Harga BBM yang meningkat disertai dengan tingkat inflasi yang diperkirakan melebihi dua digit memberikan dampak cukup besar terhadap berbagai kalangan, seperti UKM, koperasi, perindustrian, perkebuanan, perikanan-kelauatan. Dampak langsung yang dirasakan oleh nelayan yaitu peningkatan biaya bahan bakar untuk melaut. Selain harga bahan bakar untuk pengoperasian kapal semakin tidak terjangkau, kenaikan harga BBM juga berdampak pada kenaikan biaya operasional lain seperti bahan kebutuhan pokok selama melaut yang mencapai 20 hingga 30 persen dari biaya produksi, serta penyediaan es balok.
Kenaikan harga solar dari Rp 4.300,00 menjadi Rp 5.500,00 menjadikan kondisi ekonomi nelayan semakin terpuruk, terlebih karena tanpa kenaikan harga BBM pun nelayan sudah menerima harga yang melebihi harga pasar. Hal ini terjadi karena biaya pengangkutan solar dari distributor ke daerah sekitar pesisir membutuhkan biaya yang besar karena jarak tempuh dalam pendistibusian BBM tersebut cukup jauh. Dengan kenaikan harga BBM, nelayan harus menerima harga yang begitu tinggi, yaitu harga BBM yang secara resmi dinaikkan oleh pemerintah ditambah dengan biaya pendistribusian yang semakin tinggi.
Kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya operasional nelayan. Di beberapa daerah, rata-rata nelayan melaut 3-4 kali dalam satu bulan, namun setelah kenaikan harga BBM, dalam satu bulan hanya melaut 1-2 kali. Padahal, kebanyakan nelayan di Indonesia hanya menggantungan sumber penghasilan dari hasil melaut. Setiap kali melaut, jenis perahu tertentu membutuhkan 10-15 liter solar. Misalkan 15 liter solar diambil sebagai sampel dalam perhitungan, dengan harga solar saat ini (Rp 5.500,00) berarti nelayan harus mengeluarkan biaya sebesar (15 X Rp 5.500,00) atau sebesar Rp 82.500,00. Biaya ini jauh berbeda dengan biaya sebelum kenaikan harga BBM, saat harga solar masih Rp 4.300,00, nelayan mengeluarkan biaya Rp (15 X Rp 4.300,00) atau sebesar Rp 64.500,00. Biaya bahan bakar ini belum ditambah dengan biaya pendistribusian BBM. Pada umumnya, biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar yaitu sekitar 45% dri total biaya produksi setiap melaut.
Peningkatan biaya untuk BBM juga berpengaruh terhadap komponen biaya lain yang merupakan bagian dari biaya operasional. Biaya lain yang turut membengkak yaitu biaya kebutuhan pokok selama melaut, biaya penyediaan es balok, serta biaya lain yang terpengaruh karena kenaikan harga BBM tersebut. Harga kebutuhan pokok dan barang lain sebenarnya telah meningkat sebelum kenaikan harga BBM secara resmi diumumkan oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena ekspektasi masyarakat mengenai kenaikan harga BBM, sehingga harga-harga barang meningkat sebelum hagra BBM resmi dinaikkan (terjadi expected inflation).
Ketika sebagian nelayan memutuskan untuk tetap melaut, tenyata kenaikan BBM tersebut diikuti oleh kelangkaan pasokan BBM bagi nelayan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPDN), padahal nelayan tidak diperbolehkan untuk membeli BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Berkurangnya pasokan BBM ke SPDN akan berpengaruh besar terhadap produktivitas nelayan. Di samping itu, tingkat pengagguran akan meningkat karena nelayan yang tidak mampu menutup biaya bahan bakar setelah kenaikan harga BBM akan memilih berhenti melaut daripada menanggung kerugian yang begitu besar. Terlebih, sejauh ini belum terdapat energi alternatif bagi nelayan selain BBM. Kalau BBM akan dihemat, misal penghematan solar, tetap saja solar tesebut harus dicampur dengan minyak tanah, oli atau zat lain yang persentasenya tetap lebih kecil dibandingkan solar yang digunakan. Pengoplosan bahan bakar tersebut akan memperpendek usia perahu nelayan.
Solusi yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada nelayan. Dalam jangka pendek, kebijakan ini merupakan kebijakan yang efektif karena dalam jangka pendek pemerintah tidak dapat memenuhi atau memberikan bantuan secara spesifik terhadap setiap mata pencaharian dalam menghadapi kenaikan harga BBM. Nelayan perlu mendapatkan BLT untuk mengatasi lag yang terjadi akibat kenaikan harga BBM. Kebijakan ini memang hanya merupakan solusi alternatif dalam jangka pendek karena dalam jangka panjang harga-harga akan menyesuaikan dengan sendirinya. Kenaikan harga BBM nantinya akan menjadikan harga ikan laut meningkat pula. Dengan demikian, pendapatan nelayan juga akan meningkat, sehingga nelayan tetap dapat melaut. Namun, hal ini hanya akan terjadi pada jangka panjang karena pada jangka pendek ketika biaya operasional mengingkat dan nelayan meresponnya dengan meningkatkan harga ikan laut, maka permintaan terhadap ikan laut akan berkurang. Jika hal ini terjadi, maka pendapatan nelayan akan berkuranng, padahal biaya operasional membengkak. Akibatnya, apabila tidak diberikan BLT, maka kerugian nelayan dalam jangka pendek akan jauh lebih besar.
Pelaksanaan pemberian BLT kepada nelayan dengan tepat sasaran bukalah hal yang mudah. Terdapat berbagai kendala yang dapat menghambat pendistribusian BLT dengan tepat, yaitu bahwa Indonesia tidak memiliki data kependudukan yang akurat, sehingga dalam pelaksanaan kebijakan, sering sekali salah sasaran. Hal ini terjadi karena data yang dimiliki tidak diperbarui secara berkala, padahal dalam beberapa bulan saja, status pekerjaaan seseorang dapat berubah dan mata pencahariannya pun berubah. Di sisi lain, moral hazard masih banyak terjadi di Indonesia dengan berbagai alasan. Inilah yang perlu diawasi oleh setiap komponen masyarakat, termasuk mahasiswa.
Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis
0 komentar:
Posting Komentar