Masih banyak pro kontra mengenai bbm bersubsidi. Isu terakhir yang terdengar adalah pemerintah iingin menghentikan subsidi terhadap bbm karena pemakaian dan penggunaan dilapangan tidak tepat sasaran. Bahwa dimana bbm bersubsidi lebih ditujukan pada mereka yang tidak mampu. Namun hingga saat ini, isu tersebut nyatanya masih belum ada titik jelas penyelesainnya. Kalau ingin berbicara mengenai efisiensi penggunaan bbm sesuai harapan, yaitu penggunaanya diharapkan memang hanya untuk kalangan tak mampu, dalam kenyataan dilapangan, hal tersebut jauh dari kata tepat sasaran.bahkan bisa dikatakan mustahil. Banyak masyarakat dari kalangan menengah ke atas masih menggunaan bbm bersubsidi. Menurut analisis saya, hal tersebut bisa terjadi karena pemerintah sendiri tidak memberikan cukup sosialisasi yg baik pada masyarakat, lalu kurang adanya pengawasan dalam prakteknya, dan solusi untuk hal tersebut juga efisien, yaitu harga bbm non subsidi masih bisa dikatakan mahal. Padahal kalau ingin tepat sasaran, bbm nonsubsidi harganya jangan sampai mahal seperti itu. Hal itu pula yang mendorong masyarakat luas lebih memilih bbm bersubsidi yang murah karena memang dijangkau. Misalnya, harga terakhir pertamax yang digolongkan bbm non subsidi perliternya adalah Rp 8.300, harga ini jauh lebih mahal (hampir 2x lipat harga bbm bersubsidi, premium), bukan hal aneh bila masyarakat lebih memilih premium yang harganya lebih murah.kalua sudah begini, apa bisa kebijakan tersebut berjalan dengan efisien? Dalam kenyataanya penggunaan kendaraan bermotor yang dalam kalangan bukan tidak mampu namun juga bukan kalangan atas (kalangan menengah) jumlahnya tidak sedikit.terutama pengguna sepeda motor. Seharusnya bbm non subsidi harus bisa dijangkau oleh para penggunanya yang bukan kalangan tak mampu. Mungkin bagi orang berada, harga per liter senominal tsb bukan hal yang besar dan jadi perkara yang harus diributkan, namun bagaimana pengguna yang berada dikalangan menengah?apa semuanya mampu untuk menjangkau harga tersebut? Seharusnya pemerintah menyesuaikan harga sesuai dengan sasaran konsumen yang ingin mereka tuju, sehingga kebijakan yang ingin diambil bisa berjalan baik dan keputusan yang satu bisa mendukung keputusan yang lain. Akan lebih efisien lagi bila kalangan tak mampu memiliki tanda pengenal khusus ketika mereka harus membeli bbm di spbu, sehingga pengelola spbu pun bisa ikut mengawasi bahwa pembelian dan pemakaian bbm tersebut bisa tepat sasaran. Saya rasa, kedua komponen ini, efisiensi, bbm bersubsidi dan penjangkaun harga untuk bbm nonsubsidi harus lebih dipikirkan lagi. Tidak akan bisa berjalan kebijakan yang menginginkan bbm bersubsidi hanya untuk kalangan menengah kebawah bila kebijakan lain untuk harga bbm nonsubsidi tidak disesuaikan juga.
Jogja, 8 July 2011
Tiwi Nuzlia Damayanti
Staff Departement Kastrat
BEM FEB UGM
0 komentar:
Posting Komentar