Pada tanggal 3 Agustus 2009 yang lalu, Presiden SBY menyampaikan RAPBN 2010 dihadapan rapat paripurna DPR RI. Rancangan APBN 2010 yang disampaikan mencapai Rp 1.009,5 triliun, naik tipis sebesar Rp 3,8 triliun (0,4 persen) dibandingkan dengan anggaran tahun berjalan (APBN-P 2009) sebesar Rp 1.000,844 triliun. Namun, jika dibandingkan dengan laju inflasi yang diasumsikan 5 persen, itu berarti belanja negara riil justru menurun sekitar 4,6 persen. Banyak pihak yang berpendapat RAPBN 2010 yang disampaikan pemerintah kurang ekspansif bahkan terkesan pesimis padahal potensi ke depan lebih besar. Tulisan ini berusaha memusatkan perhatian terhadap kebijakan antikemiskinan yang dirancangkan oleh pemerintah pada tahun 2010. Dalam RAPBN 2010, anggaran antikemiskinan dipatok sebesar 88.2 triliun rupiah dengan sasaran angka kemiskinan bisa ditekan 12-13.5% 2010. Presiden optimis sasaran tersebut dapat tercapai dengan melihat data kemiskinan yang menurun dari tahun-tahun sebelumnya sejak masa pemerintahannya. Namun demikian apakah secara riil di lapangan bahwa jumlah orang miskin mengalami penurunan di tengah perdebatan data-data tersebut?Pada kenyataannya jumlah orang miskin bukanlah sekedar angka tapi fakta, sudah menjadi pemandangan umum melihat kemiskinan di berbagai daerah Indonesia terutama di kota-kota besar. Meningkatnya anggaran untuk pengentasan kemiskinan dari tahun ke tahun bukanlah jaminan kemiskinan secara riil dapat turun jika tidak dilakukan dengan kebijakan pengentasan kemiskinan yang tepat. Kebijakan antikemiskinan yang dilakukan pemerintah lebih condong ke arah membuat masyarakat miskin menjadi lebih miskin. Program-program seperti Raskin, BLT,dll yang akan dilanjutkan pada tahun anggaran 2010 dapat membuat masyarakat miskin mengalami ketergantungan. Kebijakan kedermawanan yang kurang tepat tersebut dapat memperburuk moral dan perilaku orang miskin. Kita lihat bagaimana cara negara China sebagai negara yang memiliki berbagai kesamaan dengan Indonesia dari segi demografi, geografi, dan budaya, telah berhasil mengurangi populasi kemiskinannya yang pada 1976 berjumlah 250 juta orang berkurang sampai 23 juta orang pada 2005. Empat tahap keberhasilan yang digunakan China dalam pengentasan kemiskinan yakni: Pertama, pemerintah China membimbing warganya dalam berbagai bidang dan menyusun kebijakan yang tegas. Kedua, meningkatkan partisipasi masyarakat. Ketiga adalah kemandirian yang artinya selain bantuan pemerintah atau masyarakat, Pemerintah China menekankan bahwa penduduk miskin juga harus mempunyai kemandirian dan berupaya sendiri dalam mengatasi kemiskinan. Dan keempat adalah eksplorasi pengentasan kemiskinan. Keempat Tahapan inilah yang mampu menekan angka kemiskinan di China. Selain China, India juga termasuk negara yang berhasil menekan angka kemiskinannya dari 40% pada 1990-an menjadi 26% pada awal abad ke-21 dan ditargetkan pada 2015 tidak ada lagi penduduknya yang masuk kategori miskin. Hal ini dilakukan dengan berfokus pada pengembangan pertanian dan perdesaan serta menciptakan lapangan kerja. Penciptaan lapangan kerja dimulai dari dunia pendidikan dengan mencetak tenaga ahli dalam bidang teknologi informasi, kemudian terbentuk lembah silikon yang di sana terdapat sekitar 200 industri besar peranti lunak dan menyerap ratusan ribu tenaga kerja. Tidak hanya itu India pun mampu mengembangkan industri otomotif dan perfilmannya sehingga mampu mempekerjakan banyak tenaga kerja. Karena itulah India mampu berubah dari negara kelaparan menjadi negara berkelimpahan seperti saat ini bahkan menempati urutan kedua setelah Korea Selatan dalam pertambahan kekayaan Individual. Pemerintah lebih baik memberikan program dalam bentuk pemberdayaan yang melibatkan peran serta seluruh masyarakat. Program – program pengentasan kemiskinan mendatang sebaiknya dikembangkan dengan model pembangunan komunitas/ community development yang melibatkan turut serta aktif masyarakat. Dengan comdev yang merupakan program pemberdayaan, masyarakat miskin diberikan akses yang luas untuk meningkatkan kualitas hidupnya menjadi lebih baik. Program pemberdayaan yang sudah ada seperti PNPM Mandiri dan UKMM harus terus ditingkatkan kualitasnya dan diperkuat serta ditingkatkan alokasi anggarannya setiap tahun anggaran sedangkan program-program yang terkesan memanjakan orang miskin harus dihilangkan dalam tahun anggaran berikutnya. Kebijakan yang tepat dan sistematis dalam pengentasan kemiskinan dalam bentuk program-progran pemberdayaan masyarakat lebih efektif dalam menurunkan jumlah orang miskin di negeri ini hal ini sudah terbukti di negara-negara seperti Cina dan India. Analoginya sederhana kita bukan memberikan ikan tetapi kail dan mengajarkan kepada mereka bagaimana cara memancing ikan yang benar. Hal itulah yang harus dilakukan oleh pemerintah kita.
Oleh Departemen Kajian Strategis BEM FE Unpad 2009/2010
Sangatlah luas bila kita ingin mengkaji secara komprehensif isi dapur apbn dan semua segi yang terdapat didalamnya. Namun bila kita berbicara mengenai keberpihakan pada rakyat miskin (apbn pro poor) maka parameter yang dapat digunakanadalah komitmen dan keberpihakan pada sektor pertanian dan pangan yang merefleksikan hampir 40juta penduduk negri ini yang banyak diantara mereka adalah penduduk miskin. Selain itu pertumbuhan lapangan kerja merupakan indikasi dari high quality of growth yang berarti penyebaran kemakmuran secara proporsional, ketimbang data-data makro yang mewakili segelintir penduduk. Berikut penjabaran mengenai ketahanan pangan dan ketersediaan lapangan kerja.
KetahananPangan
Menurut FAO, ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga aspek yaitu ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas. Aspek pertama yaitu ketersediaan (availability) menekankan pada produksi pangan. Indikator aspek ini dilihat dari jumlah pangan yang tersedia harus mencukupi kepentingan semua rakyat, baik bersumber dari produksi domestik ataupun impor. Aspek kedua adalah keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi. Keterjangkauan secara fisik mengharuskan bahan pangan mudah dicapai individu atau rumah tangga. Sedangkan keterjangkauan ekonomi berarti kemampuan memperoleh atau membeli pangan atau berkaitan dengan daya beli masyarakat terhadap pangan. Ketiga, aspek stabilitas (stability), merujuk kemampuan meminimalkan kemungkinan terjadinya konsumsi pangan berada di bawah level kebutuhan standar pada musim-musim sulit (paceklik atau bencana alam). Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai implementasi dua aspek ketahanan pangan menurut FAO (ketersediaan dan keterjangkauan) dan kaitannya dengan RAPBN 2010.
1.Ketersediaan
Saat ini laju pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1,3 sampai 1,5 persen,sementara luas lahan pertanian tidak mengalami penambahan. Badan Ketahanan Pangan Deptan memperkirakan, jumlah penduduk Indonesia tahun 2030 sebanyak 286 juta orang. Penduduk sebanyak itu mengonsumsi beras 39,8 juta ton. Dengan kata lain, dalam waktu 21 tahun lagi, Indonesia memerlukan tambahan produksi beras sekitar 5 juta ton atau perlu tambahan lahan padi 3,63 juta ha. Kurangnya luas lahan yang dibutuhkan menjadi faktor penentu ketersediaan beras. Apabila keadaan ini tidak segera diatasi maka di kemudian hari Indonesia akan melaksanakan impor beras. Padahal, kisaran harga beras di pasar internasional saat ini 14% lebih murah dibandingkan harga dalam negeri, dan keikutsertaan Indonesia dalam WTO memaksa pengurangan pajak bea cukai, termasuk untuk produk pertanian. Harga beras impor yang murah karena tidak diimbangi dengan pajak impor akan memaksa produsen beras lokal untuk mengadakan persaingan taruf dan akibatnya akan menjadikan harga beras lokal menjadi murah. Dalam kondisi ini pihak yang dirugikan adalah petani sebagai produsen beras.
Sementara Indonesia menghadapai permasalahan lahan dalam meningkatkan produksi pangan yang dihadapkan pada meningkatnya jumlah penduduk, lahan-lahan pertanian di Indonesia justru banyak yang beralih fungsi. Berkembangnya pembangunan ekonomi di Indonesia telah mengakibatkan tingginya permintaan akan lahan dari tahun ke tahun. Karena lahan merupakan sumberdaya yang terbatas, alih fungsi lahan--terutama dari pertanian ke non pertanian (pemukiman, industri, sarana umum, dan sebagainya)-- tidak dapat dihindari. Selama periode 1999 – 2001, lahan sawah beririgasi teknis mengalami penurunan sebesar 63.686 ha, tegal/kebun/ladang sebesar 231.973 ha, sementara hutan rakyat berkurang sebanyak 24.033 ha (BPS Propinsi Jawa Barat, 2001). Lebih jauh lagi, pemanfaatan sempadan sungai dan sumber air lain oleh masyarakat tidak sebagaimana fungsinya menunjukkan betapa lahan menjadi suatu sumberdaya yang semakin langka (scarce resource). Hasil penelitian JICA (1993) menunjukkan pula bahwa sampai tahun 2020 diperkirakan akan terjadi konversi lahan irigasi seluas 807.500 Ha. dengan perincian 680.000 Ha. di Jawa, 30.000 Ha. di Bali, 62.500 Ha. di Sumatera dan 35.000 Ha. di Sulawesi.[1]
Melihat hal tersebut ada hal yang seharusnya perlu diperhatikan bahwa sektor pertanian sebagai sektor yang berkaitan langsung dengan ketahanan pangan, memerlukan media atau wadah yang cukup luas yaitu berupa hamparan lahan dan persyaratan tumbuh tanaman yang cukup tinggi. Persyaratan lahan yang dibutuhkan cukup tinggi karena harus memperhatikan struktur fisika dan kimiawi tanah yang disesuaikan dengan jenis tanaman. Maka, sudah sewajarnya apabila penggunaan lahan untuk keperluan pertanian ditempatkan pada prioritas pertama. Lahan bagi pertanian merupakan factor produksi yang utama dan tidak dapat digantikan. Memang kita dapat saja mengatakan bahwa teknologi, bibit unggul, dan unsure hara buatan dapat menjadikan tidak ada tanah yang marjinal untuk petani, namun pelru juga diingat bahwa penyesuaian terhadap lingkungan melalui teknologi akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit.[2]
Pertanian yang bersifat land base agricultural memerlukanketersediaan lahan untuk mewujudkan peran sektor pertanian secara berkelanjutan, terutama dalam perannya mewujudkan kebijakan pangan nasional, menyangkut terjaminnya ketersediaan pangan (food availability), ketahanan pangan (food security), akses pangan (food accessibility), kualitas pangan (food quality) dan keamanan pangan (food safety).[3] Permasalahannya, dari tahun ke tahun, konversi atau alih fungsi lahan pertanian di Indonesia terus meningkat dan sulit dikendalikan, terutama di wilayah-wilayah dengan tingkat intensitas kegiatan ekonomi tinggi. Selain itu, tekanan terhadap lahan juga berwujud bagi keberlangsungan pertanian dan perwujudan kebijakan pangan nasional dalam jangka panjang, apalagi pembukaan areal baru sangat terbatas dan tidak sebanding denganpeningkatan jumlah penduduk yang terus melaju. Selama ini telah terjadi ketidakseimbangan antara sumberdaya yang tersedia dengan peranan ekonomi dan sosial yang sebenarnya dari sektor pertanian sebagai tumpuan dari sebagian besar penduduk Indonesia. Total luas daratan Indonesia adalah 190,9 Juta ha atau 24%dari seluruh wilayah RI. Pertanian rakyat (sawah dan pertanian lahan kering ) hanya mencakup 12,3% dari daratan. Bila ditambahkan sektor perkebunan yang sebagian mewakili perkebunan skala besar yang tidak banyak menyumbang pada perekonomian rakyat, maka total sumberdaya lahan yang tersedia bagi pertanian adalah 21% dari daratan Indonesia. Pada rentang waktu 30 tahun, dari 1997-2003 terdapat peningkatan ketimpangan pemilikan lahan yang besar. Kenyataan ini dapat dibaca dari presentase petani gurem serta peningkatan proporsi petani gurem disbanding dengan total petan pemilik lahan. Sensus pertanian pada tahun 1993-2003 memperlihatkan peningkatan jumlah petani gurem dari 10,8 juta menjadi 13,7 jutaRumah Tangga Petani (RTP). Sedangkan pada kurun waktu 1983-2003 luasan kepemilikan lahan rata-rata turun dari 0,27 hektar menjadi 0.09 hektar. Bersamaan dengan itu terjadi peningkatan konsentrasi lahan di tangan elite desa. Bila pada tahun 1995 petani kaya mencakup 6% dari penduduk desa menguasai 38% lahan desa, maka pada tahun 1999 petani kaya mencakup 4% penduduk desa mengusai 33% tanah pertanian. [4]
Secara faktual, alih fungsi lahan pertanian (terutama sawah) tidak hanya berdampak pada penurunan kapasitas produksi pangan, tetapi juga merupakan wujud pemubadziran investasi, degradasi agroekosistem, degradasi tradisi atau budaya pertanian, dan merupakan salah satu sebab semakin sempitnya luas garapan usaha tani serta turun atau tidak beranjaknya kesejahteraan petani. [5]Kesejahteraan rumah tangga petani tanaman pangan yang relatif rendah dan cenderung menurun sangat menentukan posisi ketahanan pangan ke depan. Selama ini sumber daya lahan belum dimanfaatkan secara optimal, bahan pangan diproduksi pada lahan seluas sembilan juta hektar dan itu pun ditanami dengan komoditas hortikultura, perkebunan,dll. Perlu segera dicarikan jalan pemecahannya yang dikaitkan dengan masalah kepemilikan lahan sempit. Ketahahanan pangan harus didukung oleh perluasan areal tanam melalui[6] :
1.Pemanfaatan lahan tidur
2.Pembukaan lahan baru dengan delineasi yang akurat
3.Peningkatan indeks pertanaman pada lahan sawah irigasi
Dalam APBN 2009, Departemen Pertanian menargetkan tercapainya tingkat pertumbuhan di bidang pertanian sebesar 4,6 persen. Selain itu Departemen Pertanian juga menargetkan peningkatan produksi beras menjadi 40 juta ton. Target peningkatan produksi seharusnya diimbangi dengan perluasan lahan dan infrastruktur pertanian. Perluasan lahan dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan tidur dan reformasi agraria. Peningkatan infrastruktur pertanian dapat dilaksanakan dengan perluasan lahan sawah irigasi. Penjalanan program-program tersebut perlu dibarengi dengan anggaran yang mencukupi program-program tersebut. Hal ini lah yang menjadi kontradiksi dalam APBN 2009. Di satu sisi pemerintah menargetkan peningkatan produksi namun di sisi lain program reforma agrarian dan pembukaan lahan tidur tidak mendapat dukungan dana yang mencukupi.
Kesejahteraan Petani
Petani Indonesia belumlah semaju petani asing yang mendapatkan subsidi yang berlimpah dari pemerintahnya. Petani di Indonesia masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan harga pupuk yang murah. Mereka juga mendapatkan kendala untuk memperoleh benih berkualitas dengan harga yang relatif terjangkau. Itulah realita yang dihadapi para petani di Indonesia. Di saat petani diluar negeri menjadi sangat kaya karena subsidi yang begitu besar dari pemerintah, petani kita sebagian besar merupakan orang-orang yang mempengaruhi angka kemiskinan secara signifikan.
Secara statistik jumlah petani Indonesia lebih kurang sebesar 51% dari seluruh rakyat Indonesia. Sehingga kesejahteraan petani merupakan kesejahteraan Indonesia. Pada saat ini dari 51% petani tersebut sebagian besar dari mereka belumlah sejahtera. Banyak diantara mereka yang berada dibawah garis kemiskinan dan kehidupan yang sangat memperihatinkan.
Penanggulangan hal ini hendaknya menjadi prioritas pemerintah demi terwujudnya kesejahteraan bagi para petani. Ada beberapa program yang seharusnya dicanangkan oleh pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan, khususnya kemiskinan yang melanda para petani.
Program pro poor yang dimaksudkan untuk mengurangi jumlah orang miskin khususnya petani miskin seharusnya menjamin beberapa hal pokok: (1) kemudahan bagi para petani untuk memperoleh benih yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Hal ini penting mengingat semakin bagusnya benih yang dimiliki para petani, tentunya akan menghasilkan produksi tanaman yang lebih bagus lagi. (2) pupuk yang berkualitas dan harga yang terjangkau. Benih yang bagus apabila tidak disertai pupuk yang berkualitas, tentunya tidak akan menghasilkan hasil yang bagus.
Hal-hal tersebut akan bisa tercapai jika pemerintah pro aktif dalam menanggalangi masalah ini. Subdisi pangan merupakan jawaban pokok untuk menyelesaikan keterbatasan dan kesulitan para petani untuk memperoleh akses benih dan pangan yang berkualitas. Dengan adanya subsidi yang tepat sasaran dan menyeluruh tentunya akan mempermudah petani dan bisa menjadikan petani kita lebih sejahtera daripada sebelumnya.
Subsidi Pangan
Subsidi pangan merupakan cara yang paling tepat bagi pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan bagi para petani. Dengan adanya subsidi pangan petani akan mendapatkan aksesibilitas berhubung murahnya harga faktor produksi yang mereka dapatkan. Subsidi pangan lebih efektif dari lebih tepat sasaran dibandingkan subsidi BBM. Hal ini mengingat subsidi BBM lebih banyak dimanfaatkan oleh mereka yang berada pada golongan menengah keatas. Sedangkan pemberian subsidi pangan tepat sasaran bila pemerintah ingin menanggulangi masalah kemiskinan. Namun ada ironi dalam pelaksanaan subsidi tersebut. Subsidi BBM yang hanya diperoleh masyarakat golongan menengah keatas mencapai Rp870 ribu per bulan, sedangkan subsidi pangan yang lebih difokuskan kepada masyarakat miskin hanya mencapai Rp 495.360 – Rp 568.320 per tahun. Sebuah anomali ketika pemerintah ingin mengurangi angka kemiskinan.
Kebijakan pangan sendiri dilakukan untuk menstabilkan harga pangan di pasar, baik dari sisi produsen maupun dari sisi konsumen. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan subsidi pangan sehingga dapat membantu masyarakat miskin, khususnya petani yang mengalami dampak perubahan harga pangan.
Subdisi pangan sendiri bisa dilakukan dalam berbagai bentuk: (1) pengalihan dari subsidi BBM kepada subsidi pangan. (2) Pembebasan bea masuk tarif impor kedelai, jagung dan terigu. (3) menanggung PPN minyak goreng. (4) memberikan subsidi benih dan pupuk. (5) Terakhir pemusatan pada teknologi pangan.
Berdasarkan tabel dibawah, kita melihat bahwa pada setiap tahunnya dimulai dari tahun 2005-2008 ada peningkatan dalam pengucuran subsidi pangan. Bahkan pada tahun 2008 pemerintah meningkatkan subsidi pangan hingga mencapai 90%. Hal ini menunjukkan pemerintah telah mulai mengarahkan kebijakan mereka kepada peningkatan subsidi pangan dan pengalihan subsidi BBM kepada subsidi pangan. Pada tahun 2008 rencana terhadap subsidi pangan mencapai Rp12 triliun atau 0,3 persen terhadap PDB negara.
Subsidi Benih
Subsidi benih merupakan sebuah elemen penting bagi para petani agar bisa memperoleh kualitas benih yang bagus dan dengan harga yang terjangkau. Petani selalu menginginkan harga benih yang terjangkau karena bisa mengurangi biaya produksi mereka dan bisa membuat harga barang yang diproduksi menjadi lebih murah.
Kenapa subsidi benih belumlah begitu tinggi? Pemerintah sepertinya belum menganggarkan jumlah yang begitu besar bagi subsidi benih, hal ini terlihat dari proporsi subsidi benih yang masih sedikit. Hal ini bisa dilihat pada tabel berikut.
Subsidi benih telah mengalami peningkatan dari tahun 2005-2008, walaupun jumlah subsidi benih itu sendiri masih sangat kecil. Terakhir jumlah subsidi benih hanya sebesar Rp1 triliun. Angka tersebut mungkin sudah cukup bagi kondisi sekarang, namun ada baiknya agar angka tersebut ditambahkan lagi agar jumlah benih yang berkualitas akan semakin banyak dan terjangkau oleh para petani.
Hal ini sudah harus direalisasikan mulai tahun 2010 nanti, karena kondisi perekonomian global yang begitu memprihatinkan, kita harus meningkatkan produksi kita kepada komoditas pangan dan pertanian. Karena kedua hal ini tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor-faktor krisis yang terjadi pada saat ini. Sehingga rekomendari kami, subsidi untuk benih sebaiknya tahun depan mencapai angka Rp 2 triliun rupiah. Hal ini agar petani memperoleh benih yang berkualitas dalam jumlah yang jauh lebih banyak dan berkualitas bagus.
Subsidi Pupuk
Subsidi pupuk juga menjadi elemen yang begitu penting bagi produksi petani. Semakin bagus pupuk yang digunakan, maka hasil pertanian yang diperoleh akan semakin bagus. Masalahnya pupuk yang bagus tidak dapat diperoleh dengan harga yang murah. Itulah sebabnya pemerintah harus memberikan subsidi kepada pupuk. Anggaran pupuk yang dianggarkan pemerintah untuk standar yang sekarang sudah berada pada tahap yang memuaskan. Sama halnya dengan anggaran subsidi benih yang meningkat 100 persen, anggaran pada subsidi pupuk juga meningkat lebih dari 100 persen. Tahun 2008 telah dianggarkan subsidi pupuk mencapai Rp15,2 triliun atau 0,3 persen dari PDB.
Kedepannya rekomendasi dari kami adalah peningkatan anggaran pada sektor ini. Hingga mencapai minimal 0,5 persen dari PDB tahun ini. Mengingat adanya krisis pada saat sekarang ini, ada baiknya pemerintah meningkatkan subsidi pada pupuk. Lebih baik pemerintah menggelontorkan anggaran tersebut kepada subsidi pupuk ini daripada membuang-buang uang kepada subsidi BBM.
Teknologi Pangan
Kenapa para petani kita masih miskin? Selain karena masalah kesulitan memperoleh benih dan pupuk yang murah dan berkualitas, para petani kita juga mempunyai masalah dalam hal pendidikan dan teknologi pangan serta pengetahuan akan teknik mengelola lahan yang lebih baik. Hal ini dikarenakan tingkat pendidikan para petani yang masih rendah, sehingga menyebabkan mereka tidak mengetahui trik atau cara bertani yang benar. Para petani lebih banyak bercocok tanam dengan menggunakan insting dan pengalaman mereka selama ini. Kurang memasukkan unsur pengetahuan alam dan teknologi didalam setiap kegiatan produksi yang mereka lakukan.
Pemerintah melalui APBN tahun 2010 mendatang seharusnya mulai memikirkan teknologi pangan yang lebih baik kepada para petani. Kita menginginkan para petani yang mengerti kondisi dan permasalahan yang mereka alami. Sehingga para petani tidak lagi bergantung kepada pemerintah dan menunggu bantuan pemerintah. Pengembangan teknologi pertanian menjadi hal yang sangat penting bagi para petani. Hal ini bisa kita bandingkan dengan para petani dari luar negeri yang mendapatkan pendidikan yang lebih layak.
Rekomendasi kita kedepan, pemerintah harus menganggarkan pengembangan teknologi pangan kedalam rencana pemerintah pada tahun 2010. Hal ini akan memberikan dampak yang bagus kepada para petani, sehingga mereka akan lebih mengerti bagaimana caranya mengatasi permasalahan yang akan mereka hadapi. Sekarang kalau petani kita masih menggunakan cara konservatif, yang melakukan kegiatan mereka berdasarkan pengalaman, maka kita akan jauh ketinggalan dari negara tetangga. Hal inilah yang harus diminimalisir pemerintah dengan membuatk rencana pengembangan teknologi pangan, khususnya bagi para petani.
Sektor Lapangan Kerja
Sebagai sebuah Negara berkembang ( developing country ) Indonesia dituntut untuk selalu menggalakkan pembangunan di segala lini, dengan tujuan utnuk mengejar ketertinggalan dari Negara- negara lain yang telah terlebih dahulu “tinggal landas” meninggalkan Indonesia ( sebut saja Negara maju seperti Jepang, Jerman dan Prancis ). Untuk memenuhi tuntutan pembangunan itu, selain Sumber Daya Alam sebagai faktor modal untuk membangun, dibutuhkan juga faktor Sumber Daya Manusia yang berkualitas sebagai motor penggerak pembangunan. Manusia yang berkualitas menjadi penting untuk mengisi pos- pos penting dalam suatu Negara, baik itu di sektor pemerintahan maupun sektor swasta, semuanya akan berjalan bersama menuju pembangunan bangsa yang sejahtera.
Untuk mendukung hal di atas, maka pemerintah menggalakkan dunia pendidikan yang bertujuan untuk membentuk manusia bangsa yang berkualitas dan berkpribadian nasionalistik (nation character building). Setelah melalui tahapan ini, kemudian mereka akan di tempatkan di lapangan- lapangan pekerjaan sesuai dengan keahlian dan jenjang pendidikan yang mereka tekuni. Di sisi Negara sebagai penyedia lapangan pekerjaan, ia membutuhkan sumber daya pekerja untuk melaksanakan program serta cita- cita pembangunan Di sisi lain para pencari kerja membutuhkan lapangan pekerjaan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, artinya ada sebuah proses yang saling terkait di sini. Artinya selama Negara dalam hal ini diwakili oleh pemerintah mampu/dapat menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi para pencari kerja tersebut maka semuanya tidak akan menjadi masalah. Baru akan timbul masalah saat keduanya tidak seimbang, yang paling lazim terjadi adalah julmlah lapangan kerja yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pekerja, yang mengakibatkan pada akhirnya timbul pengangguran.
Masalah pengangguran ini bukanlah masalah yang sederhana, ini adalah masalah yang kompleks dari sebuah Negara. Melibatkan tidak hanya masalah jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita juga melibatkan arah penentuan kebijakan Negara. Karena seorang pengangguran berarti ia tidak dapat menghidupi dirinya sendiri akibat tidak mempunyai pekerjaan untuk memperoleh uang guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari- hari, artinya ia menjadi “beban Negara”. Tidak jarang pengangguran yang kemudian menjadi gelandangan, pengemis, kriminil atau penyakit- penyakit masyarakat lainnya, mereka semua berangkat dari satu hal yang sama, masalah himpitan ekonomi akibat tiada pekerjaan yang layak. Lalu apakah kemudian yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan ini ? semuanya akan tergambar jelas dalam APBN yang setiap tahunnya di rancang, strategi apa yang akan digunakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah pengangguran ini. Di sini kita akan coba membahas, mengkritisi dan kemudian menganalisa hal tersebut. Tentunya berdasarkan fakta- fakta yang didapat, dicoba untuk membuat sebuah kajian yang seobyektif mungkin. Sehingga dapat menjadi sumber bacaan maupun referensi bagi kita semua dalam rangka mempelajari kebijakan pemerintah dalam hal ini.
PEMAPARAN DATA PEMERINTAH
Berdasarkan data di bawah ini diketahui bahwa angka pengangguran terbuka di Indonesia antara tahun 2004 sampai dengan 2008 berkisar antara 9,39 – 10,25 juta orang. Seperti yang dipaparkan di awal inilah yang kemudian menjadi masalah terbesar di ketenagakerjaan Indonesia. Dimana Pemerintah harus mencari cara bagaimana agar tingkat penganggur ini berkurang bahkan kalau bisa hilang sama sekali. Karena masalah pengangguran ini dapat menciptakan masalah- masalah baru bagi Indonesia.
PERKEMBANGAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA TAHUN 2004 – 2008
JENIS KEGIATAN
2004
2005 (November)
2006 (Agustus)
2007
(Agustus)
2008 (Agustus)
PENDUDUK USIA KERJA
(org/jt)
153.92
158.49
160.81
164.12
166.64
ANGKATAN KERJA
(org/jt)
103.97
105.86
106.39
109.94
111.95
PENDUDUK YANG BEKERJA
(org/jt)
93.72
93.96
95.46
99.93
102.55
PENGANGGUR TERBUKA
(org/jt)
10.25
11.90
10.93
10.01
9.39
TINGKAT KESEMPATAN KERJA
(%)
90.14%
88.76%
89.72%
90.89%
91.60%
Sumber : Sakernas 2004 - 2008, BPS
Untuk dapat melihat rencana atau strategi Pemerintah dalam rangka untuk menanggulangi hal tersebut, maka kita dapat melihat di dalam Anggaran Penerimaan Belanja Negara ( APBN ) tiap tahunnya. Apakah kiranya kebijakan yang di ambil Pemerintah telah tepat dalam rangka menanggulangi hal tersebut. Apakah belum dapat kita kaji dan analisa melalui ini. Khusus untuk 2010, karena APBN masih dalam rancangan, maka kita dapat menggunakan salah satunya adalah MATRIKS PROGRAM PEMBANGUNAN TAHUN 2010 PRIORITAS BIDANG : PEMULIHAN PERTUMBUHAN EKONOMI YANG BERKUALITAS. Dalam Matriks ini kita dapat melihat mengenai kebijakan Pemerintah dalam bidang Ketenagakerjaan, dalam Bab VI yang terdiri dari dua focus, yaitu Fokus pertama mengenai peningkatan Produktivitas dan Kompetensi Tenaga Kerja dan Fokus kedua mengenai Perlindungan Pekerja Migran ( TKI ) dan Penguatan Kelembagaan. Serta kita juga dapat melihat dalam Bab V mengenai Usaha Mikro Kecil Menengah yang terdiri dari dua focus juga yaitu focus pertama mengenai Peningkatan Kapasitas Usaha Skala Mikro dan Kecil melalui Penguatan Kelembagaan dan focus kedua mengenai Peningkatan produktivitas dan Akses UKM kepada Sumberdaya Produktif.Dari sini kita kemudian dapat melihat arah kebijakan Pemerintah untuk tahun 2010.
Selain itu kita juga melihat kebijakan Pemerintah dalam hal pendidikan, karena salah satu factor penyebaba pengangguran di Indonesia adalah banyaknya lulusan sekolah Tinggi maupun Universitas yang tidak terserap oleh dunia kerja. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, pertama karena memang jurusan yang mengeluarkan sudah terlalu jebuh dengan lulusan tersebut atau juga karena criteria lulusan tidak sesuai dengan syarat- syarat yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja. Khusus untuk alasan yang kedua ini Universitas maupun SMA biasa dinilai hanya mengajarkan hal- hal yang bersifat teoritis tanpa adanya sebuah pemahaman mengenai ahal- hal apa saja yang diperlukan dalam dunia kerja, hal ini menjadikan para lulusan hanya menjadi penghapal ilmu tanpa bias memahami dan mengaplikasikannya ke dunia nyata. Inipun dapat kita kaji mengenai kebijakan pemerintah.
Memang seharusnya kita mengenalisa secara comprehensive secara total dari rencana kerja pemerintah, namun karena baik data maupun terdapat berbagai macam keterbatasan, maka akan coba dilihat mengenai sub-fokus yang bias menjadi bahan analisa dari tiap- tiap Bab yang tadi telah di sebutkan.
Dalam Bab VI mengenai Ketenagakerjaan, bias kita lihat program- program yang sudah direncanakan oleh pemerintah yang terdiri dari berbagai macam hal, seperti pelatihan/diklat, percepatan sertifikasi, penyelesaian sengketa dan lain- lain. Dari sekian banyak itu, kita dapat melihat perbandingan masing- masing, baik dari segi dana maupun tujuan dilaksanakannya program tersebut, apakah telah sesuai atau belum, lalu apakah memang telah seimbang.
Ambil saja program No. 13 mengenai Fasilitas Pendukung Pasar Kerja, Melalui Penguatan Kelembagaan, Peningkatan Informasi, penyelenggaraan Bursa Kerja, yang bertujuan untuk menyediakan informasi pasar kerja on-line yang akurat, terintegrasi dan mutakhir di 2 provinsi dan 228 kabupaten/kota.Dana yang disiapkan untuk Program ini adalah Rp. 100 milyar, bandingkan dengan Program Pembinaan Pengupahan dan Jaminan Sosial yang bertujuan untuk mewujudkan pembinaan pengupahan dan jaminan social tenaga kerja hanya didanai sebesar Rp.7,7 Miliar. Mengenai Program pertama, kritikannya adalah berdasarkan data Sakernas, pengangguran terbuka jumlahnya sekitar 10 juta orang, artinya yang jadi masalah sebenarnya bukanlah akses masyarakat terhadap lowongan pekerjaan, tetapi lebih kepada minimnya lapangan kerja di Indonesia. Jadi seperti salah target pengalokasian dana sebesar Rp.100 Miliar tersebut. Selain itu, cakupannya hanya 2 provinsi, padahal jelas itu tidak bias mewakili Indonesia secara keseluruhan. Artinya Program ini syarat dengan ketidakjelasan, dananya besar namun manfaatnya dirasa kurang akan membawa dampak yang besar bagi pengurangan masalah pengangguran di Indonesia. Lalu programberikutnya, Untuk masalah jaminan Sosial Tenga kerja hanya disediakan dana sebesar Rp. 7,7 miliar, artinya hanya kurang dari sepersepuluh dari dana program sebelumnya. Padahal kita ketahui masalah Jaminan Sosial ini penting adanya bagi para pekerja sebagai jaminan mereka dalam bekerja. Sebagai hak asasi, Jaminan Sosial di atur secara mendalam di dalam Konvensi- Konvensi Internasional seperti Social Security (Minimum Standards) Conventions, 1952 (No.102).
Mengkaji Ulang Permasalahan Ketenagakerjaan
Tenaga kerja, pengangguran dan lapangan kerja merupakan tiga diksi sakral yang saling berhubungan dan menjadi salah satu masalah pelik yang diderita Indonesia. Dalam menjalankan roda perekonomian manusia/tenaga kerja merupakan input produksi yang sangat penting, Indonesia dianugerahi tuhan 105 juta angkatan kerja, jumlah ini sangat fantastis bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Persoalan yang timbul jika potensi tenaga kerja tidak terakomodir oleh negara dan justru menjadi kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dengan 105 juta angkatan kerja dan pertumbuhan angkatan kerja baru 2,5 juta orang per tahunnya. Masalah ini semakin kompleks, program-program pemerintah sejauh ini belum mampu meng”overlap” pertumbuhan penduduk. Sinergisitas pembangunan di berbagai lini yang berbuah pertumbuhan ekonomi juga belum mampu menghadirkan “trickle down effect” yang signifikan terhadap pertumnbuhan lapangan kerja. Asumsi pertumbuhan ekonomi 1persen yang akan meningkatkan lapangan kerja sebanyak 300ribu tidak dapat dijadikan acuan lagi. Anomali nya terlalu besar, arus modal yang meepresentasikan growth tak kunjung menambah jumlah lap.kereja . Realisasi investasi baru sektor riil masih seperti setetes air di gurun pasir jika dibandingkan gemerlapnya nilai perdagangan saham di pasar modal.
Bila mencoba untuk objektif, pemerintah sebenarnya tidak berpangku tangan menghadapi masalah ini, banyak program-program yang dilancarkan pemerintah demi meredam angka pengangguran. Sebut saja Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program yang menelan anggaran Rp 51 triliun itu menjangkau sekitar 33 provinsi, 2.891 kecamatan, dan 33.527 desa/kelurahan atau 31,92 juta orang miskin di Indonesia. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). ini diperkirakan mampu menciptakan lapangan kerja bagi 12,5 juta orang sampai 14,4 juta orang per tahun.Tentu saja masih banyak program lain yang digelindingkan pemerintah, seperti menggalakkan program keluarga harapan di enam provinsi, mengoptimalisasikan pemanfaatan pohon aren untuk gula aren kristal di 10 provinsi, mengintensifkan gerakan nasional zakat untuk membantu orang miskin, serta mencanangkan gerakan nasional pengembangan sejuta rumah. Itu belum termasuk program peningkatan pengembangan usaha mikro dan bahan bakar nabati (biofuel), serta pendanaan penanggulangan kemiskinan (poverty trust fund).Pemerintah juga gencar membuka peluang kerja ke luar negeri sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI). Jumlah TKI kini mencapai empat juta orang dengan kontribusi remiten (pengiriman uang) ke Indonesia sebesar Rp 25 triliun. Besarnya perhatian pemerintah terhadap TKI dimungkinkan karena sektor tersebut bisa dijadikan alternatif di tengah sempitnya lapangan kerja di dalam negeri.
Selain itu terobosan pemerintah lainya adalah Depnakertrans dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) telah menyepakati perubahan sistem pendidikan nasional dari semula bersifat output oriented menjadi job oriented. Jika sebelumnya perbandingan sekolah umum dengan kejuruan sangat jauh (sekitar 70:30), kelak proporsinya diubah menjadi 60:40 atau 30:70. Sasarannya tiada lain agar lulusan sekolah menengah bisa langsung bekerja atau siap membuka lapangan kerja. Besarnya komposisi lembaga pendidikan kejuruan akan menciptakan link and match dunia pendidikan dan lulusannya dengan kebutuhan tenaga kerja di dunia usaha. Komposisi seperti ini telah banyak diterapkan negara-negara lain di Asia maupun di Eropa, dan terbukti mampu menekan laju pengangguran
Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah sesungguhnya sudah menunjukkan hasil kendati belum begitu memuaskan. Dalam setahun terakhir, misalnya, terjadi penurunan angka pengangguran hampir satu juta orang, dari 11 juta orang menjadi 10 juta orang. Hanya saja, penurunan angka pengangguran itu "tersalip" laju pertumbuhan angkatan kerja baru yang mencapai 1,5 juta orang. Belum lagi bila berbicara masalah penyebaran mengutip buku kwik kian gie yang berjudul indonesia menggugat, kwik meyebutkan bahwa data tahun 2003 (kwik yakin kondisi sekarang tidak banyak brubah dari data 2003)menunjukkan bahwa jumlah perusahaan 40.199 juta, yang berskala besar 2.020 perusahaan atau 0.01%. Yang tergolong UKM sebanyak 40.197 juta perusahaan atau 99.99%. Andil UKM yang 99.99% dari seluruh perusahaan dalam pembentukan PDB hanya 56,7% sedangkan usaha berskala besar dan raksasa yang hanya 0.01% andilnya sebesar 43,3%. Andil UKM dalam penyerapan tenaga kerja sebesar 99,74%, alangkah tidak adilnya, karena sekian banyak orang hanya terlibat dalam UKM uang tenntunya pendapatanya juga minimal. Hal ini menunjukkan penyerapan tenaga kerja Indonesia amatsangat bergantung pada sektor informal, Perdagangan dan pertanian adalah dua sektor yang paling luas menyedot tenaga kerja informal, untuk itu dibutuhkannya Investasi pada sektor riil yang cukup besar untuk melakukan perluasan lapangan kerja. Polemik padat karya dan padat modal pn sebenarnya sudah sedarii dulu didengung-dengungkan namun sektor riil yang merefleksikan padat karya jarang menjadi prioritas karena mindset pembangunan yang lebih kearah growth(Pertumbuhan) ketimbang welfare(Kesejahteraan). Selain itu penyerapan tenaga kerja yang paling berkualitas antara lain dilakukan sektor manufaktur. Namun, industri manufaktur di tahun 2007 lebih banyak bertumbuh di sektor yang padat modal dan teknologi. Sebaliknya, industri padat karya stagnan, bahkan meredup. Pelbagai program pemerintah mungkin untuk saat ini belum optimal dan belum menampakkan hasil, namun prioritas terhadap pemerataaan dan perluasan tenaga kerja merupakan hal yan mutlak dilakukan bangsa ini mengingat jumlah penduduk yang sangat besar beserta potensi alam yang amat berlimpah.
Indonesia memiliki luas laut sekitar 3,7 juta kilometer persegi, alangkah kayanya Indonesia apabila Indonesia dapat secara total mengelola sumberdaya perikanan yang mereka miliki. Dalam dunia laut indonesia terdapat lebih dari 1,4 miliar biota hidup yang saling berinteraksi secara sinergis dengan biota hidup maupun biota mati atau abiotik. Pengolahan sumberdaya perikanan saat ini masih jauh dari pengoptimalisasian sumber daya perikanan. Ibarat laut adalah sebuah ember makan laut indonesia adalah sebuah ember yang bocor. Sekitar 36% hasil laut indonesia dicuri habis-habisan oleh para nelayan Thailand, Vietnam, Australia, bahkan Jepang. Tidak heran jika terjadi sebuah kejadian unik ketika jala ikan tradisional milik nelayan Nusa Tengggara Timur tersangkut di kapal selam pencuri ikan milik Australia. Kebijakan pembangunan Indonesia selama ini dinilai senantiasa diarahkan pada target pertumbuhan semata (target growth oriented). Padahal apabila Indonesia mengelola sumber daya perikanan secara selection oriented maka Indonesia bisa membudidayakan eksplorasi sumber daya perikanan yang berharga jual tinggi, tahukah anda jika ikan arwana merah yang berharga ratusan dolar di pasar internasional merupakan lauk sehari-hari masyarakat pulau buru. Dengan metode selection oriented Indonesia dapat mengembangkan biota-biota laut yang bisa diekspor dan berharga mahal. Indonesia telah memiliki pasukan angkatan laut yang dapat mengidentifikasi gerakan kapal laut maupun kapal laut yang digunakan untuk mencuri sumber daya perikanan Indonesia. Bahkan dalam survey dan peringkat yang dikeluarkan oleh CIA World Fact Book, kekuatan tentara nasional Indonesia adalah yang terkuat nomer 9 di dunia. Indonesia seharusnya secara konsisten melindungi kedaulatan seluruh wilayah Indonesia secara de facto. Indonesia memiliki banyak sarjana perikanan yang menjadi pengangguran terbuka. Seharusnya pemerintah membuka balai pelatihan bagi pengolahan sumber daya perikanan secara modern dan berkesinambungan. Para politisi maupun para birokrat harus mngesampingkan usaha untuk memperkaya diri sendiri. Dan mereka secara konsistensi harus berperan aktif atau setidaknya berfikir untuk menoptimalisasi pemanfaatan Sumber Daya Perikana. Sebagian besar para politisi, petinggi negara, pejabat, maupun birokrat tidak peduli adanya perikanan, padahal perikanan merupakan tambang emas yang belum termanfaatkan oleh Indonesia. Apakah anda tahu bahwa 100% udang yang dikonsumsi oleh Singapura adalah udang galah produk Indonesia? Apakah anda tahu bahwa 93% ikan pari yang dikonsumsi warga malaysia adalah hasil produk kelautan Indonesia. Dari beberapa fakta diatas, kita patut bangga karena beberapa negara menggantungkan konsumsi perikanannya kepada negara Indonesia. Namun, produk perikanan Indonesia ternyata belum mampu menembus pasar Uni eropa karena dianggap belum memenuhi syarat-syarat atau kriteria khusus yang diterapkan oleh badan pengawas kesehatan Uni Eropa Food and Veterinary office (FVO) sehingga produk perikanan tersebut tidak layak untuk dijual di Eropa. Padahal, menurut Competent Authority (CA) DKP RI produk-produk perikanan RI sudah memenuhi syarat-syarat yang diterapkan oleh Uni Eropa. Hal tersebut membuktikan belum adanya suatu kontrol yang sistematis dari pemerintah Indonesia pada setiap produk perikanan yang akan diekspor ke luar negeri. Apabila sistem kontrol ini tidak segera diperbaiki, bukan tidak mungkin Indonesia akan kehilangan pasar di Amerika atau bahkan di Jepang yang menerapkan standar keamanan pangan yang sama atau bahkan lebih tinggi. Bahkan jumlah konsumsi hasil laut Indonesia oleh warga Singapura dan Malaysia yang cukup tinggi bukan tidak mungkin bukan berasal dari ekspor melainkan mereka “ambil langsung” dari perairan Indonesia. Pemerintah dituntut segera melakukan langkah yang nyata untuk melindungi hasil perikanan yang ada di Indonesia dan memperbaiki sistem yang ada sehingga hasil perikanan indonesia dapat lulus uji kesehatan yang diterapkan oleh negara-negara maju. Salah satu cara yang bisa diambil untuk menjaga perairan Indonesia memang dapat dialkukan dengan memperkuat armada laut yang dimiliki oleh Indonesia karena kekuatan armada laut yang dimiliki oleh Indonesia saat ini memang bisa dikatakan masih jauh dari kata “mumpuni” bahkan jika dibandingkan dengan kapal-kapal pencuri ikan negara lain yang terkadang bisa melaju jauh lebih cepat daripada kapal tempur Indonesia. Hal tersebut tentunya sangat disayangkan karena dengan wilayah yang sebagian besar adalah air sudah semestinya Indonesia memperkuat armada lautnya. Pembenahan sistem tentunya lebih rumit lagi karena saat ini belum ada sebuah badan khusus yang bisa mengakomodasikan atau menampung semua “pengekspor” hasil perikanan kita ke luar negeri. Sangat disayangkan apabila kita tidak mengoptimalkan hasil laut yang kita miliki karena wilayah negara kita sebagian besar adalah perairan dan laut. Semestinya sektor tersebut dapat memberikan kontribusi yang cukup besar dalam menunjang perekonomian di Indonesia. Untuk sebuah tanggung jawab yang diamanatkan kepadaku, demi sebuah emblem yang disematkan di lengan kiri almamaterku. Dariku yang terlalu takut untuk menumpahkan darah ini demi mempertahankan kedaulatan ibunda pertiwi
Oleh : Tim SAKSI (Darjito W., Farah Indah S., Gusti Rendi O.B.) Dept. SOSPOL Div. Kastrat BEM FE UB
Indonesia yang Kaya Indonesia telah dikenal dunia sebagai Negara Kepulauan, “Archipelagic State” yang memiliki potensi sumber daya alam dan kekayaan laut yang sangat beragam. Bahkan banyak Cendekiawan Internasional menyebut kawasan perairan laut Indonesia tropis berdaya dukung alam yang tinggi dengan kemampuan “Mega biodiversity”. Latar belakang geografis dan astronomis yang kita miliki tentu memberi kebanggaan tersendiri sebagai anak bangsa.
Data menunjukkan, dari Sabang sampai Merauke, lautan Indonesia memiliki luas sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari laut territorial dengan luas 0.8 juta km2, laut nusantara 2.3 juta km2 dan zona ekonomi eksklusif 2,7 juta km2. Di samping itu Indonesia memiliki pulau sebanyak 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km (data Departemen Kelautan dan Perikanan dalam Evaluasi Kebijakan dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional,UNCLOS 1982), yang kesemuanya itu mengandung potensi yang bernilai ekonomis sangat tinggi.
Potensi lestari total ikan laut di Indonesia menunjukkan angka 7,5 % (6,4 juta ton/ tahun) dari potensi dunia. 24 juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budi daya laut (mariculture) ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, rumput laut, dan biota laut lain yang bernilai ekonomis tinggi dengan potensi produksi 47 juta ton/tahun. Nilai ekonomi total dari produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia diperkirakan mencapai 82 miliar dolar AS per tahun. Hampir 70 % produksi minyak dan gas bumi Indonesia bersal dari kawasan pesisir dan laut (Mulyadi, 2005).
Perairan Indonesia dikenal pula dengan sumber plasma nutfah perairan terbesar di dunia. Dengan luas wilayah 1,3persen dari luas permukaan bumi, Indonesia memiliki labih dari 37 persen dari seluruh jenis ikan di dunia. Selain ikan konsumsi, laut di Nusantara pun menyimpan potensi besar ikan hias. Para pakar mencatat Indonesia memiliki lebih dari 1000 jenis ikan hias laut dan 240 jenis ikan hias tawar. Menurut perhitungan PKSPL-IPB (l998), bahwa nilai ekonomi dari sumberdaya perikanan (tangkap, budidaya, dan industri bioteknologi perairan) saja dapat menghasilkan sekitar USS 82 milyar/tahun. Potensi laut lain yang belum tergarap dengan serius adalah keanekaragaman biologi yang sangat besar. Invertebrate laut, algae, dan bakteri laut ternyata mengandung zat biokimia yang berpotensi untuk kebutuhan medis, dan dijadikan obat obatan. Misalnya, neoroxitin dari kerang laut. Zat biokimia tersebut dapat dijadikan pembunuh rasa sakit. Zat tersebut terbukti lebih ampuh 10 ribu kali dari morfin dan tanpa efek samping.
Dalam catatan terakhir, 10.160 buah pulau telah disurvei dan diverifikasi. Potensi Kelautan Indonesia yang besar telah memberikan sumbangan devisa sebesar US $ 2,6 miliar (2008). Jumlah tersebut lebih baik dari tahun 2007 yang hanya US $ 2,3 miliar saja. Potensi kelauatan dan perikanan Indonesia mencapai 70 persen dari wilayah NKRI secara keseluruhan. Letak geografis yang strategis membuat keuntungan tersendiri bagi Indonesia. Keunggulan letak Indonesia yang strategis mengakibatkan begitu besar arus frekuensi pelayaran yang melewati wilayah Indonesia. Hampir 70% total perdagangan dunia berlangsung diantara negara-negara di Asia Pasifik. Lebih dari 75% barang2 yang diperdagangkan ditransportasikan melalui laut dan 45% (1300 triliun dollar per tahun) melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) yang meliputi Selat Malaka sebagai jalur dengan frekuensi pelayaran tertinggi di dunia, Selat Lombok, Selat Makassar, dan laut-laut Indonesia lainnya (Mulyadi S, 2005).
Bagai gayung bersambut, Hawaii adalah sebuah negara yang sukses dalam bidang perikanan, namun tetap ingin merintis kerjasama dengan Indonesia dalam hal pengelolaannya. Perkawinan teknologi bidang perikanan antara Hawaii dan Indonesia diharapkan mampu memberikan hasil yang lebih baik, sekaligus menggarap potensi kelautan Indonesia secara maksimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Berawal dari Perjuangan Demi mencapai kedaulatan atas semua kekayaan diatas, bukanlah barang sekali jadi yang diberikan oleh siapapun sebagai barang hibah nan gratis namun menempuh perjalanan dan perjuangan yang tidak sedikit. Pada 13 Desember 1957 Perdana Menteri Ir Djuanda mendeklarasikan seluruh perairan antarpulau di Indonesia sebagai wilayah nasional. Deklarasi itu kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda, yang merupakan pernyataan jati diri sebagai negara kepulauan, di mana laut menjadi penghubung antarpulau, bukan pemisah. Keputusan ini mempertimbangkan (1) bentuk geografi Indonesia sebagai suatu Negara Kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri (2) bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara Indonesia semua kepulauan serta laut terletak di antaranya harus dianggap sebagai suatu kesatuan yang bulat (3) penentuan batas lautan teritorial seperti yang termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939” Stbl. 1939 No. 442 artikel 1 ayat 1 tidak lagi sesuai dengan pertimbangan tersebut di atas, karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian terpisah dengan teritorial. Deklarasi dengan prinsip Negara Nusantara (Archipelagic State) ini meskipun mendapat tantangan dari beberapa negara besar namun melalui perjuangan yang panjang dan ulet, melewati dua rezim pemerintah dan tiga rezim politik yang berbeda yaitu Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru, akhirnya Indonesia mendapat pengakuan internasional di PBB. Pada tahun 1982 lahirlah Konvensi kedua PBB tentang Hukum Laut (2nd United Nations Convention on the Law of the Sea, UNCLOS) yang mengakui prinsip-prinsip negara kepulauan Nusantara (archipelagic principles), sekaligus juga mengakui konsep Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang diperjuangkan oleh Chili dan negara-negara Amerika Latin lainnya.
Setelah melalui perjuangan panjang, akhirnya diterima dan ditetapkan di dalam konvensi hukum laut PBB (UNCLOS 1982) bahwa Indonesia adalah negara Kepulauan Nusantara. Deklarasi Djuanda yang berisikan konsepsi Negara Nusantara yang diterima masyarakat dunia dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB UNCLOS 1982 maka wilayah laut Indonesia menjadi sangat luas, yaitu 5,8 juta km sama dengan ¾ dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Salah satu keputusan terpenting bagi Indonesia pada konferensi ini adalah pengakuan terhadap bentuk negara Kepulauan dengan pengaturan hak dan kewajibannya. Keputusan tersebut secara resmi diterima untuk ditandatangani 117 negara dalam sidang terakhir Konferensi Hukum Laut (HUKLA) III PBB di Montego Bay Jamaika tanggal 10 Desember 1982. Kesepakatan Konvensi HUKLA 1982 memberikan penambahan luas wilayah perairan Indonesia secara signifikan. Bertolak dari deklarasi Djuanda 1957 dan UUD 1945 Bab IX A pasal 26, maka luas wilayah laut kita menjadi 5,8 juta km2.
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 berdasarkan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 warisan pemerintah kolonial, luas perairan Indonesia diperkirakan sekitar 100.000 km2. Berdasarkan penetapan Konvensi HUKLA 1982, wilayah laut yang dapat dikelola Indonesia berkembang menjadi 5,8 juta km2 yang terdiri atas 3,1 juta km2 perairan nasional Indonesia (Laut Wilayah atau Laut Teritorial dan perairan kepulauan) dan 2,7 juta km2 perairan laut ZEE. Luas perairan dimungkinkan dapat berkembang lagi, apabila Indonesia pada batas waktu hingga 2009 dapat membuktikan bahwa Indonesia memiliki batas Landas Kontinen di luar 200 mil laut.
Pemerintah, pada tahun 2001 kemudian menetapkan hari Deklarasi Djuanda sebagai Hari Nusantara (Keppres 126 tahun 2001). Sebelum Deklarasi Djuanda, Republik Indonesia dengan wilayah negara mencakup peninggalan Hindia Belanda, belum menjadi negara kepulauan. Menurut Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, batas laut teritorial Indonesia adalah 3 mil laut dari pantai. Maka pada waktu itu, perairan antarpulau adalah wilayah internasional. Secara fisik pulau-pulau Indonesia dipisahkan oleh laut. Dengan terbitnya UNCLOS 1982 tersebut yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dalam Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 di Indonesia UNCLOS kemudian resmi berlaku pada tahun 1994 setelah diratifikasi oleh 60 negara. Dengan UNCLOS, Indonesia mendapat pengakuan dunia atas tambahan wilayah nasional seluas 3,1 juta km2 wilayah perairan dari hanya 100.000 km2 warisan Hindia Belanda, ditambah dengan 2,7 juta km2 Zone Ekonomi Eksklusif yaitu bagian perairan internasional dimana Indonesia mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber daya alam termasuk yang ada di dasar laut dan di bawahnya. Jadilah Indonesia mewujudkan diri sebagai satu-satunya bangsa di dunia yang menamakan wilayahnya sebagai Tanah Air.
Perhatian lebih konkrit tampak pada terbentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan pada tanggal 10 November 1999 dibawah kepemimpinan KH. Abdurahman Wahid.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri telah mencanangkan Gerbang Mina Bahari, di Teluk Tomini, 11 Oktober 2003 lalu. Gerakan Nasional Pembangunan Kelautan dan Perikanan, ini diharapkan mampu mempersatukan seluruh komponen bangsa untuk mendayagunakan sumberdaya kelautan dan perikanan secara cerdas, optimal dan lestari bagi kemajuan, kemakmuran dan kemandirian bangsa Indonesia. Apabila Gerbang Mina Bahari ini dapat diimplementasikan, maka pada tahun 2006 produksi perikanan akan mencapai 9,5 juta ton. Total nilai ekspor perikanan menjadi sebesar US$ 7. Devisa pariwisata bahari akan meningkat. Jasa perhubungan laut yang selama ini menghamburkan devisa US$ l0 milyar per tahun menjadi penghasilan perusahaan pelayaran dalam negeri. Serta tambahan lapangan kerja yang dapat tercipta diperkirakan sekitar 3 juta orang.
Dukungan terhadap perkembangan geliat kelautan dan perikanan di Indonesia juga ditunjukkan oleh dunia perbankan. Sejak Maret 2003, Bank Mandiri telah menyediakan kredit khusus untuk usaha perikanan sebesar Rp 3 trilyun untuk jangka waktu sampai Maret 2004. Bank Bukopin telah dan akan membangun kredit simpan-pinjam khusus untuk usaha perikanan, bernama Swamitra Mina di l60 kabupaten/kota pesisir. PT. PNM telah menandatangani kerjasama dengan 30 Bupati/Walikota di KBI dan KTI untuk mendirikan BPR Pesisir dan Nelayan.
Demi membantu pemerintah dalam hal pemberian rekomendasi untuk kepentingan kebujakan kelautan, pemerintah membentuk Dekin. Dekin (Dewan Kelautan Indonesia) yang dibentuk 21 September 2007 sebagai pengganti Dewan Maritim Indonesia (DMI) diharapkan akan mendorong supaya potensi yang ada di laut dapat menjadi penopang ekonomi nasional. Juga supaya Indonesia tidak terjepit, mengingat percaturan strategi politik global permainannya sudah di laut. Dewan Kelautan Indonesia merupakan forum konsultasi bagi penetapan kebijakan umum di bidang kelautan. Dewan Kelautan Indonesia mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam penetapan kebijakan umum di bidang kelautan. Dalam melaksanakan tugas, Dewan Kelautan Indonesia menyelenggarakan fungsi: a. pengkajian dan pemberian pertimbangan serta rekomendasi kebijakan di bidang kelautan kepada Presiden; b. konsultasi dengan lembaga pemerintah dan nonpemerintah serta wakil-wakil kelompok masyarakat dalam rangka keterpaduan kebijakan dan penyelesaian masalah di bidang kelautan; c. pemantauan dan evaluasi terhadap kebijakan, strategi, dan pembangunan kelautan; d. hal-hal lain atas permintaan Presiden.
Laut Indonesia Kini Pengantar yang diulas diatas, tentunya menggambarkan kepada kita begitu besar potensi serta fasiltas yang kita punyai sebagai bangsa maritim. Namun saatnya untuk jujur, bahwa disadari atau tidak, kita belum kaya secara riil dari nilai kelautan. Sebagai pemilik, kita belum bisa mengoptimalkan seluruh sumber daya kelautan yang ada. Malah banyak “aset laut” kita yang malah dinikmati orang lain secara semena-semena. Fakta membuktikan bahwa kita terlalu sering “mendapat kunjungan” dari pihak asing. Potensi kelautan Indonesia yang dijarah ternyata nilainya luar biasa. Kajian khusus pencurian ikan di wilayah Indonesia memang belum dilakukan. Tetapi kajian khusus pencurian ika di laut Arafuru pernah dilakukan. Hasil yang didapat sungguh mengejutkan, bahwa 1,2 juta ton ikan di laut Arafuru dijarah. Jika 1 kg ikan dihargakan US$ 1 per kg berarti nilainya lebih dari US$ 1,2 miliar pertahun.
Memang, pencurian ikan di wilayah Indonesia yang dilakukan nelayan asing masih belum dapat ditangkal. Nelayan Vietnam, Thailand, China, Myanmar, dan Malaysia kerap secara diam – diam dan terus terang masuk laut Indonesia. Tak heran setiap tahun ratusan kepal nelayan asing tertangkap.
Yang mengejutkan justru kajian ahli dari Thailand, Anucha Charoenpo (2003). Hasil kajiannya mengungkapkan bahwa setiap tahunnya lebih dari 3000 kapal trawl Thailand masuk secara illegal keperairan Indonesia. Khususnya perairan yang dimasuki adalah Selat Malaka, Laut Cina Selatan, dan Laut Arafuru. Para Nelayan Negeri Gajah Putih merampok ikan dari Indonesia nilainya mencapai US$ 1,2 miliar hingga US$ 2,4 miliar setahun.
Banyak potensi kita yang belum dikelola karena tidak ada perhatian dari para pengambil kebijakan, sebab kurang peduli terhadap laut. Wisata bahari kita sebagai daerah tropis banyak yang belum dikembangkan sebagai sumber ekonomi. Dengan total panjang garis pantai yang luar biasa, mengapa wisata bahari yang kita miliki masih cenderung stagnant dalam hal pengembangannya. Tidak ada perubahan yang benar-benar signifikan terhadap hal ini.
Laut kita yang sebenarnya indah ini, ternyata bagi sebagian orang merupakan ladang luas untuk pembuangan limbah dan sampah. Paradigma yang muncul yaitu laut sebagai tempat pembuangan sampah, laut dipersepsikan sebagai tempat buangan berbagai jenis limbah. perairan Indonesia juga menjadi ladang subur bagi pembuangan limbah beracun industri tambang, minyak, dan gas. Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, ditemukan hampir setiap tahun tumpahan minyak mentah (tarball).
Masalah ini ternyata belum selesai sampai disini. Berkat peningkatan rata-rata suhu bumi, membawa pengaruh perubahan iklim yang tidak bisa diremehkan. Data menyebutkan bahwa di tahun 2008, nelayan Indonesia hanya melaut sekitar 180 hari. Sebagian besar akibat dampak perubahan iklim, seperti gelombang tinggi, dan pencemaran di laut. Situasi ini membuktikan, semakin parah perubahan iklim yang terjadi, maka nelayan kita akan semakin sulit.
Secara bertahap, hutan bakau di Pulau Sulawesi dan Jawa telah dikonversi untuk pertambakan dan mengalami kerusakan teramat parah. Dari sekitar 4,2 juta ha tambak pada tahun 1982, kini tak kurang dari 1,9 juta ha dalam 3 tahun terakhir. Hutan mangrove di kawasan pantai utara Jawa Tengah sebagian besar atau 96,95 persen telah mengalami kerusakan, baik kerusakan sedang maupun berat. Berdasarkan tingkat kerusakan, kawasan mangrove yang rusak sedang seluas 31.237 hektare, rusak berat 61.194 hektare, sementara yang masih baik hanya 2.902 hektare, padahal, secara ekologi mangrove dapat menahan gelombang pasang dan secara kimia mangrove dapat menetralisir dan menyaring polutan-polutan berbahaya. penyebab kerusakan hutan mangrove antara lain adanya alih fungsi lahan untuk tambak intensif, permukiman, industri, pengembangan wisata, dan penebangan liar.
Kebutuhan yang semakin meningkat akan energi, makanan, produk-produk kelautan dan isu pencemaran laut, kerusakan daerah pesisir, berkurangnya biodiversity laut, fenomena El Nino dan kenaikan muka laut menuntut pengembangan ilmu kelautan yang bersifat holostik, interdisiplin dan keharusan melakukan kerjasama internasional.
Kerja berikutnya Paradigma yang mesti dibangun di benak bangsa ini mestilah di rubah. Kebanggaan sebagai bangsa maritim harus benar-benar terinternalisasi dalam jiwa bangsa. Padahal pada kenyataannya sebagian besar penduduk bermukim di kawasan pesisir dan negara Indonesia merupakan negara kepulauan, kebanggaan sebagai bangsa bahari hanya secara nyata ditampilkan oleh beberapa suku bangsa di Indonesia. Salah satu masalah sehubungan dengan hal ini adalah rendahnya minat kaum muda potensial untuk bergelut dengan dunia kebaharian dan perikanan disebabkan rendahnya insentif di bidang kelautan dan perikanan (Sumber : Jakarta, Kompas, 8 juli 2003) Sehingga dengan adanya perubahan mind-set yang ada, diharapkan ada perubahan perilaku tiap orang, apapun statusnya, menjadi lebih aware dan mencintai laut itu sendiri.
Satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan menanamkan unsur-unsur pembelajaran mengenai kelautan Indonesia dalam kurikulum di sekolah-sekolah sejak dini. Materi Pendidikan yang diberikan kepada anak bangsa saat ini belum baik, sehingga anak Indonesia sendiri belum menyadari sejak dini pentingnya pelestarian dan pengembangan sumber daya kelautan. Kita hanya dikenalkan pada peta Indonesia yang luas, tanpa benar-benar dikenalkan pada luar biasanya potensi kelautan yang kita punya. Beberapa negara seperti Amerika Serikat telah memusatkan perhatian kepada pendidikan dalam membangun perekonomiannya, dengan memandang sumber daya manusia sebagai objek investasi bangsa. Namun disadari pula bahwa pendidikan tidak dapat berperan tunggal dalam pembangunan tanpa adanya dukungan complementary inputs atau faktor - faktor komplementari lainnya (Henry M. Levin dan Carolyn Kelly, Economics of Education Review, 1994). Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya laut dan terumbu karang, keadaan terkini menunjukkan bahwa Indonesia tidak berada dalam posisi menjadikan pendidikan sebagai sentral solusi perubahan status sumber daya laut dan terumbu karang, ataupun menjadikan pendidikan sebagai salah satu faktor komplementari dari upaya penyelamatan terumbu karang di Indonesia, bersejajar dengan upaya penegakan hukum, pengembangan riset ilmiah, dan aspek input komplementari lainnya.
Rencana Strategis Nasional (Renstra) departemen - departemen teknis yang berkaitan langsung dalam pendidikan kelautan, diantara Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Perikanan dan Kelautan belum secara eksplisit dan jelas mendukung pendidikan kelautan sebagai investasi sumber daya manusia untuk mendukung pengelolaan sumber daya laut termasuk terumbu karang di Indonesia. Padahal disadari betul potensi kelautan Indonesia yang sedemikian kaya, dengan luas terumbu karang sebesar 85.707 km2 yang merupakan 14% dari luas terumbu karang dunia(Tomascik dkk, 1997), namun dengan kondisi 37, 56% buruk dan hanya 6,69% dalam kondisi sangat baik (Suharsono, 2003)
SDM kelautan mengalami ironi dengan kurangnya perhatian bagi pendidikan di kawasan pesisir dan masih sangat rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang berinteraksi langsung dengan sumber daya perikanan dan terumbu karang.
Belum ada kurikulum formal kelautan (SD hingga SMA) integratif di tingkat nasional, propinsi, kabupaten dan/atau sekolah, hanya pihak - pihak tertentu saja yang memulai inisiatif sporadis (LSM, sekolah berwawasan laut dan lingkungan, sekolah di wilayah pesisir, Kabupaten tertentu seperti Balikpapan). Belum banyak dikembangkan alternatif pendidikan kelautan bagi generasi muda putus sekolah. Yang sering terjadi adalah pemusatan SDM dalam satu bidang saja, sehingga meninggalkan aspek lain yang sebenarnya jugalah sangat penting.
Pendidikan yang diajarkan sekarang kurang bermakna bagi pengembangan pribadi dan watak peserta didik, yang berakibat hilangnya kepribadian dan kesadaran akan makna hakiki kehidupan. Mata pelajaran yang berorientasi akhlak dan moralitas serta pendidikan agama kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengamalan untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Karenanya masyarakat cenderung tidak memiliki kepekaan yang cukup untuk membangun toleransi, kebersamaan, khususnya dengan \menyadari keberadaan masyarakat yang majemuk.
Selain itu, belum adanya alokasi yang cukup bermakna dari Departemen Pendidikan, Lingkungan Hidup maupun Kelautan dan Perikanan yang mendukung pendidikan kelautan. Itulah yang kadang disebut sebagai tidak terintegrasinya kebijakan pendidikan kelautan di Indonesia. Kebijakan pendidikan nasional belum dibuat dengan mengacu grand strategi yang tertuang dalam rencana strategi (renstra) nasional. Tidak heran kalau kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pusat dan daerah sepertinya berjalan sendiri-sendiri, sehingga belum bisa memunculkan sinergi (Sumber: GBHN 1999 - 2004).
Masalah pendidikan berdampak pada kurangnya supply staff ahli yang bisa benar-benar berkerja secara professional dalam mengembangkan potensi kelautan. Dr .Ir. Agustedi. MS, direktur Program Pascasarjana Pengelolaan Sumberadaya Perairan, Pesisir dan, Kelautan Universitas Bung Hatta, mengatakan, Indonesia membutuhkan lebih 200 ribu orang lebih tenaga kerja ahli bidang eksplorasi dan pengolahan hasil laut. Permintaan akan kebutuhan tenaga kerja ahli kelautan tersebut, belum mampu dipenuhi oleh Perguruan Tinggi (PT), di Indonesia saat ini baru ada sekitar 12 Perguruan Tinggi baik swasta maupun PTN yang mempunyai program studi atau Fakultas Perikanan dan Kelautan yang menggelar pendidikan perikanan dan kelautan. Lulusan tenaga ahli kelautan atau sarjana dibidang kelautan dan perikanan dari 12 universitas itu baru sekitar seribu orang lebih pertahun dan itu pun tidak semuanya menerjuni bidang yang cukup menjanjikan ini. Kebanyakan lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan itu lebih berharap menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sehingga cukup banyak yang menggeluti profesi lain walaupun tidak sesuai dengan dasar ilmu keahliannya. Lulusan Perguruan Tinggi memang mengharapkan pekerjaan yang layak sesuai tingkat pendidikan dan bidang keahlian, tetapi cukup terbatas yang bisa bekerja dengan memanfaatkan keahlian menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Banyaknya lulusan PT Perikanan dan Kelautan yang lebih memilih profesi lain dari pada mengolah sumbar daya kelautan. Hal itu, berkaitan dengan pola pikir yang keliru tentang bidang kajian ilmu yang ditekuninya.Sebagai ilustrasi potensi kelautan cukup menjanjikan, salah satunya terlihat dari hasil kajian para ahli terumbu karang dunia, terumbu karang seluas 1 Km persegi mampu menghasilkan ikan sekitar 40 sampai 60 ton ikan atau setara dengan 120 ribu dolar Amerika Serikat. Potensi itu, belum termasuk kemungkinan pemasukan pariwisata bahari yang mencapai 50 sampai 80 ribu dolar AS dan kegiatan penelitian. Andaikan, tenaga ahli lulusan perguruan tinggi mampu mengelola terumbu karang dan lahan laut yang mencapai 2/3 dari luas Indonesia itu, tentu akan cukup berarti bagi kemakmuran bangsa.
Sebagai bangsa maritim, selaiknya jugalah nelayan mendapat perhatian yang lebih di mata pemerintah. Para nelayan yang meskipun core-job-nya adalah pencarian hasil laut, yang seharusnya dengan potensi laut seperti ini menjadi kaya, namun yang terjadi di lapangan malah sebaliknya. Nelayan Indonesia kini identik dengan kemiskinan. Tinggal di rumah-rumah kayu yang kecil di pinggir pantai, dengan penghasilan per harinya yang kadang tidak seberapa. Sungguh hal yang memiriskan hati memang.
Saatnya berani untuk mengakui, potensi laut yang sungguh luar biasa yang diberikan Tuhan kepada kita ternyata terlalu besar dan terlalu banyak bagi bangsa ini, bahkan saking banyaknya, negara dengan penduduk kurang lebih 230 juta jiwa ini, tidak mampu untuk benar-benar memanfaatkan sembari merawat laut kita yang sungguh indah ini.
Pemerintah sebagai satu-satunya subjek pengemban amanah dari kedaulatan bangsa ini, sudah saatnya menjadikan isu ini menjadi hal yang tidak lagi diremehkan. Pembangunan saatnya diarahkan dari Land-based Development menjadi Marine-based Development. Konferensi maupun perjanjian internasional terbukti tidak bisa dijadikan jaminan adanya kemajuan yang signifikan terhadap pengembangan kebijakan kelautan Indonesia. Dan yang harus dilakukan adalah memperbaiki kebijakan dalam hal pendidikan di bidang kelautan.
Sebagai Negara yang besar, ternyata kita tidak disibukkan dengan usaha-usaha eksplorasi positif terhadap laut kita, namun malah kita hanya berpusing untuk mengusir kapal-kapal ilegal yang mengambil ikan-ikan kita secara semena-mena. Bahkan sampai sekarang, urusan ambang batas laut masih menjadi polemik dengan negara tetangga. Jika Pemerintah memang serius mengurusi seluruh kedaulatan bangsa ini, dimanapun letaknya, maka tentu hal ini tidak akan terjadi karena setiap penduduk Negara yang sungguh-sungguh mencintai bangsanya sendiri ini akan merasakan betapa besarnya anugerah Tuhan yang diberikan kepada kita.
Perkembangan kelautan Indonesia memang sudah saatnya menjadi perhatian kita bersama dengan tidak hanya berbangga. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang kufur dengan tidak mensyukuri segala nikmat ini. Bila bangsa ini ingin benar-benar besar, maka siapapun kita, saatnya sayangi laut kita seperti menyayangi laut milik sendiri; tidak untuk apa-apa, tapi demi menyongsong totalitas kedaulatan kelautan bangsa Indonesia.