Genderang kehancuran bertabuh di negeri paman sam, sebuah balada ekonomi yang terakumulasi dari era ke era dan kini meletus bak balon sabun. Sang adidaya pun meringkuk kesakitan dihantam badai krisis keuangan yang kini membawa mereka ke jurang kebangkrutan.
Yang miskin kian terperi, birokrat kini berhenti bermimpi, pialang saham gigit jari, investor bunuh diri dan akhirnya anggaran dikebiri demi memberi stimulus ekonomi.
Begitulah sebuah gambaran catastrophy yang terjadiu7 disana nun jauh di amerika, si negara adidaya yang mencengkram dunia lewat kekuatannya. Krisis ini sebenarnya sudah jauh-jauh hari diprediksi oleh banyak kalangan, akibat tabiat buruk amerika yang kerap bermain-main di sektor fiktif (finansial) tanpa dibarengi dengan peningkatan sektor riil. Puncaknya terjadi ketika konglomerasi besar lehmann bersaudara menemui titik ajal perusahaanya, akibat gelembung ekonomi yang terbangun dari jejaring utang yang menahun.
Tanda-tanda kehancuran ekonomi di amerika sebenarnya telah nampak sejak jauh hari sebulumnya.Masih terngiang ditelinga kita, ketika harga minyak dunia secara terus-menerus dari tahun 2005 mengalami kenaikan yang begitu dramatis dari level U$30 per barel menjadi U$147 per barel pada bulan Juli 2008 lalu.Lantas disusul dengan krisis Subrime Mortgage jilid I pada bulan Juli 2007, jilid II pada Januari 2008, dan puncaknya pada bulan September 2008.Ketika itu dunia perekonomian AS seakan-akan kiamat. Para pekerja ketakutan akan terjadinya pemutusan hubungan kerja. Pelaku usaha ketakutan kesulitan dalam mendapatkan kredit untuk usahanya. Pemerintah ketakutan terjadinya defisit perdagangan dan merosotnya pertumbuhan ekonomi. Kepercayaan bisnis dan konsumen pun berada pada titik terendah. Sektor keuangan dan perekonomian kini dipenuhi lembaga-lembaga keuangan dan korporasi raksasa yang secara teknis sudah bangkrut dan hidup dari suntikan besar dana pemerintah atau bank sentral.
Pada dasarnya Subprime mortgage merupakan kredit perumahan yang skema pinjamannya telah dimodifikasi sehingga mempermudah kepemilikan rumah oleh orang miskin yang sebenarnya tidak layak mendapat kredit. Tingkat bunga The Fed, sepanjang tahun 2002-2004 yang hanya sekitar 1-1,75 persen, membuat bisnis subprime mortgage dan perumahan booming. Tingginya bunga pinjaman subprime mortgage (pada saat bunga deposito rendah) menarik investor kelas kakap dunia (bank, reksadana, dana pensiun, asuransi) membeli surat utang yang diterbitkan perusahaan subprime mortgage.
Masalah sebenarnya muncul ketika The Fed, mulai Juni 2004, bertahap menaikkan bunga hingga mencapai 5,25 persen pada Agustus 2007, kredit perumahan mulai bermasalah akibat banyaknya nasabah yang gagal bayar. Dampaknya, banyak perusahaan penerbit SM rugi besar karena nasabahnya gagal bayar dan perusahaan SM tidak mampu membayar utang karena tidak dibayar nasabahnya. Terjadi banyak penyitaan rumah (1 dari 10 rumah di Cleveland, AS, dalam kondisi tersita). Investor institusi keuangan yang membeli surat utang SM rugi besar karena surat utangnya hanya bernilai sekitar 20 persen. Akibatnya, harga saham atau nilai aktiva bersih dari investor yang memiliki SM jatuh dan membuat investor rugi besar. Dan untuk menutupi kebutuhan likuiditas, mayoritas investor terpaksa menjual portofolionya, termasuk sahamnya, secara besar-besaran, di seluruh dunia yang mengakibatkan terempasnya pasar modal dunia.
.
Di Indonesia, hal ini mengakibatkan para investor asing tersebut menjual saham-sahamnya di Bursa Efek Indonesia karena mereka membutuhkan uangnya di negara masing-masing. Uang rupiah hasil penjualannya dibelikan dollar, yang mengakibatkan nilai rupiah semakin terpuruk. Menurunnya nilai tukar rupiah mengakibatkan biaya produksi di dalam negeri semakin meningkat karena hampir 70% menggunakan bahan baku impor, yang tentunya dibeli dengan mata uang dollar.
Hal ini akan mengakibatkan menurunnya tingkat produksi, penurunan produksi tentunya mengakibatkan pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan, timbulnya pengangguran mengakibatkan daya beli masyarakat semakin menurun, dalam artian tingkat konsumsi menurun. Hal ini diperparah dengan kenaikan harga barang yang disebabkan biaya produksi yang semakin tinggi. Konsumsi menurun berarti tidak ada yang membeli barang-barang produksi yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik yang memperkerjakan buruh-buruh dan akhirnya perusahaan tersebut akan bangkrut.
Secara sederhana sumber pertumbuhan ekonomi suatu negara ditentukan oleh tingkat konsumsi, investasi, belanja pemerintah dan perdagangan luar negeri. Dalam krisis global sekarang ini tentunya pertumbuhan investasi yang diharapkan dari luar negeri maupun dalam negeri tidak bisa kita harapkan, karena penanam modal saat ini dalam posisi untuk survive. Tingkat konsumsi seperti yang telah disampaikan diatas semakin menurun. Perdagangan luar negeri merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi yang bisa digunakan
Selain itu Pemecatan ini juga terjadi pada perusahaan-perusahaan yang terutama bergerak di bidang ekspor-impor, muara nya adalah lagi-lagi pengurangan jumlah pekerja yang berarti bertambahnya jumlah pengangguran.
Banyak perusahaan yang berbasis eksport sudah melakukan PHK ataupun merumahkan pegawainya akibat dari krisis global ini. Belum lagi sektor lain yang mempunyai keterikatan yang tinggi dalam menopang sektor eksport ataupun perusahaan hulu yang juga terkait pada perusahaan ekspor tersebut.Analisis Divisi Vibiz Research unit dari Vibiz Consulting melihat dengan adanya potensi peningkatan pengangguran tersebut maka akan membuat pengangguran meningkat menembus level 10 juta pada tahun ini. Berdasarkan data BPS jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 9,4 juta orang. Dimana komposisinya berdasarkan pendidikan adalah : Dibawah Sekolah Dasar (547 ribu), Sekolah Dasar (2,1 Juta), SMP dan sederajat (1,973 juta), SMA dan sederajat (3,81 juta), Diploma dan sederajat (362 ribu) dan Universitas dan sederajat (600 ribu). Sebagai solusi untuk menahan kenaikan pengangguran, pemerintah diharapkan mengucurkan sejumlah stimulus perekonomian untuk dapat menyerap jumlah pengangguran di Indonesia tahun ini ,namun dengan catatan stimulus yang dikeluarkan difokuskan pada sektor-sektor padat karya. Serta adanya inisiatif untuk mengadakan ekspor ke negara-negara yang relatif lebih aman seperti negara-negara di timur tengah. Hal ini sangat berguna untuk menjaga stabilitas perekonomian dalam negri.
0 komentar:
Posting Komentar