Masalah listrik sudah menjadi masalah yang rutin dibahas di negeri ini bahkan sekarang kembali memanas dikarenakan dialihkannya hari kerja dan pemadaman listrik secara bergilir. Negara dan PLN yang mencanangkan “listrik untuk kehidupan yang lebih baik” tampaknya harus bersabar terlebih dahulu dan berpikir lebih keras lagi karena realisasinya masih jauh dari kenyataan. Pada saat sekarang ini kita melihat begitu banyaknya masyarakat dan juga pihak industri yang merasa hidup mereka tidak bertambah baik karena begitu banyak masalah yang terjadi menyangkut listrik. Seperti halnya pada saat sekarang ini hampir di seluruh wilayah indonesia mengalami krisis listrik. Setiap harinya ada daerah-daerah yang harus menerima kenyataan mengalami pemadaman listrik bergilir. Bahkan dalam sehari ada yang mengalami pemadaman listrik sebanyak dua hingga empat kali, contohnya di kota Padang. Sekarang masalah krisis listrik sudah begitu mengganggu aktivitas negeri ini dan berdampak sangat besar terhadap perindustrian dan aktivitas ekonomi. Apakah krisis tersebut baru terjadi pada sekarang ini? Jawabannya adalah tidak. Krisis tersebut sudah terjadi sejak zaman rezim orde baru memimpin negeri ini hingga saat sekarang ini.
Krisis, krisis dan krisis
Krisis listrik yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya telah menjadi sebuah “tradisi” khusus yang sering kali dihadapi oleh negeri ini. Masalah ini telah menjadi sebuah problema yang tidak pernah bisa diselesaikan oleh pemerintah dan PLN. Mereka sepertinya tidak pernah belajar dari krisis-krisis yang telah terjadi selama ini. Pada tahun 1980-an dan 1990-an kita pernah mengalami krisis yang lebih parah daripada krisis yang terjadi pada saat sekarang. Krisis yang terjadi pada periode tersebut dikarenakan demand terhadap energi listrik meningkat dengan pesat disebabkan pertumbuhan dan aktivitas ekonomi yang semakin meningkat, sementara infrastruktur pembangkit listrik itu sendiri belum terpenuhi kebutuhannya.
Ketika terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997, energi kelistrikan kita sama sekali tidak mengalami kemajuan bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran. Selama dekade ini electrification ratio (rasio kelistrikan) tidak mengalami kemajuan sama sekali. Hanya separuh dari rumah tangga di Indonesia yang memperoleh aliran listrik. Kalau kita bandingkan dengan Vietnam yang sudah mencapai 79 persen, Filipina 80 persen, Thailand 84 persen dan China 99 persen. Di antara 12 negara sekawasan, Indonesia berada pada peringkat ke-11 (Basri, 2008). Permasalahan tersebut belumlah selesai, karena ketika electrification ratio sangat kecil secara kuantitas, secara kualitas masalah listrik juga sangat memprihatinkan. Sering kalinya terjadi pemadaman listrik yang mendadak dan juga penerangan yang sering hidup-mati menimbulkan efek yang negatif baik dari segi sosial dan ekonomi, terutama untuk rumah tangga dan industri. Industri-industri yang seharusnya memperoleh supplay dari PLN saat ini harus mengusahakan pasokan listrik bagi mereka secara mandiri. Hal tersebut secara jelas meningkatkan fixed cost dari perusahaan tersebut dan membuat daya saing mereka semakin menurun. Kerugian dunia usaha akibat pemadaman listrik 6,1 persen dari penjualan total (World Bank, 2008).
Krisis tersebut berlanjut hingga pada era Megawati Soekarnoputri memimpin negara ini. Reformasi kelistrikan belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Semangat reformasi yang singkat setelah krisis finansial Asia 1997-1998 telah kehilangan momentumnya ketika Indonesia tidak bisa berbuat banyak dalam mengatasi krisis yang dihadapi. Pada era ini pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik walaupun tidak terlalu signifikan tidak diikuti oleh pembangunan pembangkit listrik yang lebih bagus sehingga krisis listrik tetap terjadi. Walaupun krisis listrik sudah terjadi dari dahulu kala, pemerintah sepertinya tidak mau belajar untuk memperbaiki sistem listrik di Indonesia. Karena masalah tersebut terjadi lagi saat sekarang ini. Apa sebenarnya yang menjadi akar permasalahan krisis listrik yang terjadi di Indonesia?
Akar Permasalahan
Ada tiga hal yang menjadi akar permasalahan dari krisis listrik yang terjadi di negeri ini. Pertama adalah kurangnya energi yang ada untuk menghasilkan listrik tersebut. Seperti kita ketahui selama ini pembangkit listrik yang banyak digunakan adalah pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Permasalahannya adalah ketika indonesia tidak lagi mengalami musim hujan, maka PLTA tidak bisa bekerja dengan maksimal ditambah dengan gejala global warming yang membuat cuaca dan keadaan yang sudah tidak menentu lagi. Hal lain adalah pembangkit-pembangkit listrik yang ada sudah tidak bisa beroperasi lagi secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh masa perawatan pembangkit listrik dan juga umur pembangkit listrik tersebut yang bisa dibilang sudah sangat uzur. Kekurangan energi juga disebabkan pemerintah tidak membuat masterplan yang jelas dalam usaha mengembangkan atau membangun pembangkit listrik yang baru.
Akar permasalahan yang kedua adalah biaya bahan bakar yang sangat tinggi. PLN selama ini menggunakan bahan bakar minyak dan batu bara. Kita mengetahui bahwa sekarang harga kedua bahan bakar tersebut melonjak dengan sangat drastis. Kenaikan harga tersebut jauh dari apa yang diperkirakan dan dianggarkan oleh pemerintah dan PLN. Contohnya harga minyak diperkirakan naik dari US$ 60 menuju US$95, namun pada realitanya sekarang harga minyak mencapai US$145. Hal senada juga dialami oleh batu bara, dimana pada awalnya diperkirakan naik dari US$ 50/ton menuju US$55/ton, namun sekarang harganya naik 100 persen menjadi US$100/ton (Tempo,7-13 Juli 2008). Kenaikan tersebut tentunya mempersulit PLN dalam memproduksi listrik karena mereka harus merubah anggaran dasar mereka dan membuat pembiayaan mereka semakin membengkak.
Terakhir adalah masalah korupsi yang menggerogoti tubuh PLN. Hal ini sudah menjadi carita lama. BUMN yang mengalami kerugian paling besar dibandingkan BUMN yang lain. Masalah korupsi berpengaruh sangat besar terhadap krisis listrik yang terjadi karena dana yang seharusnya bisa digunakan untuk membeli dan membuat pembangkit listrik yang sangat bagus pada akhirnya hilang entah kemana. Sehingga sekarang PLN melakukan sistem operasional mereka apa adanya karena adanya constraint dana.
Langkah konkret
Pemerintah dan PLN harus melakukan langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah krisis listrik yang terjadi di negeri ini. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menambah pasokan energi. Bisa dilakukan dengan banyak cara, contohnya dengan memperbaiki mesin-mesin atau pembangkit yang sudah tua dan juga membangun pembangkit yang baru serta yang berkualitas. Hal itu bisa membuat pasokan energi bertambah dengan signifikan karena krisis energi yang terjadi tersebut dikarenakan pasokan listrik yang memang sangat terbatas. Kedua adalah dengan mencari sumber alternatif yang baru. Kita tidak bisa terus berharap banyak terhadap pembangkit listrik yang kita gunakan. Karena bahan bakar yang digunakan adalah minyak dan batu bara yang kita ketahui mempunyai harga yang sangat mahal. Pemerintah dan PLN juga harus memikirkan sumber energi yang baru seperti panas bumi, angin, sinar matahari, uap, dsb yang lebih murah dan juga tidak membutuhkan bahan bakar yang jumlahnya juga semakin terbatas. Terakhir hal yang sangat penting dilakukan adalah masalah korupsi yang terjadi di tubuh PLN. Suka atau tidak korupsi begitu mengganggu kinerja PLN karena tidak mempunyai dana yang cukup untuk mengembangkan kegiatannya. PLN wajib melakukan good corporate governance demi kebaikan bangsa ini dan juga PLN sendiri. Dengan begitu akan banyak pembangunan pembangkit yang baru serta pengembangan terhadap sumber-sumber energi alternatif.
Tiga hal tersebut wajib dilaksanakan PLN untuk mengatasi krisis yang terjadi selama ini. Tetapi solusi tersebut akan menjadi nonsense jika tidak dilaksanakan oleh PLN. Misi PLN yang mencanangkan pada tahun 2012 semua rumah tangga di Indonesia akan memperoleh aliran listrik kami yakini tidak bisa tercapai. Semua hal tersebut hanya menjadi wacana dan omong kosong belaka dan negeri ini mungkin saja menjadi negeri yang tidak bisa bangkit lagi dari keterpurukan karena masalah yang lucu, yaitu “kekurangan listrik”.
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia