat juga dimasukkan dalam kriteria ini meski ukuran tokonya lebih kecil (semihiper), tetapi keanekaragaman barang yang dijual sama dengan hipermarket. Maka dapat dipastikan merembaknya pasar modern akan seiring dengan mengalirnya modal ke luar (capital outflow), atau setidak-tidaknya akan terjadi backwash effect dari daerah ke pusat.
Harus diakui bahwa masuknya investor atau pengusaha asing ke dalam perekonomian kita sulit dihindari, sebagai akibat komitmen kita terhadap globalisasi. Tapi seyogyanya tetap terkontrol. Di Singapura, misalnya, cuma ada satu outlet Carrefour, tapi di Jakarta, ada lebih 50 outlet pasar modern, baik hipermarket maupun supermarket. Keberadaan mereka jelas mematikan pasar tradisional.
Sementara itu terdapat beberapa alasan bagi kita untuk tetap mempertahankan keberadaan pasar tradisional. Pertama, para pedagang pasar tradisional tidak mungkin melakukan capital outflow. Kedua, Pasar tradisional merupakan tulang punggung perekonomian nasional. Ketiga, pasar tradisional merupakan penyelamat negara pada saat terserang krisis ekonomi seperti sekarang ini. Terbukti di Amerika perekonomian mereka selamat karena masayarakat kembali menghidupkan pasar tradisional.
Tentu saja pengembalian pasar tradisional pada tempatnya diperlukan kerja sama segala pihak dan elemen. Perlu diatur kembali undang-undang dan peraturan yang beredar dimasyarakat, kemudian dipertegas dan dikonsistenkan. Karena yang sering terjadi di lapangan adalah hukum yang berlaku jalan di tempat dan tidak jelas alur serta sanksi bagi yang melanggar sehingga masyarakat tidak lagi percaya dan menghargai hukum yang berlaku. Salah satunya mengenai perizinan bagi ritel yang berlaku seumur hidup tanpa ada jangka waktu. Sehingga memberi kesan bahwa pemberian izin bagi ritel begitu longgar dan mudah. Selain itu, dalam perda tidak dicantumkan pemberian sanksi bagi pelaku pelanggaran aturan. Ini membuktikan pemkot belum tegas untuk mengatur keberadaan pasar tradisional maupun modern. Pasar tradisional perlu berbenah. Tidak lagi erat dengan kesan kumuh, kotor, dan jorok. Seperti banyak pasar tradisional di luar negri yang kini banyak menjadi kawasan wisata. Dirasa perlu untuk melakukan revitalisasi dengan memperbaiki fasilitas yang ada seperti pergantian lantai, perbaikan listrik, dan pemasangan penyejuk udara(AC).
Usaha ini sekali lagi harus didukung dan diperhatikan berbagai elemen masyarakat. Tentu saja kita tidak ingin keberadaan pasar tradisional menjadi kenangan belaka. Pemerintah, pengusaha kecil dan konglomerat yang seringkali berlomba-lomba untuk membangun mall-mall dan pusat perbelanjaan modern lainnya harus merubah paradigma dan lebih memperhatikan nasib rakyat kecil. Bagaimanapun pasar tradisional telah membantu memberdayakan para pengangguran dan memberikan lapangan pekerjaan serta membentuk jiwa-jiwa yang sadar akan perlunya berbisnis dan berinteraksi sekaligus. Dan tentunya menghidupkan pasar tradisional merupakan tugas kita semua.

REFERENSI

1. http://rullyindrawan.wordpress.com/2008/12/02/kebijakan-publik-yang-mengatur-sinergitas-pasar-modern-dan-tradisional/, diakses pada ahad, 22 maret 2009 pukul 15:30 WIB.
2. http://newslinkweb.com/2008/12/23/pasar-tradisional-vs-modern/, diakses pada ahad, 22 maret 2009 pukul 15:40 WIB.
3. http://pr.qiandra.net.id/prprint.php?mib=beritadetail&id=60287, diakses pada ahad, 22 maret 2009 pukul 14.00 WIB.
4. http://metro.vivanews.com/, diakses pada ahad, 22 maret 2009 pukul 14:30 WIB.
5. http://www.rakyatmerdeka.co.id/situsberita/index.php?pilih=lihat5&id=115, diakses pada ahad, 22 maret 2009 pukul 16:02 WIB.
6. http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_perekonomian, diakses pada ahad, 22 maret 2009 pukul 16:12 WIB.

Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Brawijaya

Penulis adalah Staff Dept. Hubungan Masyarakat BEM FE UB

Sabtu, 28 Maret 2009

Efektivitas Stimulus Fiskal

Efektivitas Stimulus Fiskal

Stimulus fiskal merupakan langkah pemerintah Indonesia dalam meredam dampak krisis global yang semakin mengancam perekonomian domestik. Upaya pemberian stimulus dilakukan pemerintah melalui pemberian insentif pajak, pembangunan infrastruktur, dan program pengembangan UKM (PNPM Mandiri). Upaya pemerintah Indonesia memberikan stimulus fiskal merupakan cara untuk mencegah terjadinya perlambatan ekonomi domestik yang semakin memprihatinkan. Pasalnya, krisis global yang melanda membuat sejumlah perusahaan melakukan efisiensi produksi, dan biasanya langkah yang diambil dengan melakukan PHK.

Seiring gelora krisis global yang semakin mendera perekonomian domestik mendorong tingginya angka pengangguran. Artinya perlambatan ekonomi semakin tampak jelas, jika tidak diatasi dengan cepat bukan tidak mungkin resesi akan melanda negeri ini. Untuk itu, pemberian stimulus fiskal merupakan langkah yang harus ditempuh pemerintah Indonesia untuk kembali perekonomian domestik.

Pada dasarnya pemberian insentif melalui stimulus fiskal bertujuan menggiatkan kembali perekonomian domestik yang sedang terpuruk. Namun, dalam pengimplementasinya pemberian stimulus dilakukan dengan beragai cara. Yang difokuskan pada tindakan pendorong dan pencegahan terhadap resesi. Langkah pendorong merupakan langkah untuk menggiatkan perekonomian ditengah badai krisis global. Cara ini ditempuh dengan, (1) menciptakan lapangan kerja baru melalui percepatan pembangunan infrastruktur, (2) melakukan pemberdayaan UKM melalui program PNPM Mandiri, (3) memberikan bantuan-bantuan seperti BLT, BOS, dan memperbesar PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak) bagi karyawan berpendapatan di bawah 5 Juta perbulan.

Sedangkan, langkah preventif digunakan pemerintah untuk mencegah perlambatan perekonomian domestik yang semakin dalam. Artinya pemerintah akan berusaha mencegah terjadinya peningkatan pengangguran massal yang dilakukan sejumlah perusahaan besar. Pemberian stimulus dari pemerintah dimaksudkan agar perusahaan tidak melakukan PHK dalam jumlah besar. Hal itu dapat digambarkan, sebagai berikut; ketika perekonomian lesu maka permintaan akan produksi barang dan jasa akan mengalami penurunan, melihat fenomena itu perusahaan akan merespon untuk melakukan efisiensi, dan langkah yang paling mudah dilakukan dengan melakukan PHK. Untuk mencegah hal itu terjadi maka pemerintah memberikan stimulus fiskal dengan penghapusan pajak usaha, dan pajak bea masuk, cara ini dilakukan agar perusahaan tetap dapat berjalan tanpa pengurangan tenaga kerja secara besar-besaran.

Kedua fokus tesebut yang dilakukan pemerintah ketika stimulus fiskal dilakukan. Dalam membahas stimulus fiskal sebaiknya kita harus mengetahui dahulu esensi pelaksanaan upaya tersebut. Yang akhirnya kita mampu melihat permasalahan secara kritis, sehingga bisa memberikan masukan atau saran terhadap implementasi program tersebut. Kemudian akan memunculkan pertanyaan terkait pelaksanaan, pentingnya, ketepatan, manfaat, dan efisiensi serta efektifitas stimulus fiskal.

Mengapa Stimulus Fiskal Dilakukan?

PDB atau produk domestic bruto merupakan produksi yang dipengaruhi oleh konsumsi masyarakat, belanja pemerintah, investasi, dan ekspor neto yang diukur dalam satuan mata uang (rupiah). Pada dasarnya PDB Indonesia sekitar 70 % ditopang oleh konsumsi masyarakat. Artinya besaran PDB sangat ditentukan oleh seberapa besar tingkat konsumsi masyarakat. Kemudian 30% sisanya ditopang oleh pengeluaran pemerintah investasi, dan ekspor neto. Pola semacam ini menggambarkan bahwa konsumsi sangat berperan dalam PDB Indonesia.
Ditengah krisis global yang melanda terdapat serangan daya beli masyarakat yang tidak hanya dirasakan Indonesia. Serangan semacam ini tergambar dari meningkatnya angka pengangguran, dari PHK sekitar 200 ribu karyawan pada tahun ini. Ketika pengangguran meningkat maka masyarakat yang terkena PHK tidak memiliki pendapatan lagi. Dampaknya konsumsi masyarakat akan menurun drastis. Akibatnya PDB domestik akan mengalami penurunan tajam.
Penurunan PDB akibat daya beli yang turun harus segera diatasi pemerintah agar tidak menimbulkan resesi. Dimana cara yang paling tepat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut dengan memberikan stimulus fiskal. Namun, pelaksanaan program ini harus dilakukan secara tepat agar berdampak positif bagi perekonomian domestik. Untuk itu, stimulus fiskal harus segera dilakukan sebab jika terlambat akan tidak akan berpengaruh terlalu besar bagi perekonomian domestik.

Agar stimulus dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian, pemerintah harus terus memantau pelaksanaannya. Jangan sampai ada penyalahgunaan dana stimulus sehingga program ini tidak tepat sasaran. Dana stimulus yang kuncurkan sekitar 73,3 trilliun bukan angka yang kecil. Maka seharusnya memberi dampak positif bagi perekonomian domestik dengan mampu menjaga pertumbuhan ekonomi pada level tertentu.

Menelaah Kebijakan

Berbagai anggapan negatif mewarnai perhelatan pemberian stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah. Pasalnya, anggaran stimulus yang sebesar 73,3 trilliun sebagian besar di arahkan pada tax saving, yang tidak memiliki pengaruh langsung bagi rakyat. Dimana alokasi dana stimulus meliputi, sebesar 60% atau Rp43 triliun diperuntukkan penghematan pajak. Lebih lanjut, penghematan pajak yang mencakup nilai sebesar Rp43 triliun tersebut terdiri atas; PPh Badan, PPh orang pribadi, dan PTKP (Pendapatan Tidak Kena Pajak).

Sementara itu, 20% dana stimulus fiskal yang diperuntukkan untuk subsidi pajak dan bea masuk bagi dunia usaha atau rumah tangga sasaran (RPS) masih kabur. Dana tersebut diperuntukkan bagi eksplorasi migas dan minyak goreng sebesar Rp3,5 triliun, Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) bahan baku dan barang modal sebesar 2,5 triliun rupiah, PPh Karyawan 6,5 triliun rupiah, dan PPh panas bumi sebesar 0,8 triliun rupiah.

Sedangkan, 20 % sisanya stimulus diperuntukaan bagi stimulus dunia usaha atau lapangan kerja sebesar Rp4,2 triliun, dana sebesar Rp0,6 triliun untuk PNPM, dan Rp12,2 triliun untuk belanja dan pembangunan infrastruktur. Kucuran dana untuk infrastruktur meningkat 2 triliun dari yang sebelumnya hanya 10,2 triliun rupiah. Yang telah disejutu DPR beberapa waktu lalu.
Berdasarkan rincian stimulus di atas jika diperhatikan terdapat pengalokasian dana yang tampak janggal. Apakah terkait dengan kepentingan politik menjelang pemilu legislatif dan presiden mendatang? Atau memang memberikan harapan bagi perekonomian Indonesia yang lebih baik dimasa mendatang? Jika dibandingkan dengan sejumlah negara di dunia yang melakukan stimulus juga sangat kontras perbedaan alokasi dana dalam pemberian stimulus. Jika kita bandingkan dengan banyak Negara lain,misalkan Amerika atau Cina, bahwa pos terbesar yang mereka anggarkan adalah hampir 70% dipergunakan untuk pembelanjaan langsung yang diharapkan berdampak kepada pergerakan ekonomi rakyatnya. Perbedaan keyakinan adalah pilihan, tetapi jangan sampai keyakinan pemerintah Indonesia yang berbeda dengan Negara lain malah membuat Indonesia semakin terpuruk.

Kejanggalan dalam mengalokasikan dana yang dikucurkan menjadi tanda tanya besar, apakah kebijakan yang berbeda dengan negara lainnya bisa lebih efektif? Jika kita telaah lebih mendalam, kondisi saat ini disebabkan oleh lemahnya daya beli masyarakat. Memang seharusnya yang disasar ialah hal yang langsung berhubungan dengan masyarakat, terutama konsumsi. Untuk itu, patut dipertanyakan kebijakan alokasi anggaran stimulus fiskal yang di kucurkan?

Menilai Kebijakan Stimulus Fiskal

Menilai efektivitas dari stimulus fiskal merupakan langkah kritis dalam menelaah kebijakan alokasi anggaran. Konsep dasar yang digunakan untuk menilai stimulus fiskal,yaitu teori Keynes, dan komponen penyokong PDB Indonesia. Mengemanya teori Keynes berawal dari resesi tahun 1930. Di mana Amerika mengalami depresi berat akibatnya angka pengangguran meningkat, produktivitas menurun tajam, dan banyak perusahaan-perusahaan yang gulung tikar. Menurut Keynes, untuk mengatasi resesi tersebut perlu adanya peran pemerintah. Dimana mekanisme pasar tidak bisa mengembalikan keseimbangan yang baru.

Dalam sarannya ekonom asal Inggris tersebut, agar pemerintah Amerika melakukan investasi, dan meningkatkan konsumsi pemerintah. Lalu kemudian intervensi pemerintah untuk menggerakkan perekonomian disebut sebagai stimulus fiskal. Pada masa itu kebijakan stimulus fiskal memang mengedepankan belanja dan investasi dari pemerintah. Yang akhirnya perekonomian Amerika ketika itu berangsur-angsur membaik.

Sedangkan, jika kita melihat data PDB Indonesia sebagian besar atau sekitar 70% disokong oleh sektor konsumsi. Kondisi ini berarti bahwa konsumsi memegang peran penting bagi perekonomian domestik.. Jika dihubungkan dengan teori Keynes maka Indonesia seharusnya menggenjot konsumsi untuk mengatasi krisis global saat ini. Di mana kekuatan konsumsi sangat besar peranannya bagi kemajauan perekonomian Indonesia.

Setelah melihat landasan tersebut, memang menjadi pertanyaan akankah efektif kebijakan stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah dengan alokasi saat ini dapat mendorong perekonomian domestik? Mengingat konsumsi yang menjadi faktor kunci yang membangun perekonomian Indonesia, seharusnya faktor inilah yang seharusnya mendapat porsi besar dalam pemberian stimulus.

Melihat kebijakan alokasi anggaran stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah ada beberapa kritikan dari kebijakan tersebut, yaitu:

1. Alokasi anggaran dana stimulus yang tidak mengarah langsung ke masyarakat
Jika kita lihat data di atas jelas menggambarkan bahwa kebijakan stimulus fiskal tidak tepat mengarah langsung ke masyarakat. Akibatnya masyarakat tidak merasakan damapk positif dari kebijakan tersebut. Seharusnya kebijakan ini lebih mengedepankan pemberdayaan masyarakat. Dengan mendorong unit usaha masyarakat yang padat karya sehingga mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Namun, sayangnya dana stimulus untuk ke arah pemberdayaan masyarakat sangat minim hanya 14%, itu pun sudah termasuk pembangunan infrastruktur yang menelan dana 12,2 triliun, dan PNPM sangat menyedihakan hanya 600 milliar. Mungkinkah akan perekonomian negeri ini akan terdorong jika alokasi stimulus bisa dikatakan tidak tepat?

2. Belum adanya transparansi mengenai pemberian stimulus fiskal
Kebijakan stimulus fiskal yang menelan total dana 73,3% merupakan gambaran besar saja yang akan dilakukan pemerintah. Belum ada transparansi dari pemerintah terkait pengucuran dana tersebut. Dimana hanya ada laporan dan rincian secara umu saja, tidak adanya laporan mengenai alokasi keuangan dari pemberian stimulus. Kelemahan ini yang seharusnya diperbaiki pemerintah. Jangan sampai rakyat dibohongi dengan ketidak tranparansinya pemerintah dalam memberikan stimulus. Sebagai bukti kasus suap yang menyeret anggota DPR RI Abdul Hadi Djamal, terkait stimulus fiskal untuk infrastruktur.

3. Belum ada arahan, sasaran, dan target yang dicapai dari alokasi dana stimulus persektor
Usulan pemerintah dalam pemberian stimulus memang sangat membingungkan. Awalnya pemerintah menjanjikan stimulus mencapai 50triliun rupiah, kemudian berubah menjadi 27 triliun, dan akhirnya kembali membengkak menjadi 73,3 triliun. Hal ini menggambarkan bahwa tim pemantau perekonomian Indonesia belum siap dalam memberikan stimulus. Kondisi ini mencerminkan pemerintah tampak terkesan terburu-buru, tanpa pertimbangan yang matang. Selain itu, arahan, sasaran, dan target stimulus pun belum jelas hingga saat ini. Jika kita rinci lebih dalam seharusnya dari masing-masing komponen stimulus memiliki ketiga indikator tersebut. Hingga saat ini belum ada keterangan jelas dari pemerintah terkait masalah tersebut. Akankah efektif jika arahan, sasaran, dan target dari masing-masing sektor yang diberi stimulus tidak ada? Bagaimana kita bisa menilai berhasil atau tidakkah stimulus yang dilakukan pemerintah?

Ketiga komponen di atas harus menjadi perhatian pemerintah, jangan sampai dana sebesar 73,3 triliun hanya menguap begitu saja. Butuh pembenahan lagi dari pemerintah agar pemberian stimulus fiskal bisa benar-benar efektif. Dengan memperhatikan kepentingan rakyat untuk hidup sejahtera. Akankah Indonesia akan lepas dari jurang krisis dengan stimulus fiskal? Kita bisa memprediksi namun hanya waktu yang bisa menjawab dengan tepat.

Departemen Kajian Strategis
BEM FEB UGM
Yogyakarta 2009

Selasa, 17 Maret 2009

Efektivitas Stimulus Fiskal

Berawal dari krisis finansial di Amerika Serikat, dunia secara global ikut terkena dampak dari resesi negara adidaya tersebut. Resesi Amerika Serikat merupakan efek kumulatif dari pasar finansial yang memang memiliki risiko tinggi, biaya perang Irak dan Afghanistan yang dikeluarkan selama pemerintahan George W. Bush, penumpukan utang nasional hingga 8,98 Trilyun USD, serta program pengurangan pajak korporasi sebesar 1,35 Trilyun ang berakibat berkurangnya pendapat pemerintahan. Hal ini mengakibatkan Amerika mengalami krisis yang luar biasa. Banyak pekerja yang yang di PHK, perusahaan Amerika pun mulai mengurangi produktivitas untuk menekan biaya produksi, bahkan banyak lembaga pembiayaan yang harus bagnkrut dan terpuruk mengharap bantuan stimulus dari pemerintah untuk bertahan. Hal ini menyebabkan efek domino dan berdampak besar bagi negara Eropa dan Asia. Permintaan ekspor dari Amerika otomatis menurun drastis, pasar finansial Eropa dan Asia pun ikut terguncang karena banyak dari mereka berinvetasi dengan surat utang terbitan Amerika. Banyak investor menarik investasinya sehingga likuiditas dana pinjaman di beberapa negara, termasuk Indonesia cukup sulit didapatkan.

Secara global, dampak dari resesi global adalah terpukulnya sektor rill manufaktur. Banyak industri yang kehilangan permintaan dan harus menghentikan produksi sehingga pendapatan pun berkurang. Efeknya adalah pemutusan hubungan kerja para pekerja untuk mengurangi biaya produksi agar indusri tetap bisa bertahan, sehingga banyak orang yang harus kehilangan pendapatan yang berakibatnya turunnya daya beli. Pasar ekspor pun terganggu dengan menurunnya permintaan dari konsumen terbesar, yaitu Amerika. Indonesia sendiri kehilangan permintaannya ekspor dari Amerika. Banyak sektor riil yang terpukul dan terpaksa merumahakan tenaga kerja mereka. Perusahaan swasta pun sudah meminta kepada pemerintah untuk segera menerbitkan stimulus agar industri mereka terselamatkan. Amerika dan beberapa negara di Eropa dan Asia pun sudah mengeluarkan stimulus fiskal untuk menyelamatkan perkonomian. Negara tersebut adalah AS (1,2%), Inggris (1,1%), China (0,6%), Jepang (l,0%), Korea Selatan (0,9%), Australia (1,5%), India (0,9%), Singapura (l,l%), Thailand (1,8%), Malaysia (4,4%), Indonesia (1,4%). Besaran tersebut merupakan presentase dari PDB tiap negara. IMF memang sudah memprediksi bahwa akan ada stimulus fiskal minimal sebesar 2% dari PDB. Menurut data, Malaysia adalah negara yang menyalurkan stimulus fiskal secara presentase. Sebagian besar dari negara-negara diatas menyalurkan dana stimulus untuk program-program kerakyatan yang bertujuan memperluas lapangan kerja dan meningkatkan daya beli masyarakat. Efek yang terasa memang belum sebesar yang dirasakan. Terbukti saat dana bailout Amerika dicairkan, kodisi perekonomian tidak mengalami perubahan signifikan.

Pada 24 Februari 2009, Rapat Kerja Panitia Anggaran DPR menyetujui paket kebijakan stimulus fiskal. Menurut data dari www.indonesia.go.id, paket stimulus tersebut bernilai Rp. 71,3 Trilyun yang akan disalurkan pada kuartal 1 tahun 2009. Alokasi dana tersebut anatara lain untuk :
1. Penghematan pembayaran pajak (tax saving) yakni untuk tarif pajak penghasilan (PPh) badan, orang pribadi, dan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dengan alokasi sebesar Rp43triliun (0,8% dari PDB).
2. Subsidi pajak bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP) kepada dunia usaha dan rumah tangga sasaran (RTS):
1. insentif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk eksplorasi migas
dan minyak goreng Rp3,5 triliun (0,07% dari PDB)
2. Kemudian bea masuk bahan baku dan barang modal Rp2,5 triliun
(0,05% dari PDB)
3. PPh karyawan sebesar Rp6,5triliun(0,12% dari PDB), serta PPh panas
bumi RpO,8 triliun (0,02 % dari PDB).
3. Subsidi dan belanja negara kepada dunia usaha dan lapangan kerja:
1. penurunan harga atau subsidi solar Rp2,8 triliun (0,05% dari PDB)
2. diskon tarif beban puncak untuk industri Rpl,4 triliun (0,03% dari PDB)
3. tambahan belanja infrastruktur Rpl0,2 triliun (0,2% dari PDB)
4. perluasan PNPM RpO,6 triliun (0,01% dari PDB)
Panitia Anggaran juga menyetujui besaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009 meningkat 1 persen dari Produk Domestik Bruto atau Rp 51,3 triliun menjadi 2,4 % dari Produk Domestik Bruto atau Rp 139,5 Trilyun.
Peningkatan defisit anggaran berdasarkan perubahan asumsi makro yaitu penurunan pertumbuhan ekonomi, perubahan nilai tukar, dan penurunan harga minyak.

Kenaikan defisit anggaran tahun ini diantaranya akan dibiayai dari Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran tahun 2008 sebesar Rp 51,3 triliun. Pemerintah berharap simulus ini dapat meningkatkan daya beli masyarakat meningkatkan daya saing, dan daya tahan usaha dan ekspor, serta meningkatkan belanja infrastruktur padat karya. Kadin sebagai perwakilan pengusaha dan dunia industri berharap fokus dari paket stimulus ini adalah untuk penguatan daya beli rakyat, dapat memperkecil potensi pemutusan hubungan kerja dan merealisasikan proyek-proyek infrastruktur yang telah direncanakan.

Untuk kondisi seperti saat ini, stimulus fiskal menjadi salah satu kunci penyelmatan perekonomian, walaupun harus diiringi dengan defisit anggaran, karena kebijakan moneter tidak dapat mmengatasinya, terbukti dengan suku bunga kredit yang tidak kunjung turun sehingga perekonomian cenderung melesu. Alokasi paket stimulus yang dikeluarkan pemerintah tergolong unik, disaat negara lain mengalokasikan dana stimulus untuk meningkatkan perekonomian rakyat, 60% dana stimulus dialokasikan untuk pengurangan pajak. Sepertinya terlihat bahwa pemerintah menggunakan dan stimulus untuk mengurangi cost produksi dengan pengurangan pajak dan meningkatkan daya beli masyarakat, tidak dengan memberikan kredit tapi dengan pengurangan pajak.

Paket stimulus yang disalurkan tergolong besar. Pemerintah seharusnya mengawal penggunaan dana ini dengan sangat ketat agar penyalurannya tepat sasaran, sehingga tujuan yang ingin dicapai dapat terlaksana. Sri Mulyani sendiri telah mengatakan bahwa Bappenas akan memantau penggunaan dana stimulus fiskal, jika terjadi penyalahgunaan, akan diipotong dana alokasinya. Penerbitan paket stimulus akan lebih baik jika disertai sistem pengelolaan anggaran yang baik untuk mendukung penyerapan dana stimulus yang efektif. Industri swasta juga harus distimulus agar pemyerapan tenaga kerja lebih besar. Indonesia berusaha menangani dampak krisis global dengan cara yang sama dengan negara maju, yaitu menciptakan defisit anggaran untuk mendanai paket stimulus fiskal. Permasalahn yang timbul adalah, dalam posisi likuiditas mengering akibat pelarian modal, negara berkembang terpaksa harus bersaing dengan negara maju di pasar keuangan global. Sudah pasti, surat berharga negara berkembang akan kalah bersaing sehingga harus ditawarkan dengan suku bunga yang melambung. Masalah berikutnya adalah sebagai implikasi dari digunakannya Surat Berharga Negara sebagai benchmark bagi pricing dalam obligasi swasta nasional. Ketika perusahaan menerbitkan obligasi baru, sudah pasti yield yang ditawarkan akan berada di atas yield obligasi pemerintah. Artinya, perusahaan swasta pun akan sangat kesulitan untuk mencari dana murah, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dengan demikian, penawaran yield obligasi pemerintah yang sedemikian tinggi akan menghalangi akses swasta terhadap dana murah. Pemerintah harus berpikir cermat agar swasta tidak tersakiti dengan adanya paket stimulus. Pasar domestik sebenarnya merupakan unsur penting untuk mendukung kebangkitan perekonomian. Kini, pasar luar negeri tidak dapat diandalkan, untuk itu pemerintah harus bisa mengalihkan konsumsi masyarakat agar terinsentif untuk mau menggunakan produk dalam negeri. Hal ini akan membuat Indonesia lebih mandiri dan tidak kebakaran jenggot jika terjadi kembali krisis finansial di luar negeri. Permintaan paling tidak akan tetap besar dari dalam negeri dan kondisi perekonomian akan tetap terkendali. Satu hal yang tidak kalah penting adalah agar kebijakan moneter dapat mendukung kebijakan fiskal. Jika suku bunga kredit tetap tinggi, maka masyarakat dan industri masih akan sulit untuk mendapatkan dana murah yang sebenarnya bisa mendukung bangkitnya usaha mereka. Setiap kebijakan pada intinya akan mengalami berbagai macam dampak positif maupun negatif, yang dibutuhkan adalah kecermatan pemerintah untuk mengalokasikan dana dengan tepat dan jangka waktu yang diberikan untuk pengalokasian. Keadaan politik yang muali memanas pun semoga tidak dimanfaatkan oleh pihak tertentu di dalam maupun di luar pemerintahan untuk mengganggu jalannya kemulusan penyalurannya. Sri Mulyani mengatakan mungkin saja akan ada paket stimulus tahap dua jika pada kuartal 1 Rp. 71,3 Trilyun tidak dapat berjalan efektif. Dengan defisit anggaran yang ada kini, dari mana pemerintah akan mendapatkan dana untuk stimulus tahap dua? Mengefektifkan penyaluran dana adalah hal tepat yang harus dilakukan dan tentu saja tetap menyiapkan strategi berikutnya agar perekonomian tetap dapat terkendali.


Departemen Kajian Strategis
BEM Fakultas Ekonomi UI 2009

Kamis, 12 Maret 2009

Tinjauan Kritis Mengenai Paket Stimulus Fiskal terkait dengan UU PPH No. 36 Tahun 2008

Era perdagangan bebas saat ini, menuntut perusahaan-perusahaan untuk bersaing satu sama lain secara global. Persaingan yang sangat ketat tersebut menyebabkan perusahaan untuk terus-menerus melakukan perubahan-perubahan, baik dari segi keuangan maupun dari segi non-keuangan. Dari segi keuangan, perusahaan melakukan earnings management, yang bertujuan untuk meningkatkan laba perusahaan. Adapun dari segi non-keuangan, perusahaan biasa menerapkan Corporate Social Responsibility (CSR) untuk menarik simpati dari pelanggannya. Namun, mengingat adanya krisis global yang melanda perekonomian seluruh dunia pada beberapa tahun ini, membuat banyak perusahaan mengalami gulung tikar. Hal tersebut ditandai dengan anjloknya harga saham perusahaan Lehmann Brothers dan Meyrill Lynch, yang notabene adalah perusahaan raksasa di Amerika Serikat. Amerika Serikat sendiri sebagai negara adikuasa dengan sistem perekonomian yang liberal, menjadi kewalahan dengan adanya krisis ekonomi ini. Pada akhirnya, banyak perusahaan yang semula milik swasta, harus diprivatisasi oleh pemerintah dengan tujuan agar perekonomian Negara tersebut tidak semakin terpuruk.

Indonesia yang merupakan salah satu rekan dagang Amerika Serikat (AS), secara mau tidak mau juga ikut terkena imbas dari krisis ekonomi yang sedang melanda AS. Ekspor Indonesia ke negara tersebut terancam mengalami penurunan secara drastis. Penurunan ekspor ini disebabkan karena menurunnya daya beli masyarakat AS, sehingga permintaan pasar AS akan barang-barang Indonesia, seperti meubelair dan komoditi sandang, juga mengalami penurunan. Pemerintah Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab menjaga kestabilan perekonomian negara pun harus memutar otak agar perekonomian kita tidak ambruk seperti halnya negara AS. Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah Indonesia, salah satunya adalah penurunan tarif pajak penghasilan, baik untuk perseorangan maupun perusahaan.

Dalam artikel ini, penulis ingin membahas PPh badan. Pada UU PPh yang baru, disebutkan bahwa tarif PPh badan adalah 28%. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 17 ayat (1) huruf b. Penerapan tarif 28% ini hanya berlaku sampai dengan bulan Desember 2009, karena pada awal tahun 2010 tarif tersebut akan berubah lagi menjadi 25%. Diharapkan dengan adanya penurunan tarif PPh badan tersebut, pengusaha dapat mengurangi beban pajaknya, sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan. Selain itu, pemerintah berharap agar tarif PPh yang baru ini dapat menjadi stimulus perekonomian yang telah mengalami kelesuan sejak adanya krisis ekonomi global.

Penurunan tarif PPh badan yang baru tersebut merupakan langkah yang cukup bagus dan inovatif yang dilakukan oleh pemerintah. Karena di tengah perekonomian yang perkembangannya mengalami stagnasi ini, pemerintah mampu memberikan solusi yang “sedikit” melegakan bagi pengusaha-pengusaha Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa fasilitas pembebasan PPh 21 dimaksudkan untuk membuat perusahaan berbasis ekspor dan labor intensif atau menyerap tenaga kerja banyak agar bisa bertahan dari terpaan krisis ekonomi global. Penurunan ekspor, baik nilai maupun volume, akan menyebabkan struktur biaya menjadi sangat berat dibandingkan dengan pendapatan perusahaan. PPh 21 diharapkan dapat mengurangi beban dari perusahaan. Kriterianya adalah untuk perusahaan yang memiliki orientasi ekspor dan labor intensif. Pada intinya pemberian intensif pajak juga bertujuan untuk mendukung iklim investasi di Indonesia.

Tetapi tarif PPh badan di Negara kita masih relative tinggi, apabila kita menilik dari tetangga terdekat kita, yaitu Malaysia dan Singapura, di mana masing-masing tarif PPh badan di kedua negeri tersebut adalah 20% dan 18%, walaupun pada awal tahun 2010 nanti akan berubah lagi menjadi 25%. Hal tersebut tentunya menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah Indonesia untuk terus memberikan kebijakan yang lebih dapat menstimulus perekonomian.

Penerapan stimulus fiskal yang diimplementasikan dalam penurunan tariff PPh juga mempunyai dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Dana yang dibutuhkan untuk stimulus fiskal yang disediakan dalam APBN 2009 sedikit membebani belanja Negara, karena mengurangi pendapatan Negara atas pajak. Total dana stimulus fiskal yang disediakan dalam APBN 2009 sebesar Rp71,3 triliun (1,4% PDB). Stimulus fiscal sebesar itu antara lain akan digunakan untuk penghematan pembayaran pajak (tax saving) berupa tarif PPh Badan+Orang Pribadi+PTKP sebesar Rp43 triliun (0,8% PDB). Kemudian untuk subsidi pajak-BM/DTP (Bea Masuk Ditanggung Pemerintah) kepada dunia usaha berupa PPN barang impor EP Migas Pabum, Minyak Goreng, Bahan Bakar Nabati sebesar Rp3,5 triliun (0,07% PDB), Bea Masuk Bahan Baku sebesar Rp2,5 triliun (0,05% PDB), PPh Karyawan sebesar Rp6,5 triliun (0,12% PDB), dan PPh Panas Bumi sebesar RpO,8 triliun (0,02% PDB). Selanjutnya akan digunakan subsidi + belanja negara kepada dunia usaha/lapangan kerja berupa penurunan harga Solar (Subsidi Solar) sebesar Rp2,8 triliun (0,05% PDB), diskon beban puncak Listrik Industri sebesar Rpl,4 triliun (0,03% PDB), tambahan belanja infrastruktur sebesar RplO,2 triliun (0,2% PDB) dan perluasan PNPM sebesar Rp0,6 triliun (0,01% PDB).

Dapat dikatakan pegaruh krisis global, serta langkah-langkah mengatasi imbas krisis dengan kebijakan stimulus fiskal berdampak pada postur APBN 2009. Pertumbuhan ekonomi tahun 2009 diperkirakan lebih rendah 1% di bawah asumsi, dan prognosa indikator ekonomi makro lainnya mengalami deviasi lebih dari 10%. Misalnya pertumbuhan ekonomi tahun 2009 turun 1,3%, dari 6,0% menjadi 4,7%, Nilai Tukar deviasi 17%, dari RpG.400 menjadi Rpll.000 per USD, dan harga Minyak Indonesia (ICP) deviasi 43,7%, dari USD80/barel menjadi USD45/barel.

Stimulus fiskal sebesar Rp 50 triliun yang didapat dari sisa anggaran tahun 2008 sebesar 38 trilun dan cadangan anggaran tahun 2009 sebesar 12 triliun harus diprioritaskan untuk industri manufaktur yang bersifat padat karya; proyek infrastruktur, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di samping itu, stimulus fiskal juga harus dibarengi dengan langkah konkret meningkatkan daya beli masyarakat lewat sejumlah kebijakan, seperti penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate), serta stabilisasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Dalam mengurangi dampak resesi global selain stimulus fiskal bagi perusahaan yang dalam hal ini diwujudkan dengan diterbitkannya UU No. 36 tahun 2008 mengenai PPh, pengaturan impor barang juga harus dilakukan. Pemerintah hendaknya mengurangi impor barang yang bersifat konsumtif agar masyarakat terdorong untuk membeli produk dalam negeri. Sebaliknya impor terhadap barang modal dan bahan-bahan baku ada baiknya dipermudah regulasinya untuk merangsang produksi dalam negeri dan mengurangi PHK.

Kesimpulannya stimulus fiskal yang dilakukan pemerintah harus mampu menggerakkan sektor riil agar tidak terbuang dengan sia-sia. Pergerakkan sektor riil dapat meningkatkan jumlah lapangan kerja yang pada akhirnya akan meningkatkan daya beli masyarakat. Selain menggerakkan sektor riil ada baiknya stimulus fiskal dapat direalisasikan untuk intensif proyek pembangunan infrastruktur yang juga akan menambah lapangan kerja yang cukup besar. Kebijakan lain yang perlu diperhatikan kembali oleh pemerintah adalah meningkatkan propaganda untuk memakai produk dalam negeri serta mencari pangsa pasar baru untuk ekspor Indonesia, selain Amerika Serikat.

Malang, 8 Maret 2008

Disusun oleh :

Annuraf Syeviramuna dan Anina Sukmajati

(Departemen Sosial dan Politik BEM FE UB 2009)

Rabu, 04 Maret 2009

resesi global dan pengaruhnya terhadap pengangguran

kastrat on the move

Genderang kehancuran bertabuh di negeri paman sam, sebuah balada ekonomi yang terakumulasi dari era ke era dan kini meletus bak balon sabun. Sang adidaya pun meringkuk kesakitan dihantam badai krisis keuangan yang kini membawa mereka ke jurang kebangkrutan.

Yang miskin kian terperi, birokrat kini berhenti bermimpi, pialang saham gigit jari, investor bunuh diri dan akhirnya anggaran dikebiri demi memberi stimulus ekonomi.

Begitulah sebuah gambaran catastrophy yang terjadiu7 disana nun jauh di amerika, si negara adidaya yang mencengkram dunia lewat kekuatannya. Krisis ini sebenarnya sudah jauh-jauh hari diprediksi oleh banyak kalangan, akibat tabiat buruk amerika yang kerap bermain-main di sektor fiktif (finansial) tanpa dibarengi dengan peningkatan sektor riil. Puncaknya terjadi ketika konglomerasi besar lehmann bersaudara menemui titik ajal perusahaanya, akibat gelembung ekonomi yang terbangun dari jejaring utang yang menahun.

Tanda-tanda kehancuran ekonomi di amerika sebenarnya telah nampak sejak jauh hari sebulumnya.Masih terngiang ditelinga kita, ketika harga minyak dunia secara terus-menerus dari tahun 2005 mengalami kenaikan yang begitu dramatis dari level U$30 per barel menjadi U$147 per barel pada bulan Juli 2008 lalu.Lantas disusul dengan krisis Subrime Mortgage jilid I pada bulan Juli 2007, jilid II pada Januari 2008, dan puncaknya pada bulan September 2008.Ketika itu dunia perekonomian AS seakan-akan kiamat. Para pekerja ketakutan akan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Pelaku usaha ketakutan kesulitan dalam mendapatkan kredit untuk usahanya. Pemerintah ketakutan terjadinya defisit perdagangan dan merosotnya pertumbuhan ekonomi. Kepercayaan bisnis dan konsumen pun berada pada titik terendah. Sektor keuangan dan perekonomian kini dipenuhi lembaga-lembaga keuangan dan korporasi raksasa yang secara teknis sudah bangkrut dan hidup dari suntikan besar dana pemerintah atau bank sentral.

Pada dasarnya Subprime mortgage merupakan kredit perumahan yang skema pinjamannya telah dimodifikasi sehingga mempermudah kepemilikan rumah oleh orang miskin yang sebenarnya tidak layak mendapat kredit. Tingkat bunga The Fed, sepanjang tahun 2002-2004 yang hanya sekitar 1-1,75 persen, membuat bisnis subprime mortgage dan perumahan booming. Tingginya bunga pinjaman subprime mortgage (pada saat bunga deposito rendah) menarik investor kelas kakap dunia (bank, reksadana, dana pensiun, asuransi) membeli surat utang yang diterbitkan perusahaan subprime mortgage.
Masalah sebenarnya muncul ketika The Fed, mulai Juni 2004, bertahap menaikkan bunga hingga mencapai 5,25 persen pada Agustus 2007, kredit perumahan mulai bermasalah akibat banyaknya nasabah yang gagal bayar. Dampaknya, banyak perusahaan penerbit SM rugi besar karena nasabahnya gagal bayar dan perusahaan SM tidak mampu membayar utang karena tidak dibayar nasabahnya. Terjadi banyak penyitaan rumah (1 dari 10 rumah di Cleveland, AS, dalam kondisi tersita). Investor institusi keuangan yang membeli surat utang SM rugi besar karena surat utangnya hanya bernilai sekitar 20 persen. Akibatnya, harga saham atau nilai aktiva bersih dari investor yang memiliki SM jatuh dan membuat investor rugi besar. Dan untuk menutupi kebutuhan likuiditas, mayoritas investor terpaksa menjual portofolionya, termasuk sahamnya, secara besar-besaran, di seluruh dunia yang mengakibatkan terempasnya pasar modal dunia.
.
Di Indonesia, hal ini mengakibatkan para investor asing tersebut menjual saham-sahamnya di Bursa Efek Indonesia karena mereka membutuhkan uangnya di negara masing-masing. Uang rupiah hasil penjualannya dibelikan dollar, yang mengakibatkan nilai rupiah semakin terpuruk. Menurunnya nilai tukar rupiah mengakibatkan biaya produksi di dalam negeri semakin meningkat karena hampir 70% menggunakan bahan baku impor, yang tentunya dibeli dengan mata uang dollar.
Hal ini akan mengakibatkan menurunnya tingkat produksi, penurunan produksi tentunya mengakibatkan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan, timbulnya pengangguran mengakibatkan daya beli masyarakat semakin menurun, dalam artian tingkat konsumsi menurun. Hal ini diperparah dengan kenaikan harga barang yang disebabkan biaya produksi yang semakin tinggi. Konsumsi menurun berarti tidak ada yang membeli barang-barang produksi yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik yang memperkerjakan buruh-buruh dan akhirnya perusahaan tersebut akan bangkrut.
Secara sederhana sumber pertumbuhan ekonomi suatu negara ditentukan oleh tingkat konsumsi, investasi, belanja pemerintah dan perdagangan luar negeri. Dalam krisis global sekarang ini tentunya pertumbuhan investasi yang diharapkan dari luar negeri maupun dalam negeri tidak bisa kita harapkan, karena penanam modal saat ini dalam posisi untuk survive. Tingkat konsumsi seperti yang telah disampaikan diatas semakin menurun. Perdagangan luar negeri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang bisa digunakan
Selain itu Pemecatan ini juga terjadi pada perusahaan-perusahaan yang terutama bergerak di bidang ekspor-impor, muara nya adalah lagi-lagi pengurangan jumlah pekerja yang berarti bertambahnya jumlah pengangguran.
Banyak perusahaan yang berbasis eksport sudah melakukan PHK ataupun merumahkan pegawainya akibat dari krisis global ini. Belum lagi sektor lain yang mempunyai keterikatan yang tinggi dalam menopang sektor eksport ataupun perusahaan hulu yang juga terkait pada perusahaan ekspor tersebut.Analisis Divisi Vibiz Research unit dari Vibiz Consulting melihat dengan adanya potensi peningkatan pengangguran tersebut maka akan membuat pengangguran meningkat menembus level 10 juta pada tahun ini. Berdasarkan data BPS jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 9,4 juta orang. Dimana komposisinya berdasarkan pendidikan adalah : Dibawah Sekolah Dasar (547 ribu), Sekolah Dasar (2,1 Juta), SMP dan sederajat (1,973 juta), SMA dan sederajat (3,81 juta), Diploma dan sederajat (362 ribu) dan Universitas dan sederajat (600 ribu). Sebagai solusi untuk menahan kenaikan pengangguran, pemerintah diharapkan mengucurkan sejumlah stimulus perekonomian untuk dapat menyerap jumlah pengangguran di Indonesia tahun ini ,namun dengan catatan stimulus yang dikeluarkan difokuskan pada sektor-sektor padat karya. Serta adanya inisiatif untuk mengadakan ekspor ke negara-negara yang relatif lebih aman seperti negara-negara di timur tengah. Hal ini sangat berguna untuk menjaga stabilitas perekonomian dalam negri.
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: Maret 2009 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates