Arianto A. Patunru
Syukurlah gurauan itu tidak bertahan lama. Menyusul berbagai laporan yang terbit sebelumnya, baik dari Bank Dunia, IMF, ataupun ADB, maka laporan Economic Assessment of Indonesia 2008 yang diluncurkan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) tanggal 24 Juli kemarin adalah satu lagi negasi yang segar atas gurauan di atas. Indonesia adalah negara yang bukan saja menarik tapi juga penting, sekalipun berada di ”papan tengah bawah” – mengacu kepada salah satu kategori pendapatan Bank Dunia: lower-middle income.
Laporan OECD itu bukan membawa sesuatu yang sepenuhnya baru, memang. Sebagian isinya adalah hal-hal yang sudah kita ketahui. Bahwa ekonomi Indonesia telah pulih dari krisis ekonomi 1997-98, sekalipun dengan proses yang lebih lambat daripada Korea, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Bahwa investasi membaik namun masih di bawah negara-negara lain di Asia Tenggara. Bahwa perekonomian masih sangat bergantung pada konsumsi (terutama pengeluaran pemerintah) dan ekspor. Atau bahwa pertumbuhan ekspor kita lebih banyak ditopang oleh naiknya harga-harga komoditi di dunia.
Namun laporan tersebut menjadi penting karena ia adalah sekaligus pertanda bahwa Indonesia tidak mungkin mungkin lagi dinafikan dalam wacana dan keputusan ekonomi global. Indonesia dimasukkan ke dalam kelompok ”negara-negara dengan keterlibatan yang ditingkatkan” atau enhanced engagement countries yang mencakup Brazil, India, Indonesia, Cina, dan Afrika Selatan (”BRIICS”). Indonesia satu-satunya wakil Asia Tenggara, wilayah yang disebut sebagai region of priorities. Banyak hal yang menjadikan Indonesia penting, selain potensi ekonomi: populasi yang besar, negara yang luas, posisi geografi yang strategis, dan lain-lain.
Laporan OECD dalam bentuk economic assessment biasanya dikemas dalam tiga bagian: satu bagian mengupas perekonomian secara umum dengan fokus pada kinerja pertumbuhan ekonomi, dan dua bagian menyoroti isu-isu penting selain pertumbuhan. Untuk Indonesia, OECD benar, bahwa kedua isu penting tersebut adalah iklim usaha/investasi dan pasar tenaga kerja.
Kurang kondusifnya iklim investasi Indonesia telah banyak sekali dikupas oleh berbagai studi dan laporan. Pemerintah pun tampaknya mafhum bahwa iklim investasi adalah kunci pembangunan ekonomi. Berbagai kebijakan dikeluarkan untuk memperbaiki iklim investasi. Misalnya Inpres 3/2006, Inpres 6/2007, dan Inpres 5/2008. Juga paket-paket kebijakan yang berkaitan dengan iklim investasi: kebijakan infrastruktur (PMK 38/2006) maupun stabilitas keuangan (SKB 5 Juli 2006). Dan, tentu saja UU 25/2007 tentang Penanaman Modal. Semua ini patut dihargai. Sayangnya, kebijakan-kebijakan ini masih kurang efektif dalam implementasinya. Kapasitas yang kurang dari birokrasi pada tingkat operasional menjadi salah satu penyebabnya. Juga, banyak paket yang tergoda untuk mengakomodasi terlalu banyak hal sehingga menjadi tidak fokus, sehingga tampak seperti daftar cucian (laundry list). Selain itu, resistensi terhadap reformasi kebijakan masih banyak bahkan dari dalam birokrasi sendiri, baik secara horisontal (antar departemen atau antar unit) atau vertikal (antar pusat dan daerah).
Hal yang sering luput dari kebijakan adalah kenyataan bahwa pengusaha dan investor lebih peduli pada kepastian daripada janji atau program perbaikan iklim investasi yang rumit namun menimbulkan interpretasi berbeda-beda di level pelaksana. Bahkan dalam beberapa hal, mereka bersedia membayar lebih untuk kepastian yang lebih tinggi. Misalnya, waktu yang diperlukan untuk membuat perusahaan baru atau waktu untuk menyelesaikan prosedur ekspor atau impor di pelabuhan.
Terakhir, perbaikan iklim investasi perlu memprioritaskan syarat perlu untuk berbisnis yaitu kondisi infrastruktur dan logistik yang memadai. Basri dan Patunru (2008) menyimpulkan bahwa rencana investasi sering terhambat karena infrastruktur yang jelek serta biaya logistik yang tinggi. Dengan kata lain, masalah utama perekonomian Indonesia berada di sisi penawaran, bukan sisi permintaan.
Isu spesifik kedua yang dibahas oleh Laporan OECD ini adalah pasar tenaga kerja di Indonesia yang sangat kaku. Dalam paket perbaikan iklim investasi Inpres 3/2006 pemerintah mengagendakan revisi atas undang-undang ketenagakerjaan, UU 13/2003 dengan target waktu April 2006. Menyusul resistensi yang sangat tinggi dari sejumlah serikat pekerja dan juga anggota DPR, pemerintah mundur teratur. Di dalam paket lanjutan, Inpres 6/2007, rencana perbaikan itu bahkan tidak lagi muncul sebagai salah satu agenda. Bahkan isu pasar tenaga kerja hilang sama sekali. Barulah pada Inpres 5/2008 isu tenaga kerja dimasukkan kembali, sekalipun dengan agenda yang lebih berhati-hati yaitu penciptaan hubungan industrial yang kondusif dan perkuatan lembaga pelatihan dan produktivitas, tanpa perubahan pada undang-undang ketenagakerjaan. Namun tanpa perbaikan mendasar pada UU 13/2003, pemanfaatan potensi tenaga kerja Indonesia tidak akan pernah optimal. Sebaliknya, hukum dan peraturan yang dianggap melindungi tenaga kerja selain merugikan orang-orang yang sedang mencari pekerjaan juga dapat merugikan pekerja sendiri dalam jangka panjang.
Memang untuk menjadi pemain penting di level global ada harganya. Bahkan untuk sekedar menjadi menarik. Saat ini syarat kuncinya adalah potensi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, iklim berbisnis dan berusaha yang lebih kondusif (terutama dalam aspek infrastuktur, logistik, dan kepastian hukum) serta pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel.