Majalah Tempo dan Globe Asia baru-baru ini memuat liputan tentang para pelaku bisnis di Indonesia. Globe Asia menunjukkan “ranking” termutakhir tentang siapa orang/keluarga terkaya, sementara Tempo lebih melihat siapa saja pemain lama yang bertahan dan pemain baru yang muncul setelah berakhirnya era Orde Baru. Kesimpulan kedua media itu cukup menarik: meski banyak wajah baru muncul, sejumlah pemain lama dalam peta bisnis Indonesia tetap bertahan.
Dalam perspektif yang lebih luas, kita bisa melihat fenomena ini dari kacamata relasi antara modal dan kekuasaan. Studi yang mencoba menjelaskan hubungan antara keduanya di era Orde Baru sudah cukup banyak. Ben Anderson melihatnya sebagai sebuah relasi patrimonial. Richard Robison menganggap negara sebagai kepanjangan tangan kepentingan modal global. William Liddle dan Andrew MacIntyre melihat adanya pola yang lebih kompleks. Sepuluh tahun setelah krisis dan tumbangnya Orde Baru, apa yang berubah dan apa yang tetap? Seberapa jauh teori-teori klasik tersebut bisa menjelaskan fenomena saat ini? Bagaimana desentralisasi dan pluralisme politik mengubah pola hubungan modal-kekuasaan?
Freedom Institute, bekerjasama dengan Friedrich Naumann Stiftung dan Café Salemba, akan mengadakan diskusi yang membahas topik menarik ini dengan Chatib Basri (FEUI, Diskusi Ekonomi), Rizal Mallarangeng (Freedom Institute) dan Ari A. Perdana (FEUI, Café Salemba) di Freedom Institute, Jalan Irian 8 Menteng, Jakarta, Kamis 5 Juni, pukul 19.00-21.00 (konfirmasi: Tata/Imie 02131909226)
0 komentar:
Posting Komentar