KRISIS KEUANGAN GLOBAL
DAN EKONOMI INDONESIA
Departemen Kajian Keilmuan
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran
Krisis keuangan global yang terjadi saat ini, terutama di negara-negara maju, memberikan sebuah tantangan yang amat berat bagi perekonomian Indonesia. Perekonomian global mulai memasuki periode paling kritis dari krisis ekonomi yang berpusat di Amerika Serikat. Untuk meredam krisis, sejumlah negara secara bersama-sama telah atau berencana menggelontorkan paket stimulus fiskal senilai triliunan dollar AS. Suku bunga secara global juga sudah berada di titik terendah sejak beberapa dekade terakhir. Namun, semua itu belum mampu mengangkat ekspektasi positif dan membawa krisis global terus ke dalam jurang.
Keadaan seperti ini terus membangkitkan rasa pesimisme dan ketakutan. Para pekerja ketakutan akan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Pelaku usaha ketakutan kesulitan dalam mendapatkan kredit untuk usahanya. Pemerintah ketakutan terjadinya defisit perdagangan dan merosotnya pertumbuhan ekonomi. Kepercayaan bisnis dan konsumen pun berada pada titik terendah. Sektor keuangan dan perekonomian kini dipenuhi lembaga-lembaga keuangan dan korporasi raksasa yang secara teknis sudah bangkrut dan hidup dari suntikan besar dana pemerintah atau bank sentral.
Kondisi ekonomi global terus memburuk sejak terjadinya krisis kredit macet perumahan di AS tahun 2007 silam. Perekonomian dunia nyaris tak bergerak, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia hanya sekitar 0,5 persen pada tahun 2009. Untuk negara-negara maju diperkirakan akan tumbuh negatif. Pertumbuhan positif terutama disumbangkan oleh perekonomian negara-negara berkembang (emerging markets) yang sangat bergantung pada perdagangan. Dengan volume ekspor global yang diperkirakan mengalami kontraksi 2,8 persen tahun ini dan investasi modal swasta merosot 82 persen tahun lalu, pijakan emerging markets Asia sebagai benteng terakhir perekonomian global juga mulai goyah. Motor penggerak perekonomian Asia seperti Korea, Singapura, Taiwan, Hongkong, dan Jepang saat ini sudah memasuki dalam tahap resesi.
Pecahnya Perekonomian Gelembung Sabun
Sebenarnya telah nampak tanda-tanda bahwa perekonomian AS yang mengalami sebuah laju yang luar biasa cepat di sektor finansialnya suatu saat pasti akan mengalami sebuah koreksi akibat bubble economy yang belebihan. Sektor keuangan telah berkembang sedemikian rupa dengan melupakan sektor ril.
Gelembung itu akhirnya meletus dan menyebabkan sebuah bencana finansial. Pertanda awal dari meletusnya gelembung ini adalah kebangkrutan dari Lehman Brothers dan menyeret AS ke jurang resesi. Selama ini, “peternakan uang” di sektor finansial tidak melulu dikaitkan dengan fundamental perusahaan. Saham-saham di Wallstreet dapat dengan cepat mengalami kondisi bullish karena ada sebuah sentimen positif tanpa adanya peningkatan kinerja laporan keuangan. Semuanya terjadi serba instan sehingga menyebabkan sebuah gelembung sabun yang selalu siap meletus. Gelembung sabun tersebut diyakini bersifat semu, sehingga begitu mengempis selanjutnya perekonomian akan berjalan mendatar seperti halnya Jepang pada tahun 1990-an ketika beberapa bank mengalami krisis.
Dalam kasus bubble economy di AS, tanda-tanda koreksi mulai nampak ketika harga minyak dunia secara terus-menerus dari tahun 2005 mengalami kenaikan yang amat fantastis dari level U$30 per barel menjadi U$147 per barel pada bulan Juli 2008 lalu. Kemudian disusul dengan krisis Subrime Mortgage jilid I pada bulan Juli 2007, jilid II pada Januari 2008, dan puncaknya pada bulan September 2008.
Secara perlahan-lahan The Fed coba untuk mengawal koreksi ini agar tidak memberikan dampaknya yang terlalu parah dengan melakukan penurunan bunga acuannya sedikit demi sedikit dari sekitar 5 persenan menjadi 2 persen. Langkah ini nampaknya tidak cukup, dibuktikan dengan bangkrutnya Lehman Brother. Tanpa bantuan berupa dana talangan dari pemerintah, Lehman nampaknya tidak sanggup lagi berdiri. Terlalu fatal akibatnya bila membangkrutkan perusahaan investasi sebesar Lehman tanpa memberi bailout sepeser pun. Hal ini kemudian yang memicu terjadinya ketidakpercayaan di pasar.
Dapat kita lihat ketidakpercayaan pasar telah menghancurkan pasar modal di seluruh dunia. Ini merupakan imbas dari ambruknya bursa AS. Dow Jones sebagai salah satu indeks terpenting AS sempat anjlok di bawah level 8.000, dibawah level psikologisnya di 10.000.
Telah kita ketahui saat ini Amerika Serikat sedang berada di ambang kehancuran financial sebagai imbas dari krisis ekonomi. Trauma akan krisis ekonomi di tahun 1929 yang sering disebut Great Depression kembali menghantui. Pada saat itu dampak krisis itu menasional bagi rakyat Amerika Serikat, seperti kesulitan keuangan karena lapangan pekerjaan sedikit hingga kelaparan.
Seperti mengulang kejadian Great Depression, dimana saat ini banyak saham-saham yang menjadi maskot Wall Street berguguran. Apalagi perusahaan sekelas Lehman brothers dan Washington Mutual menyatakan kebangkrutan. Belum lagi raksasa asuransi AIG dan otomotif General Motor yang menyatakan kekeringan likuiditas.
Ekonomi AS saat ini, menurut ekonom terkemuka Joseph Stiglitz, dihadapkan pada krisis likuiditas, krisis solvensi, dan problem makroekonomi sekaligus. Kemerosotan ekonomi sekarang ini nampaknya baru memasuki fase pertama penurunan ekonomi secara tajam yang harus dilalui AS dalam proses penyesuaian yang tak terelakkan sampai harga rumah kembali ke level ekuilibrium dan utang eksesif yang menopang ekonomi AS selama ini teratasi.
Rekapitalisasi perbankan yang akan ditempuh pemerintah sekarang ini juga baru satu tahap dari lima tahap yang harus ditempuh untuk keluar dari krisis finansial. Langkah lainnya, meredam gelombang kebangkrutan dan penyitaan rumah. Selain itu, kebijakan stimulus untuk menggerakkan ekonomi termasuk dengan meningkatkan tunjangan pengangguran serta investasi di infrastruktur dan teknologi.
Langkah lainnya adalah memulihkan kepercayaan pasar melalui perbaikan regulasi pasar finansial serta membentuk badan multilateral yang efektif untuk mengawasi jalannya sistem finansial global
Resesi Dunia dan Perekonomian Indonesia
Dampak dari krisis finansial dunia nampaknya belum begitu nyata terlihat di Indonesia, bahkan hingga Triwulan III/2008 pertumbuhan ekonomi Indonesia saja masih dapat mencapai 6,1 persen. Dampak krisis ini nampaknya baru mulei terasa pada Triwulan I/2009.
Namun dampak dari capital fligth lah yang akan benar-benar terasa. Nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot dan sempat menembus level psikologis di Rp 12.000, telah menyebabkan kepanikan pasar, Bank Indonesia, dan Pemerintah yang luar biasa (walaupun pihak BI dan Pemerintah dalam siaran persnya selalu mengatakan bahwa mereka tidak panik, dan berusaha selalu tenang). Kepanikan ini jelas-jelas nyata, nampak terjadinya irasionalisasi di pasar. Para investor asing terus-menurus membuang portofolio mereka ke pasar, investor domestik juga yang ikut membuang portofolio mereka. Belum lagi terjadinya force sell transaksi marjin para nasabah anggota bursa dan akibat aksi short selling banyak investor turut membuat anjlok bursa Indonesia, bahkan IHSG hampir menyentuh level support kuat yang merupakan level psikologis sebesar 1.000.
Langkah kepanikan BI terlihat jelas ketika seluruh bank sentral di dunia menurunkan tingkat suku bunganya, Bank Indonesia malah sebaliknya. Bank Indonesia seolah-olah takut terjadinya rush di perbankan yang akhirnya menaikan tingkat suku bunga acuannya. Belum lagi pemerintah yang buru-buru menaikan nilai penjaminan simpanan para nasabah dari Rp. 100 juta menjadi Rp. 2 miliar, jelas nampak kepanikan dari BI dan Pemerintah.
Sebenarnya langkah ini dinilai sudah cukup tepat, namun sayangnya langkah tersebut belum cukup dapat menahan kejatuhan rupiah. Diyakini oleh banyak ekonom bahwa rupiah sedang mencari sebuah keseimbangan baru, dimana pada saat sebelumnya di level Rp. 9.300an per U$, rupiah telah mengalami overvalued sehingga perlu mengalami sebuah koreksi berupa depresiasi nilai. Hal ini disebabkan karena selama ini surplus perdagangan kita terus melemah, masyarkat menjadi hobi mengkonsumsi produk impor karena murah. Angka inflasi yang terus membengkak hingga 12 persen pula yang membuat orang lebih memilih untuk menyimpan uangnya dalam bentuk dolar.
Program bailout dan stimulus ekonomi yang siap di gelontorkan pemerintah AS senilai lebih dari U$ 800 miliar nantinya akan didanai melalui Treasury bill yang diterbitkan pemerintah AS secara otomatis pula akan menyedot dolar yang berada di luar Amerika untuk kembali masuk ke negara asalnya, hal ini pula lah yang mendorong penguatan nilai dolar di seluruh dunia.
Selain itu, penjaminan simpanan di bank oleh LPS hanya sebesar Rp. 2 miliar per rekening. Menurut data dari LPS, 99 persen rekening berisi dana nasabah kurang dari Rp. 2 miliar sehingga diyakini bahwa langkah pemerintah ini sudah tepat karena melindungi mayoritas nasabah. Tapi bila kita tilik lebih jauh, nampaknya 1 persen nasabah perbankan yang tidak diberi jaminan oleh LPS, memiliki total dana hingga Rp. 600 triliun. Jumlah yang amat besar dan berpotensi dilarikan ke luar negeri. Terlebih lagi negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura dan Hongkong telah menerapkan skema Blanket Guarantee yang menjamin simpanan nasabah hingga 100 persen.
Krisis keuangan global yang terjadi saat ini juga akan lebih terasa dampaknya bagi sektor riil yang mempunyai pangsa pasar ekspor, hal ini disebabkan karena adanya penurunan permintaan luar negeri akan produk Indonesia. Hal ini akan memacu produsen lokal untuk memasarkan produknya dalam negeri. Kita sebagai masyarakat hendaknya turut membantu pemerintah dengan lebih mencintai produk dalam negeri karena dengan menggunakan produk dalam negeri kita dapat membantu perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk dapat berproduksi dan bertahan dalam krisis keuangan saat ini.
Perlu diwaspadai juga akan adanya serbuan barang-barang impor yang menggiurkan karena memiliki harga yang murah. Itu sebenarnya merupakan produk dari negara lain yang tidak laku di pasaran Amerika dan negara-negara maju karena daya beli di negara-negara tersebut telah turun drastis sehingga tidak terserap. Sekali lagi, lebih baik kita menggunakan produk dalam negeri dengan demikian kita juga telah membantu memberi makan bangsa kita sendiri, toh saat ini banyak produk impor yang masuk ke Indonesia seperti makanan yang tidak memenuhi standar bahkan termasuk dalam kategori membahayakan bagi kesehatan orang yang mengkonsumsinya.
Kesimpulan
Perekonomian Indonesia belum terlalu terkena imbas dari krisis finansial global yang menerpa negara-negara maju dengan pusat di AS. Namun ada baiknya bila pemerintah beserta Bank Indonesia terus melakukan upaya jaga-jaga agar bencana finansial ini tidak ikut menerpa Indonesia. Bank Indonesia diharapakan dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong perbankan untuk terus menyalurkan kreditnya ke sektor riil terutama sektor UMKM yang terbukti ampuh melawan krisis pada 1998 lalu. Pemerintah juga harus mengambil andil agar perekonomian berjalan dengan kondusif. Skema blanket guarantee nampaknya perlu juga diterapkan untuk mencegah pelarian dana ke luar negeri. Selain itu, pemerintah sebaiknya tetap dapat menjaga daya beli masyarakat dengan tetap menjaga harga-harga barang tetap stabil.
DAN EKONOMI INDONESIA
Departemen Kajian Keilmuan
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran
Krisis keuangan global yang terjadi saat ini, terutama di negara-negara maju, memberikan sebuah tantangan yang amat berat bagi perekonomian Indonesia. Perekonomian global mulai memasuki periode paling kritis dari krisis ekonomi yang berpusat di Amerika Serikat. Untuk meredam krisis, sejumlah negara secara bersama-sama telah atau berencana menggelontorkan paket stimulus fiskal senilai triliunan dollar AS. Suku bunga secara global juga sudah berada di titik terendah sejak beberapa dekade terakhir. Namun, semua itu belum mampu mengangkat ekspektasi positif dan membawa krisis global terus ke dalam jurang.
Keadaan seperti ini terus membangkitkan rasa pesimisme dan ketakutan. Para pekerja ketakutan akan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Pelaku usaha ketakutan kesulitan dalam mendapatkan kredit untuk usahanya. Pemerintah ketakutan terjadinya defisit perdagangan dan merosotnya pertumbuhan ekonomi. Kepercayaan bisnis dan konsumen pun berada pada titik terendah. Sektor keuangan dan perekonomian kini dipenuhi lembaga-lembaga keuangan dan korporasi raksasa yang secara teknis sudah bangkrut dan hidup dari suntikan besar dana pemerintah atau bank sentral.
Kondisi ekonomi global terus memburuk sejak terjadinya krisis kredit macet perumahan di AS tahun 2007 silam. Perekonomian dunia nyaris tak bergerak, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia hanya sekitar 0,5 persen pada tahun 2009. Untuk negara-negara maju diperkirakan akan tumbuh negatif. Pertumbuhan positif terutama disumbangkan oleh perekonomian negara-negara berkembang (emerging markets) yang sangat bergantung pada perdagangan. Dengan volume ekspor global yang diperkirakan mengalami kontraksi 2,8 persen tahun ini dan investasi modal swasta merosot 82 persen tahun lalu, pijakan emerging markets Asia sebagai benteng terakhir perekonomian global juga mulai goyah. Motor penggerak perekonomian Asia seperti Korea, Singapura, Taiwan, Hongkong, dan Jepang saat ini sudah memasuki dalam tahap resesi.
Pecahnya Perekonomian Gelembung Sabun
Sebenarnya telah nampak tanda-tanda bahwa perekonomian AS yang mengalami sebuah laju yang luar biasa cepat di sektor finansialnya suatu saat pasti akan mengalami sebuah koreksi akibat bubble economy yang belebihan. Sektor keuangan telah berkembang sedemikian rupa dengan melupakan sektor ril.
Gelembung itu akhirnya meletus dan menyebabkan sebuah bencana finansial. Pertanda awal dari meletusnya gelembung ini adalah kebangkrutan dari Lehman Brothers dan menyeret AS ke jurang resesi. Selama ini, “peternakan uang” di sektor finansial tidak melulu dikaitkan dengan fundamental perusahaan. Saham-saham di Wallstreet dapat dengan cepat mengalami kondisi bullish karena ada sebuah sentimen positif tanpa adanya peningkatan kinerja laporan keuangan. Semuanya terjadi serba instan sehingga menyebabkan sebuah gelembung sabun yang selalu siap meletus. Gelembung sabun tersebut diyakini bersifat semu, sehingga begitu mengempis selanjutnya perekonomian akan berjalan mendatar seperti halnya Jepang pada tahun 1990-an ketika beberapa bank mengalami krisis.
Dalam kasus bubble economy di AS, tanda-tanda koreksi mulai nampak ketika harga minyak dunia secara terus-menerus dari tahun 2005 mengalami kenaikan yang amat fantastis dari level U$30 per barel menjadi U$147 per barel pada bulan Juli 2008 lalu. Kemudian disusul dengan krisis Subrime Mortgage jilid I pada bulan Juli 2007, jilid II pada Januari 2008, dan puncaknya pada bulan September 2008.
Secara perlahan-lahan The Fed coba untuk mengawal koreksi ini agar tidak memberikan dampaknya yang terlalu parah dengan melakukan penurunan bunga acuannya sedikit demi sedikit dari sekitar 5 persenan menjadi 2 persen. Langkah ini nampaknya tidak cukup, dibuktikan dengan bangkrutnya Lehman Brother. Tanpa bantuan berupa dana talangan dari pemerintah, Lehman nampaknya tidak sanggup lagi berdiri. Terlalu fatal akibatnya bila membangkrutkan perusahaan investasi sebesar Lehman tanpa memberi bailout sepeser pun. Hal ini kemudian yang memicu terjadinya ketidakpercayaan di pasar.
Dapat kita lihat ketidakpercayaan pasar telah menghancurkan pasar modal di seluruh dunia. Ini merupakan imbas dari ambruknya bursa AS. Dow Jones sebagai salah satu indeks terpenting AS sempat anjlok di bawah level 8.000, dibawah level psikologisnya di 10.000.
Telah kita ketahui saat ini Amerika Serikat sedang berada di ambang kehancuran financial sebagai imbas dari krisis ekonomi. Trauma akan krisis ekonomi di tahun 1929 yang sering disebut Great Depression kembali menghantui. Pada saat itu dampak krisis itu menasional bagi rakyat Amerika Serikat, seperti kesulitan keuangan karena lapangan pekerjaan sedikit hingga kelaparan.
Seperti mengulang kejadian Great Depression, dimana saat ini banyak saham-saham yang menjadi maskot Wall Street berguguran. Apalagi perusahaan sekelas Lehman brothers dan Washington Mutual menyatakan kebangkrutan. Belum lagi raksasa asuransi AIG dan otomotif General Motor yang menyatakan kekeringan likuiditas.
Ekonomi AS saat ini, menurut ekonom terkemuka Joseph Stiglitz, dihadapkan pada krisis likuiditas, krisis solvensi, dan problem makroekonomi sekaligus. Kemerosotan ekonomi sekarang ini nampaknya baru memasuki fase pertama penurunan ekonomi secara tajam yang harus dilalui AS dalam proses penyesuaian yang tak terelakkan sampai harga rumah kembali ke level ekuilibrium dan utang eksesif yang menopang ekonomi AS selama ini teratasi.
Rekapitalisasi perbankan yang akan ditempuh pemerintah sekarang ini juga baru satu tahap dari lima tahap yang harus ditempuh untuk keluar dari krisis finansial. Langkah lainnya, meredam gelombang kebangkrutan dan penyitaan rumah. Selain itu, kebijakan stimulus untuk menggerakkan ekonomi termasuk dengan meningkatkan tunjangan pengangguran serta investasi di infrastruktur dan teknologi.
Langkah lainnya adalah memulihkan kepercayaan pasar melalui perbaikan regulasi pasar finansial serta membentuk badan multilateral yang efektif untuk mengawasi jalannya sistem finansial global
Resesi Dunia dan Perekonomian Indonesia
Dampak dari krisis finansial dunia nampaknya belum begitu nyata terlihat di Indonesia, bahkan hingga Triwulan III/2008 pertumbuhan ekonomi Indonesia saja masih dapat mencapai 6,1 persen. Dampak krisis ini nampaknya baru mulei terasa pada Triwulan I/2009.
Namun dampak dari capital fligth lah yang akan benar-benar terasa. Nilai tukar rupiah terhadap dolar terus merosot dan sempat menembus level psikologis di Rp 12.000, telah menyebabkan kepanikan pasar, Bank Indonesia, dan Pemerintah yang luar biasa (walaupun pihak BI dan Pemerintah dalam siaran persnya selalu mengatakan bahwa mereka tidak panik, dan berusaha selalu tenang). Kepanikan ini jelas-jelas nyata, nampak terjadinya irasionalisasi di pasar. Para investor asing terus-menurus membuang portofolio mereka ke pasar, investor domestik juga yang ikut membuang portofolio mereka. Belum lagi terjadinya force sell transaksi marjin para nasabah anggota bursa dan akibat aksi short selling banyak investor turut membuat anjlok bursa Indonesia, bahkan IHSG hampir menyentuh level support kuat yang merupakan level psikologis sebesar 1.000.
Langkah kepanikan BI terlihat jelas ketika seluruh bank sentral di dunia menurunkan tingkat suku bunganya, Bank Indonesia malah sebaliknya. Bank Indonesia seolah-olah takut terjadinya rush di perbankan yang akhirnya menaikan tingkat suku bunga acuannya. Belum lagi pemerintah yang buru-buru menaikan nilai penjaminan simpanan para nasabah dari Rp. 100 juta menjadi Rp. 2 miliar, jelas nampak kepanikan dari BI dan Pemerintah.
Sebenarnya langkah ini dinilai sudah cukup tepat, namun sayangnya langkah tersebut belum cukup dapat menahan kejatuhan rupiah. Diyakini oleh banyak ekonom bahwa rupiah sedang mencari sebuah keseimbangan baru, dimana pada saat sebelumnya di level Rp. 9.300an per U$, rupiah telah mengalami overvalued sehingga perlu mengalami sebuah koreksi berupa depresiasi nilai. Hal ini disebabkan karena selama ini surplus perdagangan kita terus melemah, masyarkat menjadi hobi mengkonsumsi produk impor karena murah. Angka inflasi yang terus membengkak hingga 12 persen pula yang membuat orang lebih memilih untuk menyimpan uangnya dalam bentuk dolar.
Program bailout dan stimulus ekonomi yang siap di gelontorkan pemerintah AS senilai lebih dari U$ 800 miliar nantinya akan didanai melalui Treasury bill yang diterbitkan pemerintah AS secara otomatis pula akan menyedot dolar yang berada di luar Amerika untuk kembali masuk ke negara asalnya, hal ini pula lah yang mendorong penguatan nilai dolar di seluruh dunia.
Selain itu, penjaminan simpanan di bank oleh LPS hanya sebesar Rp. 2 miliar per rekening. Menurut data dari LPS, 99 persen rekening berisi dana nasabah kurang dari Rp. 2 miliar sehingga diyakini bahwa langkah pemerintah ini sudah tepat karena melindungi mayoritas nasabah. Tapi bila kita tilik lebih jauh, nampaknya 1 persen nasabah perbankan yang tidak diberi jaminan oleh LPS, memiliki total dana hingga Rp. 600 triliun. Jumlah yang amat besar dan berpotensi dilarikan ke luar negeri. Terlebih lagi negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Singapura dan Hongkong telah menerapkan skema Blanket Guarantee yang menjamin simpanan nasabah hingga 100 persen.
Krisis keuangan global yang terjadi saat ini juga akan lebih terasa dampaknya bagi sektor riil yang mempunyai pangsa pasar ekspor, hal ini disebabkan karena adanya penurunan permintaan luar negeri akan produk Indonesia. Hal ini akan memacu produsen lokal untuk memasarkan produknya dalam negeri. Kita sebagai masyarakat hendaknya turut membantu pemerintah dengan lebih mencintai produk dalam negeri karena dengan menggunakan produk dalam negeri kita dapat membantu perusahaan-perusahaan di Indonesia untuk dapat berproduksi dan bertahan dalam krisis keuangan saat ini.
Perlu diwaspadai juga akan adanya serbuan barang-barang impor yang menggiurkan karena memiliki harga yang murah. Itu sebenarnya merupakan produk dari negara lain yang tidak laku di pasaran Amerika dan negara-negara maju karena daya beli di negara-negara tersebut telah turun drastis sehingga tidak terserap. Sekali lagi, lebih baik kita menggunakan produk dalam negeri dengan demikian kita juga telah membantu memberi makan bangsa kita sendiri, toh saat ini banyak produk impor yang masuk ke Indonesia seperti makanan yang tidak memenuhi standar bahkan termasuk dalam kategori membahayakan bagi kesehatan orang yang mengkonsumsinya.
Kesimpulan
Perekonomian Indonesia belum terlalu terkena imbas dari krisis finansial global yang menerpa negara-negara maju dengan pusat di AS. Namun ada baiknya bila pemerintah beserta Bank Indonesia terus melakukan upaya jaga-jaga agar bencana finansial ini tidak ikut menerpa Indonesia. Bank Indonesia diharapakan dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dapat mendorong perbankan untuk terus menyalurkan kreditnya ke sektor riil terutama sektor UMKM yang terbukti ampuh melawan krisis pada 1998 lalu. Pemerintah juga harus mengambil andil agar perekonomian berjalan dengan kondusif. Skema blanket guarantee nampaknya perlu juga diterapkan untuk mencegah pelarian dana ke luar negeri. Selain itu, pemerintah sebaiknya tetap dapat menjaga daya beli masyarakat dengan tetap menjaga harga-harga barang tetap stabil.