Wapres Jusuf Kalla baru-baru ini mengundang kontroversi lewat pernyataannya bahwa demokrasi hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu kesejahteraan.
Ini bukan kali pertama Kalla melontarkan pendapat seperti itu. Tahun lalu, Kalla mengatakan bahwa demokrasi tidak selalu membawa kemakmuran. Sebaliknya, banyak negara yang otoriter seperti Singapura bisa makmur. Saya sempat membahas pernyataan Kalla tahun lalu di Kompas dan The Jakarta Post. Apa yang saya tulis di situ ternyata tetap relevan jika diulang untuk menanggapi pernyataannya baru-baru ini.
Intinya, dalam konteks akademik, Kalla memang tidak salah. Hubungan kausalitas antara demokrasi dan tingkat kesejahteraan ekonomi memang tidak bisa ditarik secara tegas. Secara teoretis, demokrasi bisa jadi baik atau buruk terhadap kesejahteraan. Ini adalah perdebatan klasik antara argument the authoritarian advantage vs. democratic advantage. Selebihnya silahkan baca dalam artikel yang saya tulis.
Jika kita tidak bisa mengambil kesimpulan secara teoretis, yang bisa kita lakukan adalah melihat fakta empiris. Di sini timbul pertanyaan: indikator apa yang digunakan? Untuk ukuran tingkat kesejahteraan, kita bisa menggunakan data PDB per kapita. Mengukur tingkat demokrasi lebih rumit. Yang biasa dilakukan dalam sejumlah studi adalah menggunakan indeks demokrasi yang disusun atas beberapa kriteria.
Salah satu indikator demokrasi yang paling terkenal adalah Indeks Kebebasan Politik (Political Freedom Index) dan Indeks Kebebasan Sipil (Civil Liberty Index) yang dikeluarkan oleh Freedom House (FH). Setiap tahun sejak 1972, FH mengeluarkan skor tingkat demokrasi di hampir seluruh negara di dunia. Skor 1 diberikan untuk negara paling bebas, dan skor maksimum 7 untuk negara paling tidak bebas.
Dari analisis scatterplot sederhana (Gambar 1), kita bisa melihat adanya korelasi terbalik yang kuat antara rata-rata indeks gabungan FH 1972-2004 dengan PDB per kapita tahun 2000. Artinya, negara-negara termakmur dalam hitungan PDB per kapita juga merupakan negara paling bebas, jika kebebasan sipil dan politik menjadi proksi yang akurat bagi tingkat demokrasi suatu negara.
Indikator lain yang juga banyak digunakan adalah Indeks Demokrasi Vanhanen, disusun oleh Tatu Vanhanen. Jika Indeks FH disusun berdasarkan hasil dari demokrasi yaitu kebebasan, Indeks Vanhanen lebih menggambarkan prosedur demokrasi. Skor tingkat demokrasi ditentukan oleh variabel-variabel seperti komposisi suara yang diperoleh kontestan peserta pemilu dan tingkat partisipasi pemilih.
Analisis scatterplot juga menunjukkan hubungan yang positif dan kuat antara Indeks Demokrasi Vanhanen dan PDB per kapita (Gambar 2 – semakin tinggi nilan Indeks Vanhanen, semakin demokratis suatu negara). Artinya, secara umum kedua indeks itu cukup konsisten mengukur tingkat demokrasi suatu negara. Tapi jika kita lihat lebih teliti, ada beberapa negara yang berpindah posisi. Dalam indeks FH, Amerika Serikat termasuk negara paling bebas. Tapi dalam indeks Vanhanen, AS bukanlah negara paling demokratis. Justru Rusia, ironisnya, menjadi negara yang paling demokratis. Mengapa begitu? Ingat bahwa indeks Vanhanen disusun berdasarkan tingkat kompetisi dan partisipasi pemilu, dan data yang digunakan adalah data awal dekade 2000an.
Gambar 2.
Perbandingan dua indikator di atas menunjukkan bahwa ukuran tingkat demokrasi di suatu negara sangat sensitif terhadap metode yang digunakan dalam membuat ukuran yang dimaksud. Sebagai ilustrasi tambahan, bandingkan gambar 1 dan 2 dengan Gambar 3 berikut ini. Dalam gambar 3, ukuran demokrasi yang digunakan adalah Indeks Polity. Indeks ini mencakup lebih banyak aspek demokrasi seperti adanya seberapa besar batasan atas kekuasaan eksekutif atau banyaknya posisi eksekutif berdasarkan penujukan. Skor lebih tinggi menunjukkan negara yang semakin demokratis. Terlihat bahwa penggunaan Indeks Polity menghasilkan hubungan yang nonlinier antara demokrasi dan PDB per kapita. Sampai satu tingkat tertentu, pergerakan dari pemerintahan otoriter ke demokratis justru berasosiasi dengan PDB per kapita yang lebih rendah.
Menggunakan laju pertumbuhan ekonomi sebagai indikator, bukan tingkat PDB per kapita, juga tidak menghasilkan kesimpulan yang lebih tegas. Banyak negara otoriter berhasil mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi seperti sejumlah negara Amerika Latin di tahun 1970- 1980-an dan Asia Timur tahun 1980-1990-an. Sementara itu negara-negara berkembang yang relatif demokratis, seperti Filipina, Fiji, atau India, setidaknya hingga pertenganan 1990a-n, terpuruk pada siklus pertumbuhan rendah. Robert Barro pernah melakukan studi tentang hal ini. Hasilnya, ia gagal membuktikan bahwa demokrasi menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Meski tidak ada bukti yang tegas bahwa demokrasi membawa kemakmuran, bukan berarti demokrasi itu tidak penting. Ada banyak alasan lain, di luar alasan ekonomi, untuk mengatakan bahwa demokrasi tetap sebuah pilihan terbaik. Selain itu, saya ingin mengulang penutup artikel saya:
...pernyataan Wapres juga perlu dilihat sebagai sebuah pesan pada para politisi. Demokrasi itu sendiri bukanlah satu-satunya tujuan akhir. Demokrasi akan berarti jika ia juga bisa membawa kesejahteraan. Dan negara-negara maju menjadi contoh bagi kita bagaimana demokrasi bisa bertahan dan dipilih oleh rakyat ketika ia berhasil menghasilkan kemakmuran bagi masyarakatnya.
** Ari A. Perdana adalah dosen FEUI, peneliti CSIS, dan anggota Cafe Salemba.
0 komentar:
Posting Komentar