Rekan saya
Sonny Mumbunan mengomentari
tulisan ini di blognya,
Nomor Delapan. Komentar Sonny sangat informatif, silakan baca
di sini.
Menurut Sonny, saya keliru menggunakan pendekatan Olson untuk menjelaskan interaksi agen-agen ekonomi dalam kasus beras di Indonesia. Sonny benar, bahwa kerangka Olson dapat digunakan pada agen-agen yang memiliki kepentingan yang beririsan. Dan setelah itu, baru bisa dipikirkan mekanisme insentif selektif untuk memecahkan masalah.
Saya mungkin kurang jelas sewaktu mendiskusikan interaksi antara kelompok produsen dan konsumen. Di dalam papernya sendiri (Basri dan Patunru, 2007,
Why the Government Hurts the Poor, presentasi di Keio University, dalam revisi untuk sebuah jurnal), kami menggunakan ilustrasi
game theory untuk menjelaskan interaksi pada level sub-kelompok, yaitu kelompok konsumen. Jadi ada kepentingan yang beririsan (
common interest) di sini. Dengan logika yang sama, seharusnya ada interaksi yang paralel pada level sub-kelompok produsen. Bedanya, biaya koordinasi di dalam kelompok konsumen lebih besar daripada kelompok produsen. Di samping itu, manfaat total menjadi kecil per kapita di dalam kelompok pertama, relatif dibandingkan yang terjadi pada kelompok kedua.
Dalam gambar di atas (klik untuk memperbesar), saya mencoba menggambarkan interaksi antara konsumen dan konsumen (bukan antara konsumen dan produsen). Dengan kata lain, ini adalah interaksi pada level sub-kelompok. Memahami motif yang bertentangan (walaupun ada kepentingan yang sama: harga yang lebih rendah) di dalam kelompok konsumen diharapkan bisa memberi penjelasan mengapa konsumen (neto) beras di Indonesia "diam" saja walaupun mereka sebenarnya dirugikan. Cara ini sekaligus memberikan landasan untuk membayangkan apa yang terjadi pada kelompok produsen.
Kembali ke gambar. Misalkan ada dua sub-kelompok konsumen. Masing-masing akan memilih apakah "Fight" atau menyuarakan keberatan mereka terhadap proteksi yang menyebabkan harga naik, atau "Giveup", diam saja. Kita asumsikan bahwa biaya dan manfaat dari kedua "strategi" ini adalah seperti yang dicantumkan di dalam Tabel 3 (maaf penomoran ini mengikuti urutan aslinya dalam paper). Jika salah satunya memutuskan untuk "Fight" sendiri, maka sub-kelompok itu
dan sub-kelompok lainnya akan memperoleh manfaat masing-masing sebesar
b1 dengan biaya
c1 yang hanya ditanggung oleh kelompok yang "Fight". Tapi jika kedua sub-kelompok tersebut bekerjasama untuk "Fight", maka manfaat untuk masing-masing adalah
b2 dengan biaya masing-masing
c2.
Berdasarkan anatomi biaya dan manfaat di atas, kita lalu membangun interaksi hipotetis dalam kerangka
game theory seperti pada Tabel 4. Perhatikan bahwa jika kedua sub-kelompok memutuskan untuk "Giveup", masing-masing akan memperoleh manfaat sebesar
d. Dalam konteks ini,
d adalah biaya yang selama ini dibayarkan oleh konsumen beras rata-rata di Indonesia, sehubungan dengan proteksi yang diberlakukan (lihat juga
posting Rizal di Cafe Salemba).
Ilustrasi interaksi di atas menunjukkan apa yang disebut sebagai situasi
prisoners' dilemma, jika
b1 >
b2-
c2,
d >
b1-
c1, dan
b2-
c2 >
d. Dalam kondisi seperti ini, tindakan paling rasional ("
best response", BR) sebagai respon atas "Fight" adalah "Giveup", BR untuk "Giveup" adalah juga "Giveup". Juga dapat dilihat bahwa strategi bersama "Fight, Fight" (kedua sub-kelompok menyuarakan keberatannya dengan bersamaan) seharusnya memberikan manfaat lebih banyak kepada masing-masing sub-kelompok dibandingkan strategi "Giveup, Giveup". Seandainya, kedua sub-kelompok mau berkoordinasi dan bekerjasama, maka niscaya keseimbangannya adalah menentang bersama-sama, ketimbang masing-masing diam. Kita katakan, situasi akan optimal secara sosial, jika 2(
b2 -
c2) > 2
b1 -
c1. Namun apa daya, karena biaya koordinasi tampaknya mahal sekali, keseimbangan Nash justru terjadi pada "Giveup, Giveup": masing-masing memilih bungkam.
Dengan konstruksi yang sama, kita bisa membayangkan apa yang terjadi dalam kelompok produsen (yang mempunyai kepentingan berupa harga yang tinggi). Bedanya, ukuran kelompok ini jauh lebih kecil daripada kelompok konsumen. Akibatnya, mereka lebih mudah berkoordinasi. Dalam konteks Indonesia, tampaknya ada sub-kelompok dalam kelompok produsen yang sesuai dengan apa yang disebut Olson sebagai "
privileged group" atau (sub)kelompok yang paling diuntungkan yang anggotanya bersedia membayar bahkan biaya
keseluruhan untuk mencapai tujuan kelompok.
Terakhir, apa implikasi dari ilustrasi di atas? Kembali ke solusi Olsonian, ciptakan insentif selektif (lihat tulisan
Sonny). Misalnya dengan jalur YLKI.