"Pidato" di bawah ini adalah pidato imajiner. Ia terinspirasi oleh sepotong twit @andidio yang berbunyi "Mimpi: SBY datangi ribuan pengunjuk rasa di dpn istana. Naik ke panggung, jelaskan dgn gamblang knp bbm hrs naik. Minta maaf atas dampaknya". Dengan maaf kepada Pak Presiden, mohon ijin bermimpi. - AAP.
Saudara-saudara sekalian,
Saya berdiri di hadapan saudara-saudara untuk meminta maaf. Saya terpaksa harus menaikkan harga BBM. Saya mohon maaf karena isu ini sudah berkembang cukup lama dan telah menyebabkan ketegangan di masyarakat. Saya memahami bahwa banyak pihak, termasuk mahasiswa, yang tidak setuju dengan langkah ini. Tapi ijinkan saya menjelaskan alasannya.
Pertama-tama, saya harus mengingatkan sebuah fakta yang kurang menggembirakan. Kita bukan lagi negara kaya minyak. Kita bahkan harus keluar dari OPEC beberapa tahun lalu, karena kita bukan lagi negara pengekspor minyak neto: lebih banyak yang diimpor ketimbang yang dieskpor. Cadangan minyak kita ada sekitar 4 milyar barel – namun yang terbukti tidak sebanyak itu. Kapasitas kita menyedot minyak mentah per hari tidak sampai 1 juta barel – itu pun tidak semuanya siap dikonsumsi. Karena teknologi dan produksi yang terbatas, kita ekspor minyak mintah dan mengimpor hasil olahannya. Pada saat bersamaan, konsumsi kita terus meningkat – sekarang hampir mencapai 1,5 juta barel per hari. Dan ini akan terus bertambah, karena jumlah penduduk usia muda kita sangat besar, dan cenderung bertambah besar; kebutuhan energi total pun meningkat pesat. Jika kita tidak melakukan sesuatu untuk mengurangi ketergantungan kita pada BBM bebasis fosil tak terbarukan itu, kita tidak perbaiki insentif bagi peningkatan teknologi, maka kita akan gerogoti cadangan itu, hingga ia habis 12 tahun lagi. Akan bagus jika pada saat itu energi alternatif telah tersedia. Tapi sulit membayangkan ada upaya pengembangan energi terbarukan saat ini, jika harga produknya takkan pernah bisa menyaingi harga BBM bersubsidi. Jika anda pengusaha, apakah anda mau investasi pada sebuah industri yang harga produknya diperkirakan akan kalah jauh dengan produk yang sudah ada? Singkatnya, saudara-saudara sekalian, jika kita tidak melakukan penyesuaian pada harga BBM saat ini, kita sesungguhnya sedang membuka pintu bagi krisis energi. Sekali lagi, kita sudah tidak bisa bangga sebagai negara kaya minyak. Masa-masa itu sudah lewat.
Saudara-saudara yang saya hormati,
Saya paham bahwa di antara saudara-saudara telah terjadi debat sengit seputar angka-angka dan alokasi APBN. Saya berterima kasih kepada Saudara Kwik Kian Gie dan lain-lain yang telah kembali mengangkat isu ini. Saya hargai juga upaya menteri-menteri dan staf saya di pemerintahan yang telah merespon dan melakukan klarifikasi atas semua ini. Saya pun menerima dengan tangan terbuka kritik para mahasiswa dan aktivis.
Tapi, saudara-saudara, saya ingin menekankan bahwa isu defisit atau surplus anggaran bukan satu-satunya aspek dari subsidi BBM ini. Tentu bagus untuk selalu transparan dalam rincian anggaran dan untuk selalu melakukan verifikasi yang akuntabel. Untuk itu, saya sangat hargai masukan yang tajam dari ICW dan organisasi lain. Saya juga minta kepada jajaran staf saya untuk memeriksa semuanya kembali dan melaporkan semua kepada publik secara setransparan mungkin. Namun, dengan rendah hati, saya ingin mengajak semua pihak untuk melihat gambar besar dari persoalan kita. Terlepas dari debat defisit maupun surplus, kita sedang menghadapi tiga masalah yang krusial: tidak memadainya infrastruktur, distribusi subsidi yang kurang tepat, serta semakin terancamnya lingkungan hidup tempat kita tinggal.
Pertama, mari kita lihat infrastruktur. Banyak yang mengeluh bahwa di Jakarta, harga jeruk dari Pontianak ternyata jauh lebih mahal daripada jeruk impor dari Cina. Mengapa? Karena biaya pengangkutan barang dengan transportasi darat di negara kita 50% lebih mahal daripada rata-rata negara ASEAN. Karena akses yang sulit, kita juga tahu bahwa harga semen dan bahkan kebutuhan pokok menjadi luar biasa mahal ketika mencapai daerah terpencil seperti Yahukimo dan Paniai. Orang luar sering menduga: karena Indonesia adalah negara kepulauan, tentu lebih murah mengirim barang lewar air ketimbang darat. Ternyata, biayanya bahkan lebih mahal, sekitar 150% di atas rata-rata ASEAN tadi. Kenapa? Karena pelabuhan-pelabuhan kita masih tidak efisien. Ironis sesunggunya, bahwa sebuah negara dengan ribuan pulau tidak mempunyai pelabuhan sekelas yang ada di Singapura dan Hongkong. Kita juga dengar keluhan dari para eksportir kita. Ketika mereka mengirim produk mereka ke pasar internasional, truk mereka harus bersaing dengan mobil dan motor pribadi. Saat berhasil masuk jalan tol, di sana pun macet. Dan masalah logistik ini berlanjut di pelabuhan. Beberapa pengusaha bisa menggeser beban biaya ekonomi tinggi ini ke konsumen. Bagaimana caranya? Dengan terpaksa menaikkan harga produk mereka. Inilah salah satu alasan kenapa produk kita menjadi kurang kompetitif di pasar internasional. Karena itu, kita harus memperbaiki infrastruktur dan sistem logistik kita. Mungkin saudara-saudara telah melihat bagaimana pemerintah sangat menekankan isu ini di dalam dokumen-dokumen perencanaan seperti RPJM/P dan MP3EI. Tapi tentu semuanya membutuhkan pembiayaan. Anggaran pemerintah hanya bisa membiayai 30% dari kebutuhan infrastruktur ini. Kita berharap partisipasi dari swasta. Tapi sangat wajar jika swasta baru mau terlibat jika mereka melihat ada imbalan yang layak atas investasi mereka. Nah, saudara-saudara, pada saat bersamaan, kita ternyata tetap mengalokasikan lebih banyak uang untuk subsidi konsumsi energi ketimbang untuk membangun infrastruktur. Saya kira ini tidak produktif.
Kedua, saya rasa kita sepakat bahwa subsidi seharusnya untuk membantu mereka yang miskin. Sayangnya, kita sekarang menyadari bahwa sebagian besar subsidi BBM ternyata dinikmati oleh mereka yang bukan termiskin. Bahkan, hampir setengahnya dinikmati oleh golongan berpendapatan tinggi; hanya kurang dari 2% sampai ke 10% terbawah. Kita tentu tidak menginginkan kebijakan yang regresif seperti ini. Lebih buruk lagi, kesenjangan harga yang tercipta di antara BBM bersubsidi dan bahan bakar lain menjadi sasaran empuk bagi penyelundup. Atau tukang oplos. Saudara-saudara mungkin sudah membaca di media massa, bahwa pemerintah akan menghukum mereka yang menimbun atau mengoplos bahan bakar untuk mencari keuntungan. Dalam kondisi lain, praktik ini mungkin bisa dilihat sebagai wujud kewirausahaan yang kreatif. Tapi kita tidak sedang dalam kondisi ideal. Kita sedang membicarakan akses kepada energi, sebuah barang kebutuhan pokok, yang stoknya sedang menipis tajam di tengah absennya alternatif.
Pertimbangan saya yang ketiga, namun tak kalah pentingnya adalah tentang lingkungan. Perubahan iklim sedang terjadi, saudara-saudara. Walaupun betul bahwa perdebatan tentang derajat dan risikonya masih terus berlangsung, namun saya kira para pakar sepakat: perubahan iklim memang berlangsung. Nah, kita adalah salah satu penghasil emisi terbesar. Deforestasi menjadi penyebab utama. Namun, peran sektor energi yang meliputi transportasi juga semakin menguatirkan. Ini karena sumber energi kita masih didominasi bahan bakar fosil yang berpolutan tinggi itu. Dan celakanya, konsumsi energi berbasis fosil inilah yang terus kita subsidi. Dengan kata lain, kita sebenarnya mendorong polusi yang lebih tinggi dari hari ke hari. Seperti sudah saya katakana, energi yang lebih bersih sendiri “tidak tertarik” masuk selagi “saingannya”, BBM itu masih lebih menarik di mata konsumen.
Saudara-saudara yang saya cintai,
Jika ketiga faktor tersebut – infrastruktru, kemiskinan, dan lingkungan – kita perhitungkan, saya harap kita dapat melihat “gambar besar”, tidak sekedar isu defisit kecil atau besar. Dengan memperbaiki sistem subsidi saat ini, kita berharap dapat meingkatkan infrastruktur, memperbaiki program pengentasan orang miskin, dan membantu melestarikan lingkungan. Saya sangat sadar bahwa keputusan mengurangi subsidi BBM – dengan akibat kenaikan pada harga – tentu menimbulkan guncangan ekonomi, terutama kepada rakyat miskin. Maafkan saya, tapi saya berharap guncangan ini tidak akan berlangsung lama – sebagaimana pengalaman kita beberapa kali sebelumnya. Pemerintah juga telah menyiapkan kompensasi sementara bagi saudara-saudara di lapisan bawah.
Saudara-saudara sekalian,
Saya telah berbicara terlalu panjang. Tapi ijinkan saya tutup dengan sedikit kilas balik. Saya mengerti bahwa seharusnya saya sudah melakukan penyesuain harga tahun lalu. Saya menurunkan harga BBM dua kali tahun 2008 dan sekali awal tahun 2009, ketika harga dunia jatuh signifikan. Alasan saya adalah untuk mengikuti kecenderungan harga dunia – sama sperti ketika saya harus menaikkan harga pada tahun 2005 di tengah meroketnya harga minyak bumi dunia. Maka, ketika harga dunia naik lagi tahun 2010, dan terutama tahun 2011, saya semestinya konsisten dengan ikut menaikkan harga BBM. Saya tidak melakukannya. Dan kali ini, tahun 2012, saya berharap saya mengambil keputusan yang lebih baik. Mohon saya selalu diingatkan. Dan setelah keputusan ini efektif, jika ternyata saya tidak dapat membuat perbaikan dalam hal infrastruktur misalnya, silakan saudara-saudara menuntut janji saya.
Terima kasih.
* versi awal ada di cafesalemba.blogspot.com (English)
0 komentar:
Posting Komentar