Tahun 2009 kemarin Indonesia “punya gawe” dengan menggelar pemilihan legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden yang masing-masing dilaksanakan bulan April dan Juli tahun 2009. Pemilihan Presiden oleh rakyat (yang mempunyai hak pilih) secara langsung ini sudah digelar dua kali di Indonesia. Seolah-olah belum habis euphoria rakyat Indonesia terhadap pesta demokrasi nasional ini, tahun 2010 demokrasi kembali dipestakan oleh setidaknya oleh 246 daerah yang menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada). Dari tingkat propinsi ada 7 pemilihan, 204 pemilihan di tingkat kabupaten, dan 35 pemilihan di tingkat kotamadya. Jumlah ini merupakan jumlaj terbanyak dalam sejarah demokrasi di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri, pilkada adalah wujud demokrasi yang bisa langsung dinikmati oleh rakyat. Rakyat bisa memilih pemimpinnya secara langsung di balik bilik-bilik suara yang menentukan masa depan negara dan daerah. “Demokrasi” merupakan alasan terbesar penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Adanya kredo “suara rakyat suara Tuhan” menjadi motivasi dalam penyelenggaraan pilkada. Demokrasi, ya satu kata ini menjadikan pilkada seperti kebutuhan mutlak bagi Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Berangkat dari sini, berbagai fenomena sosial, politik, dan ekonomi seputar pilkada terjadi.
Kata “demokrasi” merupakan judul yang bisa mengcover besarnya anggaran daerah untuk menggelar pemilihan kepala daerah baik di tingkat kota/kabupaten maupun propinsi. Demokrasi menjadi jawaban atas kelayakan jumlah dana yang dihabiskan untuk pilkada. Namun haruskah wujud demokrasi membengkakkan anggaran belanja daerah? Dan haruskah demokrasi ini menghambat pembangunan ekonomi daerah yang kini ditanggung daerah itu sendiri lewat otonomi daerah?
Jika kita tinjau, Pilkada memang benar-benar akan memakan banyak biaya. Mulai dari pemutakhiran data, pencetakan surat suara, kebutuhan logistik, honor penyelenggara, dan lain sebagainya. Padahal dana yang dikeluarkan oleh pemda/pemprov di mayoritas daerah lebih kecil dari yang dianggarkan KPU setempat. Sebagai contoh misalnya Pilkada di kabupaten Indramayu, KPU meminta Rp 27 Miliar untuk penyelenggaraan putaran pertama dan Rp 11 Miliar untuk putaran kedua namun yang dianggarkan oleh pemkab hanya Rp 22,28 Miliar untuk putaran pertama dengan alasan keterbatasan dana. Kasus penolakan pengajuan dana juga terjadi di kota Surabaya, dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pilkada sebesar Rp 66 Miliar ditolak oleh pemkot setempat dan belum ditetapkan jumlah besarannya. Di Kepulauan Riau, dana pilkada pada pos bantuan sebesar Rp27,8 M. Terdiri atas Rp 27 M dana KPU dan dana untuk panwas pilkada sebesar Rp1,7 M. Besaran biaya yang lebih dahsyat lagi terlihat di Pilkada Jatim tahun 2008 silam dimana biaya yang ditelan mendekati angka 1 Triliun Rupiah.
Masalah dana memang merupakan masalah klise yang terjadi di Indonesia. Mungkin solusi terbaik adalah perlu dilakukan efisiensi dalam penyelenggaraan pilkada baik teknis maupun pendanaan. Misalnya dengan mengadakan pilkada secara serentak. Jika pilkada tingkat I dan tingkat II diadakan bersamaan maka akan menekan biaya. Tidak perlu dua kali membayar honor penyelenggara dan tidak perlu dua kali membeli keperluan logistik dan pemutakhiran data. Apalagi tentang pembayaran honor penyelenggara kini menjadi isu nasional di Indonesia disertai dengan sulitnya pencairan dana untuk pilkada. Kesulitan pencairan dana untuk pilkada ini memberikan kesan bahwa penyelenggaraan pilkada terlalu memaksakan. Sulitnya pencairan dana menggambarkan adanya kesulitan keuangan di daerah itu sendiri untuk menyelenggarakan pilkada yang tidak seharusnya terjadi. Belum lagi jika pilkada harus digelar dua putaran, maka dana yang dikeluarkan bisa dua kali lipat dari yang hanya satu putaran. Efisiensi pilkada dengan mengadakan pilkada tingkat I dan II secara serentak bisa dialihkan untuk kepentingan pembangunan yang lain. Memang kendala akan tercipta ketika adanya perbedaan masa jabatan di masing-masing daerah. Dari sinilah kit abutuh adanya perombakan sistem birokrasi. Terdengar cukup memakan biaya memang jika sekilas kita dengar. Namun lebih baik biaya keluar satu kali namun bisa dijadikan penghematan seterusnya daripada kita harus memboroskan anggaran belanja daerah berkali-kali.
Masalah lain jika kita tinjau dari sisi politik dan masyarakat salah satunya adalah ketidaktahuan pemilih pada calon yang dipilih. Tidak sedikit pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih golput karena alasan ini. Bahkan ada juga yang asal pilih dalam menyuarakan aspirasinya. Hal ini hanya menyia-nyiakan besaran anggaran yang telah dihabiskan untuk pilkada.
Unsur lain yang menjadi permasalahan dalam pilkada adalah efektivitas kinerja KPUD. Pelaksanaan pilkada akan berhasil jika penyelenggara Pilkada, dalam hal ini KPUD, memiliki kualitas yang baik. KPUD memiliki tugas besar dalam pelaksanaan pilkada. Tugas-tugas tersebut diantaranya adalah mengatur tata cara pelaksanaan pilkada, membentuk organisasi pelaksana dan pengawasan pilkada, merencanakan hingga menganggarkan kegiatan-kegiatan Pilkada, mengadakan dan mendistribusikan logistik, hingga mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan pilkada. Namun dalam prakteknya banyak terjadi penyelewengan yang disebabkan karena KPUD telah menjadi lembaga superbody yang tidak tersentuh dalam artian keputusan KPUD bersifat final dan mengikat. Padahal penghitungan suara kerap kali terjadi penyelewengan. Sedangkan di sisi lain UU no 12/2003 memberikan peluang bagi KPUD untuk melakukan kesewenangan dengan adanya rumusan ketentuan bahwa “Keputusan KPU/KPUD bersifat final dan mengikat”. Maka dari itu seharusnya ada rumusan dan undang-undang lain yang membatasi keputusan KPU dan KPUD agar lembaga tambahan ini tidak menjadi lembaga superbody yang tidak tersentuh.
Masalah lain dalam Pilkada adalah mengenai pelebaran ladang korupsi. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya terdapat 3 potensi rawan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada nanti. Pertama, politik uang dengan pola pembagian uang secara langsung yang terjadi pada masa kampanye. Kedua, potensi manipulasi dana kampanye yang disebabkan karena lemahnya aturan yang memudahkan masuknya aliran dana dari sumber-sumber yang sebenarnya tidak diperbolehkan ke rekening tim sukses pasangan pemenang pilkada. Perlu diketahui bahwa regulasi yang berkaitan dengan pilkada yaitu UU no 32 tahun 2004 tentang pemeribtah daerah tidak memberi batasan jumlah sumbangan dari pasangan calon. Ketiga, penggunaan anggaran publik untuk kepentingan kampanye. Penyalahgunaan fasilitas jabatan dan kekuasaan diperkirakan akan marak pada pilkada nanti seperti yang telah terjadi di pemilu 2009.
Efisiensi kerja yang lainnya adalah seleksi anggota panwaslu dan calon kepala daerah. Selama ini kualifikasi mereka masih longgar. Seharusnya ada kualifikasi mengenai ijazah yang mereka peroleh. Hal ini untuk memotivasi rakyat Indonesia sendiri dalam bidang pendidikan serta meningkatkan kualitas dari pilkada itu sendiri. Kita perlu mengingat bahwa anggapan kepemimpinan merupakan bawaan sejak lahir sudah hilang oleh jaman. Dengan adanya pengetatan kualifikasi anggota panwaslu dan calon kepala daerah diharapkan kualitas pilkada hingga kualitas kepemimpinan nantinya akan naik.
Maret, 2010.
Kastrat-BEM FE UB.
Tidak dapat dipungkiri, pilkada adalah wujud demokrasi yang bisa langsung dinikmati oleh rakyat. Rakyat bisa memilih pemimpinnya secara langsung di balik bilik-bilik suara yang menentukan masa depan negara dan daerah. “Demokrasi” merupakan alasan terbesar penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Adanya kredo “suara rakyat suara Tuhan” menjadi motivasi dalam penyelenggaraan pilkada. Demokrasi, ya satu kata ini menjadikan pilkada seperti kebutuhan mutlak bagi Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Berangkat dari sini, berbagai fenomena sosial, politik, dan ekonomi seputar pilkada terjadi.
Kata “demokrasi” merupakan judul yang bisa mengcover besarnya anggaran daerah untuk menggelar pemilihan kepala daerah baik di tingkat kota/kabupaten maupun propinsi. Demokrasi menjadi jawaban atas kelayakan jumlah dana yang dihabiskan untuk pilkada. Namun haruskah wujud demokrasi membengkakkan anggaran belanja daerah? Dan haruskah demokrasi ini menghambat pembangunan ekonomi daerah yang kini ditanggung daerah itu sendiri lewat otonomi daerah?
Jika kita tinjau, Pilkada memang benar-benar akan memakan banyak biaya. Mulai dari pemutakhiran data, pencetakan surat suara, kebutuhan logistik, honor penyelenggara, dan lain sebagainya. Padahal dana yang dikeluarkan oleh pemda/pemprov di mayoritas daerah lebih kecil dari yang dianggarkan KPU setempat. Sebagai contoh misalnya Pilkada di kabupaten Indramayu, KPU meminta Rp 27 Miliar untuk penyelenggaraan putaran pertama dan Rp 11 Miliar untuk putaran kedua namun yang dianggarkan oleh pemkab hanya Rp 22,28 Miliar untuk putaran pertama dengan alasan keterbatasan dana. Kasus penolakan pengajuan dana juga terjadi di kota Surabaya, dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pilkada sebesar Rp 66 Miliar ditolak oleh pemkot setempat dan belum ditetapkan jumlah besarannya. Di Kepulauan Riau, dana pilkada pada pos bantuan sebesar Rp27,8 M. Terdiri atas Rp 27 M dana KPU dan dana untuk panwas pilkada sebesar Rp1,7 M. Besaran biaya yang lebih dahsyat lagi terlihat di Pilkada Jatim tahun 2008 silam dimana biaya yang ditelan mendekati angka 1 Triliun Rupiah.
Masalah dana memang merupakan masalah klise yang terjadi di Indonesia. Mungkin solusi terbaik adalah perlu dilakukan efisiensi dalam penyelenggaraan pilkada baik teknis maupun pendanaan. Misalnya dengan mengadakan pilkada secara serentak. Jika pilkada tingkat I dan tingkat II diadakan bersamaan maka akan menekan biaya. Tidak perlu dua kali membayar honor penyelenggara dan tidak perlu dua kali membeli keperluan logistik dan pemutakhiran data. Apalagi tentang pembayaran honor penyelenggara kini menjadi isu nasional di Indonesia disertai dengan sulitnya pencairan dana untuk pilkada. Kesulitan pencairan dana untuk pilkada ini memberikan kesan bahwa penyelenggaraan pilkada terlalu memaksakan. Sulitnya pencairan dana menggambarkan adanya kesulitan keuangan di daerah itu sendiri untuk menyelenggarakan pilkada yang tidak seharusnya terjadi. Belum lagi jika pilkada harus digelar dua putaran, maka dana yang dikeluarkan bisa dua kali lipat dari yang hanya satu putaran. Efisiensi pilkada dengan mengadakan pilkada tingkat I dan II secara serentak bisa dialihkan untuk kepentingan pembangunan yang lain. Memang kendala akan tercipta ketika adanya perbedaan masa jabatan di masing-masing daerah. Dari sinilah kit abutuh adanya perombakan sistem birokrasi. Terdengar cukup memakan biaya memang jika sekilas kita dengar. Namun lebih baik biaya keluar satu kali namun bisa dijadikan penghematan seterusnya daripada kita harus memboroskan anggaran belanja daerah berkali-kali.
Masalah lain jika kita tinjau dari sisi politik dan masyarakat salah satunya adalah ketidaktahuan pemilih pada calon yang dipilih. Tidak sedikit pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih golput karena alasan ini. Bahkan ada juga yang asal pilih dalam menyuarakan aspirasinya. Hal ini hanya menyia-nyiakan besaran anggaran yang telah dihabiskan untuk pilkada.
Unsur lain yang menjadi permasalahan dalam pilkada adalah efektivitas kinerja KPUD. Pelaksanaan pilkada akan berhasil jika penyelenggara Pilkada, dalam hal ini KPUD, memiliki kualitas yang baik. KPUD memiliki tugas besar dalam pelaksanaan pilkada. Tugas-tugas tersebut diantaranya adalah mengatur tata cara pelaksanaan pilkada, membentuk organisasi pelaksana dan pengawasan pilkada, merencanakan hingga menganggarkan kegiatan-kegiatan Pilkada, mengadakan dan mendistribusikan logistik, hingga mengevaluasi dan melaporkan penyelenggaraan pilkada. Namun dalam prakteknya banyak terjadi penyelewengan yang disebabkan karena KPUD telah menjadi lembaga superbody yang tidak tersentuh dalam artian keputusan KPUD bersifat final dan mengikat. Padahal penghitungan suara kerap kali terjadi penyelewengan. Sedangkan di sisi lain UU no 12/2003 memberikan peluang bagi KPUD untuk melakukan kesewenangan dengan adanya rumusan ketentuan bahwa “Keputusan KPU/KPUD bersifat final dan mengikat”. Maka dari itu seharusnya ada rumusan dan undang-undang lain yang membatasi keputusan KPU dan KPUD agar lembaga tambahan ini tidak menjadi lembaga superbody yang tidak tersentuh.
Masalah lain dalam Pilkada adalah mengenai pelebaran ladang korupsi. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya terdapat 3 potensi rawan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pilkada nanti. Pertama, politik uang dengan pola pembagian uang secara langsung yang terjadi pada masa kampanye. Kedua, potensi manipulasi dana kampanye yang disebabkan karena lemahnya aturan yang memudahkan masuknya aliran dana dari sumber-sumber yang sebenarnya tidak diperbolehkan ke rekening tim sukses pasangan pemenang pilkada. Perlu diketahui bahwa regulasi yang berkaitan dengan pilkada yaitu UU no 32 tahun 2004 tentang pemeribtah daerah tidak memberi batasan jumlah sumbangan dari pasangan calon. Ketiga, penggunaan anggaran publik untuk kepentingan kampanye. Penyalahgunaan fasilitas jabatan dan kekuasaan diperkirakan akan marak pada pilkada nanti seperti yang telah terjadi di pemilu 2009.
Efisiensi kerja yang lainnya adalah seleksi anggota panwaslu dan calon kepala daerah. Selama ini kualifikasi mereka masih longgar. Seharusnya ada kualifikasi mengenai ijazah yang mereka peroleh. Hal ini untuk memotivasi rakyat Indonesia sendiri dalam bidang pendidikan serta meningkatkan kualitas dari pilkada itu sendiri. Kita perlu mengingat bahwa anggapan kepemimpinan merupakan bawaan sejak lahir sudah hilang oleh jaman. Dengan adanya pengetatan kualifikasi anggota panwaslu dan calon kepala daerah diharapkan kualitas pilkada hingga kualitas kepemimpinan nantinya akan naik.
Maret, 2010.
Kastrat-BEM FE UB.