Pemerintah di Persimpangan Jalan
Setelah diguncang dengan krisis subprime mortgage di pasar finansial kini dunia kembali ditekan oleh munculnya krisis baru yaitu krisis energi yang tercermin dari meningkatnya harga minyak mentah dunia. Krisis harga minyak dunia ini jelas mempengaruhi konsumsi energi dan alokasi anggaran untuk energi setiap negara di dunia. Ada negara yang mendapat keuntungan besar dari kenaikan harga ini yaitu negara-negara yang menjadi net eksporter minyak dan di sisi lain juga banyak negara-negara yang harus berpikir ulang untuk memperbaiki alokasi anggarannya ataupun mencari dan mengembangkan sumber energi baru untuk menghindari kebangkrutan anggaran. Sayangnya Indonesia termasuk dalam salah satu negara yang pontang-panting mencari cara menyelamatkan anggaran negaranya akibat kenaikan harga minyak ini dengan memunculkan beberapa opsi diantaranya melakukan kenaikan harga BBM untuk menghindari kebangkrutan anggaran akibat subsidi yang membengkak.
Subsidi yang Mematikan
Ketika harga minyak terus melonjak hingga melebihi harga US$120 per barel , bahkan diprediksi bakal terus melonjak hingga mencapai angka US$ 200 per barrel seiring dengan terus terkikisnya nilai USD, pemerintah merasa khawatir akan jebolnya APBN-P tahun ini dengan besarnya subsidi yang harus ditanggung. Dengan harga minyak dunia yang sekarang saja, yakni sekitar US$ 120 per barrel , pemerintah harus menyediakan dana subsidi sekitar Rp 260 triliun, padahal angka yang disepakati pada APBN-P hanya sebesar Rp 126 triliun, melonjak dari alokasi awal di APBN sebesar Rp 45 triliun.
Bila prediksi betul-betul menjadi kenyataan di angka US$ 200 per barrel, berarti pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk subsidi nyaris dua kali lipat, yakni sekitar Rp 400 triliun. Dalam APBN-P besar defisit yang telah disepakati adalah sebesar 2 % terhadap PDB dan apabila harga minyak terus berada di kisaran harga US$ 118-US$ 120 sedangkan pemerintah tetap mempertahankan harga BBM untuk konsumsi masyarakat di tingkat domestik seperti saaat ini (misalnya premium Rp 4500 per liter) maka bantalan pengaman yang disediakan oleh pemerintah untuk subsidi BBM bisa membengkak dari rencana semula sekitar Rp 9,3 triliun.
Alhasil pemerintah pun dengan sangat terpaksa melakukan pinjaman kepada ADB sebesar 650 juta dollar AS untuk menutupi defisit yang semakin besar. Sebetulnya berdasarkan saran dari para pengamat ekonomi, pemerintah harus meningkatkan harga BBM domestik sebesar 10 – 15 %. Namun, pemerintah dengan segala kegamangan serta pertimbangan politis untuk pemilu 2009 memutuskan bahwa kenaikan harga BBM merupakan opsi terakhir.
Pemerintah tidak bisa terus melakukan peminjaman kepada pihak asing untuk menutupi defisit APBN, sebab dengan kondisi terbatasnya likuiditas global akibat krisis subprime mortgage di AS, persyaratan yang diajukan akan cenderung lebih berat dari biasanya dan tentunya akan semakin membelenggu kebebasan pemerintah dalam menjalankan kebijakan yang diinginkannya dan pada akhirnya akan membebani pemerintah di masa depan. Sedangkan untuk pembiayaan dalam negeri, pemerintah sudah tidak bisa lagi mencari pembiayaan dari dalam negeri karena nilai pembiayaan dari dalam negeri yang dilakukan pemerintah sudah cukup besar dan apabila pemerintah kembali mencari pembiayaan dari dalam negeri, ditakutkan dapat memberikan crowding out effect yang dapat meningkatkan biaya bagi sektor ekonomi swasta dan dapat menekan pertumbuhan ekonomi.
Usulan Solusi
Ketika pemerintah pada akhirnya harus mengambil kebijakan kenaikan harga BBM, menurut hemat saya ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Pertama, besarnya persentase kenaikan harga BBM. Kenaikan sebesar 10-20 % dirasakan cukup proporsional dalam kondisi masyarakat yang sudah mengalami pukulan cukup berat akibat kenaikan harga pangan dan minyak goreng dan tanah. Dikhawatirkan bila kenaikan harga BBM lebih dari 20 %, daya beli masyarakat akan semakin terpukul. Belajar dari kenaikan BBM di tahun 2005 yang mencapai 120% dan menimbulkan shock yang besar di perekonomian sehinggga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk recovery, kenaikan yang terlalu besar akan memberi efek yang sangat buruk terhadap perekonomian saat ini.
Kedua, pemerintah juga harus meningkatkan koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter dengan BI untuk mengantisipasi inflasi yang akan terjadi karena saat ini 80% inflasi di indonesia berasal dari ekspektasi inflasi. Dapat terjadi inflation overhang. Kebijakan ini sendiri dianggapoleh beberapa pengamat sebagai langkah yang tepat karena selama ini subsidi sebenarnya masih lebih banyak dinikmati oleh golongan menengah keatas yang memiliki kendaraan pribadi.
Terakhir, pemerintah harus menerapkan kebijakan lainnya yang dapat meringankan beban rakyat yang sudah berat untuk mengompensasi kenaikan harga ini yang bersifat sebagai cushion. Contohnya adalah memberikan subsidi langsung dalam bidang pangan kepada rakyat miskin dengan mengambil sedikit dari proporsi subsidi BBM yang telah dikurangi; dapat juga mengurangi SPP bagi rakyat kecil, dll. Tentu saja kebijakan-kebijakan yang diusulkan ini sangat mensyaratkan berubahnya kinerja para birokrat ke arah yang lebih baik dalam melaksanakannya di lapangan sebab kalau tidak hanya sekedar utopia belaka.
Grafik menunjukkan siapa yang sebenarnya menerima subsidi!!
0 komentar:
Posting Komentar