Sjahrir
Muhammad Chatib Basri
Sjahrir adalah sebuah pesta. Karena itu ia penuh warna. Dalam pesta, orang bergerak dari satu orang ke orang lain, dari tempat duduk ke lantai dansa, dari satu obrolan ke obrolan lain. Pesta adalah persinggungan dengan pelbagai titik. Mungkin itu sebabnya Sjahrir punya sederet atribut : ekonom, dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), aktivis, pelaku pasar modal, pemimpin partai, penasehat ekonomi Presiden – dan mungkin juga seorang selebritis. Pesta dan titik singgung itu tak lagi disana. Salah satu ekonom terbaik Indonesia itu meninggal dunia dalam usia 63 tahun pada tanggal 28 Juli 2008. Apa yang harus dikenang dari Sjahrir yang lahir di Kudus 24 Februari 1945 ?
Bagi saya, Sjahrir --kawan, kakak dan guru saya-- adalah sebuah inspirasi, sebuah kontroversi dan sekaligus sederet pertanyaan. Pertanyaan pertama yang muncul: bagaimana seorang yang menulis disertasi tentang kebutuhan pokok, dapat begitu tangkas bicara membela pasar bebas. Mereka yang terpasung dan menggemari kategorisasi atau kiri atau kanan, atau sosialis atau liberal akan kesulitan untuk menjawabnya.
Jika kita membaca lagi disertasi, yang ditulisnya dibawah bimbingan ekonom terkenal Prof. Peter Timmer, di Harvard University, Sjahrir menulis bahwa yang dibutuhkan untuk membantu rakyat miskin adalah pendekatan pemerintah (perdefinisi kebijakan negara) untuk mempengaruhi alokasi sumber daya melalui pasar atau institusi lain, sehingga dapat terpenuhinya konsumsi minimum dan pelayanan strategis seperti pendidikan dan kesehatan. Disini Sjahrir bicara soal infrastruktur. Ia sudah bicara soal itu di pertengahan tahun 1980 an. Saya kira pengalamannya sebagai aktivis berpengaruh besar dalam disertasi ini. Ia menunjukkan bagaimana tekanan oposisi dan gerakan mahasiswa yang mencapai kulminasi pada peristiwa Malari, tahun 1974 – yang membawanya mendekam di penjara-- telah memaksa pemerintah waktu itu untuk mengubah orientasi pembangunan kepada upaya pemenuhan kebutuhan pokok.
Tetapi disisi lain, jika kita membaca uraian-uraiannya di buku “Kebijaksanaan Negara” dan pelbagai media masa dan juga bicaranya di pelbagai seminar, maka Sjahrir, yang menamatkan Sarjana Ekonomi nya dari FEUI, adalah sosok, yang dengan keyakinan seorang Friedmanian, bicara tentang ‘betapa berbahayanya’ distorsi yang diakibatkan oleh intervensi pemerintah dalam pasar. Dengan cepat kita bisa menangkap pelbagai ‘warna’ disini. Jika saja kita bisa mengidentifikasi Sjahrir dalam label “atau neo-klasik atau neo-marxis”, penjelasan tak akan seruwet ini.
Sikap ogah negara sebenarnya bukan hal yang baru. Albert Hirschman dalam bukunya Essay in trespassing : economics to politics and beyond, menulis tentang ‘persekutuan yang aneh’ atau ‘persekutuan yang tak suci’ antara pemikiran ekonomi neo-klasik dan ekonomi neo-marxis. Bagi neo-klasik, negara merintangi kekuatan pasar untuk bekerja, dan bagi neo-marxis negara dianggap sebagai sekutu perusahaan multinasional dan modal lokal atau kaum komprador. Keduanya sangat kritis terhadap peranan negara atau pemerintah. Tapi persoalannya menjadi lain, karena Sjahrir bukan seorang neo-klasik, apalagi seorang neo-marxis. Ia amat pro pasar, tetapi ide ‘kebutuhan pokok’ nya justru melihat perlunya peran negara. Itulah sebabnya Sjahrir tetap ‘tak terjelaskan’.
Satu-satunya penjelasan yang paling dekat kepada kontradiksi ini sebenarnya adalah pemikiran Amartya Sen, pemenang nobel ekonomi 1998. Sen memang memiliki posisi yang sangat unik. Ia mencoba menjembatani peseteruan teoritis antara John Rawls dan Robert Nozick. Sen mengatakan bahwa kemiskinan harus dipandang dalam konsep kapabilitas. Kapabilitas merefleksikan kebebasan yang memungkinkan orang untuk menjalankan pelbagai fungsi dalam hidupnya (functionings). Orang menjadi miskin karena ruang kapabilitas mereka kecil, bukan karena mereka tidak memiliki barang. Dengan kata lain orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Implikasinya: kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita miliki, tetapi karena aktifitas yang memungkinkan kita memiliki barang tersebut. Itu sebabnya peran dari kebebasan menjadi begitu penting. Kebebasan adalah syarat utama dari dimungkinkannnya sebuah tindakan untuk memiliki sesuatu. Mungkin itu sebabnya, Sjahrir begitu memuja Sen. Barangkali, sadar atau tak sadar, ia menemukan pembenaran posisinya lewat argumen teoritik yang diajukan oleh Amartya Sen.
Dari Sjahrir lah saya mengenal pemikiran Sen. Saya waktu itu mahasiswanya di kelas Perekonomian Indonesia di FEUI. Bagi banyak mahasiswa, termasuk saya, ia begitu bergelora, begitu mempesona. Kuliahnya mirip orasi dengan retorika yang menyengat. Saya ingat, bagaimana ia mengkritik kebijakan pemerintah soal monpoli cengkeh BPPC --yang menurutnya—menghina otak kita. Bagi mereka yang membutuhkan amunisi untuk gerakan mahasiwa waktu itu, Sjahrir adalah sebuah inspirasi. Setahun kemudian, bersama Mohamad Ikhsan, saya menjadi asistennya di mata kuliah itu. Dari sana diskusi mengenai Sen, kebutuhan pokok dan mekanisme pasar berlanjut. Mengherankan sebenarnya, karena waktu itu saya hanyalah mahasiswa tahun terakhir, yang belum lagi genap menyelesaikan skripsi, sedang Bang Ciil – begitu saya biasa memanggilnya— sudah menjadi salah satu ekonom paling baik di Indonesia. Tak ada jarak, tak soal rentang usia, kita duduk bersama mendiskusikan gagasan dan berdebat. Sjahrir memang tak mengenal senior-junior. Ia memperlakukan orang sebagai teman, karena ia tak pusing dengan struktur hirarki yang memasung. Saya sulit membayangkan, seorang dosen senior, ekonom kelas satu, datang ke rumah menjemput asistennya untuk berangkat ke kampus bersama! Jam 6.30 pagi hari Rabu, Sjahrir dengan tak sabar menunggu didepan rumah saya. Saya sering bangun terlambat dan bergegas lari keluar rumah. Tegurannya khas, tajam --agak tak sabar-- tapi bersahabat” Gue heran sama lu De, susah banget bangun pagi! Lu nggak sempet makan kan? Ntar kita cari makan.” Bang Ciil memang pribadi yang hangat, cerdas dan kocak.
Ia tak pernah tersinggung bila dilingkungan terdekatnya di olok-olok soal postur tubuhnya. Seorang teman mengatakan alasan Ciil jarang mengetik dengan komputer adalah karena jarinya lebih besar dari tuts nya. Ia akan tertawa renyah mendengar ini. Saya juga tak akan lupa, ketika peristiwa Semanggi II, bersama beberapa kawan, kita berada di Universitas Atmajaya, kita berlari menghindari peluru karet yang ditembakkan aparat. Sjahrir juga ikut berlari. Didepan, tembok pagar menghadang, Sjahrir diangkat bersama-sama keatas pagar, ia melompat dan jatuh masuk selokan yang kotor!
Sjahrir memang sebuah pesta. Ia penuh warna. Ia punya berbagai atribut. Sjahrir pernah menjadi pelaku pasar modal, ekonom sekaligus juga seorang aktivis. Mungkin hanya Sjahrir sendiri yang bisa menjelaskan tentang posisi ini. Tetapi jika kita ingin melihatnya dalam konteks pemikiran ekonominya, maka disini sebenarnya terlihat kekuatan dan sekaligus kelemahannya. Sebenarnya menjadi ekonom dan sekaligus pelaku pasar modal bukanlah cerita baru. Keynes dan David Richardo adalah seorang ekonom sekaligus pedagang surat berharga. Karena posisi ini pula –lewat Richardo-- ekonomi menjadi in dikalangan kaum borjuasi. Bila sebelumya di salon-salon di Inggris dibicarakan tentang drama Shakespeare atau sonata nya Purcell, maka konon karena Richardo kelompok borjuasi bicara tentang penggunaan modal dan pembentukan harga. Sjahrir sendiri pernah memilih untuk mengambil dua posisi sekaligus : pelaku pasar modal dan ekonom. Keunggulannya : ia tentu saja mampu menghubungkan sesuatu yang kerap disebutnya “macro-micro lingkange”. Tetapi harga yang harus dibayarnya adalah kita tak menemukan lagi karya akademis yang ketat, seperti disertasi Ph.D nya.
Ketika krisis ekonomi terjadi, saya kira Sjahrir cukup jujur dengan pelbagai keterbatasan penjelasan ekonomi saat ini. Praktis memang belum ada satu ekonom pun yang dengan sempurna dapat memberikan resep untuk menjawab krisis ekonomi saat itu. Penjelasan yang ada sekarang pun, saya kira bersifat post factum. Ia seolah benar, karena menjelaskan setelah kejadian. Saya kira Sjahrir benar, kita memang butuh ruang untuk kontemplasi.
Minat dan energinya didalam politik amat kental. Ada sebuah tulisannya di Harian Neraca yang kalau tak salah berjudul ‘Yang ada dan yang tiada’, dengan nada getir dan masygul ia menulis – saya kutip dari ingatan—“yang ada kini legalitas dan konstitusi. Yang hilang adalah legitimasi. Yang ada sekarang adalah kabinet reformasi, tapi kita kehilangan pelaksanaan reformasi….” Lalu ia mengatakan: daripada mengutuk kegelapan, lebih baik mulai menyalakan lilin. Mungkin karena itulah ia memutuskan untuk mendirikan Perhimpunan Indonesia Baru yang kemudian membidani lahirnya Partai Perhimpunan Indonesia Baru.
Sjahrir memang sebuah pesta dengan beragam warna, sederet pertanyaan dan sebuah eksplorasi yang tak sudah.
0 komentar:
Posting Komentar