Rabu, 29 April 2009

Hari Libur Nasional Seharga 21,93 triliun

“Pemilu 2009 ini adalah pemilu paling mahal yang pernah diselenggarakan oleh Indonesia.’

Kamis, 9 April lalu, negara besar dengan jumlah penduduk miskin yang melimpah serta pendapatan perkapita sebesar US$1,300 yaitu Indonesia mengadakan sebuah pesta demokrasi yang sangat mewah bahkan lebih mewah dari pesta ulang tahun Sultan Hassanal Bolkiah untuk memilih calon-calon pemimpin bangsa yang dapat menyampaikan aspirasi rakyat. Sebuah pesta dengan biaya besar yang semestinya bisa membangun sebuah kota metropolitan baru dengan fasilitas jalan tol 100%, monorail, dan subway. Benar-benar sebuah prahara memilukan yang mencoreng hati rakyat miskin Indonesia.
Secara logika uang sebesar Rp 145 ribu rupiah bila dibelanjakan akan mendapatkan beberapa barang seperti pulsa, makanan, dan pakaian dapat mendatangkan kepuasan Jika dibandingkan dengan pemilu tahun 2004 lalu, memang pemilu 2009 ini menelan banyak biaya. Bila pemilu tahun lalu “hanya” menghabiskan biaya sekitar Rp 3,5 triliun untuk Pemilu DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD serta Pemilihan Presiden (Pilpres). Maka pada pemilu in biaya melonjak sampai sekitar Rp 21,93 triliun. Menurut ketua KPU, Abdul Hafidz,“tingginya biaya pemilu tersebut terutama disebabkan oleh Perubahan aturan penyelanggaraan Pemilu yang termuat dalam UU 22/2007. Di mana tidak seperti pemilu sebelumnya yang diatur oleh UU 32/2004 tentang penyelenggaran Pemilu tahun 2004.” Berdasarkan peraturan yang baru ini, seluruh biaya pemilu berasal dari APBN, tidak seperti pemilu sebelumnya yang sebagian dananya berasal dari APBD. Untuk sebuah negara dengan ukuran jumlah penduduk sebanyak Indonesia memang biaya untuk pemilu sudah pasti besar, karena banyaknya penduduk yang memiliki hak pilih apalagi dalam kurun waktu lima tahun sudah pasti jumlah pemilih juga bertambah. Biaya logistik pemilu yang meningkat juga menjadi salah satu alasan. Di samping biaya sosialisasi yang tentunya besar karena ada perubahan sistem yang semula “coblos” menjadi “contreng.” Dengan alokasi dana yang begitu besar, seharusnya pemilu ini bisa berjalan lebih baik daripada pemilu sebelumnya. Namun kenyataannya, pemilu ini justru mengalami banyak kemunduran bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Mulai dari DPT yang bermasalah, rendahnya animo masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya, lambatnya jumlah suara yang masuk ke KPU, sampai banyaknya surat suara yang tidak sah. Sebuah bukti bahwa penggunaan dana yang besar ternyata tidak berjalan efektif.
Melihat kenyataan tersebut, tentunya banyak hal yang perlu untuk diperbaiki. Jumlah partai yang terus meningkat dari tiap pemilu yang tadinya hanya 24 kini menjadi 38 untuk nasional dan khusus untuk di Aceh 44 di satu sisi memang menunjukkan kalau kebebasan memang dihargai, tetapi di sisi lain menyebabkan biaya untuk pemilu juga meningkat. Dengan jumlah partai yang sebanyak itu biaya untuk mencetak kertas suara sudah pasti meningkat. Di sini KPU seharusnya lebih selektif dalam menyaring jumlah parpol yang bisa mendaftarkan dirinya dalam pemilu. Sudah terbukti, semakin banyak parpol dan daftar caleg ternyata tidak meningkatkan animo rakyat untuk memilih meningkat, namun justru membuat rakyat bingung dan jenuh sehingga ujung-ujungnya rakyat lebih memilih golput. Jumlah parpol bisa ditekan dengan electoral threshold sebuah system yang diterapkan sebelum pemilu 2004, di mana parpol yang jumlah kursi di DPR kurang dari 2,5% tidak berhak mengikuti pemilu selanjutnya.
Perubahan cara pemilihan dari “coblos” menjadi “contreng” juga menghabiskan banyak biaya untuk sosialisasi. Memang tujuannya untuk memperbaiki ssstem pemilihan. Namun kenyataannya, dengan waktu sosialisasi yang singkat, tidak semua rakyat bisa mengerti perubahan tersebut, dampaknya banyak surat suara yang tidak sah. Perubahan ini juga menyebabkan penghitungan suara menjadi lebih rumit. Dampaknya jumlah suara yang masuk sampai dengan saat ini sangat lambat, ada yang memperkirakan jika jumlah suara yang masuk tetap seperti ini terus, perhitungan baru selesai pada bulan agustus padahal, bulan Juli nanti pilpres sudah harus digelar. Jika ada perubahan seperti ini, mestinya jauh-jauh hari KPU sudah melakukan sosialisasi sehingga rakyat bisa mengerti penerapan sistem baru ini, selain itu biaya sosialisasi juga bisa ditekan.
Dengan biaya pemilu yang begitu besar, seharusnya pemilu 2009 ini bisa menjadi wadah bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya dan berpartisipasi dalam menentukan calon-calon legislativ yang mewakili mereka di pemerintahan karena demokrasi sendiri adalah sebuah sistem pemerintahan rakyat. Bukan sebagai ajang bagi beberapa elit politik untuk berebut kekuasaan. Oleh karena itu, saat ini peran aktif masyarakat sangat diperlukan untuk mengawasi kinerja KPU dan wakil rakyat yang nantinya terpilih. Jangan biarkan dana sebesar Rp 21,93 triliun yang sudah dikeluarkan hanya menjadi dana untuk membuat hari libur nasional.

Darjito Wahyu (Akuntansi 08)
DIVISI KAJIAN STRATEGIS
DEPARTEMEN SOSPOL
BEM FE UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

Rabu, 22 April 2009

High Cost Democracy

”Tiada yang lebih sulit dilakukan, lebih sangsi menuai hasil, dan lebih gawat ditangani, ketimbang memulai suatu perubahan,”
Machiavelli

Kamis 9 april 2009 lalu, genderang pesta pemilihan raya telah ditabuh. Sebuah mekanisme demokratisasi dan pembelajaran pasca reformasi. Ritual ini sudah berlangsung puluhan kali, melahirkan mulai dari pemimpin yang berani hingga tirani, wakil mumpuni hingga yang gemar korupsi. Pahit manis asam asin pemilu telah dikecap oleh bangsa ini, terkadang kekecewaan komulatif membidani lahirnya apatisme, skeptis dan berujung golput. Pada ranah prosedur pemilu merupakan wadah regenerasi, muka-muka baru ,janji-janji baru hingga kaus-kaus partai baru, namun pada substansinya adalah aplikasi demokrasi untuk melahirkan secercah harapan baru bagi pendewasaan politik negri ini. Tidak tanggung-tanggung dana yang dikeluarkan untuk menjalankan prosedur demokrasi ini tergolong fantastis yakni 21,93 triliun, dan melibatkan 117 juta rakyat Indonesia, maka tidak salah jika Indonesia diberi cap sebagai negara paling demokratis (secara prosedural) bahkan melampaui Amerika serikat.
Pemilu adalah manifetasi dari demokrasi, Pemilu adalah indikator yang membuktikan bahwa suatu negara itu demokratis atau tidak. Demokrasi sendiri berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Indonesia sendiri sebelumnya pernah menggelar pemilu yang demokratis pada tahun 1955, 1999, dan 2004. Kini pada tahun 2009 pemilu dilaksanakan kembali. Pemilu 2009 ini jauh berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Dari sisi anggaran, terlihat bahwa pemilu kali ini jauh lebih mahal daripada tahun 2004. Pada tahun ini diperkirakan “ongkos” pemilu sebesar 21,93 triliun Biaya untuk Pemilu 2009 melalui dua tahapan, dalam dua tahun anggaran (2008 dan 2009) mencapai Rp 21,93 triliun atau setara dengan Rp 128 ribu per pemilih atau 13,64 dolar AS, dan hampir tiga kali lipat dari anggaran pada Pemilu 2004 sebesar Rp 45 ribu per pemilih.
Biaya tersebut dikelompokkan untuk biaya rutin sebanyak Rp1,75 triliun atau delapan persen dan biaya tahapan pemilu sebanyak Rp 20,18 trilun atau 92 persen, jauh bila dibandingkan dengan anggaran pemilu tahun 2004 sebesar 13,5 triliun “saja”. Sedangkan di daerah-daerah dana yang dikucurkan tidak kalah fantastis, seperti biaya untuk Pilgub Jawa Timur yang mencapai seperempat pendapatan asli daerah, dan KPUD Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur sampai mengusulkan anggaran Pilkada Rp 20 miliar hampir separo APBD
Kabupaten Pasir Tahun 2005.
Anggaran-anggaran sebesar itu dikarenakan oleh beberapa sebab Pertama, diperkirakan jumlah badan penyelenggara naik sebesar 10% dibandingkan Pemilu 2004. Kedua, honor penyelenggara Pemilu bertambah dengan adanya petugas pemutakhiran data pemilih, sedangkan pada Pemilu 2004 petugas katagori ini tidak ada. Ketiga, biaya sosialisasi bertambah karena sosialisasi dilakukan sampai tingkat PPS (Panitia Pemungutan Suara). Keempat, adanya kebutuhan biaya untuk keperluan pengumuman perolehan jumlah kursi DPR di media massa.
Meskipun demikian, anggaran Pemilu 2009 dapat dihemat dan diefisienkan secara signifikan apabila; pertama, ukuran surat suara diperkecil, kedua, kartu pemilih dan tinta dihilangkan, ketiga, jumlah pemilih per-TPS diperbesar, misalnya menjadi 600 orang per-TPS, keempat, dengan memanfaatkan semaksimal mungkin sisa logistik Pemilu 2004, kelima, memperoleh bantuan dan fasilitas dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Efisiensi seperti ini mutlak dilakukan mengingat negara kita yang masih berkembang dan tidak layak berfoya-foya. Ada sebuah hipotesis kontroversial dari David morris potter, “Demokrasi lebih cocok bagi negara dengan surplus ekonomi dan kurang cocok bagi negara dengan defisit perekonomian.” Upaya memperjuangkan demokrasi dengan ongkos mahal, dalam kondisi paceklik, bisa berujung pada penggalian kuburan demokrasi.
Sejujurnya,demokrasi memang mahal, akan tetapi anggaran dana sebesar itu tidaklah terasa “mahal” apabila KPU bisa memanfaatkannya dengan maksimal dan rakyat pun merasakannya.Carut-marut yang terjadi pada pemilu belakangan ini menjadi indikator bahwa dana tersebut sia-sia. Bayangkan saja, yang menjadi pemenang dalam pemilu 2009 kemarin sebenarnya bukan partai Demokrat atau Golkar atau pun PDI-P, akan tetapi “juara sejati” Pemilu legislatif 2009 adalah PGP, Partai golongan putih. Menurut Wakil Direktur LP3ES Sudar D Atmanto Persentase golput alias tidak menggunakan hak pilihnya di Pemilu legislatif 2009 jumlahnya di atas 30 persen dan menjadi jumlah golput yang tertinggi sepanjang 10 tahun terakhir. Tertinggi sejak Pemilu 1999. Pemilu saat ini angka golputnya 34 persen dibandingkan pemilu 2004 yang lalu sekitar 26 persen. Sedangkan Pemilu 1999 sekitar 20 persen..Persentase tersebut, tidak termasuk pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap. Angka itu hanya mereka yang terdaftar di DPT yang tidak mau datang tapi bisa lebih tinggi lagi kalau ditambah yang tidak masuk DPT. Pemilu sekarang mungkin bisa lebih tinggi, bisa sampai 40 persen.Ada beberapa hal yang menjadi penyebab angka golput yang cukup tinggi. Pertama, masyarakat masih tidak mengetahui siapa calegnya, mulai dari visi dan misinya sampai rekam jejak (track records). Ini yang dinamakan golput sadar. Yang kedua kerancuan masih menyebar luas. hasilnya adalah Kebingungan publik karena adanya perubahan di berbagai lini pemilu, sebut saja cara menandai yang telah berevolusi dari mencoblos menjadi mencontreng, hal ini demi menciptakan peradaban yang lebih bermartabat, karena mencoblos masih digunakan hanya di Indonesia dan nigeria, dan kebiasaann memakai alat tulis jauh lebih edukatif ketimbang menggenggam paku, yang ketiga adalah adanya golongan yang tidak memilih karena merasa demokrasi telah gagal, dibutuhkan revolusi, pemerintah tidak becus dll. Inilah yang disebut Golput idealis.
Berbicara Golput, ternyata stimulus golput tidak hanya berasal dari dalam, namun ada juga yang berasal dari luar, yakni golput yang dikondisikan, berbentuk carut marut pendataan DPT yang berujung hilangnya hak konstitusi warga negara untuk menentukan pilihanya. KPU sebagai lembaga formal yang menaungi pemilu harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap masalah ini.
Tinjauan High cost democracy ini tidak berasal dari satu sudut pandang saja, selain memakan biaya besar di sisi penyelenggaraan, pada sisi keikutsertaan uang yang mengalir terhitung juga sangat besar. Para calon legislatif di tingkat pusat,provinsi dan daerah saling berlomba-lomba untuk “merogoh kocek” nya lebih dalam. Contohnya untuk maju menjadi calon legislatif tingkat DPR RI umumnya jumlah yang harus dipersiapkan minimal 100juta hingga miliaran rupiah. Selain itu peningkatan yang cukup segnifikan terdapat pada iklan dimedia elektronik yang H-30 pemilu sudah dihiasi warna-warni partai politik dan caleg. Sumber Pendanaan yang juga tidak jelas asalnya membuka kemungkinan terjadinya kesepakatan di bawah meja antara penyandang dana dengan pemangku kepentingan. Dalam konteks pemimpin baik Presiden, gubernur dan bupati implikasi dari adanya pendanaan dari luar ini adalah perhatian utama pemimpin setelah menjabat terpilih bukan pada tercapainya kesejahteraan rakyat, melainkan membagikan konsesi sebagai konsekuensi dari dukungan dana saat kampanye
Kembali pada pemilu yang baru saja diselenggarakan ini, angka golput yang besar itu seolah-olah bisa menjadi indikator kegagalan pemilu 2009 dan biaya yang telah dikeluarkan untuk itu juga sia-sia. Masyarakat belum mendapatkan apa yang mereka inginka. Masyarakat menginginkan terjadinya perubahan yang signifikan setelah terjadinya pemilu. Namun apa yang didapat ?. Masyarakat hanya mendapatkan sebuah kenyataan pahit bahwa pemilu tak lain adalah sebuah prosesi untuk memperkaya diri dan pemilu adalah sebuah jalan untuk mendapatkan pekerjaan baru. Para wakil rakyat yang terhormat itu telah menyia-nyiakan amanat dan mandat rakyat, dengan melakukan berbagai tindakan yang memalukan seperti korupsi dll. Mereka telah melukai hati rakyat dan membohongi rakyat, setelah rakyat dengan ikhlas memilih mereka sebagai wakilnya. Rakyat sudah tidak percaya lagi kepada pemilu yang dipercaya bisa memperbaiki kesejahteraan rakyat.Inilah kenyataan yang terjadi di Indonesia.
Rakyat tidak peduli ! . Rakyat tidak peduli seberapa besar dana yang dihabiskan dan dikeluarkan untuk mendanai pemilu, sepanjang pemilu itu bisa menghasilkan para wakil rakyat yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyatnya, sepanjang pemimpin dan presiden mereka bisa memberikan yang terbaik untuk rakyat,sepanjang rakyat bisa menggunakan hak pilihnya denagn benar. Berapa pun besarnya tidak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah apabila uang yang dikeluarkan sudah bertriliun-triliun sementara hasilnya nol besar.Ini adalah sebuah pelajaran besar yang diterima bangsa kita . Sebuah pelajaran tentang berdemokrasi.
Sebuah solusi yang dapat dikemukakan adalah bangsa Indonesia harus mengembalikan demokrasi pada konteks yang dan koridor yang sesungguhnya.Jargon demokrasi yang pertama ‘dari rakyat’, maksudnya adalah kedaulatan terbesar dipegang oleh rakyat, rakyat memilih langsung wakil terbaiknya dan wakilnya itu pun sadar bahwa ia memegang amanah dan mandat dari rakyat, dan menjalankannya dengan amanah..
Jargon demokrasi yang kedua adalah ‘oleh rakyat’ maksudnya adalah bahwa pemerintahan di jalankan oleh rakyat dan sesuai dengan keinginan rakyat, tanpa memperdulikan kepentingan sektoral dan komunal.
Jargon yang terakhir adalah ‘untuk rakyat’. Artinya adalah semua yang telah dijalankan oleh pemerintah hasilnya adalah untuk rakyat. Rakyat wajib menikmati segala hasilnya. Pemerintah berkewajiban untuk membahagiakan rakyat. Rakyat tidak butuh banyak hal, mereka hanya menuntut agar bisa makan minimal 3 x sehari, sekolah gratis , pendidikan gratis, kesehatan mereka terjamin. Itu saja, namun itu pulalah yang paling sulit ntuk diwujudkan. Apabila hal itu bisa diwujudkan, biaya pemilu sebesar 21,93 triliun ini bukanlah suatu masalah besar. Karena pemilu telah kembali ke jalurnya,Membawa Perubahan dan Perbaikan
Terdengar sangat filosofis, normatif dan utopis, namun inilah pondasi berdemokrasi yang selama ini terlupakan. Sudah saatnya kembali kejalur sebenarnya jalur hasil pemikiran para founding fathers dan amanat reformasi yang telah diretas.
Hidup mahasiswa !!!
Hidup Rakyat Indonesia !!!!

Tim Kajian pemilu
Dept. Kajian Strategis BEM FE UI

Sabtu, 04 April 2009

Pasar tradisional, masihkah mendapat perhatian?

Banyaknya pasar modern yang muncul di Indonesia, tidak hanya di kota metropolitan tetapi juga telah merambah sampai ke kota kecil di tanah air. Sangat mudah menjumpai minimarket, supermarket, bahkan hipermarket di sekitar tempat tinggal kita. Tempat – tempat tersebut menjajikan tempat belanja yang nyaman dengan harga yang tidak kalah menariknya. Apalagi masyarakat Indonesia cenderung konsumtif sehingga dengan cepat pasar modern berkembang. Pasar tradisional pun mulai tergoyah keberadaannya.
Pasar modern mulai masuk ke Indonesia tahun 1980, pada saat itu perusahaan ritel Seven-Eleven asal Jepang merupakan waralaba pertama yang masuk Indonesia, namun tidak berkembang dan mati. Pada tahun 1990-an masuk kembali peritel asing dengan format Hipermarket, hal ini mengubah cara pandang konsumen Indonesia terhadap gerai ritel modern.
Semenjak diterimanya pasar modern(ritel) pasar tradisional-pun semakin mengkhawatirkan keberadaannya, pertumbuhan pasar tradisional menyusut 8,1% setiap tahunnya (sedangkan pasar modern berkembang sebesar 31,4% per tahun) bahkan di Jakarta, setiap tahunnya 400 kios tutup.
Sebelum melangkah lebih jauh, tak bijak bila kita tak menganalisa kedua jenis pasar tersebut. Pasar tradisional memiliki kekuatan harga yang relatif lebih murah dan bisa ditawar, relatif lebih dekat dengan pemukiman dan memberikan banyak pilihan barang segar. Kelebihan lainnya adalah kontak sosial yang dilakukan oleh pembeli dan penjual pada saat transaksi yang tidak kita jumpai di pasar modern. Proses tawar menawar, hubungan sosial antara penjual dan pelanggan, simulasi pasar bebas yang sesungguhnya, hal ini merupakan salah satu budaya yang patut dipertahankan.
Sedangkan kelemahannya, pasar tradisional yang lebih tepat disebut wet market terkenal dengan kondisi tempat yang kumuh, kotor, becek, bau menyengat, terlalu padat lalu lintas pembeli, copet berkeliaran dan berbagai ketidaknyamanan lainnya. Belum lagi gembar-gembornya media yang menyoroti kasus produk yang dijual di pasar tradisional menggunakan zat kimia berbahaya, ketidak sesuaian timbangan barang, maraknya daging oplosan,daging ‘tiren’, dan daging “glonggongan” dan trik-trik tidak sehat lainnya dalam bidang perdagangan. Berbagai hal diatas menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap pasar tradisional turun.
Jika dibandingkan dengan pasar modern, memang begitu banyak hal yang disuguhkan pasar modern kepada konsumen, bukan hanya presties tapi juga memenuhi kebutuhan akan rasa nyaman, aman, tertib, pilihan yang banyak, kualitas barang yang higienis, dapat membayar dengan menggunakan kredit, bahkan jika tidak dapat datang ke supermarket tersebut konsumen dapat menelfon dan memesan barang belanjaannya maka akan diantar sampai tujuan.
Pelan tapi pasti, pasar tradisional kian terpinggirkan. Pedagang yang tidak mampu bertahan akhirnya harus gulung tikar. Padahal kita semua tahu, putaran roda ekonomi dalam transaksi pasar tradisional yang melibatkan pedagang kecil hingga unit-unit usaha berskala menengah merupakan sinergi mata rantai yang menopang basis ekonomi rakyat. Sebagian besar usaha ekonomi yang menghidupkan urat nadi pasar tradisional berbasis pada inisiatif usaha rakyat. Pasar tradisional merupakan sentra penggerak kehidupan masyarakat kita yang mayoritas menggaantungkan hidupnya pada usaha berskala kecil-menengah.
Secara makro, pasar tradisional berperan besar dalam roda perekonomian nasional. Dengan mayoritas produk dalam negeri, pasar tradisional merupakan penggerak “GDP riil”. Berbeda dengan ritel yang lebih mengedapankan faktor harga dalam pemilihan produknya tanpa mempedulikan asal produk tersebut yang akhirnya berujung pada keuntungan pengusaha besar dan negera maju. Memang hal ini tak bisa disalahkan, namun jika hal ini terus berlanjut, Indonesia hanya akan menjadi negara konsumen produk asing dan ketimpangan ekonomi yang terjadi akan sangat tinggi.
Paling tidak ada dua hal yang membuat eksistensi pasar tradisional kian terpuruk. Pertama, pemerintah hingga kini terlihat kurang sigap dalam membatasi pertumbuhan pasar modern yang tidak sehat. Di era otonomi daerah, pemerintah pusat kian sulit mengontrol kebijakan pemerintah daerah menyangkut keberadaan pasar modern. Kebijakan pertumbuhan pasar modern berada di tangan kepala daerah tanpa ada regulasi pengontrol yang mengawal kebijakan kepala daerah. Regulasi pembatasan yang telah dibuatpun menjadi ompong karena tak berlaku mundur. Demi mengejar target pendapatan asli daerah (PAD), pemerintah daerah dengan bebasnya mengijinkan berdirinya ritel dan pasar modern dengan kuantitas dan tata letak yang sangat mengancam keberadaan pasar tradisional. Tengok saja di Jakarta, pengelolaan pertumbuhan pasar modern begitu tidak terkontrol, tercatat lebih dari 50 outlet pasar modern ( dengan dominasi ritel prancis) berdiri megah tanpa menghiraukan tata kota dan keberadaan pasar tradisional. Mungkin pemerintah berdalih bahwa itu adalah hasil dari perdagangan bebas dan merupakan bentuk investasi asing yang menguntungkan, namun silahkan tengok Singapura, di negara yang bisa kita sebut surga belanja hanya terdapat 1 outlet ritel asal Perancis. Persaingan usaha benar-benar dijaga di negeri tersebut. Pemerintah Indonesia lupa bahwa nasib para pengusaha kecil dan pedagang pasar tradisional seharusnya menjadi prioritas untuk dilindungi.
Sedikit menyoroti hal lain, industri ritel nasional-pun menjadi bulan-bulanan industri ritel asing. Akhirnya banyak ritel nasional yang bangkrut atau diakuisisi oleh ritel asing. Sekali lagi kita dapat berdalih itu adalah konsekuensi perdagangan bebas, dan karena ritel nasional kalah bersaing karena bekerja kurang efisien. Tapi mengapa pemerintah tak pernah memberi kesempatan industri nasional untuk berkembang. Wajar jika ritel asing lebih efisien, mereka telah berdiri dan berkembang lebih dulu di negera asalnya, mereka cukup mendapatkan proteksi di negara asalnya sehingga menjadi eficien multi-national company yang bisa ekspansi ke negara lain. Wajar jika bayi Indonesia kurang gizi yang baru belajar berjalan kalah cepat berlari dengan pelari cepat Perancis yang pada masa mudanya selalu diberi ransum. Lalu apakah pemerintah akan diam saja melihat hal itu?
Kedua, citra pasar tradisional yang buruk di mata masyarakat. Seperti sudah dijelaskan diatas, terdapat berpuluh-puluh alasan dan fakta negatif mengenai pasar tradisional. Tak dapat disangkal, masih ada oknum-oknum pedagang tak bertanggung-jawab yang berdagang dengan cara yang tidak sehat, belum lagi media yang selalu latah dengan berita-berita tersebut yang sayangnya memang tak dapat disalahkan. Pemerintah memang berusaha memperbaiki citra pasar tradisional, namun ternyata hanya berujung pada relokasi paksa dan penggusuran pasar. Sementara penyerahan pengelolaan kepada pihak swasta sering kali berujung pada konflik antara pedagang dan pengelola. Pemerintah selalu berpikir praktis dan pragmatis dalam menyelesaikan persoalan ini. Dalam perbaikan citra, bentuk, dan tata kelola pasar tradisional diperlukan pendekatan ethnografi dan sosial budaya yang lebih kompleks dan “bersahabat” dengan masyarakat pasar tradisional. Memang sulit dan membutuhkan kerja dan waktu yang lama, namun jika pemerintah serius dalam melakukannya perbaikan citra dan pengelolaan pasar tradisional bukan sekedar impian
Faktual, negeri ini membutuhkan regulasi pasar yang pro-wet market. Pengaturan pembagian zonasi ruang usaha, pola kemitraan, mekanisme perlindungan, dan alokasi distribusi barang menyangkut pasar tradisional harus menjadi bagian integral dari regulasi pasar. Peluang usaha yang adil dan proporsional bagi seluruh lapisan masyarakat harus tercermin disana. Kita seharusnya bisa mencontoh Singapura, yang mampu menata dengan baik pasar tradisionalnya, hidup berdampingan dengan pasar modern, tanpa harus saling menegasikan.
Kita tidak mengharapkan kehadiran pasar modern menjadi sinyal bagi peminggiran pasar tradisional yang menjadi tumpuan hidup dari mayoritas masyarakat kita yang miskin. Pasar modern harus hadir sebagai penanda bagi kemajuan ekonomi bangsa, yang berimbas positif bagi tumbuhnya usaha rakyat, bukan malah menggusur mereka.
Solusi yang dibutuhkan untuk mempertahankan eksistensi pasar tradisional dapat dilakukan dengan lima cara, yaitu:
Pertama adalah pengaturan tata kelola wilayah dimana pasar tradisional tidak boleh dikepung oleh pasar modern. Pasar modern harus ditempatkan di kawasan baru dan berada di luar pemukiman. Memang sudah ada regulasi yang mengatur jarak minimal pasar dsb, namun sekali lagi, peraturan tersebut tidak berlaku mundur. Sedangkan sudah terlanjur banyak pasar modern yang berdiri. Memang perlu ketegasan dan keberanian pemerintah dalam menyikapi permasalahan ini.

Kedua adalah substansi pengaturan waktu pelayanan dimana pasar-pasar pagi yang menjadi tradisi pasar tradisional tidak boleh diganggu oleh pasar modern. Masalah ini prinsipnya dilakukan berbagi waktu, paling tidak ada perbedaan dalam waktu pelayanan.

Ketiga adalah pengaturan kewajiban perusahaan besar untuk memberikan ruangannya sekitar 20 persen untuk usaha kecil dan menengah. Ini sudah pernah dilaksanakan oleh pemerintah DKI tetapi perlu dijalankan lebih serius lagi.

Keempat adalah pengaturan untuk membangun kemitraan antara yang besar dan yang kecil agar keduanya saling membantu satu sama lain. Kemitraan ini sudah banyak dilakukan di berbagai bidang dan bisa juga dilaksanakan untuk sektor perdagangan. Namun untuk teknisnya diperlukan perhatian yang lebih.
Kelima adalah dapat dengan spesifikasi pasar sehingga masing – masing pasar dapat memiliki ke-khas-an, seperti contohnya pasar tanah abang (Jakarta) yang menjual barang – barang grosir, pasar beringharjo (Yogyakarta) yang menjual bermacam – macam batik dan pasar gede bage (Bandung) yang menjual pakaian – pakaian bekas. Walalupun memang tak bisa diterapkan pada semua, dan tak harus berupa spesialisasi produk yang dijual, namun memberikan nilai lebih dan ke-khas-an pada suatu produk(dalam hal ini pasar) dapat diterapkan dan biasanya berdampak baik.
Sangat arif dan bijaksana jika pemerintah tidak hanya cakap dalam menarik setoran retribusi, tapi juga mau memikirkan kelangsungan hidup pasar tradisional. Tanpa upaya serius pemerintah melindungi eksistensi pasar tradisional, kecil kemungkinan pasar rakyat ini bisa bertahan hidup di tengah iklim persaingan usaha yang kian ketat dan tak toleran.

Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: April 2009 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates