Catatan pendek ini tanggapan dari tulisan menarik MCB dengan judul Faktor Non Ekonomi. MCB menolak ketergesa-gesaan untuk menggunakan istilah faktor non-ekonomi, --misalnya faktor budaya--, dalam analisa, -- misalnya korupsi--, yang sebenarnya masih bisa menggunakan alat ukur standar biaya-manfaat.
Saya jadi ingat tulisan lama dari Gary Becker dari Chicago tahun 1974, The Economic Approach to Human Behavior , yang kemudian bersama dengan The Methodology of Positive Economics dari Milton Friedman menjadi semacam manifesto atau proklamasi dari apa yang sering disebut, dengan sinis, imperialisme ilmu ekonomi terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya.
Becker menulis bahwa yang disebut pendekatan ala ilmu ekonomi itu terdiri dari tiga hal: Pertama, asumsi perilaku maksimisasi dari agen ekonomi. Kedua, adanya pasar yang dengan berbagai derajat efisiensi mengatur tindakan (action) dari agen ekonomi. Dan ketiga, adanya preferensi yang stabil terhadap berbagai bentuk-bentuk pilihan (objects of choice). Tiga hal inilah yang kemudian membedakan ekonomi dari ilmu sosial lainnya.
Soalnya kemudian begini: Jika misalnya terjadi situasi di mana ada peluang atau kesempatan yang tidak dieksploitasi agen-agen ekonomi (yang katanya maximizer) --misalnya ada duit seratus ribu tergeletak di pinggir jalan--; ilmu ekonomi tidak akan buru-buru menyatakannya sebagai faktor perbedaan budaya, atau pergeseran nilai (shift of value). Alih-alih ilmu ekonomi membuat semacam postulat: terdapat biaya-biaya yang menghalangi agen mengambil kesempatan tersebut, yang tidak dengan mudah dapat diamati pihak di luar transaksi.
Apakah postulat ini lazim dalam metodologi ilmiah? Ya. Fisika, biologi, kimia, lazim menggunakan postulat semacam ini untuk menggenapi sebuah sistem yang diamati. Soalnya adalah apakah hal ini bermanfaat dan bukan hanya sekedar menjadi semacam tautologi kosong? Ya, kata Becker. Sebab asumsi preferensi (values) yang stabil antar manusia dan antar waktu, memberikan landasan yang bermanfaat untuk memprediksi respon dari berbagai perubahan variabel, lanjutnya.
Bersama Stigler, Becker kemudian menulis De Gustibus Non est Disputandum tahun 1977, yang mendukung klaim soal preferensi (taste, value) yang stabil tersebut, sekaligus memperkenalkan variabel untuk menjembatani analisa maksimisasi, yang mereka sebut sebagai consumption capital. Dari sini muncul analisa-analisa ekonomi untuk hal-hal yang dulunya berada di luar domain ekonomi standar misalnya soal diskriminasi, fertilitas, keluarga, pernikahan, dan sebagainya, yang membawa Becker ke Swedia untuk hadiah Nobel, dan melahirkan generasi baru semacam Freakonomics Steve Levitt.
Pertanyaan yang sering muncul dari teman-teman tersebut adalah di mana letaknya struktur (sosial) dalam pendekatan ekonomi. Becker menjawab singkat dalam satu kalimat: sistem pasar dan instrumen-instrumennya menjalankan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh “struktur” dalam teori-teori sosiologi. Dengan pernyataan semacam ini, saya tidak heran reaksi seperti apa yang akan muncul di sana.
Lalu di mana kontribusi ilmu-ilmu yang lain, baik sosial maupun eksakta? Kata Becker lagi, itu letaknya pada pengaruhnya terhadap pemahaman terhadap choices dan production possibilities yang tersedia bagi agen ekonomi.
Katakanlah antropologi misalnya. Ilmu tersebut membantu ekonomi mengidentifikasi dengan lebih baik pilihan-pilihan (dan biaya-biayanya) --misalnya untuk korupsi--, yang kemudian dianalisa dengan prinsip maksimisasi biaya manfaat standar (jargon teknisnya: maksimisasi pada saat marginal benefit dari korupsi sama dengan marginal cost nya (misalnya tertangkap polisi, atau hukuman sosial).
Posisi semacam ini, bisa dimengerti, menyebalkan betul buat antropologi.
Tetapi saya kira ekonom juga tidak teramat menyebalkan. Tentu wajar bagi tiap profesi
untuk percaya bahwa profesinya tersebut bisa menyelesaikan suatu soal, dengan cara yang, pada derajat tertentu, lebih baik ketimbang profesi yang lain. Kalau tidak ada keyakinan semacam itu, buat apa kita memilih profesi kita saat ini, bukan?
Selepas Friedman, Becker, dan Chicago School, yang amat kuat pengaruhnya tidak hanya dalam akademis tetapi juga kebijakan, apakah kemudian agenda ilmiah mencari metodologi ekonomi yang pas berhenti di sini?
Tidak. Metodologi ilmu ekonomi terus berkembang. Setidaknya sampai sekarang, buat saya, tercatat beberapa perkembangan menarik. Yang pertama adalah soal bagaimana logika metodologi berbasis mikroekonomi seperti yang di atas berlaku untuk agregat? Thomas Schelling saya kira pionir di sini, sekaligus menandai masuknya analisa game theory dalam merekatkan perilaku antar individu menjadi perilaku agregat. Proyek ini berhasil masuk menjadi bagian integral metodologi ilmu ekonomi --dan membuat pusing para mahasiswa pascasarjana nya.
Kedua, soal pembentukan preferensi. Daniel Kahneman, dengan latar belakang psikologi adalah dedengkot garis depan untuk hal ini. Dan ketiga, dalam soal perilaku maksimisasi, experimental economics, dengan ernon Smith sebagai figur utamanya, saya kira menjanjikan kontribusi besar dalam metodologi ilmu ekonomi.
Menarik untuk ditunggu, apakah dua hal terakhir nantinya secara integral masuk ke dalam buku standar pengajaran ilmu ekonomi. Walaupun begitu, buat saya, sama seperti MCB, dengan metodologi yang ada sekarang pun, ilmu ekonomi berguna untuk memberikan jawaban pada banyak hal, tanpa perlu tergesa-gesa mengkambinghitamkan soal-soal semacam perbedaan budaya dan nilai.
Jadi kita tunggu saja.
** Akhmad Rizal Shidiq adalah dosen FEUI, peneliti LPEM, dan anggota Cafe Salemba. Rizal menulis dari George Mason University.
0 komentar:
Posting Komentar