Sudah jelas korupsi adalah salah satu penyakit paling parah yang diderita bangsa ini. Global Corruption Report 2009 menuliskan sebuah angka fantastis untuk negeri ini: urutan 126 dari 180 negara dengan no.1 (Denmark) adalah negara yang paling bersih di dunia dan no.180 (Somalia) adalah yang paling korup. Indonesia bahkan sama korupnya dengan negara miskin seperti Eritrea dan Ethiopia. Negeri ini tertinggal jauh dari Singapura (4), Malaysia (47), Thailand (80) dan Srilangka (92).
Secara sederhana, fakta itu dapat kita lihat dikehidupan sehari-hari, salah satunya di dalam birokrasi Indonesia. Uang sebesar miliyaran harus lenyap begitu saja lantaran “digondol” segelincir orang saja, seperti belum lama ini kasus “Gayus Tambunan” yang berada di Depkeu. Kemudian disusul kasus “Nazaruddin” di dalam APBN Indonesia. Belum lagi dengan praktik-praktik korupsi yang terjadi di birokrat-birokrat setiap daerah. Banyak praktik korupsi yang tanpa kita sadari telah menggerogoti integritas bangsa ini.
Sebuah penyakit harus dilenyapkan demi kesehatan tubuh, bagaimanapun caranya. Akan tetapi, untuk melenyapkan penyakit, harus dilakukan diagnosis dahulu. Oleh karena itu, secara singkat dan sederhana, penulis akan menuliskan sebab terjadinya korupsi.
Pertama, penegakan hukum tidak konsisten, hanya bersifat politis. Kedua, takut dianggap bodoh. Ketiga, langkanya lingkungan anti korupsi, pedoman antikorupsi hanya wacana. Keempat, rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Gaji yang kecil tentu saja membuat penyelenggara negara untuk korupsi. Kelima, kemiskinan dan keserakahan. Karena keadaan tersebut (miskin) seseorang/lembaga terpaksa melakukan korupsi. Keenam, budaya memberi upeti di masyarakat. Tampaknya, budaya ini sudah ada dari zaman feodalisme. Ketujuh, konsekuensi bila ditangkap lebih kecil dibanding keuntungan korupsi. Kedelapan, budaya permisif atau serba membolehkan, menganggap biasa korupsi, tidak peduli keadaan, yang penting tidak terlibat. Kesembilan, gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat ini adalah pendapat Franz Magnis Suseno (seorang tokoh agama). Padahal, jika pendidikan agama tidak hanya di mulut saja, dia dapat memainkan peranan lebih besar dalam penghancuran korupsi.
Kita Dapat Melenyapkan Korupsi: Sebuah Dasar Pemikiran.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa korupsi sudah mendarah daging dalam diri bangsa ini. Sesuatu yang sudah menjadi darah daging memang sulit dilenyapkan, tetapi “DAPAT”. Penulis akan mencoba menjabarkan caranya dengan sesederhana mungkin supaya dapat dimengerti. Dalam artikel ini, penulis hanya memfokuskan upaya pemberantasan korupsi dari segi budaya atau “moral”. Kita harus menolak korupsi karena secara moral salah (Klitgaard, 2001) dan memberantasnya dengan cara memberdayakan kembali moral bangsa.
Perlu diketahui kebudayaan terdiri dari 3 bentuk. Pertama, kebudayaan sebagai ide/gagasan. Kedua, kebudayaan sebagai perilaku manusia yang berpola. Dan ketiga, kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Jika korupsi adalah bentuk kebudayaan kedua, yakni “perilaku manusia yang berpola”, maka pantaslah kita bertanya-tanya: Dapatkah kita mengubah “pola” itu? Penulis jawab dengan yakin: “DAPAT!”
Kebudayaan bersifat dinamis dan komunikasi dapat memengaruhi perubahan kebudayaan, baik secara internal maupun eksternal. Kebudayaan baru dapat muncul karena kita belajar. Sedangkan secara teoritis, menurut Koentjaraningrat, proses perubahan kebudayaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara mikro dan makro. Dalam ruang lingkup mikro, perubahan kebudayaan terjadi dalam tiga proses, yaitu internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi. Sedangkan secara makro, perubahan kebudayaan dapat terjadi secara difusi.
Internalisasi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal dimana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukannya sepanjang hidupnya. Sederhananya adalah “penanaman nilai”. Jadi, di tahap ini kita harus menanamkan nilai-nilai anti korupsi sedini mungkin dengan berbagai cara seperti seminar, diskusi, lomba-lomba, dan lain-lain. Kita harus menciptakan suatu keadaan dimana penanaman nilai anti korupsi menjadi sangat kokoh dalam diri seseorang sehingga tak terpengaruh apapun.
Yang kedua adalah sosialisasi. Sosialisasi adalah proses yang dialami oleh seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya untuk belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Sederhananya, kebudayaan berubah karena pengaruh lingkungan. Seperti contoh diri kita sendiri, boleh jadi kita sekarang “gila” online bukan karena kita memang menggunakan media internet untuk bekerja, akan tetapi lebih kepada teman-teman dekat kita banyak yang senang bermain sosial media seperti Facebook. Di sini, ada perubahan budaya kita yang tadinya tidak gemar dunia maya menjadi pecandu sosial media dan itu terjadi karena pengaruh teman-teman (baca: proses sosialisasi).
Tahapan ketiga adalah proses enkulturasi. Enkulturasi adalah proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Setelah proses internalisasi dan sosialisasi yang terus menerus dihidangkan di depan kita, akhirnya, muncul proses yang ketiga, yaitu proses menyesuaikan diri. Kita jadi rajin online, dan kita senang dengan persepsi dari masyarakat bahwa kita adalah anak gaul. Perubahan pola pikir kita (kebudayaan bentuk pertama adalah gagasan/ide) dipengaruhi oleh proses internalisasi dan sosialisasi yang selanjutnya membuat kita melakukan enkulturasi.
Sedangkan secara makro, perubahan kebudayaan dapat dilakukan dengan difusi, yakni penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu lingkup kebudayaan ke lingkup kebudayaan yang lain. Ini dapat dilakukan dengan cara damai dan ekstrem. Memberantas korupsi dengan difusi damai seperti “memanfaatkan” kekuasaan untuk membentuk KPK, membuat UU, dan lain-lain. Jadi ada unsur “pemaksaan” yang baik.
Hubungan dengan Upaya Pemberantasan Korupsi
Dengan memahami paradigma bahwa sebuah kebudayaan dapat kita ubah dengan cara internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, dan cara difusi, kita dapat mengatakan dengan yakin bahwa korupsi dapat dilenyapkan. Yakni dengan memunculkan budaya tandingan korupsi seperti budaya jujur, budaya takut berbuat dosa, dan budaya-budaya “tandingan” lainnya. Namun, muncul satu pertanyaan lagi: langkah konkret apa yang dapat mahasiswa lakukan?
Think Globally, Act Locally
Untuk melenyapkan korupsi, mari kita mulai dari kampus, mari kita mulai dari fakultas masing-masing, mari kita mulai dari jurusan masing-masing dan mari kita mulai dari diri sendiri. Coba berhenti sesaat membicarakan korupsi dalam level “Indonesia” cobalah mulai membicarakan korupsi dalam level “diri sendiri”. Kita harus melakukan proses internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, dan difusi di lingkungan kampus.
Bangsa Indonesia adalah bangsa komunal yang butuh contoh dan panutan, karena itu mulai sekarang ciptakanlah lingkungan yang bersih korupsi dan angkatlah pemimpin yang bersih. Maka, pemberantasan korupsi semestinya dimulai dari diri kita. Setelah terlaksana, kita dapat memulai bicara lebih dalam tentang penanggulangan korupsi di sekitar kita. Lalu, meningkat di jurusan kita, di fakultas, kampus dan terakhir adalah di negeri kita yang tercinta; Indonesia.
Anggel D. Satria
Kepala Jaringan dan Lembaga
BEM FE UNS
Secara sederhana, fakta itu dapat kita lihat dikehidupan sehari-hari, salah satunya di dalam birokrasi Indonesia. Uang sebesar miliyaran harus lenyap begitu saja lantaran “digondol” segelincir orang saja, seperti belum lama ini kasus “Gayus Tambunan” yang berada di Depkeu. Kemudian disusul kasus “Nazaruddin” di dalam APBN Indonesia. Belum lagi dengan praktik-praktik korupsi yang terjadi di birokrat-birokrat setiap daerah. Banyak praktik korupsi yang tanpa kita sadari telah menggerogoti integritas bangsa ini.
Sebuah penyakit harus dilenyapkan demi kesehatan tubuh, bagaimanapun caranya. Akan tetapi, untuk melenyapkan penyakit, harus dilakukan diagnosis dahulu. Oleh karena itu, secara singkat dan sederhana, penulis akan menuliskan sebab terjadinya korupsi.
Pertama, penegakan hukum tidak konsisten, hanya bersifat politis. Kedua, takut dianggap bodoh. Ketiga, langkanya lingkungan anti korupsi, pedoman antikorupsi hanya wacana. Keempat, rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Gaji yang kecil tentu saja membuat penyelenggara negara untuk korupsi. Kelima, kemiskinan dan keserakahan. Karena keadaan tersebut (miskin) seseorang/lembaga terpaksa melakukan korupsi. Keenam, budaya memberi upeti di masyarakat. Tampaknya, budaya ini sudah ada dari zaman feodalisme. Ketujuh, konsekuensi bila ditangkap lebih kecil dibanding keuntungan korupsi. Kedelapan, budaya permisif atau serba membolehkan, menganggap biasa korupsi, tidak peduli keadaan, yang penting tidak terlibat. Kesembilan, gagalnya pendidikan agama dan etika. Pendapat ini adalah pendapat Franz Magnis Suseno (seorang tokoh agama). Padahal, jika pendidikan agama tidak hanya di mulut saja, dia dapat memainkan peranan lebih besar dalam penghancuran korupsi.
Kita Dapat Melenyapkan Korupsi: Sebuah Dasar Pemikiran.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa korupsi sudah mendarah daging dalam diri bangsa ini. Sesuatu yang sudah menjadi darah daging memang sulit dilenyapkan, tetapi “DAPAT”. Penulis akan mencoba menjabarkan caranya dengan sesederhana mungkin supaya dapat dimengerti. Dalam artikel ini, penulis hanya memfokuskan upaya pemberantasan korupsi dari segi budaya atau “moral”. Kita harus menolak korupsi karena secara moral salah (Klitgaard, 2001) dan memberantasnya dengan cara memberdayakan kembali moral bangsa.
Perlu diketahui kebudayaan terdiri dari 3 bentuk. Pertama, kebudayaan sebagai ide/gagasan. Kedua, kebudayaan sebagai perilaku manusia yang berpola. Dan ketiga, kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Jika korupsi adalah bentuk kebudayaan kedua, yakni “perilaku manusia yang berpola”, maka pantaslah kita bertanya-tanya: Dapatkah kita mengubah “pola” itu? Penulis jawab dengan yakin: “DAPAT!”
Kebudayaan bersifat dinamis dan komunikasi dapat memengaruhi perubahan kebudayaan, baik secara internal maupun eksternal. Kebudayaan baru dapat muncul karena kita belajar. Sedangkan secara teoritis, menurut Koentjaraningrat, proses perubahan kebudayaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu secara mikro dan makro. Dalam ruang lingkup mikro, perubahan kebudayaan terjadi dalam tiga proses, yaitu internalisasi, sosialisasi dan enkulturasi. Sedangkan secara makro, perubahan kebudayaan dapat terjadi secara difusi.
Internalisasi adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan sampai ia hampir meninggal dimana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukannya sepanjang hidupnya. Sederhananya adalah “penanaman nilai”. Jadi, di tahap ini kita harus menanamkan nilai-nilai anti korupsi sedini mungkin dengan berbagai cara seperti seminar, diskusi, lomba-lomba, dan lain-lain. Kita harus menciptakan suatu keadaan dimana penanaman nilai anti korupsi menjadi sangat kokoh dalam diri seseorang sehingga tak terpengaruh apapun.
Yang kedua adalah sosialisasi. Sosialisasi adalah proses yang dialami oleh seorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya untuk belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Sederhananya, kebudayaan berubah karena pengaruh lingkungan. Seperti contoh diri kita sendiri, boleh jadi kita sekarang “gila” online bukan karena kita memang menggunakan media internet untuk bekerja, akan tetapi lebih kepada teman-teman dekat kita banyak yang senang bermain sosial media seperti Facebook. Di sini, ada perubahan budaya kita yang tadinya tidak gemar dunia maya menjadi pecandu sosial media dan itu terjadi karena pengaruh teman-teman (baca: proses sosialisasi).
Tahapan ketiga adalah proses enkulturasi. Enkulturasi adalah proses seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Setelah proses internalisasi dan sosialisasi yang terus menerus dihidangkan di depan kita, akhirnya, muncul proses yang ketiga, yaitu proses menyesuaikan diri. Kita jadi rajin online, dan kita senang dengan persepsi dari masyarakat bahwa kita adalah anak gaul. Perubahan pola pikir kita (kebudayaan bentuk pertama adalah gagasan/ide) dipengaruhi oleh proses internalisasi dan sosialisasi yang selanjutnya membuat kita melakukan enkulturasi.
Sedangkan secara makro, perubahan kebudayaan dapat dilakukan dengan difusi, yakni penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari satu lingkup kebudayaan ke lingkup kebudayaan yang lain. Ini dapat dilakukan dengan cara damai dan ekstrem. Memberantas korupsi dengan difusi damai seperti “memanfaatkan” kekuasaan untuk membentuk KPK, membuat UU, dan lain-lain. Jadi ada unsur “pemaksaan” yang baik.
Hubungan dengan Upaya Pemberantasan Korupsi
Dengan memahami paradigma bahwa sebuah kebudayaan dapat kita ubah dengan cara internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, dan cara difusi, kita dapat mengatakan dengan yakin bahwa korupsi dapat dilenyapkan. Yakni dengan memunculkan budaya tandingan korupsi seperti budaya jujur, budaya takut berbuat dosa, dan budaya-budaya “tandingan” lainnya. Namun, muncul satu pertanyaan lagi: langkah konkret apa yang dapat mahasiswa lakukan?
Think Globally, Act Locally
Untuk melenyapkan korupsi, mari kita mulai dari kampus, mari kita mulai dari fakultas masing-masing, mari kita mulai dari jurusan masing-masing dan mari kita mulai dari diri sendiri. Coba berhenti sesaat membicarakan korupsi dalam level “Indonesia” cobalah mulai membicarakan korupsi dalam level “diri sendiri”. Kita harus melakukan proses internalisasi, sosialisasi, enkulturasi, dan difusi di lingkungan kampus.
Bangsa Indonesia adalah bangsa komunal yang butuh contoh dan panutan, karena itu mulai sekarang ciptakanlah lingkungan yang bersih korupsi dan angkatlah pemimpin yang bersih. Maka, pemberantasan korupsi semestinya dimulai dari diri kita. Setelah terlaksana, kita dapat memulai bicara lebih dalam tentang penanggulangan korupsi di sekitar kita. Lalu, meningkat di jurusan kita, di fakultas, kampus dan terakhir adalah di negeri kita yang tercinta; Indonesia.
Anggel D. Satria
Kepala Jaringan dan Lembaga
BEM FE UNS