“Pemilu 2009 ini adalah pemilu paling mahal yang pernah diselenggarakan oleh Indonesia.’
Kamis, 9 April lalu, negara besar dengan jumlah penduduk miskin yang melimpah serta pendapatan perkapita sebesar US$1,300 yaitu Indonesia mengadakan sebuah pesta demokrasi yang sangat mewah bahkan lebih mewah dari pesta ulang tahun Sultan Hassanal Bolkiah untuk memilih calon-calon pemimpin bangsa yang dapat menyampaikan aspirasi rakyat. Sebuah pesta dengan biaya besar yang semestinya bisa membangun sebuah kota metropolitan baru dengan fasilitas jalan tol 100%, monorail, dan subway. Benar-benar sebuah prahara memilukan yang mencoreng hati rakyat miskin Indonesia.
Secara logika uang sebesar Rp 145 ribu rupiah bila dibelanjakan akan mendapatkan beberapa barang seperti pulsa, makanan, dan pakaian dapat mendatangkan kepuasan Jika dibandingkan dengan pemilu tahun 2004 lalu, memang pemilu 2009 ini menelan banyak biaya. Bila pemilu tahun lalu “hanya” menghabiskan biaya sekitar Rp 3,5 triliun untuk Pemilu DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD serta Pemilihan Presiden (Pilpres). Maka pada pemilu in biaya melonjak sampai sekitar Rp 21,93 triliun. Menurut ketua KPU, Abdul Hafidz,“tingginya biaya pemilu tersebut terutama disebabkan oleh Perubahan aturan penyelanggaraan Pemilu yang termuat dalam UU 22/2007. Di mana tidak seperti pemilu sebelumnya yang diatur oleh UU 32/2004 tentang penyelenggaran Pemilu tahun 2004.” Berdasarkan peraturan yang baru ini, seluruh biaya pemilu berasal dari APBN, tidak seperti pemilu sebelumnya yang sebagian dananya berasal dari APBD. Untuk sebuah negara dengan ukuran jumlah penduduk sebanyak Indonesia memang biaya untuk pemilu sudah pasti besar, karena banyaknya penduduk yang memiliki hak pilih apalagi dalam kurun waktu lima tahun sudah pasti jumlah pemilih juga bertambah. Biaya logistik pemilu yang meningkat juga menjadi salah satu alasan. Di samping biaya sosialisasi yang tentunya besar karena ada perubahan sistem yang semula “coblos” menjadi “contreng.” Dengan alokasi dana yang begitu besar, seharusnya pemilu ini bisa berjalan lebih baik daripada pemilu sebelumnya. Namun kenyataannya, pemilu ini justru mengalami banyak kemunduran bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Mulai dari DPT yang bermasalah, rendahnya animo masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya, lambatnya jumlah suara yang masuk ke KPU, sampai banyaknya surat suara yang tidak sah. Sebuah bukti bahwa penggunaan dana yang besar ternyata tidak berjalan efektif.
Melihat kenyataan tersebut, tentunya banyak hal yang perlu untuk diperbaiki. Jumlah partai yang terus meningkat dari tiap pemilu yang tadinya hanya 24 kini menjadi 38 untuk nasional dan khusus untuk di Aceh 44 di satu sisi memang menunjukkan kalau kebebasan memang dihargai, tetapi di sisi lain menyebabkan biaya untuk pemilu juga meningkat. Dengan jumlah partai yang sebanyak itu biaya untuk mencetak kertas suara sudah pasti meningkat. Di sini KPU seharusnya lebih selektif dalam menyaring jumlah parpol yang bisa mendaftarkan dirinya dalam pemilu. Sudah terbukti, semakin banyak parpol dan daftar caleg ternyata tidak meningkatkan animo rakyat untuk memilih meningkat, namun justru membuat rakyat bingung dan jenuh sehingga ujung-ujungnya rakyat lebih memilih golput. Jumlah parpol bisa ditekan dengan electoral threshold sebuah system yang diterapkan sebelum pemilu 2004, di mana parpol yang jumlah kursi di DPR kurang dari 2,5% tidak berhak mengikuti pemilu selanjutnya.
Perubahan cara pemilihan dari “coblos” menjadi “contreng” juga menghabiskan banyak biaya untuk sosialisasi. Memang tujuannya untuk memperbaiki ssstem pemilihan. Namun kenyataannya, dengan waktu sosialisasi yang singkat, tidak semua rakyat bisa mengerti perubahan tersebut, dampaknya banyak surat suara yang tidak sah. Perubahan ini juga menyebabkan penghitungan suara menjadi lebih rumit. Dampaknya jumlah suara yang masuk sampai dengan saat ini sangat lambat, ada yang memperkirakan jika jumlah suara yang masuk tetap seperti ini terus, perhitungan baru selesai pada bulan agustus padahal, bulan Juli nanti pilpres sudah harus digelar. Jika ada perubahan seperti ini, mestinya jauh-jauh hari KPU sudah melakukan sosialisasi sehingga rakyat bisa mengerti penerapan sistem baru ini, selain itu biaya sosialisasi juga bisa ditekan.
Dengan biaya pemilu yang begitu besar, seharusnya pemilu 2009 ini bisa menjadi wadah bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya dan berpartisipasi dalam menentukan calon-calon legislativ yang mewakili mereka di pemerintahan karena demokrasi sendiri adalah sebuah sistem pemerintahan rakyat. Bukan sebagai ajang bagi beberapa elit politik untuk berebut kekuasaan. Oleh karena itu, saat ini peran aktif masyarakat sangat diperlukan untuk mengawasi kinerja KPU dan wakil rakyat yang nantinya terpilih. Jangan biarkan dana sebesar Rp 21,93 triliun yang sudah dikeluarkan hanya menjadi dana untuk membuat hari libur nasional.
Darjito Wahyu (Akuntansi 08)
DIVISI KAJIAN STRATEGIS
DEPARTEMEN SOSPOL
BEM FE UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
Kamis, 9 April lalu, negara besar dengan jumlah penduduk miskin yang melimpah serta pendapatan perkapita sebesar US$1,300 yaitu Indonesia mengadakan sebuah pesta demokrasi yang sangat mewah bahkan lebih mewah dari pesta ulang tahun Sultan Hassanal Bolkiah untuk memilih calon-calon pemimpin bangsa yang dapat menyampaikan aspirasi rakyat. Sebuah pesta dengan biaya besar yang semestinya bisa membangun sebuah kota metropolitan baru dengan fasilitas jalan tol 100%, monorail, dan subway. Benar-benar sebuah prahara memilukan yang mencoreng hati rakyat miskin Indonesia.
Secara logika uang sebesar Rp 145 ribu rupiah bila dibelanjakan akan mendapatkan beberapa barang seperti pulsa, makanan, dan pakaian dapat mendatangkan kepuasan Jika dibandingkan dengan pemilu tahun 2004 lalu, memang pemilu 2009 ini menelan banyak biaya. Bila pemilu tahun lalu “hanya” menghabiskan biaya sekitar Rp 3,5 triliun untuk Pemilu DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD serta Pemilihan Presiden (Pilpres). Maka pada pemilu in biaya melonjak sampai sekitar Rp 21,93 triliun. Menurut ketua KPU, Abdul Hafidz,“tingginya biaya pemilu tersebut terutama disebabkan oleh Perubahan aturan penyelanggaraan Pemilu yang termuat dalam UU 22/2007. Di mana tidak seperti pemilu sebelumnya yang diatur oleh UU 32/2004 tentang penyelenggaran Pemilu tahun 2004.” Berdasarkan peraturan yang baru ini, seluruh biaya pemilu berasal dari APBN, tidak seperti pemilu sebelumnya yang sebagian dananya berasal dari APBD. Untuk sebuah negara dengan ukuran jumlah penduduk sebanyak Indonesia memang biaya untuk pemilu sudah pasti besar, karena banyaknya penduduk yang memiliki hak pilih apalagi dalam kurun waktu lima tahun sudah pasti jumlah pemilih juga bertambah. Biaya logistik pemilu yang meningkat juga menjadi salah satu alasan. Di samping biaya sosialisasi yang tentunya besar karena ada perubahan sistem yang semula “coblos” menjadi “contreng.” Dengan alokasi dana yang begitu besar, seharusnya pemilu ini bisa berjalan lebih baik daripada pemilu sebelumnya. Namun kenyataannya, pemilu ini justru mengalami banyak kemunduran bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Mulai dari DPT yang bermasalah, rendahnya animo masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya, lambatnya jumlah suara yang masuk ke KPU, sampai banyaknya surat suara yang tidak sah. Sebuah bukti bahwa penggunaan dana yang besar ternyata tidak berjalan efektif.
Melihat kenyataan tersebut, tentunya banyak hal yang perlu untuk diperbaiki. Jumlah partai yang terus meningkat dari tiap pemilu yang tadinya hanya 24 kini menjadi 38 untuk nasional dan khusus untuk di Aceh 44 di satu sisi memang menunjukkan kalau kebebasan memang dihargai, tetapi di sisi lain menyebabkan biaya untuk pemilu juga meningkat. Dengan jumlah partai yang sebanyak itu biaya untuk mencetak kertas suara sudah pasti meningkat. Di sini KPU seharusnya lebih selektif dalam menyaring jumlah parpol yang bisa mendaftarkan dirinya dalam pemilu. Sudah terbukti, semakin banyak parpol dan daftar caleg ternyata tidak meningkatkan animo rakyat untuk memilih meningkat, namun justru membuat rakyat bingung dan jenuh sehingga ujung-ujungnya rakyat lebih memilih golput. Jumlah parpol bisa ditekan dengan electoral threshold sebuah system yang diterapkan sebelum pemilu 2004, di mana parpol yang jumlah kursi di DPR kurang dari 2,5% tidak berhak mengikuti pemilu selanjutnya.
Perubahan cara pemilihan dari “coblos” menjadi “contreng” juga menghabiskan banyak biaya untuk sosialisasi. Memang tujuannya untuk memperbaiki ssstem pemilihan. Namun kenyataannya, dengan waktu sosialisasi yang singkat, tidak semua rakyat bisa mengerti perubahan tersebut, dampaknya banyak surat suara yang tidak sah. Perubahan ini juga menyebabkan penghitungan suara menjadi lebih rumit. Dampaknya jumlah suara yang masuk sampai dengan saat ini sangat lambat, ada yang memperkirakan jika jumlah suara yang masuk tetap seperti ini terus, perhitungan baru selesai pada bulan agustus padahal, bulan Juli nanti pilpres sudah harus digelar. Jika ada perubahan seperti ini, mestinya jauh-jauh hari KPU sudah melakukan sosialisasi sehingga rakyat bisa mengerti penerapan sistem baru ini, selain itu biaya sosialisasi juga bisa ditekan.
Dengan biaya pemilu yang begitu besar, seharusnya pemilu 2009 ini bisa menjadi wadah bagi seluruh rakyat Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya dan berpartisipasi dalam menentukan calon-calon legislativ yang mewakili mereka di pemerintahan karena demokrasi sendiri adalah sebuah sistem pemerintahan rakyat. Bukan sebagai ajang bagi beberapa elit politik untuk berebut kekuasaan. Oleh karena itu, saat ini peran aktif masyarakat sangat diperlukan untuk mengawasi kinerja KPU dan wakil rakyat yang nantinya terpilih. Jangan biarkan dana sebesar Rp 21,93 triliun yang sudah dikeluarkan hanya menjadi dana untuk membuat hari libur nasional.
Darjito Wahyu (Akuntansi 08)
DIVISI KAJIAN STRATEGIS
DEPARTEMEN SOSPOL
BEM FE UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG