Kamis, 31 Januari 2013

Inter-generasi BBM - Aswicahyono dan Yudo


Problem Inter-generasi BBM
Haryo Aswicahyono dan Teguh Yudo

  1. Ini bukan ide baru. Soal BBM bisa dilihat sabagai masalah antar generasi & waktu. Katakan ada 3 generasi: gen 1 (tua), gen 2 (muda) & gen. 3 (anak2)
  2. Bagi2 'adil' BBM kira2 masing2 dapat 1/3 dari total. Tapi ada problem tiap generasi: Lupa bahwa ada generasi lain sesudahnya.
  3. Gen. 2 & gen 3 masing2 harusnya dapat 1/4 . Tapi problem tiap generasi selalu ada: Maksimalkan porsi.
  4. Gen. 2 sekarang protes, harga bbm mahal, karena tinggal 1/2. Pilihn yg ada: 1) tagih balik apa yg diambil gen 1, atau 2) ambil porsi gen ke 3.
  5. Opsi 1 gak mungkin dilakukan. Yang diambil opsi ke 2. Gen 2 pasti menang, karena cuma Gen.2 yang punya Partai & Suara. Gen 3 belum bisa milih.
  6. Jadi policy cabut subsidi akan selalu lemah, karena yg pro cabut subsidi hanya Gen 3 yg belum punya partai
  7. Tapi pas tiba saat voting soal bbm gak ada gunanya lagi, ketika BBM=0 & Gen.3 gak bisa tagih yg diambil di generasi 1 & 2
  8. Jadi trade-offnya bukan cuma soal subsidi BBM vs rumah sakit. Tapi juga antar generasi

Sabtu, 26 Januari 2013

KENAIKAN HARGA BBM DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERBAIKAN TINGKAT PENDIDIKAN DI INDONESIA

Seperti yang kita tahu kenaikan harga bensin dan solar sebesar Rp1.500 menjadi Rp6.000 tiap liter pada 1 April oleh pemerintah tampaknya tidak disambut dengan baik oleh masyarakat. BBM atau bahan bakar minyak yang merupakan salah satu jenis bahan bakar yang digunakan secara luas di era industrialisasi memang sangat mempengaruhi perekononomian di negeri ini sehingga apabila harga BBM mengalami kenaikan harga maka kenaikan tersebut sering memicu terjadinya kenaikan pada harga barang-barang lainnya seperti tarif angkutan umum, sembako dan bisa juga tarif listrik sehingga selalu ditentang masyarakat. Padahal kita perlu tahu bahwa pemerintah mengalami defisit anggaran sebesar Rp 124 triliun akibat perkiraan harga minyak dalam APBN tahun 2012 sebesar USD90 per barrel ternyata telah mencapai USD124.

Kita semua perlu tahu bahwa harga minyak mentah sendiri jika diasumsikan harga minyak seharga 90 USD per barrel ( sekarang harga minyak 124 USD per barrel) dan 1 USD sama dengan Rp 8.800 maka perkiraan harga minyak mentah Indonesia Rp 4.981 per liter. Sementara rmenurut Menteri ESDM, Jero Wacik, untuk mengubah minyak mentah menjadi bensin premium dan untuk menyalurkannya sampai ke SPBU (pompa bensin) diperlukan biaya kira-kira Rp 3.019 per liter. Dengan asumsi tersebut perkiraan harga pokok dan biaya distribusi bensin premium adalah Rp 8.000 per liter. Agar tidak memberatkan rakyat Indonesia, bensin premium dijual bukan dengan harga Rp 8.000 namun lebih murah yaitu Rp 4.500 per liter. Artinya untuk setiap liter ada selisih harga sebesar Rp 3.500 yang ditanggung oleh negara. Bahkan, walupun nantinya BBM dinaikkan sebesar Rp 6.000 pemerintah masih tetap mensubsidi BBM tersebut yang harga aslinya sudah mencapai Rp 8.000 lebih dengan biaya sebesar Rp 137 triliun menurut rancangan APBN 2012. Yang lebih parah, subsidi BBM saat ini justru dinikmati oleh golongan kelas menengah yang notabene masuk ke dalam kategori mampu. Tercatat sekitar 70% penikmat BBM bersubsidi ialah golongan menengah ke atas, 3% angkutan umum, 4% angkutan barang dan sissanya baru rakyat kecil. Oleh karena itu lah, kenaikkan harga BBM memang harus dihadapi demi penyesuian APBN terhadap harga minyak dunia yang terus berfluktuatif.

Harga BBM di negara lain pun untuk saat ini jauh lebih mahal dibandingkan harga BBM di Indonesia. Untuk saat ini harga BBM di Indonesia termasuk di urutan nomor tujuh dalam jajaran negara dengan harga BBM termurah di dunia. Indonesia juga merupakan negara importir minyak yang masih mensubsidi harga BBM secara besar – besaran. Bahkan dibandingkan dengan negara lain yang GDP-nya lebih rendah dibandingkan dengan Indonesia seperti Vietnam, dan Timor Leste harga BBM di Indonesia masih lebih murah. Ini membuktikan walaupun mungkin kenaikan harga BBM akan menyengsarakan masyarakat dampaknya hanya terasa secara jangka pendek bukan jangka panjang.

Banyak langkah - langkah lain yang bisa dilakukan dengan dana subsidi BBM tersebut, seperti memberikan banyak insentif kepada Pertamina agar bisa menjadi penyedia BBM yang lebih baik seperti yang dilakukan oleh Brazil dengan Petrobras-nya, Norwegia dengan Statoil-nya, ataupun Malaysia dengan Petronas-nya sehingga dengan cukupnya BBM yang diproduksi sehingga harganya bisa lebih terkontrol oleh pemerintah . Untuk rakyat sendiri pemerintah dapat mengalihkan dana subsidi BBM tersebut untuk bantuan langsung tunai, pembangunan infastruktur, dan juga pengembangan teknologi bahan bakar alternatif seperti BBG. BBG sendiri ialah bahan bakar yang berasal dari gas yang sangat menjanjikan. Dengan harga sekitar 3100 rupiah per liter, bahan bakar ini lebih irit dan ramah lingkungan. Di negara tetangga seperti Malaysia dan Iran, pertumbuhan kendaraan BBG masing-masing 116,2 persen dan 24.426 persen. Sementara kendaraan yang menggunakan BBG di Indonesia per tahun tercatat minus 3,3 persen. Tidak hanya jumlah kendaraan yang timpang, jumlah stasiun pengisian bahan bakar gas pun sama halnya. Jumlah SPBG di Indonesia tahun 2010 tercatat 9 tempat, sementara di Malaysia 159 lokasi dan Iran 1.574 lokasi. Langkah – langkah diatas memang akan efektif untuk membantu mensejahterakan masyarakat akibat kenaikan harga BBM akan tetapi, dari semua langkah tersebut yang paling bermanfaat ialah mengalihkan dana tersebut untuk pendidikan.

Saat ini, anggaran untuk pendidikan ialah 20 persen dari APBN sebesar Rp 266,9 triliun pada tahun 2011 dan pada tahun 2012 akan naik sebesar Rp 286,6 triliun. Jika dilihat sekilas memang angka tersebut cukup besar. Tapi jika diteliti, jumlah ini jauh tertinggal dibanding negara lain. Di Australia sebanyak 46 persen dari APBN, Malaysia 26 persen, Singapura 32 persen, dan Amerika hingga 68 persen.Dana 20 persen itu ternyata juga mencakup anggaran untuk gaji para guru yang jumlahnya juga tidak sedikit. Jelas, dana yang dianggarkan tidak akan mencukupi untuk menutup semua kebutuhannya. Sudah sering kita di televisi banyak sekolah yang roboh, gaji guru honorer yang tidak dibayar – bayar, rakyat kecil yang tidak bisa bersekolah karena tidak punya biaya,penggunaan media belajar yang rendah, buku perpustakaan yang tidak lengkap, laboratorium yang tidak standar serta penggunaan teknologi yang tidak memadai dan permasalahan lainnya. Menurut survey dari UNDP pada tahun 2007, Human Development Index (HDI)Indonesia berada di posisi 6 di bawah Singapura, Brunei, Thailand, Malaysia, Filipina dan bersaing ketat dengan vietnam. Sementara berdasarkan Human Development Reports (HDR) Pada tingkat ASEAN tahun 2010, pengeluaran total (masyarakat dan pemerintah) Indonesia terhadap pendidikan (dinyatakan sebagai persentase dari PDB) hanya sebesar 3,5% dan pengeluaran total (pemerintah dan masyarakat) Indonesia terhadap kesehatan (dinyatakan sebagai persentase dari PDB) sebesar 1,2%. Kondisi ini jauh di bawah Vietnam (5,3% dan 2,8%), Thailand (4,9% dan 2,7%), Malaysia (4,5% dan 1,9%), dan Brunei Darussalam (3,7% dan 1,9%). Dari data tersebut kita bisa tahu betapa parahnya keadaan pendidikan di Indonesia.

Ketidakmampuan rakyat Indonesia untuk mengakses pendidikan dasar terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005 yang mencatat sekitar 15,04 juta penduduk Indonesia usia di atas 10 tahun belum mampu membaca dan menulis. Angka putus sekolah pun meningkat tercatat satu juta anak yang tidak dapat melanjutkan ke SLTP dan 2,7 juta anak SLTP yang tidak dapat melanjutkan sekolah. Memang saat ini sudah ada yang namanya BOS (Bantuan Opersional Sekolah) ataupun beasiswa bidik misi yang cukup dirasa meringankan, tetapi keberadaannya kurang merata dan kurang banyak. Sudah selayaknya dana BOS dinaikkan, jumlah kuota mahasiwa bidik misi juga diperbanyak, serta kualitas dan kesejahteraan para tenaga pengajar juga ditingkatkan. Akan tetapi jika dana 20 persen tersebut kurang, darimana lagi pemerintah akan mendapatkan dana tambahan? Jawabannya ialah dana subsidi BBM tadi.

Bayangkan jika sektor pendidikan mendapat dana tambahan sebanyak ratusan triliun lebih, pastinya jika pemerintah menggunakannya dengan jujur tidak akan kita lihat lagi sekolah – sekolah yang roboh, rakyat kecil yang tidak bisa sekolah serta demo tenaga – tenaga pengajar honorer. Dana tersebut merupakan suntikan yang besar bagi sektor pendidikan dan akan mencukupi sebagian besar kebutuhan di sektor pendidikan, kalau tidak semua kebutuhan. Rata-rata gaji guru sebesar Rp 1,5 juta juga guru bantu yang hanya Rp 460 ribu perbulan dan guru honorer Rp 10 ribu per-jamnya jelas bisa ditingkatkan. Naiknya kesejahteraan jelas berpengaruh bagi kualitas para tenaga pengajar tersebut. Sekolah – sekolah yang berada di daerah – daerah terpencil akan berstandar nasional dan itu bukanlah mimpi. Dana tersebut juga bisa digunakan untuk melengkapi buku – buku di perpustakaan, mengadakan studi banding bagi tenaga pengajar di Indoensia ke luar negeri dan mendatangkan tenaga pengajar asing yang berkualitas ke Indonesia.

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting karena tingkat kemajuan suatu bangsa diukur dari tingkat pendidikannya. Dengan adanya tingkat pendidikan yang tinggi, suatu bangsa pasti akan menciptakan SDM – SDM yang berkualitas dan dapat memajukan suatu bangsa tersebut. Kita bisa melihat apa yang dilakukan Jepang ketika Perang Dunia ke -2 dimana pada saat itu salah satu kota di Jepang Hiroshima dibom dan siapa yang diprioritaskan untuk diselamatkan oleh kaisar Hirohito? Jawabannya ialah serorang guru, itu membuktikan komitmen Jepang terhadap pendidikan dan bisa kita lihat sekarang Jepang menjadi bangsa terdepan di bidang teknologi. Inilah manfaat pendidikan, dampaknya akan terasa lama tetapi impact-nya sangat besar. Mungkin kenaikan harga BBM tadi cukup memberatkan bagi masyarakat saat ini, akan tetapi jika melihat fakta – fakta di atas tentang pendidikan, pengalihan dana subsidi BBM untuk pendidikan akan jauh lebih bermanfaat dan masyarakat pasti akan menerimanya apabila pemerintah melaksanakan amanahnya dengan baik karena pendidikan merupakan investasi yang sangat tinggi nilainya. Seperti kata Vladimir Lenin, “Pendidikan ialah senjata, berhemat-hematlah berekonomi dalam hal apa pun, kecuali untuk pendidikan”.

Kementrian Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB Unpad


Jumat, 25 Januari 2013

Infografis Subsidi BBM - Haryo Aswicahyono

Infografis Subsidi BBM - Haryo Aswicahyono

Rabu, 23 Januari 2013

Kenaikan BBM Bersubsidi Ditunda, Perbaikan Sektor Pendidikan Ikut Tertunda?


Education is a better safeguard of liberty than a standing army - Edward Everett

Rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi per 1 April 2012 kandas sudah paska keputusan pada Sidang Paripurna di DPR 31 Maret 2012 yang lalu. Meskipun tak sedikit yang menganggap bahwa kenaikan BBM bersubsidi ini dinilai wajar dan harus dilakukan tetapi ternyata kepentingan politis lebih unggul di atas kepentingan ekonomi rakyat sekalipun. Bisa jadi kenaikan BBM bukanlah solusi terbaik di antara opsi-opsi lain yang berpeluang diambil, namun tetap saja drama di ruang kehormatan itu seakan hanyalah pencitraan semata yang dilakukan para elit politik menuju pesta demokrasi 2014. Sebenarnya, alasan pemerintah sendiri mengurangi subsdi BBM ialah karena peruntukkannya yang tidak tepat sasaran dan kenyataan harga minyak dunia yang terus meroket. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesehatan APBN dari defisit anggarannya yang bisa melampaui lebih dari tiga persen dan berarti melanggar konstitusi.
Dampak yang ditimbulkan pasca kenaikan BBM nantinya tentunya akan cukup serius. Mengingat kondisi perekonomian beberapa bulan ke depan tidak bisa diprediksi secara mendetil. Melihat fakta harga minyak dunia yang terus melambung, pemerintah bisa menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sesuai pasal 7 ayat 6a jika selisih antara realisasi harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) dengan asumsi sebesar 15 persen pada enam bulan terakhir. Sekarang ini, rata-rata realisasi ICP dalam enam bulan terakhir masih sekitar 11 persen. Berikut penuturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jero Wacik.
Terlepas dari berbagai kemungkinan yang ada, cobalah kita telaah dampak kenaikan BBM bersubsidi nantinya terhadap sektor pendidikan. Pemerintah telah menyepakati beberapa paket kompensasi paska kenaikan sebesar Rp 25,6 triliun. Perinciannya, bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) Rp 17,08 triliun, bantuan pembangunan infrastruktur pedesaan Rp 7,88 triliun, dan tambahan anggaran program Keluarga Harapan Rp 591,5 miliar. Dengan penundaan kenaikan BBM bersubsidi, program kompensasi sejumlah Rp 25,6 triliun belum bisa dicairkan dan akan direalokasikan pemerintah untuk menyubsidi BBM. Lantas bagaimana nasib perbaikan pendidikan di Indonesia yang masih terkatung-katung? Apakah harus menunggu naiknya BBM bersubsidi baru kemudian mendapat tambahan “cipratan” anggaran? Jutaan anak-anak masih menggantungkan nasibnya pada negara alias tidak memiliki jaminan cukup biaya menempuh pendidikan. Ibaratnya, sudah terbebani dengan biaya hidup, masa depan juga harus digadaikan. Padahal, di pundak merekalah harapan bangsa ini tumbuh nantinya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah memutuskan menunda penambahan jumlah penerima dana Subsidi Siswa Miskin (SSM) akibat penundaan dari kenaikan harga BBM bersubsidi. Demikian disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh. Tahun ini, Kemendikbud berencana menambah jumlah penerima subsidi siswa miskin dari 6 juta siswa menjadi 14 juta siswa. Jumlah itu dengan 12 persen jumlah siswa miskin di Indonesia. Ada penambahan jumlah penerima yang ditunda tetapi bukan dibatalkan. Penundaan itu bergantung pada kenaikan harga BBM bersubsidi.
Menurut sumber yang sama, kenaikan besarannya, untuk siswa sekolah dasar, pemerintah menaikkan dari Rp 360 ribu menjadi Rp 450 ribu per siswa per tahun. Untuk siswa sekolah menengah pertama, dari Rp 550 ribu menjadi Rp 750 ribu. Untuk siswa sekolah menengah atas, dari Rp 780 ribu menjadi Rp 1 juta. Dan untuk mahasiswa, dari Rp 12 juta menjadi Rp 13,67 juta. Selain itu, kompensasi dari subsidi BBM seharusnya juga diprioritaskan untuk infrastruktur pendidikan, yaitu pembangunan sekolah dan fasilitas sekolah serta beasiswa pendidikan tinggi bagi anak yang berprestasi.
Angka-angka di atas memang terlihat manis di kertas dan sangat mungkin berbeda dengan fakta di lapangan nantinya. Kenaikan BBM bersubsidi barang pasti juga akan meningkatkan biaya pendidikan terutama pendidikan menengah atas dan pendidikan tinggi. Masyarakat ekonomi rendah akan sulit untuk melanjutkan pendidikan karena terbatasnya pendapatan sementara harga-harga terus merangkak naik. Fasilitas sekolah yang tidak memadai serta bangunan sekolah yang rusak juga masih sangat banyak. Belum lagi proporsi jumlah sekolah tidak sebanding dengan jumlah penduduk di beberapa daerah. Kebijakan pemerintah dengan memberikan dana bantuan operasional sekolah (BOS) sebenarnya sudah tepat, sayangnya para pelaksana di tingkat yang lebih rendah masih saja bertindak tidak pantas dengan menyelewengkannya. Belum lagi adanya pungutan liar yang bersebrangan dengan Peraturan Menteri No. 60/2011 terkait dengan larangan melakukan pungutan di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) negeri untuk biaya operasional dan investasi.
Subsidi yang luar biasa besar itu ketika digunakan untuk sektor pendidikan tentunya akan sangat bermanfaat bagi rakyat. Dana penghematan tersebut bahkan mampu membuat program pendidikan gratis yang tidak hanya sembilan tahun tetapi dua belas tahun seperti amanat undang-undang. Kontradiktif, pernyataan optimisme ini sebaliknya dapat menjadi bumerang jika melihat ternyata masih banyak kepentingan-kepentingan gelap di balik kebijakan pengurangan subsidi BBM. Ditambah lagi, sektor pendidikan adalah lahan sejuk bagi para koruptor di negeri ini, bahkan di tingkat terbawah sekalipun. Untuk itu, perlu dipersiapkan berbagai langkah dan strategi agar dampak kenaikan harga BBM di sekor pendidikan dapat diminimalisasi.
Apabila nantinya program-program tersebut benar-benar bisa terlaksana, harapannya dukungan datang dari kita pula sebagai masyarakat. Tanggung jawab terhadap pendidikan sesungguhnya milik kita bersama meskipun kekuasaan ada di tangan pemerintah. Perbaikan sektor pendidikan bukan lagi hal yang bisa ditunda-tunda sebab harus dilakukan sekarang juga. Negeri ini merindukan generasi emas yang akan memimpin perjalanan bangsa yang penuh tantangan. Berawal dari pendidikan sebagai pelabuhan anak-anak Indonesia sebelum nantinya lepas ke lautan samudera. Jika masih ada yang meragukan pentingnya pendidikan dan bahkan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi dan golongan, sesungguhnya merekalah yang sebenarnya membutuhkan ”pendidikan”.

Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB 2012

Selasa, 22 Januari 2013

Membangun Modal Insani, Mengatasi Kesenjangan - Haryo Aswicahyono


Membangun Modal Insani, Mengatasi Kesenjangan
Haryo Aswicahyono

Dalam tulisan ini, saya ingin membahas tentang kebijakan pendidikan nasional, khususnya untuk Pendidikan Tinggi.  Untuk setiap kebijakan kita perlu bertanya apa tujuan dari kebijakan tersebut, memikirkan berbagai alternatif, dan akhirnya memilih alternatif paling optimal untuk mencapai tujuan tersebut. Di sini saya memusatkan analisis saya pada dua tujuan pendidikan tinggi (a) untuk meningkatkan modal insani dengan cara paling efiesien (b) mengurangi kesenjangan pendapatan.

Tujuan mulia ini mudah diucapkan, namun tentu saja tidak mudah untuk dicapai. Pertama pendidikan tinggi yang bermutu itu mahal, sementara dana yg tersedia terbatas dan diperlukan juga untuk tujuan tujuan mulia lainnya seperti meningkatkan kesehatan penduduk. Jadi pertanyaan pertama yg harus dijawab adalah bagaimana membiayai pendidikan tinggi yang mahal tersebut. Kedua, masalah klasik adanya kemungkinan trade-off jika tujuan yang ingin dicapai lebih dari satu. Terkait dengan ini, pertanyaan yang harus dijawab adalah model pembiayaan seperti apa yang bisa mencapai dua tujuan mulia tersebut sekaligus?

Modal pembiayaan paling umum untuk pendidikan tinggi adalah melalui sistim perpajakan. Dalam sistim ini mereka yang memutuskan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi mendapat pedidikan murah karena disubsidi, atau bahkan gratis. Semua pembayar pajak membiayai pendidikan sebagian kecil penduduk yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi.

Di sini kita langsung dihadapkan pada pertanyaan tentang kemampuan sistim ini mencapai tujuan kedua - mengurangi kesenjangan. Berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah yang sifatnya wajib. Melanjutkan ke pendidikan tinggi adalah pilihan. Untuk pendidikan dasar dan menengah, semua warga menanggung pendidikan itu melalui pajak atau biaya oportunitas karena pengeluaran tersebut tidak bisa digelar di tujuan lain. Namun karena sifatnya universal, semua rumah tangga menikmati apa yang mereka bayarkan. Sementara untuk pendidikan tinggi semua membayar untuk sebagian kecil penduduk yang beruntung diterima di perguruan tinggi.

Bahkan sistim ini cenderung menciptakan reverse redistribution. Yang memilih melanjutkan ke PT tidak bekerja selama beberapa tahun dan setelahnya menjadi tenaga kerja terdidik dengan pendapatan yang jauh lebih tinggi dibanding mereka yang hanya menyelesaikan pendidikan menengah. Sementara yang membayar pendidikan itu termasuk, bahkan mungkin sebagian terbesar, mereka yang memutuskan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Jika ditotal pendapat seumur hidup mereka yang mampu menjadi tenaga kerja terdidik tentu lebih tinggi dari pendapatan seumur hidup mereka yang membiayai pendidikan tersebut. Jadi ex-post, sistim ini tidak mampu mencapai tujuan kedua, bahkan cenderung menciptakan (ex-postreverse redistribution

Hasil penelitian empiris juga menunjukkan bahwa Perguruan Tinggi memberikan manfaat sosial yg jauh lebih kecil dibanding manfaat pribadinya yaitu upah tinggi yang dinikmati setelah lulus kuliah. Sebaliknya pendidikan dasar dan menengah memberikan manfaat sosial yang jauh lebih besar dari manfaat pribadinya. Karena manfaat pribadi pendidikan tinggi besar, maka wajar jika mereka yang ingin melanjutkan perguruan tinggi membiayai pendidikannya sendiri.

Bagaimana mereka yang memutuskan untuk melanjutkan ke pendidikan tinggi ini membiayai pendidikan mereka? salah satu alternatif adalah berutang, toh nanti akan bisa membayar kembali utang tersebut setelah lulus kuliah. Alternatif ini bisa mencapai tujuan pertama, secara efisien meningkatkan modal insani. Alternatif ini juga tidak menimbulkan redistribusi sungsang, tetapi lagi-lagi, alternatif ini tidak akan mencapai tujuan kedua, tujuan pemerataan.

Pertama, akses ke lembaga perbankan tidak sempurna, kemungkinan besar hanya yang kaya yang akan mampu menikmati ini. Kedua, berbeda dengan investasi di modal fisikal, ada kolateral yang bisa dijaminkan yaitu modal fisik itu sendiri. Sebaliknya modal insani sifatnya nirwujud, jadi tidak ada kolateral setara dengan penanaman modal fisikal, kecuali kita mengijinkan perbudakan. Karena alasan tidak adanya kolateral ini, pihak perbankan enggan untuk memberi pinjaman seperti ini. Ketiga, ada perbedaan antara orang miskin dan orang kaya dalam resiko yang dihadapi ketika berutang. Jika setelah lulus, yang miskin gagal mendapat pekerjaan dengan upah yang memadai, mereka akan terjerat utang yang makin memiskinkan. Sebaliknya orang kaya sedikit banyak memiliki "asuransi" terhadap resiko tersebut. Secara ex-ante, sistim ini sudah tidak adil.  Singkat kata menyerahkan sepenuhnya pembiayaan pendidikan melalui mekanisme pasar tidak akan mencapai tujuan kebijakan pendidikan tinggi.

Alternatif ketiga pemerintah yang memberi utang ke mereka yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Setelah lulus mereka membayar kembali utang tersebut dengan bunga yang mungkin disubsidi. Alternatif ini memecahkan masalah akses, karena yang memutuskan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi otomatis mendapat akses yang mudah dan sama. Alternatif ini juga tidak menimbulkan efek redistribusi sungsang, karena pada dasarnya mereka membiayai pendidikannya sendiri. Namun kembali sistim ini tidak memcahkan perbedaan resiko yang dihadapi orang kaya vs orang miskin. Insentif untuk berutang ke pemerintah lebih besar bagi yang kaya dibanding yang miskin karena perbedaan sumber daya untuk mengatasi resiko gagal bayar.

Alternatif terakhir pajak sarjana. Di sini, pemerintah sepenuhnya menanggung biaya pendidikan semua mahasiswa. Setelah lulus, pemerintah memungut pajak ekstra setelah mahasiswa tersebut bekerja dan mencapai tingkat pendapatan tertentu. Ditambah lagi, sarjana yang gagal mencapai tingkat pendapatan tertentu tidak dikenakan pajak ekstra ini.

Sistim ini walau tidak sepenuhnya sempurna, namun memenuhi tujuan yang disampaikan di awal tulisan. Pertama, sistim ini efisien karena setiap orang memutuskan dan menghitung sendiri untung rugi keputusan menanam modal insani bagi dirinya sendiri. Kedua, sistim ini tidak menimbulkan redistribusi sungsang seperti di sistim tradisonal pembiayaan melalalui pajak umum. Di sini mahasiswa pada dasarnya membiayai dirinya sendiri, pemerintah mengatasi masalah antar waktu dengan menalangi biaya pendidikan. Ketiga, sistim ini membuka akses yang sama bagi semua baik yang kaya maupun yang miskin. Keempat, karena resiko kegagalan mencapai pendapatan yang memadai setelah lulus ditanggung oleh pemerintah (atau oleh sarjana yang sukses) maka sistim ini memberi insentif yang sama bagi yang miskin maupun yang kaya. Tidak ada hambatan ex-ante di sini

Senin, 14 Januari 2013

Petral, Perusahaan Strategis di Bawah Naungan Asing

          Petral, tidak semua masyarakat Indonesia mengenal salah satu perusahaan strategis di bidang energi ini.  Anak perusahaan pertamina yang konsen dalam perdagangan ini memang didesain untuk berdiri di Singapura. Di sinilah pertanyaan mulai muncul, Pertamina sebagai perusahaan terbesar di Indonesia dengan kekuasaan pasar yang absolut mengapa masih membagi pada anak perusahaan dan dilakukan di luar negeri? Seakan-akan ini sengaja dilakukan sebagai pembukaan celah korupsi agar tidak tersorot publik Indonesia dan intervensi pro-barat yang kuat di Singapura. Dahlan Iskan menyatakan bahwa pemecahan divisi dagang Pertamina ini dilakukan agar direksi tidak mengarah ke trading sehingga mereka bisa fokus pada produksi dan pemilihan Singapura sebagai tuan rumah karena dirasa dengan hukum yang dimiliki, Singapura memungkinkan intervensi seminimal mungkin dari berbagai pihak.  Namun, masyarakat memandang hal ini sebagai sebuah inefisiensi pengelolaan. Bagaimanapun akan ada sejumlah setoran dari petral yang harus “disumbangkan” ke pemerintah tuan rumah dan tuntutan pengelolaan BUMN yang harus C&C(clen & clear) menjadi terhambat.  
          Minimalisasi intervensi yang diungkapkan di atas juga tidak rasional dinilai dari birokrasi Singapura yang memiliki kebebasan keluar masuk modal tinggi dan Singapura yang masih menginduk pada Inggris pun menjadi kecurigaan terhadap harga per barel yang selama ini beredar di masyarakat. Saat harga minyak timur tengah stabil, ternyata harga pembelian minyak dari petral justru meningkat 15% mengikuti krisis Eropa sepanjang tahun 2011 kemarin. Menjawab keresahan masyarakat tersebut, isu revolusi petral pun mulai muncul. Pertamina dikatakan akan membeli minyak langsung dari pemilik kilang tanpa perantara pedagang, sedangkan Petral akan fokus sebagai pihak ketiga jual beli minyak internasional namun tidak memasok minyak ke pertamina lagi. Sektor strategis Petral yang digabung ke Pertamina ini memungkinkan laporan yang clean and clear karena bersamaan dengan neraca Pertamina. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah jika ini jadi ditetapkan, bagaimana dengan share petral terhadap pertamina dan dalam dunia dagang tidak ada kepastian jika membeli langsung ke kilang pada dasarnya tidak ada kepastian harganya lebih murah serta intervensi dalam pembelian pun sebaiknya diminimalisasi dengan open tender.  Pada dasarnya, tidak masalah apakah dilakukan oleh Petral maupun Pertamina, namun pengelolaan yang transparan dan jelas memang dibutuhkan oleh publik Indonesia pada saat ini. Sektor strategis yang berpengaruh pada hajat hidup masyarakat akan senantiasa menjadi sorotan bersama sehingga pemilihan lokasi memang harus diperhatikan. Sebab, intervensi dan moral hazard dapat terjadi dimana saja. Tinggal bagaimana pengelolaan dan pengawasan terhadapnya dapat ditingkatkan.



Minggu, 13 Januari 2013


Kedaulatan di Ujung Tanduk, Diperlukan Renegosiasi Kontrak Migas

Berbagai kalangan cendekia silih berganti membicarakan tentang Kedaulatan Republik Indonesia di bidang energi dan migas yang makin dipertanyakan eksistensinya. Hal yang paling mereka soroti adalah tentang pengelolaan migas di Indonesia yang terlampau banyak dikuasai kontraktor asing, sehingga kekuasaan negara atas migas pun diragukan.

Bagaimana tidak? Proporsi pengelolaan Migas di Indonesia sebagian besar lebih dikuasai kontraktor asing seperti Chevron, Exxon daripada Pertamina. Hal itu sebenarnya dapat dimaklumi mengingat industri migas adalah industri yang padat teknologi, padat modal, dan sangat beresiko dan Indonesia belum sepenuhnya memiliki kapabilitas dalam mengelola industri yang seperti itu. Dari kerjasama itulah, kita mengharapkan adanya alih teknologi sehingga ke depannya, kita mampu mengelola sumber daya minyak dan gas yang kita miliki secara mandiri. Namun, yang kita lihat sekarang malah justru Indonesia semakin lama semakin kehilangan kendali atas pengelolaan migas. Padahal, penerimaan negara yang berasal dari migas mencapai 30% dari total penerimaan pemerintah, maka, sektor ini haruslah mendapatkan perhatian lebih. Jangan sampai ada kesalahan pengelolaan yang justru menyebabkan kerugian besar pada negara.

Saat ini, Indonesia menerapkan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) sebagai perjanjian dalam pengelolaan migas, di mana persentase bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor sebesar 85 : 15 (untuk minyak) dan 70 : 30 (untuk gas). namun, perolehan tersebut harus terlebih dahulu dikurangi dengan biaya-biaya produksi dan segala macam cost recovery sehingga pada akhirnya, pemerintah hanya memperoleh porsi 51% sedangkan kontraktor mendapatkan 49%. Hal ini tentunya semakin merugikan Indonesia karena hasil perolehan minyak yang sebesar 49% lari ke kantong asing. Akan lebih menguntungkan tentunya apabila pengelolaan minyak ini diserahkan kepada kontraktor dalam negeri atau negara. Bagaimana menyikapinya?

Sebagian kalangan menyarankan untuk mencabut kontrak yang telah disepakati dengan para kontraktor asing tersebut agar pengelolaan migas sepenuhnya dikuasai oleh negara. Namun, mungkinkah kita melakukan itu? kemungkinannya sangat kecil. Pertama, karena kita menyadari bahwa di satu sisi kita masih membutuhkan modal dan teknologi mereka guna mengelola ekstraksi migas. Yang kedua, kita tidak bisa membatalkan kontrak yang sudah disepakati begitu saja karena hal ini menyangkut komitmen negara dan mempengaruhi kepercayaan negara lain terhadap Indonesia.

Meskipun demikian, masih ada hal bisa kita lakukan dalam menyikapi kontrak yang sudah terlanjur disepakati itu, salah satunya adalah dengan cara renegosiasi kontrak di mana kita mempunyai peluang untuk melakukan negosiasi ulang dengan para kontraktor mengenai perihal harga, jangka waktu, proporsi bagi hasil, dan lain-lain. Kita bisa melakukan negosiasi agar jangka waktu kontrak diperpendek, atau proporsi bagi hasil pemerintah dibuat lebih besar agar kontrak kerjasama ini lebih menguntungkan Indonesia.

Satu lagi hikmah yang dapat kita petik di sini adalah bahwa kita harus bisa belajar dari masa lalu, jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang sama dengan cara menggadaikan sumber daya minyak dan gas kita kapada kontraktor asing secara sembarangan sehingga membuat kita merugi dan kehilangan kendali terhadap pengelolaan minyak dan gas di negeri sendiri. Dibutuhkan waktu untuk bisa mengembalikan control Indonesia terhadap sumber daya nya sendiri, termasuk untuk bisa mengelola kekayaannya tanpa terlalu mengandalkan kekuatan asing. Untuk bisa mandiri dan berdaulat, kita perlu waktu dan usaha. (NW)

Nurul Wakhidah


Renegosiasi Kontrak Pertambangan Minyak dan Gas

Renegosiasi kontrak pertambangan minyak dan gas dinilai masih jalan di tempat. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies, Marwan Batubara, pemerintah hanya fokus pada pelarangan ekspor bahan tambang mentah oleh perusahaan kecil saja, sedangkan untuk renegosiasi kontrak minyak dan gas tidak pernah disentuh. Pemerintah tak kunjung menyelesaikan renegosiasi kontrak minyak dan gas dengan sejumlah perusahaan tambang, termasuk PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara.

Padahal pemerintah bekerja serius dalam program kerja renegosiasi kontrak minyak dan gas dengan membentuk tim renegosiasi kontrak yang dilindungi Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 2012. Timnya diberi nama Tim Evaluasi untuk Penyesuaian Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) yang dibentuk pada Januari 2012.

Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, bertindak sebagai ketua tim renegosiasi kontrak karya perusahaan pertambangan beserta Menteri ESDM Jero Wacik sebagai ketua harian merangkap anggota. Sedangkan Anggota tim terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Kehutanan, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri Sekretaris Kabinet, Jaksa Agung, Kepala BPKP, dan Kepala BKPM.

Namun pemerintah memang belum menyampaikan perkembangan renegosiasi kepada publik. Hal ini disebabkan belum dicapai kesepakatan final dan penandatanganan poin renegosiasi antara kedua belah pihak dalam pembicaraan renegosiasi. Prinsip yang dijaga pemerintah dalam proses renegosiasi adalah menjaga kerahasiaan poin-poin kontrak renegosiasi masing-masing perusahaan yang diharapkan dapat memuluskan proses renegosiasi.

Tujuan dari renegosiasi kontrak minyak dan gas atau kontrak karya adalah untuk mengubah kebijakan agar hasil sumber daya alam tersebut dapat diolah di dalam negeri sehingga industri hilir dapat berkembang, yang pada akhirnya dapat memberikan nilai tambah kepada negara dan rakyat.

Enam isu krusial yang akan direnegosiasikan pemerintah kepada perusahaan tambang baik batubara maupun mineral adalah luas wilah kerja pertambangan, perpanjangan kontrak, penerimaan negara/royalti, kewajiban pengelolaan dan pemurnian, kewajiban divestasi, dan kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambang dari dalam negeri.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tharmin Sihite dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR pada Senin, 19 Maret 2012 lalu mengatakan terdapat 37 kontrak karya (KK) yang harus direnegosiaskan sesuai dengan UU No 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Dari 37 KK tersebut baru lima KK yang sudah selesai dinegosiasikan.

Perkembangan akhir 2011, untuk kontrak karya, secara prinsip sembilan kontrak karya yang telah setuju seluruhnya, 23 kontrak minyak dan gas menyetujui sebagian poin renegosiasi, dan lima kontrak karya belum menyetujui seluruhnya. Perkembangan Mei 2012, 60 PKP2B telah menyetujui seluruh poin-poin renegosiasi, dan 14 PKP2B setuju sebagian. Kondisi tersebut jauh lebih baik ketimbang perkembangan pada Desember 2010 lalu, dengan hanya empat kontrak minyak dan gas yang menyetujui seluruh poin renegosiasi. (NFCM)

Nadia Firstzky Cipta Mardieta

Renegosiasi Kontrak Sebagai Solusi atas Kedaulatan Migas

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber kekayaan alam yang banyak. Hal ini dapat kita lihat dari besarnya potensi sumber daya alam kita seperti minyak bumi, timah, panas bumi, kayu, dan lain-lain. Seharusnya negara yang memiliki kekayaan alam seperti negara Indonesia mampu untuk mensejahterakan rakyatnya. Namun faktanya sampai saat ini negara kita masih jauh dari kata sejahtera. Masih banyak rakyat yang berada dibawah garis kemiskinan membuktikan bahwa kekayaan alam yang ada tidak mampu dinikmati oleh rakyat. Rakyat seakan menjadi konsumen atas barang yang mereka miliki sendiri. Mereka harus membayar dengan harga yang semakin hari semakin tinggi untuk sekedar mendapatkan 1 liter minyak. Padahal negara kita yang kaya akan sumber daya alam khususnya minyak bumi seharusnya dapat menyediakan pasokan yang besar sehingga minyak dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Dan memang menjadi sebuah kewajiban bagi negara untuk mengelola kekayaan alamnya semaksimal mungkin untuk kemakmuran masyarakat. Yang menjadi pokok permasalahan saat ini adalah negara tidak mampu mengelola sumber daya alam yang dimiliki dan seakan telah kehilangan kontrol atas sumber daya minyak bumi dan gas. Semua sumber daya itu kini justru dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan asing yang sebetulnya profit oriented dan tidak memprioritaskan pada kemakmuran masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari sejumlah perusahaan asing yang ada di Indonesia yang bebas mengeksploitasi sumber minyak bumi dan gas seperti Chevron, Total, Exxon, CNOOC, Conoco-philips, Petro China, dan lain-lain. Dan semua perusahaan tersebut sudah beroperasi sejak tahun 1970-an sampai sekarang. Hal ini menjadikan harga minyak dan gas semakin hari semakin tinggi yang membebani masyarakat. Negara kita telah kehilangan Hak Milik Negara (HMN) atas minyak bumi dan gas sehingga pasokan dan penerimaan dari minyak dan gas semakin sedikit. Akibatnya negara kita justru mengimpor minyak dan gas dari negara lain untuk memenuhi kebutuhan minyak dan gas dalam negeri. Selain itu isu pencabutan subsidi BBM semakin membuktikan bahwa negara ini tidaklah pro rakyat melainkan pro asing dan melanggar konstitusi. Jika negara ini pro rakyat semestinya negara berani mengelola sumber daya alam tanpa ada intervensi asing semata-mata untuk kemakmuran dan kesejahteraan. Meskipun pemerintah sudah berusaha untuk mengelola sumber daya alamnya secara mandiri namun itu belumlah cukup, selain itu masih besarnya tekanan dan pengaruh dari asing menyebabkan negara ini semakin lemah. Melihat kontrak perusahaan-perusahaan asing tersebut akan habis dalam 6 tahun kedepan maka solusi terbaik untuk mendapatkan ketahanan dan kedaulatan atas sumber daya minyak bumi kita adalah dengan cara renegosiasi kontrak. Negara mampu mengambil alih kepemilikan asing atas pengelolaan minyak bumi ataupun nasionalisasi sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa negara di Amerika Latin seperti Venezuela dan Argentina. Argentina sukses melakukan nasionalisasi atas perusahaan minyak YPF yang sebelumnya dikuasai oleh Repsol milik Spanyol. Meskipun awalnya negara tersebut mendapatkan kecaman dari pihak barat seperti dari Uni Eropa, IMF, dan Bank Dunia namun semua itu hanyalah bersifat sementara. Dan semua itu sudah dibuktikan oleh negara-negara tersebut yang saat ini mampu mengelola sumber daya alamnya secara mandiri. Negara kita sebetulnya mampu mengimplementasikan langkah nasionalisasi ini mengingat kasus yang terjadi tidaklah berbeda antara Indonesia dengan Argentina. Ketakutan akan larinya investor asing sebagai dampak dari nasionalisasi tidaklah sepenuhnya terbukti, karena pada akhirnya investor-investor tersebut masih akan terus berdatangan dan bahkan mereka ingin melakukan renegosiasi. Untuk melakukan nasionalisasi dibutuhkan kerjasama pemerintah, rakyat, parlemen, serta undang-undang. Selain itu kita juga harus menghilangkan kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok yang hanya akan merugikan bangsa. Solusi selanjutnya adalah melakukan renegosiasi kontrak seperti pemutusan kontrak jika kontraknya telah habis, merenegosiasi lamanya kontrak supaya lebih dipersingkat waktunya, merenegosiasi kepemilikan perusahaan supaya negara tidak lepas kendali atas perusahaan tersebut, dan berbagai bentuk renegosiasi lainnya. Meskipun saat ini pemerintah telah berusaha untuk melakukan renegosiasi namun hal itu masih dirasa sangat lamban dan kurang tegas serta tidak transparan sehingga masyarakat tidak mengetahui kemajuan renegosiasi kontrak dengan perusahaan asing. Jika pemerintah memang berniat untuk menjaga ketahanan sumber daya minyak dan gas maka pemerintah harus serius melakukan renegosiasi dan tidak boleh takut dengantekanan dan kecaman pihak barat seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara di Amerika Latin. (FDA)

Fikri Dzikrian A.

RENEGOSIASI KONTRAK MIGAS, PERLUKAH?
Bukan rahasia umum lagi bila kedaulatan akan migas di Indonesia telah didominasi oleh pihak asing. Lihat saja persentase perusahaan-perusahaan raksasa pengebor minyak yang ada di negeri ini, 74% perusahaan berlabel asing, 22% perusahaan nasional, dan sisanya digunakan oleh konsorsium asing dan lokal. Dengan komposisi seperti ini, apakah kekayaan alam, terutama migas sebagai sumber energi utama negeri ini, berhasil digunakan untuk kesejahteraan rakyat sebesar-besarnya?

Dominasi perusahaan asing atas pengelolaan minyak tidak terlepas dari peran UU Migas Nomor 22 Tahun 2001, dimana liberalisasi akan sektor tersebut sangat terlihat di beberapa pasalnya, contoh pasal 28 ayat (2) dan pasal 12 ayat (3). Kekuatan liberisasi yang kental di UU ini ditengarai merupakan implementasi dari Letter of Intent (LoI) dengan IMF (International Monetary Fund) pada tahun 1998 dan pemberian utang dari Amerika Serikat melalui USAID bekerjasama dengan Islamic Development Bank (IDB) dan World Bank. Adanya campur tangan pihak-pihak tersebut dalam memberikan bantuan, ternyata juga berefek pada campur tangan lain dalam pembuatan draft UU Migas. Hasil dari campur tangan tersebut dapat dilihat dari isi UU tersebut yang cenderung menekankan pada liberalisasi migas.

Adanya liberalisasi tersebut secara perlahan-lahan menghilangkan Hak Menguasai Negara (HMN) atas tambang migas. HMN diperlukan untuk memastikan penggunaan migas benar-benar ditujukan sebesar-besarnya pada negara. Untuk mengembalikan kembali HMN, pemerintah mulai mengadakan renegosiasi dengan para kontraktor, baik pihak nasional ataupun asing.

Renegosiasi pemerintah yang baru saja dilakukan ditujukan khusus pada sektor gas. Perlu diketahui, harga gas alam cair (LNG) yang dijual secara domestik di Indonesia hanya sekitar 3,5 dollar Amerika per juta British thermal unit (mmbtu), jauh dibawah tingkat harga pasar gas yang mencapai lebih dari 15 dollar Amerika per mmbtu. Renegosiasi yang dilakukan pemerintah bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui kenaikan harga jual beli. Hasilnya, kesepakatah harga jual beli pun dicapai dengan lima kontraktor kontrak kerja sama melalui kenaikan yang cukup signifikan mencapai 5 – 6 dollar Amerika per mmbtu untuk penjualan ke PGN, PLN, dan Malaysia.

Untuk sektor minyak secara khusus, belum ada renegosiasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kontraktor-kontraktor kontrak kerjasama. Padahal, renegosiasi terhadap minyak sendiri merupakan suatu upaya sangat penting mengingat minyak menjadi sumber energi yang lebih krusial penggunaannnya di Indonesia daripada gas. Liberalisasi migas melalui UU Migas membuat pihak asing lebih berkuasa atas kekayaan minyak yang dimiliki negara ini. Dominasi tersebut kemudian akan memicu pada kelangkaan minyak untuk kebutuhan nasional, apalagi setelah hak monopoli Pertamina sebagai pemenuh kebutuhan minyak nasional dicabut. Kelangkaan ini pun dapat menular pada pencabutan subsidi BBM yang mana merupakan bantuan supply energi dari negara untuk kalangan-kalangan menengah ke bawah. Selama pemerintah belum dapat menciptakan energi terbarukan dan melakukan pencabutan subsidi BBM secara bersamaan, maka dapat dipastikan bahwa tingkat kesejahteraan rakyat, terutama pada kalangan menengah ke bawah, akan menurun. Maka dari itu, segera diperlukan peran pemerintah untuk melakukan renegosiasi terhadap para kontraktor kontrak kerja sama demi terwujudnya peningkatan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat sebagai pemilik mutlak kekayaan alam tersebut. (LPS)

Luluk Permata Sari



Kontrak Migas dan Kompleksitasnya

Hasil pengelolaan migas di Indonesia memainkan peranan penting dalam proses pembangunan di Indonesia. Jika dilihat dalam APBN, hasil penerimaan migas mencapai 30% dari total penerimaan pemerintah. Dengan alasan inilah industri migas dikatakan industri strategis yang memainkan peranan penting dalam pembangunan. Oleh karena itu 72 blok wilayah nya dikontrakkan dan bekerja sama dengan pihak asing maupun lokal untuk investasi dan menambah total penerimaan pemerintah.

Metode pengelolaan migas di Indonesia adalah menggunakan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), dimana hasil produksi akan dibagi dalam prosentase yang telah disepakati pada kontrak. Namun mengejutkan ketika kontrak-kontrak tersebut masih lebih menguntungkan pihak tertentu tapi masih juga terus diperpanjang, tanpa perbaikan untuk lebih menguntungkan negara. Tentu menjadi pertanyaan besar bagi sejumlah kalangan. Sampai kapankah Indonesia kehilangan kedaulatan.

Untuk diketahui bersama bahwa bagi hasil biasanya sekitar 85:15 untuk minyak dan 70:30 untuk gas. Dalam hal ini, masih besar untuk negara yaitu sebesar 85 dan 70, namun ternyata negara masih harus membayar cost recovery dari produksi tersebut. Atau lebih simpel dikatakan prosentase tersebut dalam gross. Pada tahun ini misalnya baru 50 persen produksi minyak yang bisa diolah dalam negeri, sementara 35 persen lainnya diserahkan kepada kontraktor untuk membayar cost recovery pengolahan minyak di luar negeri, dan 15 persen produksi sisanya untuk bagi hasil dengan kontraktor. Diusahakan kedepannya 35 persen tersebut dapat diambil untuk diolah lagi menjadi BBM dan dapat memenuhi kebutuhan domestik. Perlu ada optimisme dan support dari berbagai pihak, bahwa suatu saat Indonesia mampu mengolah sendiri hasil buminya.

Angin segar bagi orang-orang yang merindukan kedaulatan negara di negaranya sendiri dengan potensi alam yang dimilikinya. Dalam waktu dekat, 29 blok akan habis masa kontraknya. Dan pada tahun 2017 akan ada 4 blok yang akan habis. 4 blok yang akan habis masa kontraknya dijanjikan oleh ESDM agar ketika perpanjangan kontrak migas lebih menguntungkan Indonesia. Tidak hanya kepada asing, namun juga perusahaan dalam negeri. Tentunya perlu bagi ESDM untuk membuat regulasi secepatnya bagi wilayah blok migas ketentuan dan aturan main, agar kedepannya lebih terjamin.

Regulasi juga harus berkaitan dengan CSR, karena diberitakan BP Migas kurang dalam hal CSR karena BP Migas tidak diperkenankan memberikan dalam bentuk uang, melainkan dalam bentuk natura jadi seringkali tidak terlihat jumlah nominalnya. Hal ini tentu membuat rumit, dan terkesan tidak transparan. Perlu ada kejelasan dari ESDM maupun BPMIGAS untuk segera membuat rancangan undang-undang sebagai jalan tengah banyaknya investor migas di Indonesia.

Sekali lagi, kontrak-kontrak baru ataupun perpanjangan tersebut masih berdasar pada income yang akan didapatkan perusahaan. Contohnya saja perusahaan Elnusa target pendapatan tahun ini adalah Rp5,6 triliun (US$599 juta) naik dari Rp4,71 triliun pada 2011 seiring dengan bertambahnya kontrak baru yang diperkirakan mencapai Rp2,8 triliun (US$321 juta). Meskipun tentunya setiap perusahaan Migas memiliki CSR namun perlu diperhitungkan pula bagaimana keadaan serta kondisi potens minyak dan gas di Indonesia.

Hal lain yang perlu ditilik dari perpanjangan kontrak ini adalah ribetnya birokrasi dan luasnya blok wilayah migas yang dikontrakkan. 72 blok wilayah yang dikontrakkan tentu bukan jumlah yang sedikit. Perlu ada bantuan dari daerah ataupun provinsi untuk mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan guna memperpanjang kontrak migas tersebut. Tiap daerah seyogyanya mau membantu pusat dengan berinisiatif menyerahkan dokumen kontrak migas di daerahnya. Hal ini untuk arsip dan kelengkapan karena kita tahu mengumpulkan dokumen pada 72 blok bukan hal yang mudah.

Kontrak migas dengan semua kompleksitasnya tentu membutuhkan waktu cukup lama untuk terus memperbaiki hingga keadaan yang terbaik. Namun, Indonesia sudah terlalu lama disentil kedaulatannya utamanya pada migas. Langkah terbaik saat ini adalah koreksi dan benahi. Kedaulatan kami terlalu lama diusik. (ZD)

Zidnie Dzakya

Memperkuat Posisi Tawar Negeri dalam Kontrak Pengelolaan Migas di Indonesia

Tiga bulan pasca isu kenaikan Bahan Bakar Minyak(BBM), perhatian publik mengenai kebijakan pemerintah terkait minyak dan gas (migas) masih cukup tinggi. Diskusi publik, kajian komprehensif, serta opini masyarakat masih saja muncul sampai saat ini untuk menilai sudah cukup baikkah pemerintah dalam mengelola kekayaan negara yang menjadi hajat hidup orang banyak. Mulai dari pro-kontra kenaikan harga BBM, ketersediaan cadangan migas sebagai BBM,masalah kontrak kerjasama, hingga efisiensi pengelolaan migas itu sendiri diurai secara utuh dan komprehensif. Banyaknya aspek yang dapat diperbincangkan mengenai migas menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan itu di Indonesia. Kalau ditarik menjadi satu, maka permasalahan pengelolaan migas di Negara kita bermuara pada satu hal, lemahnya posisi tawar kita dengan negara lain, khususnya ketika dihadapkan pada kontrak perjanjian pemanfaatan migas dalam negeri. UU Migas No.22 Tahun 2001 menjadi bukti nyata bagaimana campurtangan asing begitu kuat dalam perumusan aturan tersebut, sehingga banyak sekali muncul kontroversial mengenai pasal-pasal yang memberikan kebebasan lebih bagi perusahaan migas asing untuk mengelola migas kita.

Kenyataan di lapangan dan data statistik menunjukkan kecilnya proporsi perusahaan nasional dalam pengelolaan migas dalam negeri, sehingga menyebabkan lemahnya posisi tawar Indonesia sendiri dalam perjanjian kontrak maupun perumusan kebijakan bersama berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya strategis ini. Untuk target produksi minyak rata-rata 970 ribu barel per hari tahun 2011, BUMN Pertamina EP hanya memegang peranan sekitar 13,61% atau sekitar 132 ribu barel per hari. Selebihnya adalah kontraktor asing dan swasta di mana korporasi AS Chevron ditargetkan berkontribusi sebesar 38,14% atau 370 ribu barel per hari (DetikFinance, 23/12/2010). Hanya 13% dari cadangan minyak nasional, tentu bukan prosentase yang cukup besar, dan logikanya ketika pihak Pertamina bersama kontraktor swasta asing lain berkumpul merumuskan suatu perjanjian, tentu pihak Pertamina lebih banyak menjadi pengikut, dibanding kontraktor swasta asing lain yang berusaha menjadikan perjanjian itu mampu mengakomodasi kepentingan mereka. Peraturan induk UU Migas No.22 tahun 2001 menjadi contoh nyata besarnya pengaruh swasta asing, ketika landasan perundangan mengenai Minyak dan Gas itu bukan saja memberi keleluasaan lebih dan kemudahan untuk mengelola migas nasional, tetapi juga bagaimana “keberhasilan” mereka mendorong pemerintah melakukan reformasi energi, dengan langkah kontroversial untuk menghapus subsidi BBM sehingga harga BBM nantinya diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat (pasal 28 UU No.22 tahun 2001). Lebih lanjut dipaparkan, pada saat UU Migas disahkan, pemerintah telah membuka izin bagi perusahaan-perusahaan asing untuk beroperasi di sektor migas tanah air, mulai dari hulu sampai ke hilir. Pemerintah juga memberikan izin kepada perusahaan asing membuka SPBU lebih dari 40 perusahaan. Masing-masing perusahaan diperbolehkan membuka sekitar 20.000 SPBU di seluruh Indonesia. Jika di kalkulasi, sedikitnya 800.000 SPBU milik asing akan menguasai Indonesia. Kemungkinan terburuk yang akan terjadi adalah ketika harga BBM nantinya sama dengan minyak dunia dan dibuat menyesuaikan itu, bersamaan dengan semakin banyaknya SPBU asing di Indonesia, masyarakat Indonesia tentu beralih ke SPBU asing dengan kualitas migas yang lebih baik. Hal lain yang membuat kita menggeleng-gelengkan kepala adalah bagaimana penjualan gas tangguh kita di pasar internasional. Kontrak penjualan gas Tangguh ke Fujian, China, sangat rendah, hanya US$ 3,35 per mmBtu. Sedangkan harga internasional sekarang berkisar US$ 15 – 20 per mmBtu. Hal kontradiktif yang sangat miris sekali, di saat pemerintah berupaya “mengejar” harga BBM dalam negeri menyesuaikan pada harga minyak dunia, di sisi lain pada sector gas kita seolah-olah secara cuma-Cuma menjual gas kita dengan harga jauh di bawah harga gas internasional. Indonesia seakan-akan dianggap “sangat baik” bagi pihak asing yang bertransaksi dan berinvestasi menggunakan migas kita, mereka mendapatkan “iklim kompetitif dengan adu kualitas”pada sektor minyak dengan mekanisme harga minyak pada pasar, di sector gas mereka memperoleh gas berlimpah dari Indonesia dengan harga yang sangat murah. Fakta mengejutkan lain adalah bagaimana kita melihat KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) Migas kita, mulai dari penetapan harga, pajak, bagi hasil, dll. menunjukkan betapa lemahnya bargaining power kita, kekuatan untuk melindungi kepentingan dalam negeri sehingga poin-poin kontrak yang ada lebih banyak memberi keuntungan bagi perusahaan asing. Jenis kontrak PSC (Production Sharing Contract) dengan menggunakan system bagi hasil yang disepakati dari jumlah produksi merupakan cara dan bentuk kontrak yang diambil, tetapi pada penerapannya, keuntungan besar masih menjadi monopoli asing dalam pemanfaatam migas nasional. Adanya cost recovery sebagai biaya produksi yang diganti pemerintah kepada pihak swasta asing tentu memberikan proporsi keuntungan lebih, dan itu menjadi insentif bagi mereka untuk tetap berinvestasi di Indonesia. Durasi kontrak yang diambil antara 10-30 tahun juga memunculkan masalah sendiri karena waktu yang lama itu memberi kesempatan bagi swasta asing untuk memaksimalkan pengurasan migas kita. Masalah lain adalah bagaimana perbedaan perhitungan antara pemerintah dan kontraktor tambang dapat mempengaruhi penerimaan migas kita,Catatan saja, beberapa waktu lalu berdasarkan hasil audit KPK ditemukan tunggakan pajak dari 14 perusahaan tambang migas asing senilai Rp 1,6 triliun yang disebabkan adanya perbedaan tax treaty (perjanjian pajak) dengan beberapa kontraktor kerjasama (KKKS). Akibat perbedaan tax treaty ini, porsi bagi hasil migas pemerintah dengan beberapa KKKS menjadi berkurang. Kompleksnya masalah akibat buruknya posisi tawar Indonesia dalam kontrak pengelolaan migas menimbulkan banyak kerugian bagi Indonesia itu sendiri, keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pihak swasta asing, potensi penerimaan negara pun tak bisa dimaksimalkan akibat penetapan harga di bawah harga pasar dalam kontrak tersebut.

Kemudian kita bertanya-tanya, mengapa kita tidak cukup kuat dalam pembahasan maupun negosiasi kontrak pengelolaan migas kita? Bukankah itu adalah kekayaan alam kita? Ada dua hal yang bisa menjawab dan itu menjadi kelemahan Indonesia itu selama ini sehingga negara yang kaya akan sumber daya alam ini justru banyak merana ditimpa masalah kemiskinan dan serba kekurangan. Kendala pertama adalah kendala teknis yaitu masalah infrastruktur dan kesiapan teknologi kita sebagai “senjata”pemanfaatan migas kita. Industri migas memiliki karakteristik padat modal, teknologi, dan analogi keduanya adalah bagaimana kita harus mengukur kekuatan infrastruktur yang ada dan teknologi yang kita pakai. Bukan rahasia lagi Indonesia menggunakan peralatan berumur tua, “belum rusak belum dibuang” dan itu menghambat akselerasi pemanfaatan Pertamina sendiri dalam hal ini sebagai perusahaan migas nasional untuk memproduksi minyak. Masalah klasik dapat dikategorikan bahwa problem utama Indonesia dalam pembangunan ekonominya adalah masalah infrastruktur, baik itu kualitas, pemerataan pembangunannya, sehingga kendala ini selalu menajdi penghambat Indonesia dalam langkah-langkah strategis menyelamatkan migas dalam negeri. Teknologi juga, bagaimana Indonesia berada dua tiga langkah di belakang dunia internasional sehingga Indonesia hanya mampu menjadi follower, dan tertinggal beberapa langkah. Transfer teknologi tentu diharapkan untuk mendukung percepatan Indonesia mengikuti trend technology yang berkembang saat ini. Kendala kedua adalah berupa non teknis, bagaimana birokrasi, penyimpangan wewenang, serta korupsi menjadi ancaman yang dapat menganggu stabilitas perusahaan dalam berinvestasi jangka panjang, dan itu menjadi disinsentif investor dalam negeri untuk mengembangkan usaha dan berinvestasi pada pemanfaatan migas nasional. Berbelit-belitnya pengajuan izin pimpinan daerah, konfrontasi antara pemimpin daerah dengan perusahaan yang akan berinvestasi, serta segala bentuk korupsi menjadi hal yang sangat menganggu dan memberikan efek multiplier negatif bagi Indonesia itu sendiri. Baik secara teknis maupun non teknis, kedua hal ini harus menjadi perhatian bagaimana lemahnya Indonesia pada posisi tawar dalam perjanjian kontrak pengelolaan migas, sebagai bahan koreksi untuk diperbaiki.

Akhir yang harus membawa optimisme, demikian ucapan salah satu tokoh besar yang kami coba representasikan dengan memberi solusi ataupun masukan untuk memperkuat posisi tawar dalam negeri dalam kontrak pengelolaan migas Indonesia. Pertama adalah bagaimana konsolidasi internal itu penting, koordinasi sebagai satu tim, di mana perhatian utama untuk memperbaiki infrastruktur dan mengejar disparitas pemanfaatan teknologi harus segera diimplementasikan dalam bentuk kebijakan dan praktik ke lapangan. Kedua adalah bagaimana kita berusaha untuk menanamkan semangat “Berdikari” yaitu bertekad untuk berdiri di atas kaki sendiri, berusaha, berjuang demi kepentingan nasional sebagai hal yang harus diutamakan, dan itu dapat diimplementasikan dengan memperkuat posisi nasional sendiri sehingga layak dan mampu memanfaatkan sumber daya dan kekayaan alam milik sendiri, tanpa harus melibatkan peran besar dan campur tangan dari swasta asing. Bolivia, Venezuela sudah membuktikan hal tersebut, tetapi penekanannya adalah bukan secara ekstrim kita menasionalisasikan perusahaan asing dalam negeri, seolah tidak membutuhkan mereka, tetapi bagaimana memperkuat posisi kita, menjadi pihak yang lebih diakomodasi kepentingannya. Ketiga adalah bagaimana kita berusaha untuk berpikir “out of the box” dalam berbagai hal, sebagai stimulus yang dapat melahirkan produk serta terobosan baru. Indonesia sudah lekat akan stigma sebagai “follower” dalam berbagai hal, sehingga kita harus merevolusi pandangan itu dan berusaha menjadi cracker ataupun inventor yang melahirkan hal-hal baru. Ketiga solusi yang diberikan terlihat sangat general, tetapi penekanan kami bagaimana kita Indonesia harus berusaha lebih cerdas dan tegas dalam pembuatan kesepakatan, apalagi berkait dengan kekayaan dan sumber daya alam yang memyangkut hajat hidup orang banyak. Hanya dengan solusi dan karakteristik prinsip cerdas dan tegas, keyakinan dan optimism harus ditanamkan, bagaimana negeri kita, Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negara kaya akan sumber daya alam, punya cadangan migas yang luas, tetapi juga mampu menjadi pihak dengan bargaining power lebih tinggi pada perumusan kebijakan atapun perjanjian kontrak kerjasama migas. (AEI)

Aldo Egi Ibrahim

 
Renegosiasi Kontrak? Semua Harus Terlibat

Jika bicara soal pengelolaan Migas, kita akan bicara dalam dua hal: sektor hulu dan hilir. Sektor hulu berkenaan dengan eksplorasi dan eksploitasi, sementara sektor hilir mengatur proses pengolahan hingga perniagaan migas (UU 22/2001, pasal 5). Sektor hulu merupakan sektor fundamental yang berkaitang dengan penerimaan negara dan hajat hidup masyarakat, hal ini karena dalam UU jelas dijelaskan bahwa sumber daya alam ialah milik negara dan harus digunakan pemanfaatan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.

Proyek hulu migas adalah proyek Negara kontraktor adalah pekerjanya. Di Indonesia, pengelolaan sektor hulu migas dikelola oleh Badan Pelaksana migas (BP MIGAS). Wewenang BP MIGAS menurut Alfonsus Rinto Pudyantoro, corporate secretary unit BP Migas dalam kuliah umum di UGM ialah:

* Pemerintah sebagai pemegang Kuasa Pertambangan membentuk BPMIGAS untuk melakukan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu.

* Untuk melakukan Kegiatan Usaha Hulu, Badan Usaha atau Badan Usaha Tetap (didefiniskan dalam UU 22/2001) wajib mengadakan KKS dengan BPMIGAS.

* Pengendalian Kegiatan Usaha Hulu oleh BPMIGAS dilakukan lewat manajemen operasi KKS yang dipegang oleh BPMIGAS.

* Kegiatan yang yang dikendalikan oleh BPMIGAS adalah kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana didefinisikan dalam UU 22/2001 dan aktivitas (pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan dan penjualan hasil produksi) yang merupakan kelanjutan kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tersebut seperti diatur dalam Pasal 26 UU 22/2001.

Salah satu tugas BPMIGAS yang kini menjadi perhatian serius para ahli migas dan ekonom ialah penjualan lahan produksi maupun hasil produksinya. Banyak sekali kerjasama dalam hal eksplorasi MIGAS dengan asing yang sejujurnya isi perjanjian tersebut sudah kadaluarsa. Karena dibuat 20 ataupun 30 tahun yang lalu, sehingga sudah tidak relevan lagi dengan keadaan saat ini. Kerja sama dalam bidang migas memang selalu dalam jangka waktu yang relatif lama, karena sulitnya eksplorasi dan besarnya risiko yang akan dihadapi oleh kontraktor migas. Namun dalam perjanjian terdahulu tidak terdapat klausul yang menyatakan perjanjian dapar di renegosiasi di tengah kontrak dengan menyesuaikan keadaan yang ada agar tidak ada yang dirugikan. Hal ini perlu dilakukan mengingat dalam perdagangan internasional harus mengutamakan keadilan untuk kedua pihak yang bekerjasama.

Saat ini BP Migas sedang mengupayakan adanya renegosiasi dengan perusahaan asing yang nilai kontraknya dalam perjanjian dianggap terlalu kecil. Hal ini dilakukan untuk menambah pemasukan negara, serta ditegakkannya asas keadilan dalam pembagian hasil bisnis. Baru-baru ini BP Migas sukses memperbaharui dua kontrak perjanjian jual-beli gas bumi ke Perusahaan Gas Negara (PGN) dari lapangan grissik, blokcorridor yang dioperasikan Conoco Phillips dan Pertamina EP di Sumatera Selatan.

Kini BP Migas menggandeng kementerian keuangan dalam renegosiasi kontrak Migas dengan perusahaan asing maupun lokal. Hal ini seharusnya dilakukan sejak awal agar tidak terjadi salah persepsi antara pemerintah dan BP Migas, maupun perusahaan kontraktor tentang berapa besar bagian pemasukan negara sebagai pemilik ‘harta karun’ dalam kontrak tersebut.

Namun dalam pelaksanaannya renegosiasi mengalami beberapa hambatan, diantaranya tidak ada itikad baik dari sebagian kontraktor untuk duduk bersama meneliti ulang untuk merubah beberapa butir dalam kesepakatan, karena mereka menganggap bahwa di awal kontrak tidak tertulis akan adanya renegosiasi, maka mereka menganggap renegosiasi hanya akan merugikan pihak kontraktor saja, karena mereka tentu tidak ingin keuntungan mereka berkurang. Selain itu dengan diperbolehkannya renegosiasi akan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum. Jika harga berubah mungkin harga bisa menyesuaikan, namun jikalau ada kerugian dan resiko besar, maka pihak kontraktor dapat menuntut pemerintah untuk ikut membantu mengatasi permasalahan mereka walaupun seharusnya resiko adalah tanggung jawab kontraktor secara penuh.

Jadi dalam merenegosiasi kontrak migas yang lama harus melibatkan berbagai pihak agar tidak terjadi kerancuan dan salah persepsi di masa mendatang. Dan tetap harus menganut berdasarkan UU yang kita miliki. Jangan mau lagi kita dibodohi oleh asing ataupun oknum yang memiliki kepentingan untuk dirinya sendiri. Sudah saatnya kita semua ikut mengawasi jalannya renegosiasi kontrak migas ini. Mari kita jaga dan awasi prosesnya serta kita lindungi alam kita jika terjadi hal-hal yang tidak seharusnya pihak kontraktor lakukan.

Fikri Nuru Jaman


Renegosiasi Kontrak Pertambangan Migas


Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) mengklaim sukses renegosiasi harga gas domestik untuk lima kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Menurut BP Migas, harga gas domestik lima KKKS ini sudah naik menjadi 5 dollar AS sampai 6 dollar AS per juta british thermal unit (mmbtu).

Deputi Pengendali Operasi BP Migas, Rudi Rubiandini mengatakan, adapun KKKS yang berhasil mendapatkan kenaikan harga gas itu adalah Santos Indonesia (Lapangan Maleo), HESS Indonesia (Lapangan Ujung Pangkah), JOB Pertamina-Talisman (Lapangan Jambi Merang), PT Medco E&P Indonesie dan ConocoPhilips.

"Dengan kenaikan harga gas ini, diharapkan bisa menambah penerimaan negara dan disparitas dengan harga ekspor tidak terlalu besar," ujar Rudi Rubiandini, Kamis (3/5/2012).

Rudi mengaku, revisi harga gas akan menjamin pasokan produsen gas dari hulu sampai hilir. Dengan kenaikan harga gas tersebut, produsen gas bisa tetap hidup dan mengembangkan lapangan yang mereka miliki.

Selanjutnya, produsen gas juga bisa memperbanyak produksi dan pasokan gas ke hilir. Adapun harga gas yang sudah naik itu adalah; harga gas untuk PGN, PLN dan Malaysia. Menurut Rudi, PGN sepakat menaikkan harga gas dari Lapangan Maleo dari 2,4 dollar AS mmbtu menjadi 5 dollar AS per mmbtu.

Begitu juga dengan harga beli gas PLN yang dari Hess Indonesia dan PT Medco Energy di Jawa Timur naik dari 2,38 dollar AS per mmbtu menjadi 5,1 dollar AS per mmbtu.

Kemudian, pasokan dari Medco Energy untuk PLTGU Borang naik dari 2,42 dollar AS per mmbtu menjadi 4,45 dollar AS per mmbtu. Sedangkan gas dari PLTGU Inderalaya naik dari 2,68 dollar AS per mmbtu menjadi 4,3 dollar AS per mmbtu

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kebijakannya pekan lalu juga menyoroti masalah renegosiasi kontrak tambang migas ini. Ia bilang kontrak tambang yang sudah dibuat puluhan tahun yang lalu ini sudah tidak relevan dengan kondisi yang berkembang saat ini. "Etikanya seluruh bangsa harus menghormati kontrak, menurut saya jika kontrak itu tidak adil, kita harus bicara baik-baik agar dibikin adil dan tepat," ungkapnya.

Ia juga mendorong Kementerian terkait untuk menindaklanjuti upaya pembaruan kontrak migas dengan cara melakukan renegosiasi. Perbedaan perhitungan bagi hasil tambang migas antara pemerintah dan kontraktor tambang mendorong pemerintah untuk melakukan renegosiasi kontrak tambang migas. Nantinya, Kementerian Keuangan yang akan terlibat dalam renegosiasi kontrak migas ini.

Yang menjadi kekeliruan mendasar dalam pengelolaan minyak bumi Indonesia hari ini adalah hilangnya Hak Menguasai Negara (HMN) atas tambang minyak mulai dari sumur, kilang, dan tangki, yang berdampak pada berkurangnya penerimaan negara dan pasokan minyak bumi sehingga tidak mampu melindungi tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk itu yang dibutuhkan adalah renegosiasi kontrak-kontrak pertambangan Migas dan perubahan Undang-Undang Migas. (AHA)

Abdul Hafizh Asri









Sabtu, 12 Januari 2013

Ada Apa Dengan OJK?


“Perjuanganku lebih muda karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri” (Soekarno)

Gejolak krisis tahun 1998/1999 masih terbayang dalam benak bangsa Indonesia, krisis multidimensional akibat dari seluruh sistem yang remuk oleh bad management dalam birokrasi. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang lengket pada era orde baru tersebut juga sebagai salah satu penyebabnya. Krisis yang terjadi utamanya merupakan krisis moneter dan merusak perbankan Indonesia. Oleh karena itu ,muncul gagasan untuk membuat lembaga khusus yang berwenang dan mengawasi perbankan nasional. Hal ini dikarena pada waktu itu Bank Indonesia masih dalam intervensi pemerintah sehingga penetuan kebijakan moneter kurang leluasa dan cepat. Dengan demikian ide pembentukan lembaga pengawas khusus yang disebut Otoritas Jasa Keuangan  (OJK) menjadi kenyataan setelah munculnya Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan dengan kepungurusan yang baru dilantik pada tanggal 20 Juli 2012 dengan menobatkan  Bapak Muliaman D. Hadad sebagai ketua Dewan Komisioner OJK ( DK-OJK). Sebagai mantan petinggi Bank Indonesia, maka pengalaman tak akan menjadi kendala dalam memimpin OJK, tetapi yang masih diperdebatkan adalah mengapa harus ada OJK, apakah selama ini BI dan Bapepam LK tidak mampu dalam melakukan tugas sebagai pengawas lembaga keuangan dan pasar modal? Dan independensi dari OJK dalam melakukan tugas dan wewenangnya.

Dalam menjelaskan latar belakang keberadaan dari OJK, kita bisa melihat diagram dibawah ini.
(Sumber: Presentasi Tim Sosialisasi OJK, di Surakarta, Juni 2012)

Intinya adalah ada tiga sebab, yaitu perkembangan sistem keuangan, permasalahan di sektor keuangan dan amanat Undang-undang nomor 23 tahun 1999 tentang  Bank Indonesia. Berdasarkan hal tersebutlah OJK muncul sebagai lembaga yang memiliki fungsi penyelenggaraan sistem pengaturan & pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan. Melalui OJK tersebut harapan untuk kasus Bank Century dan permainan nilai tukar oleh bank-bank asing pada tahun 1998/1999 tidak terjadi kembali.

Namun sebagai lembaga baru merupakan tantangan yang utama adalah membentuk kerangka organisasi dan kelembagaan yang utuh. Para pejabat yang diberikan amanah di OJK harus secara cepat melakukan konsolidasi internal dalam membentuk habbit dalam lingkungan kelembagaan. Mengingat semua pejabat di OJK memiliki basis kelembagaan yang lain dan tentunya masih dapat terpengaruh oleh kebudayaan dan sistem lembaga lama. Menurut, kacamata saya ini adalah salah satu kesempatan dalam mewujudkan birokrasi kelembagaan yang baru, sehingga efek domino dari perubahan system dan birokrasi lembaga-lembaga dan instansi di Indonesia bisa terwujud. Moral hazard   yang masih menjadi permasalahan dalam lembaga perlu dikembalikan pada fungsi dan tujuan awal dari lembaga. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah mengakar bisa terkelupas.

Namun disamping peluang untuk menciptakan sebuah lembaga yang bersih birokrasinya,tetapi di lain pihak kewaspadaaan diperlukan. Melihat struktur kepengurusan OJK ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi. Sebagai lembaga yang independen tentunya keterpengaruhan dari pihak-pihak lain harus bisa tiadakan. Sebagaimana yang diungkapkan Umar Juoro, Ekonom Center Indonesia for Development and Studies (Cides) dalam Kompas.com posisi wamenkeu yang menjadi ex officio rawan melanggar konstitusi  sebagaimana pasal 10 ayat 4i Undang-Undang OJK memang menyebutkan bahwa seorang anggota ex officiodari Kementerian Keuangan merupakan pejabat setingkat eselon satu Kementerian Keuangan, padahal putusan Risalah Sidang Perkara dari Mahkamah Konstitusi nomor 79/PUU-IX/2011 tanggal 5 Juni 2012 menyebutkan bahwa jabatan wakil menteri bukanlah jabatan struktural ataupun jabatan fungsional, melainkan jabatan politis. Namun terlepas dari permasalahan tersebut, menurut kami independensi dari OJK dipertanyakan, karena keberadaanya merupakan saran dan rekomendasi dari Internasional Monetary Fund (IMF) ketika krisis moneter terjadi di Indonesia. Walaupun kebijakan dan program kerja OJK belum terkerjakan tetapi bukannya kami berburuk sangka dan anti terhadap IMF terhadap keberadaan OJK, tetapi seperti yang perlu dikatakan awal, kita tetap wasapada.

Masalah yang sering muncul ketika dua lembaga berkoordinasi yaitu dalam hal ini bank Indonesia dan Kementrian Keuangan, adalah sinergisitas komunikasi dan koordinasi yang baik. Karena melihat sektor finansial yang semakin pesat tentunya membutuhkan perangkat yang lebih kompleks yang dapat menjangkau semua sektoral. Keterkaitan yang mendasar adalah kebijakan lembaga keuangan dapat sejalan dengan keadaan pasar modal. Namun, harapan besar adanya OJK adalah perkembangan dan pertumbuhan yang tidak hanya di sektor keuangan tetapi sektor riil sebagai pengejawantahan kesuksesan sebuah kebijakan finansial.

Sektor riil dan sektor finansial yang tak terpisahkan, maka keberadaan OJK dapat dijadikan perangkat yang mendorong kemajuan sektor riil di Indonesia, melalui tugasnya pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan,dan lembaga jasa keuangan lainnya. Dengan demikian kehadiran OJK dapat dirasakan oleh golongan menengah ke bawah dan UMKM yang membutuhkan kebijakan dan birokrasi yang mudah dalam berurusan dengan lembaga keuangan. Hidup Mahasiswa!

“Sebagai mahasiswa, peran aktif dalam pembelajaran dan studi kritis dalam setiap kebijakan untuk mencarikan solusi yang konstruktif.”

Anam Lutfhi
Kajian Strategis BEM FE UNS

Kamis, 10 Januari 2013

Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Siapkah Hadir Sebagai Pengawas Perbankan di Indonesia?

Masih asing di telinga kita bila mendengar kata OJK atau yang disebut Otoritas Jasa Keuangan. Hal tersebut wajar karena memang Lembaga Pengawasan ini di sahkan pada 22 November 2011 namun baru diumumkan bersamaan dengan pengangkatan ketua dan anggota pada 19 Juni 2012.

OJK mengalami perjalanan yang sangat panjang dalam proses pembentukannya. Ide untuk membentuk lembaga khusus untuk melakukan pengawasan perbankan telah dimunculkan semenjak diundangkannya UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa tugas pengawasan terhadap bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Dengan melihat ketentuan tersebut, maka telah jelas tentang pembentukkan lembaga pengawasan sector jasa keuangan independen harus dibentuk. Dan bahkan pada ketentuan selanjutnya dinyatakan bahwa pembentukkan lembaga pengawasan akan dilaksanakan selambatnya 31 Desember 2002. Dan hal tersebutlah, yang dijadikan landasan dasar bagi pembentukkan suatu lembaga independen untuk mengawasi sektor jasa keuangan.

Akan tetapi dalam prosesnya, sampai dengan tahun 2010. Perintah untuk pembentukkan lembaga pengawasan ini, yang kemudian dikenal dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), masih belum terealisasi. Kondisi tersebut menyebabkan dalam kurun waktu hampir satu decade, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidah dapat menjadi pengawas perkembangan perbankan yang belakangan ada banyak fenomena-fenomena negative. Seperti Kasus Bank Century yang melakukan penyimpangan tanpa ada ketakutan bertindak dan dikarenakan memang tidak ada lembaga tertentu yang menjadi pengawas. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini bisa menjadi penting, apabila dalam perkembangan praktek perbankan dan pengawasan perlu dilakukan dengan cara yang tepat dan sesuai dengan kepentingan.

Menyangkut urusan dana yang dikelola OJK terbilang besar, yakni mencapai Rp.7.000 triliun. Itu terdiri dari omzet perbankan sekitar Rp 3.000 triliun, omzet pasar modal Rp.3.000 triliun, dan asuransi dan lainnya  Rp 1.000 triliun. Dana itu sangat besar ketimbang dana fiskal yang hanya mencapai  Rp 1.500 triliun. Dengan dana yang mencapai Rp.7.000 triliun, beban yang ditanggung OJK sangat besar. Betapa beratnya beban OJK ini dan juga bukan hanya beban strategisnya lembaga ini, tetapi ini menyangkut kepercayaan masyarakat bagi sektor finansial.

            Diperlukan adanya sosialisai kepada masyarakat Indonesia tentang keberadaan OJK ini nantinya sekaligus untuk memberitahukan tentang tujuan dan fungsi OJK. Dengan keberadaan OJK sekarang ini dapat dimaksudkan untuk menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah. Akan tetapi meskipun OJK memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan dalam satu tubuh, fungsinya tidak akan tumpang tindih, sebab OJK secara organisatoris akan terdiri atas tujuh dewan komisioner. Ketua Dewan Komisioner akan membawahkan tiga anggota dewan komisioner yang masing-masing mewakili perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan nonbank (LKNB). Kewenangan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia akan dikurangi, namun Bank Indonesia masih mendampingi pengawasan. Kalau selama ini mikro dan makro prudensialnya di Bank Indonesia, nanti OJK akan fokus menangani mikro prudensialnya.

Monika Widya
Kajian Strategis BEM FE UNS
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: Januari 2013 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates