BBM (bahan bakar minyak) adalah jenis bahan bakar yang merupakan salah satu produk minyak yang dihasilkan dari pengilangan minyak mentah (crude oil) yang berasal dari perut bumi. Sedangkan Subsidi BBM, sesuai dengan naskah RAPBN dan Nota Keuangan setiap tahun, adalah “pembayaran” yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia kepada PERTAMINA (pemegang monopoli pendistribusian BBM di Indonesia) dalam situasi dimana pendapatan yang diperoleh PERTAMINA dari tugas menyediakan BBM di Tanah Air adalah lebih rendah dibandingkan biaya yang dikeluarkannya untuk menyediakan BBM tersebut”. Namun apabila bernilai positif, seperti dulu sering dialami, angka itu disebut Laba Bersih Minyak.Elemen biaya penyediaan BBM di dalam negeri antara lain:
1. Biaya impor minyak mentah
2. Biaya pembelian minyak mentah produksi dalam negeri
3. Biaya impor BBM
4. Biaya pengilangan (refening)
5. Biaya distribusi
6. Biaya tak langsung
Subsidi BBM terjadi apabila jumlah penjualan-penjulan produk BBM lebih kecil daripada biaya-biaya untuk menghasilkan BBM tersebut. Kenyataan yang sering terjadi saat ini adalah dimana penjualan lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan, akibatnya apabila jumlah subsidi BBM cukup besar maka keuangan negara dapat menjadi defisit.
Perhitungan Subsidi BBM
Subsidi BBM adalah aliran dana dari pemerintah ke pertamina. Pendapatan minyak adalah aliran dana dari penjulan minyak mentah milik pemerintah, yang diterimakan ke rekening Departemen Keuangan. Sebagian besar kegiatan penjualan minyak mentah dan penyediaan BBM dilakukan oleh pertamina. Perhitungan subsidi BBM secara sederhana dapat dilakukan dengan model sebagai berikut :
· Penjualan produk-produk BBM = Σ Volume BBM x Harga BBM
· Biaya menghasilkan BBM = Σ Biaya (impor crude, pembelian minyak mentah dalam negeri, impor BBM, pengilangan, distribusi tak langsung).
· Subsidi BBM = penjualan produk BBM - biaya untuk menghasilkan BBM
Dalam naskah APBN terminologi mengenai subsidi BBM yang dikembangkan pemerintah, tidak terdapat kaitan langsung antara butur subsidi BBM dengan pendapatan minyak.
Sehingga kritik yang sering diajukan oleh masyarakat pada umumnya adalah dimana letaknya pendapatan minyak dalam akuntansi subsidi BBM yang dilakukan pemerintah? Mengapa tidak memasukkan pendapatan pendapatan minyak sebagai bagian (sisi input) dari mekanisme perhitungan subsidi BBM tersebut?Dengan memasukkan pendapatan minyak ke dalam perhitungan, maka industri minyak di Indonesia selalu menghasilkan surplus. Disisi lain, masyarakat masih memiliki kesan bahwa Indonesia adalah negara ekspor, sehingga seharusnya kenaikan harga minyak dunia memberikan “windfall profit” atau keuntungan tambahan bagi Indonesia, bukannya beban subsidi BBM yang besar.Dari teori sumber daya alam, memasukkan pendapatan minyak ke dalam model perhitungan “subsidi BBM” adalah hal logis dan fair, karena “produksi dari alam” merupakan bagian dari keseluruhan proses produksi. Industri sumber daya alam seperti minyak bumi yang sifatnya dari alam tidak tepat bila diperlakukan sama dengan industri pemrosesan atau manufaktur. Juga dalam menggunakan terminologi “subsidi” tersebut.Namun demikian, ada pertimbangan lain bahwa minyak mentah merupakan komoditi yang dapat diperdagangkan secara internasional (internationally tradable), sehingga membiarkan minyak mentah dikonsumsi secara “murah” di dalam negeri juga bukan merupakan tindakan yang bijaksana. Menghitung harga minyak mentah di dalam negeri hanya dari biaya produksinya saja juga tidak tepat, karena selain kehilangan kesempatan (opportunity losses) bila harga minyak bumi di pasar internasional meningkat tinggi. Dalam APBN, membiarkan penerimaan minyak tetap seperti semula (pos penerimaan sumber daya alam migas dan pos penerimaan pajak migas) akan membuat “penyaluran/pemanfaatan” dari penerimaan itu untuk membiayai program-program pembangunan yang lain menjadi lebih leluasa dan tidak dibatasi hanya untuk memenuhi pos “subsidi BBM” saja. Dalam situasi dimana pendapatan migas masih menjadi penerimaan negara, mempertahankan pos penerimaan migas di satu jalur dan “subsidi BBM” di jalur lain adalah yang lebih tepat.
Dampak terhadap APBN dan Perekonomian
1. Dampak Langsung
Pada kurun waktu tahun 1970-an hingga 1980-an, naiknya harga minyak memberikan keuntungan yang sangat besar kepada Indonesia. Pada kurun waktu tersebut, Indonesia kehujanan windfall dari kenaikan harga minyak karena pada saat itu Indonesia merupakan eksportir minyak.
Sedangkan mulai dari tahun 2004, apa yang disebut windfall di masa lampau tidak dapat lagi dirasakan oleh Indonesia karena Indonesia sekarang berada dalam masa-masa transisi dari eksportir ke importir dimana kenaikan harga minyak akan berpengaruh terhadap perekonomian dan anggaran pemerintah.
Kenaikan harga minyak memiliki pengaruh dua sisi terhadap anggaran pemerintah, di sisi Indonesia sebagai pengimpor (menambah beban subsidi BBM) dan di sisi Indonesia sebagai pengekspor. Dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga ini pasti akan mempengaruhi beban fiskal berupa defisit anggaran. Akan tetapi dampak tersebut relatif tidak terlalu besar atau cenderung netral, ini disebabkan karena sejak tahun 2005 subsidi BBM untuk bensin dan solar sebagian besar sudah dihapuskan dan yang masih disubsidi dengan cukup besar adalah minyak tanah.
Dapat dilihat bila pertumbuhan konsumsi BBM di dalam negeri tetap meningkat, sedangkan target produksi minyak tidak tercapai, peningkatan defisit akan lebih disebabkan oleh penurunan produksi ketimbang harga minyak mentah. Perhitungannya, setiap penurunan produksi minyak mentah sebesar 50.000 barel per hari dapat meningkatkan defisit APBN sebesar Rp 4 triliun.
Dampak kenaikan harga minyak baru dapat terlihat jelas jika penyelundupan BBM ke luar negeri marak kembali akibat disparitas harga di dalam negeri dan luar negeri bertambah lebar sebagaimana terjadi tahun 2003-2004. Pada tahun 2004, setiap kenaikan harga sebesar US$10 di atas harga asumsi APBN akan menambah defisit sebesar Rp 2 triliun.
2. Dampak Tak Langsung
Harus diperhitungkan pula dampak tak langsung dari kenaikan harga minyak terhadap APBN dan perekonomian.
Pertama, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 6,8 persen untuk tahun 2008 hampir mustahil bisa dicapai. Sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang dipangkas dari 5,2% menjadi 4,8% untuk tahun 2008, Dana Moneter Internasional atau IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan hanya 6,1%.
Dengan gambaran kondisi perekonomian yang lebih suram ini, sudah barang tentu potensi penerimaan pajak pun akan turun. Dengan demikian, defisit APBN akhirnya semakin menganga dan bisa mendekati 2 persen dari produk domestik bruto.
Kedua, kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik nonsubsidi akan menambah beban sektor industri dan pada gilirannya sektor pertanian pangan. Sektor industri manufaktur yang pertumbuhannya sudah mulai kembali merangkak naik sampai ke tingkatan 5,5 persen pada triwulan kedua 2007 diperkirakan sangat sulit berlanjut mendekati pertumbuhan produk domestik bruto di tahun ini, apalagi melampauinya karena dapat mengakibatkan turunya daya beli masyarakat akibat kenaikan harga barang sehingga pada akhirnya akan dapat mengganggu target perekonomian.
Analisis Ekonomi
Kenaikan harga minyak yang melonjak hingga pernah mencapai US$101 per barel, ketegangan Timur Tengah yang tak kunjung reda, dan jugapertumbuhan produksi yang lebih kecil daripada pertumbuhan permintaan menumbuhkan perkiraan bahwa harga minyak mentah dunia akan masih tetap ketat hingga akhir tahun 2008 sehingga sangat kecil kemungkinan harga turun kembali di bawah US$60 per barrel. Perkiraan ini memaksa pemerintah untuk bekerja keras meringankan beban subsidi BBM.
Walaupun kenaikan harga minyak menyebabkan penerimaan migas meningkat, tapi di sisi lain beban subsidi BBM ikut pula mempengaruhi neraca anggaran pengeluaran negara dengan meningkatkan biaya, khususnya untuk impor minyak mentah dan impor BBM karena harga jual di pasar domestik harus mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, sehingga subsidi BBM juga meningkat.
Namun, dengan keadaan yang dijelaskan diatas, apakah meringankan beban subsidi BBM yang dimaksud pemerintah dan DPR adalah dengan memasang asumsi harga minyak hanya sebesar US$60 per barel dalam APBN 2008? Seburuk itukah kualitas perencanaan mereka? Atau cerminan ketakutan pembengkakan subsidi BBM? Belum lagi, para elite politik terlanjur berjanji untuk tidak menaikkan harga BBM hingga pemilu 2009.
Opsi Pemerintah Dalam Penyelamatan APBNPemerintah melalukan berapa langkah atau opsi dalam mengatasi beban Subsidi ini. Diantara opsi-opsi tersebut adalah :
1. Efisiensi BBM
Pola konsumsi BBM kita termasuk dalam kategori boros dibanding negara-negara Asia lainnya. Sektor transportasi merupakan sektor terbesar yang menggunakan BBM. Sistem transportasi yang buruk, faktor yang mengakibatkan rendahnya efisiensi BBM di Indonesia adalah mesin-mesin tua industri, pemakaian solar yang terlalu besar untuk pembangkit tenaga listrik, juga penggunaan minyak tanah bersubsidi yang terlalu besar. Pemerintah harus segera mengambil langkah kongkret.
Opsi yang dilakukan misalnya dengan cara membatasi jumlah penjualan kendaraan bermotor di Indonesia, mengganti mesin-mesin industri yang sudah tua dan sebagainya. Di tahun 2008 ini di sebagian SPBU penggunaan premium diganti dengan premium beroktan 90 atau disebut Pertamax dimulai dari SPBU di Jakarta dan diikuti di kota-kota besar di Indonesia. Dengan cara ini pemerintah dapat menghemat sebesar Rp 4 triliun hinggaRp 5 triliun.
2. Pembatasan konsumsi BBM
Subsidi BBM diberikan oleh pemerintah kepada pertamina dalam bentuk aliran uang. Pola ini mengandung kelemahaan bahwa subsidi BBM tidak tepat menjangkau kelompok masyarakat yang lebih pantas memperoleh subsidi. Beberapa studi juga menyatakan bahwa subsidi BBM yang dilakukan pemerintah tidak mengena pada kelompok yang dituju. Orang kaya memiliki banyak kendaraan, sedangkan orang miskin tidak memiliki sama sekali kendaraan bermotor, dan sektor industri dengan BBM subsidi yang sama, padahal ketiganya memiliki kebutuhan BBM yang sangat berbeda dan timpang.
Adapun untuk meringankan beban subsidi BBM dan meminimalkan ketidakefisiensi yang dijelaskan diatas, pemerintah melakukan program pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Dalam perencanaannya, rencana BBM bersubsidi hanya untuk angkutan umum dan mobil yang kurang dari 1800 cc. Target penghematan subsidi BBM adalah sebesar Rp 10 triliun. Pembatasan konsumsi BBM bersubsidi ini (premium dan solar) diperkirakan menyumbang penghematan sebesar Rp 78 triliun. Sedangkan sisanya (Rp 23 triliun)diperoleh dari penghematan konsumsi minyak tanah.
Namun, bagaimanapun juga pembatasan ini membatasi gerak perekonomian masyarakat Indonesia. Bisa jadi program ini membebani kalangan pengusaha. Mungkin tidak begitu berpengaruh pada pengusaha besar, tapi yang akan jelas terkena imbas negatifnya adalah pengusaha kecil. Sebagian besar pengusaha kecil menggunakan mobil pribadi untuk aktivitas bisnisnya. Program inipun ikut membatasi ruang gerak perusahaan yang terkena windfall, seperti CPO, karet, dsb, sehingga dapat menghambat pengembangan mereka yang kemudian ikut menghambat optimalisasi potensi tambahan penerimaan APBN.
3. Mengadakan disparitas hargakendaraan dan memantau disparitas harga domestik dan internasional
Pemerintah membedakan harga untuk kendaraan umum dan kendaraan pribadi. Untuk kendaraan pribadi harga dinaikkan, sedangkan untuk kendraaan umum harga tetap. Opsi ini sepertinya kurang efektif, akibat yang ditimbulkannya adalah masih ada celah bagi konsumen atau sopir-sopir angkutan untuk melakukan korupsi atau pengoplosan minyak, dan kecurangan-kecurangan lain. Tapi memang harus kita akui, cara apapun tetap saja potensi manipulasi itu ada.
Pemerintah harus memperhatikan dampak kenaikan harga minyak yang membuat disparitas harga domestik dengan harga internasional meningkat sehingga aktifitas penyelundupan meningkat karena dapat berakibat fatal terhadap proses perekonomian secara keseluruhan dan defisit anggaran.
4. Peningkatan Produksi minyak nasional
Dampak lonjakan harga minyak bumi dapat diminimalkan salah satunya dengan meningkatkan produksi minyak mentah. Target yang ditetapkan pemerintah untuk menaikkan produksi nasional dari 950.000 barel per hari menjadi 1,0347 juta barel per hari tampaknya terus diupayakan walaupun agak sulit kenyataanya, karena sayangnya kita susah menemukan ruang yang leluasa untuk meningkatkan produksi minyak mentah.
Karena hal itulah cara ini tentu memiliki banyak faktor yang harus ditempuh diantaranya dengan terus menggali potensi produksi nasional dan membangun infrastruktur energi di tanah air yang lebih baru dan mahal yang berarti harus ada investasi baru. Namun satu-satunya kemungkinan peningkatan produksi dalam jangka pendek bukanlah dari ladang-ladang besar, melainkan dari ladang-ladang kecil.
karena pengalaman selama delapan tahun terakhir menunjukkan bahwa asumsi APBN untuk lifting lebih sering disesuaikan ke bawah daripada ke atas sama seperti seringnya perubahan asumsi harga minyak mentah. Mungkin juga sudah waktunya kita memiliki sistem anggaran yang lebih baik dan akurat agar fungsi anggaran untuk menggerakkan pembangunan bisa lebih optimal.
Lepas dari kenyataan bahwa banyak para pengusaha minyak yang enggan melakukan investasi baru karena regulasi yang belum menentu dan juga respon dari regulator Departemen ESDM dan BP Migas yang dinilai lamban, jika produksi tidak meningkat dan pertumbuhan konsumsi BBM di dalam negeri tetap meningkat seperti sekarang, hampir bisa dipastikan bahwa hal ini akan berdampak terhadap defisit APBN.
Jadi, peningkatan defisit mungkin lebih disebabkan penurunan produksi ketimbang harga minyak mentah. Dapat dilihat dari perhitungan setiap penurunan produksi minyak mentah sebesar 50.000 barel per hari dapat meningkatkan defisit APBN sebesar Rp 4 triliun.
5. Penghematan dan peningkatan kinerja pada sektor anggaran lain
Untuk mengurangi besarnya beban subsidi yang ditimbulkan, pemerintah juga harus melakukan opsi ini yaitu melakukan penghematan belanja lembaga dan kementrian. Kemungkinan dapat terjadi underspending (belanja tidak terserap) dan sisanya dapat dipakai untuk menutup penambahan subsidi tanpa harus melebarkan defisit.
Bisa jadi opsi ini merupakan pilihan yang paling elegan bagi pemerintah, yaitu dengan mengoptimalkan sektor-sektor yang menikmati “berkah” (windfall), seperti minyak sawit, karet, dan komoditas pertambangan yang harganya melambung. Dari ekspor sawit saja, potensi tambahan penerimaan APBN bisa mencapai lebih dari US$1 miliar.
6. Memperbaiki kinerja PLN dan Pertamina
Beban industri yang meningkat serta beban eksternal (biaya ekonomi tinggi) yang tak kunjung bisa dipangkas juga harus menjadi perhatian pemerintah. PLN dan Pertamina adalah penyumbang biaya energi terbesar. Untuk itu harus dilakukan berbagai upaya dan kebijakan untuk mengelola dua BUMN ini. Dalam melakukan penghematan tenga listrik pemerintah misalnya telah berencana membagikan lampu hemat energi kepada masyarakat sebanyak 50 juta buah pada tahun 2008. Investasi pembangkitan kelistrikan non BBM juga harus dikembangkan. Pemerintah harus memberikan insentif yang memadai untuk memberikan kesempatan bagi investor untuk menanamkan modalnya di bidang ini. Jika pemerintah mempercepat pembangunan proyek pembangkit listrik 10 ribu Mw, beban subsidi yang terasa berat dapat ditekan.
7. Optimalisasi target penerimaan pajak dan deviden BUMN
Target PPh dinaikkan Rp 9 triliun, cukai Rp 1 triliun dan usaha ekstra Ditjen pajak ditambah Rp 5 triliun. Pertamina diperkirakan mendapat windfall profit sebesar Rp 9 triliun dan pemerintah akan mengambil dari devidennya.
8. Substitusi BBM dan mempercepat konversi energi dengan energi alternatif
Opsi ini sebenarnya sudah dilakukan oleh berbagai pihak dari tahun-tahun sebelumnya, namun hingga sekarang belum membuahkan hasil yang nyata. Opsi ini merupakan opsi yang paling efektif karena BBM merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui dan di Indonesia mempunyai beberapa sumber energi alternatifnya. Sumber energi tersebut juga berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbaharui atau (renewables). Hal ini sangatlah penting mengingat kegagalan menejemen energi yang telah lalu yang menjadikan minyak satu-satunya sumber energi sehingga menimbulkan kecendrungan ketergantungan.
· Substitusi BBM dengan energi lain
Kita mempunyai cadangan gas bumi dan batubara yang cukup besar, kenapa kita tidak memanfaatkannya? Penggunaan sumber daya ini sebenarnya masih cukup terbuka. Pemerintah harus menekan ekspor sumber daya ini dan menggunakan untuk keperluan bangsa. Langkah yang telah ditempuh pemerintah diantaranya konversi penggunaan minyak tanah dengan kompor dan tabung gas merupakan cara yang lumayan efektif. Walau pemerintah terkesan kurang siap dengan pengadaan kompor dan tabung gas melalui impor.
Kemudian untuk sektor angkutan umum, pemerintah dapat membangun stasiun pengisian bahan bakar gas (BBG) karena diversifikasi energi bisa dijalankan dengan menggalakkan BBG. Bila busway dan bajaj bisa menggunakan BBG, seharusnya angkutan umum yang lain juga bisa.
· Mempercepat konversi dengan energi alternatif / diversifikasi energi
Sebenarnya bila ingin menghemat anggaran subsidi BBM, pemerintah dapat menjalankan alternatif lain seperti mempercepat program diversifikasi energi. Contohnya, pelaksanaan konversi minyak ke elpiji yang sebenarnya menguntungkan semua pihak. Selain masyarakat mendapatkan energi baru yang bersih, pemerintah juga dapat menghemat anggaran subsidi minyak tanah.
9. Menaikkan harga BBM
Opsi ini merupakan opsi yang tidak populer dan sangat memberatkan bagi masyarakat. Apalagi jelang Pemilu 2009, tentu sangat berpengaruh bagi kepemimpinan sekarang. Namun opsi ini dapat dilakukan bila pemerintah telah mempertimbangkannya dengan baik dan tidak merugikan masyarakat (misalnya dengan pengecualian angkutan umum). Pemerintah dapat menetapkan harga sesuai dengan mekanisme pasar. Cara ini sebenarnya dapat mengurangi disparitas atau perbedaan harga antara harga impor minyak mentah dan BBM dan harga jual BBM di dalam negeri.
10. Penerbitan obligasi dan SUN (Surat Utang Negara)
Opsi ini dilakukan apabila negara benar-benar dalam kesulitan dan dalam keadaan defisit.
0 komentar:
Posting Komentar