Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran
Sumber daya alam merupakan faktor input dalam kegiatan ekonomi. Namun demikian, pengertian sumberdaya alam tidak terbatas sebagai faktor input saja karena proses produksi akan menghasilkan output seperti limbah yang kemudian menjadi faktor input bagi kelangsungan dan ketersediaan sumberdaya alam. Dari sisi ekonomi pencemaran lingkungan disebabkan oleh kegagalan pasar. Pencemaran lingkungan disebabkan oleh tidak terjadi salah satu dari permintaan atau penawaran. Dengan demikian untuk mengatasi adalah menciptakan pasar, atau memberi jaminan bahwa permintaan dan penawaran harus terjadi. Pemikiran ini pada akhirnya melahirkan bidang ilmu baru yang saat ini kita kenal dengan ekonomi lingkungan.
Nilai dari Lingkungan
Berapa rupiah nilai lingkungan yang dihasilkan oleh suatu ekosistem, sampai kini masih tetap kabur. Kuantifikasi nilai ekonomi kerusakan ataupun manfaat lingkungan karena pembangunan umumnya belum memiliki keandalan ataupun kesamaan pendapat. Padahal, true value sumber daya tersebut sangat perlu diketahui. Kalau ada angka kuantitatif, wujudnya baru berupa jumlah produk dari sumber daya atau angka kerusakan fisik akibat aktivitas memperolehnya. Berapa nilai rupiah kerusakan lingkungan karena kegiatan pembangunan, berapa rupiah yang diperlukan untuk memperbaikinya, dan berapa nilai kemanfaatan ekonomi kalau lingkungan itu dijaga atau diperbaiki, merupakan pertanyaan yang perlu dijawab secara kuantitatif.
Nilai ekonomi lingkungan yang dianggap tak terukur, intangible, dan sering kali bahkan dianggap tidak layak dipertanyakan karena memiliki nilai yang sulit dihitung secara nyata tersebut dapat didekati hingga menjadi tangible, terukur, meskipun cara pendekatannya bersifat relatif dan malahan tak jarang dianggap mengada-ada.
Nilai pokok lingkungan paling sering dihitung dari kejadian bencana tata air, kerusakan lahan, dan polusi. Nilai lainnya yang tidak kalah penting, namun sering dilupakan adalah nilai konservasi alam hayati dan plasma nutfah maupun nilai keberadaan sumber daya terhadap aktivitas eksogen baik makro maupun yang bersifat mikro. Hutan dan pepohonan berperan paling besar dalam perlindungan ekosistem lingkungan ini, sampai kepada nilai keteduhan dan estetikanya. Bahkan, sumber daya hutan mampu membentuk pola budaya dan sosial setempat.
Pembangunan Ekonomi
Paradigma pembangunan yang berlandaskan prinsip pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan terjadinya distribusi yang tidak adil dari sumberdaya alam. Selama ratusan tahun negara-negara di belahan bumi utara telah dimakmurkan oleh eksploitasi sumberdaya alam yang terjadi di belahan bumi selatan melalui kolonialisme. Eksploitasi sumberdaya alam secara masif dan dilakukan secara destruktif tersebut dilakukan untuk memasok bahan baku bagi proses industrialisasi yang berlangsung di negara-negara utara demi mengejar pertumbuhan ekonomi. Proses ketidakadilan dalam eksploitasi dan distribusi resources telah menyebabkan marjinalisasi masyarakat serta kerusakan lingungan hidup di negara-negara selatan.
Dalam perkembangan selanjutnya, negara-negara selatan yang termarjinalisasi pun terseret pada pola-pola pembangunan mainstream, yaitu yang berlandaskan pada pertumbuhan ekonomi. Negara-negara selatan yang memang minim modal kemudian harus mengikuti pola pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang padat modal dan eksploitatif. Proses pembangunan padat modal dan eksploitatif terus berlangsung di negara dunia ketiga melalui tangan-tangan korporasi-korporasi multinasional yang notabene berasal dari negara-negara maju. Melalui Investasi Asing Langsung (Foreign Direct Investment), korporasi-korporasi menanamkan modalnya di negara-negara dunia ketiga dan melakukan eksploitasi resources.
Akibatnya, alih-alih mencapai kemakmuran, negara dunia ketiga malah makin termarjinalkan dan bahkan terjebak dalam perangkap utang yang dikomandani oleh Brettonwoods Institution seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Kondisi tersebut diperparah dengan rusaknya lingkungan hidup dan makin menipisnya sumberdaya alam yang menjadi aset negara dunia ketiga tersebut untuk memakmurkan rakyatnya.
Kepentingan Ekonomi dan Kerusakan Lingkungan
Anggapan bahwa alam mempunyai kemampuan dalam menanggapi berbagai perubahan iklim di bumi ternyata sering keliru. Bumi kita ini memang sudah seringkali mengalami perubahan iklim, namun karena pengaruh manusia perubahan iklim itu berlangsung semakin cepat. Peningkatan suhu bumi atau lebih sering disebut dengan pemanasan global memang merupakan hal yang nyata, dan terbukti dari sejumlah pengamatan atas meningkatnya suhu udara dan samudra, meluasnya salju dan es yang meleleh, dan naiknya tinggi muka air laut rata-rata. Disadari atau tidak, sudah banyak atau bahkan berulang kali dilakukan upaya-upaya oleh negara tertentu, tokoh aktivis, dan kelompok pecinta lingkungan di seluruh dunia, tapi tetap saja berlangsung pemanasan global. Kalau disebut ulah kita, itu sudah pasti karena kita semua masih bergantung pada sektor industri. Pemanasan global adalah kesalahan manusia yang terlalu serakah, dan juga akibat dari revolusi industri yang terlalu dibanggakan orang Barat tanpa memikirkan akibat yang timbul kemudian. Sedikit sekali orang-orang yang menyadari dampak pemanasan global, tapi banyak juga orang yang punya perhatian terhadap hal tersebut. Namun masih ada keterbatasan kemampuan ataupun ilmu untuk membantu mengatasi pemanasan global.
Emisi gas rumah kaca mengalami kenaikan 70 persen antara 1970 hingga 2004. Konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer jauh lebih tinggi dari kandungan alaminya dalam 650 ribu tahun terakhir. Rata-rata temperatur global telah naik 1,3 derajat Fahrenheit (setara 0,72 derat Celcius) dalam 100 tahun terakhir. Muka air laut mengalami kenaikan rata-rata 0,175 centimeter setiap tahun sejak 1961. Sekitar 20 hingga 30 persen spesies tumbuh-tumbuhan dan hewan berisiko punah jika temperatur naik 2,7 derajat Fahrenheit (setara 1,5 derajat Celcius). Jika kenaikan temperatur mencapai 3 derajat Celcius, 40 hingga 70 persen spesies mungkin musnah.
Meski negara-negara miskin yang akan merasakan dampak sangat buruk, perubahan iklim juga melanda negara maju. Pada 2020, 75 juta hingga 250 juta penduduk Afrika akan kekurangan sumber air, penduduk kota-kota besar di Asia akan berisiko terlanda banjir dan rob. Di Eropa, kepuanahan spesies akan ekstensif, sementara di Amerika Utara, gelombang panas makin lama dan menyengat sehingga perebutan sumber air akan semakin tinggi. Kondisi cuaca ektrim akan menjadi peristiwa rutin. Badai tropis akan lebih sering terjadi dan semakin besar intensitasnya. Gelombang panas dan hujan lebat akan melanda area yang lebih luas. Risiko terjadinya kebakaran hutan dan penyebaran penyakit meningkat. Sementara itu, kekeringan akan menurunkan produktivitas lahan dan kualitas air. Kenaikan muka air laut akan memicu banjir lebih luas, mengasinkan air tawar, dan menggerus kawasan pesisir.
Pemanasan global ini terjadi akibat naiknya gas rumah kaca yang terdiri dari karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitroksida (N20). Pola konsumsi energi bahan bakar fosil (minyak, gas dan batu bara) yang berlebihan dan tidak efisien menjadi penyebab utama meningkatnya gas rumah kaca di atmosfir bumi. Ekonomi pasar yang mendorong model produksi yang tak hentinya mengubah sumber daya alam menjadi komoditas dan terus-menerus menciptakan permintaan baru dipastikan ikut menjadi penyebab dari meningkatnya konsumsi bahan bakar fosil terutama di negara maju. Sistem ekonomi pasar menyebar secara tak merata.
Di jantung ranah lahirnya yaitu di belahan bumi utara, ekonomi pasar telah berkembang secara berlebihan, sedangkan di belahan bumi selatan ekonomi pasar hadir dalam bentuk yang agak terbelakang. Karena itu, dampak lingkungan yang dihasilkan juga tersebar secara heterogen. Salah satu contoh yang paling jelas adalah perbedaan tingkat emisi gas rumah kaca per-kapita. Satu orang Amerika Serikat (AS) menghasilkan efek emisi sebanding dengan 17 orang Maldive, 19 orang India, 30 orang Pakistan, 49 orang Sri Lanka, 107 orang Bangladesh, 134 orang Bhutan, dan 269 orang Nepal. Meskipun menjadi penyumbang gas rumah kaca terbesar di dunia, namun secara konsisten AS dengan gigih menolak pengurangan emisi gas rumah kaca ini. Bahkan George Bush senior pernah menggertak pertemuan puncak Rio de Janeiro dengan pernyataan "Gaya hidup Amerika bukan untuk dinegosiasi" (Simpang Johannesburg, Walden Bellob).
Negara-negara maju lainnya seperti negara-negara Eropa dan Jepang pun sempat terkejut dengan pernyataan ini. Tapi seiring perjalanan waktu, akhirnya gaya hidup yang didasarkan pada konsumsi pun kembali menjadi panglima juga bagi Jepang dan Eropa. Hal itu disebabkan konsumsi yang senantiasa meningkat adalah resep umum dalam mempertahankan keberlanjutan ekonomi pasar. Dampak lingkungan dari ekonomi pasar yang terus berkembang dipastikan lebih jauh dari yang terungkap pada angka-angka statistik. Hal itu dikarenakan untuk menanggapi maraknya gerakan lingkungan di negaranya, negara di belahan bumi utara telah menggeser beban keseimbangan lingkungan global ke pundak negara di belahan bumi selatan. Kondisi tersebut nampak ketika Jepang menggapai standar kualitas lingkungan hidup mereka dengan cara memacu konsumsi sumber daya alam dan produksi limbah di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara. Konsumsi Jepang menyerap 70% dari kayu yang ditebang (kebanyakan secara ilegal) di Filipina dari 1950-an sampai 1990-an. Konsumsi komoditas di Jepang berasal dari produksi yang diletakkan jauh dari negara itu. Mulai tahun 1960-an, proses produksi massal yang padat polusi ditransfer secara masif ke kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk Indonesia, lengkap dengan dampak lingkungan hidup yang membahayakan.
Akhir-akhir ini modal Eropa dan Amerika bergabung dengan modal Jepang juga berkontribusi dalam mengubah China yang menjadi pusat produksi dan pusat 'buang sampah' global. Apa yang terjadi pada China dan Asia sekarang ini hanyalah salah satu bagian akhir skenario dari proses memindahkan biaya lingkungan dari pusat ekonomi pasar ke wilayah pinggirannya. Dampak dari pemanasan global dan perubahan iklim akan dirasakan oleh seluruh penghuni bumi ini seharusnya mampu membuka mata hati para pengambil keputusan pembangunan negara-negara di dunia untuk bersama-sama mengkaji ulang manfaat sistem ekonomi pasar yang selama ini telah menjadi semacam 'dewa' bagi pembangunan di dunia. Negara berkembang seperti Indonesia sebenarnya lebih mempunyai kesempatan untuk mengantisipasi kegagalan ekonomi pasar dalam menangkap biaya lingkungan dengan tidak mencontek habis pola pembangunan dari negara-negara maju. Perlu keberanian dari para pimpinan di negara-negara berkembang untuk melakukan intervensi terhadap ekonomi pasar agar mampu menangkap biaya-biaya lingkungan dan sosial yang diakibatkannya.
Banyak skema yang didorong dalam upaya mengurangi dampak dari pemanasan global ini, diantaranya yang paling sering disebut adalah Perdagangan Karbon. Bagi banyak kalangan industrial, pemerintah dan juga akedemisi yang pro terhadap Carbon Trade. Carbon Trade dianggap sebagai sebuah upaya "Win-Win Sollution" dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan pemanasan iklim global. Dimana mereka menilai bahwa adalah sewajarnya negara Selatan untuk memelihara hutannya dan negara Utara menggantikannya dengan uang. Mekanisme dan aturan dalam Carbon Trade dinilai adil dan menguntungkan. Tetapi kalau kita cermati dengan lebih dekat, maka akan dapat kita lihat ketidak-adilan dalam mekanisme ini dan juga akan kita lihat banyak kebohongan di dalamnya.
Perdagangan Karbon lebih menguntungkan kaum industri di negara-negara Utara dan merugikan banyak pihak di negara-negara Selatan, terutama rakyat di negara-negara Selatan. Negara-negara Anex 1 akan mendapatkan manfaat lebih besar, sementara negara macam Indonesia yang masuk kategori negara non anex hampir tidak mendapat keuntungan dari situ. Carbon Trade adalah suatu upaya dari negara-negara industri untuk menipu dunia. Kalau kita melihat dari jenis perdagangan karbon yang ada, pada dasarnya ada dua jenis perdagangan karbon diikuti oleh varian-variannya. Pertama adalah perdagangan emisi (emission trading). Yang kedua adalah perdagangan kredit berbasis proyek (trading in project based credit). Seringkali dua kategori tersebut disatukan menjadi sistem perdagangan hibrida.
Dalam protokol Kyoto para negara-negara pencemar menyepakati target pengurangan emisi hingga masa tertentu sebelum Protokol Kyoto. Para pembuat polusi diberikan sejumlah "kredit emisi" yang setara dengan tingkat emisi mereka tahun 1990 dikurangi dengan komitmen target pengurangan emisi. Kredit ini diukur dalam unit gas rumah kaca, jadi satu ton CO2 setara dengan satu kredit. Kredit ini adalah lisensi untuk mengotori udara untuk mencapai reduksi rata-rata 5.2 % seperti yang disepakati di Kyoto. Negara-negara kemudian dapat mengalokasikan kuota kredit pada basis wilayah negara, terutama dengan cara "grandfathering", jadi semakin besar negara tersebut melakukan polusi semakin besar jatah kreditnya. Sistem ini menganut membayar untuk mencemari.
Bantuan uang pada negara pemilik hutan tak akan menyelesaikan masalah perubahan iklim. Bantuan ini harus diiringi kemauan negara industri menurunkan kadar emisinya. Perlu keadilan internasional dalam masalah perubahan iklim. Bantuan uang pada negara-negara pemilik hutan tak akan berhasil, bila negara industri tak menurunkan emisi karbonnya. Hingga saat ini, negara industri besar terus tercatat sebagai penyumbang besar kadar karbon ke angkasa. Karbon sendiri dipercaya sebagai sebab pemanasan bumi.
Sayangnya, negara industri besar di wilayah utara belum juga menunjukkan niat menurunkan kadar emisi karbon dari industri. Perlu ada keseimbangan internasional mengenai upaya mengatasi perubahan iklim. Selain negara selatan, yang kebanyakan masih memiliki hutan, diberikan bantuan untuk memperbaiki kondisi kehutanan. Negara-negara di utara, yang kebanyakan merupakan negara industri besar, harus juga mau menurunkan kadar emisi karbonnya.
Ekonomi Berbasis Lingkungan
Ilmu Ekonomi Lingkungan amat diperlukan dewasa ini. Hal ini tidak lain dari adanya kenyataan motif berbisnis yang tidak semata-mata untuk mengejar laba. Dalam kenyataan sehari-hari, kegiatan bisnis saat ini akan semakin terkendala oleh keterbatasan pengetahuan, energi dan ambisi perusahaan meraih laba jangka pendek dan jangka panjang. Perusahaan yang sedang berkembang dituntut kemampuannya mengendalikan teknologi, kalkulasi harga dan biaya, dan menghindari ancaman dari kebangkrutan serta proses pengambil alihan perusahaan. Pemilik saham perusahaan pada saat ini mungkin rela menerima lebih sedikit imbal saham, sepanjang perusahaan yang dimilikinya tetap berkembang dalam jangka panjang. Seluruh motif dan kejadian ini terkait erat dengan permasalahan-permasalahan lingkungan hidup di sekitar lokalitas perusahaan.
Dunia bisnis pada abad modern sekarang terjalin erat hubungannya dengan para pemangku kepentingan yang lebih luas. Mereka terdiri dari pelaku ekonomi seperti pemegang saham, kreditur, direktur, manajer, konsumen, pemasok, pekerja, ahli pemasaran dan iklan, konsultan, anggota masyarakat dan lembaga pemerintahan dan publik pada tingkat pusat dan daerah. Hubungan ekonomi, sosial dan politik dengan pelaku-pelaku ini sebagian telah diikat melalui perjanjian kontrak, tetapi sebagian lagi tidaklah demikian. Proses perubahan lingkungan bisnis, perubahan alam sekitar, perubahan ketentuan dan peraturan pemerintah maupun perkembangan tuntutan-tuntutan dari pelaku lainnya yang tidak terikat dengan kontrak bisnis, semuanya akan semakin mempengaruhi kepentingan pemangku kepentingan, khususnya para pemegang saham.
Dari kondisi tersebut maka acuan bisnis ke depan sebenarnya bukanlah lagi mengejar laba perusahaan, tetapi lebih kepada keberlanjutan usaha (survival). Tiadanya faktor efisiensi pasar dan berbagai potensi timbulnya kegagalan pasar semakin menuntut kalangan bisnis untuk memperhatikan dan menguasai ilmu lingkungan hidup.
Ilmu lingkungan hidup membahas masalah dan tantangan isu pengendalian polusi, perubahan iklim, perlindungan lingkungan hidup, konservasi sumber bahan baku yang semakin menipis, keragaman dan ancaman kelangsungan hidup mahluk hidup alam semesta, serta permasalahan alokasi sumber daya alam dan energi dalam proses produksi yang berkelanjutan. Memang benar aset maupun harta karun di sekitar alam sekitar kita bukan merupakan aset yang kepemilikannya dipegang dan dikendalikan oleh generasi manusia sekarang, tetapi mereka merupakan juga hak milik (equity) dari seluruh generasi-generasi penerus di kemudian hari. Oleh karenanya aset tersebut harus dikelola dengan baik, dipelihara kesehatannya agar pemanfaatannya dapat berkelanjutan (Alan Gilpin, 2000).
Pengelolaan lingkungan hidup menuntut para investor dan pengusaha untuk melakukan proses kalkulasi manfaat dan biaya dari kegiatan produksi, perdagangan dan investasi pada kegiatan bisnisnya secara benar dan cermat. Di dalam kalkulasi tersebut perlu juga dimasukkan aspek internalisasi biaya pengendalian lingkungan, dan internalisasi akibat kerusakan-kerusakan yang timbul dalam proses produksi barang dan jasa — yang kepemilikannya berada ditangan masyarakat (community) dan generasi penerus kita. Tragedi jurang kemiskinan, dampak mulplier lokal yang minimal, pengangguran setempat yang tinggi, kasus kebocoran pembangkit nuklir di wilayah Three Miles Island dan Bhopal, berikut proses pembalakan hutan dan kebakaran asap serta kasus luapan lumpur panas Sidoardjo merupakan peristiwa-peristiwa negatif yang patut dihindari.
Belum lagi kerusakan kualitas sungai, langkanya sumber air minum bersih, pembuangan sampah, perubahan tataruang (yang kontra lingkungan hidup) semuanya membuktikan adanya fakta telah terjadinya gejala penularan dampak lingkungan hidup yang semakin bersifat jangka pendek. Ketidakpedulian kita terhadap kasus-kasus global seperti rumah kaca, limbah radioaktif, rusaknya biodiversity laut, hutan dan fauna serta kelangkaan sumber pangan dunia tentunya pada saatnya akan memberikan dampak serupa dalam percepatan hipotesa tersebut jika tidak dikendalikan.
Kita sebagai pelaku bisnis perlu juga menghormati dan menjalankan berbagai peraturan lingkungan hidup secara lokal, nasional dan internasional. Mengatasi masalah dan isu lingkungan hidup yang dampak negatifnya dinikmati oleh masyarakat dunia, seperti kasus global warming dan perubahan cuaca dunia memang harus ditangani secara bersama seperti yang telah diatur dalam Perjanjian Internasional Protokol Kyoto. Mitigasi terhadap ancaman jangka panjang ini merupakan kewajiban bagi generasi masa kini agar pembangunan dan kesejahteraan dunia dapat berlangsung secara berkelanjutan bagi generasi-generasi penerus.
Dari perspektif ekonomi, persoalan lingkungan dapat menimbulkan persoalan biaya tinggi, ternyata juga merupakan persoalan ekonomi. Artinya, ada korelasi erat antara ekonomi dan lingkungan. Karenanya, sudah sewajarnya, dilakukan pendekatan ekonomi yang dapat memadukan lingkungan ke dalam proses pembangunan. Hal ini telah banyak dikenal oleh para penyusun kebijakan di negara-negara maju, tetapi masih merupakan hal langka di negara–negara berkembang.
Simpulan
Berbagai cara telah dilakukan dunia dalam mengatasi kerusakan lingkungan yang teramat parah saat ini hingga telah menyebabkan berbagai bencana termasuk bencana luar biasa yang bernama “global warming”. Mulai dari Sidang Bumi di Rio de Janeiro pada 1992, Protokol Kyoto pada tahun 1997, hingga yang baru-baru ini dilahirkan dari hasil Konferensi Perubahan Iklim di Nusa Dua tahun 2007 silam yakni Bali Roadmap.
Jalan yang panjang dalam memperjuangkan perbaikan lingkungan demi tetap mempertahankan peradaban ini telah dilakukan. Butuh sebuah komitmen yang kuat, terutama negara-negara maju, dalam melaksanakan hasil-hasil perjuangan para negara berkembang dalam berbagai konferensi yang telah dilakukan sehubungan dengan perubahan iklim global ini.
Akhirnya, mengendalikan lingkungan dengan pendekatan ekonomi, dinilai sudah saatnya. Berapa nilai keuntungan suatu kegiatan pembangunan dibandingkan dengan nilai kerugiannya akibat rusaknya lingkungan dan kehidupan sosial bukanlah hal yang sulit dan mustahil dilakukan. Paling tidak, gambarannya diperlukan untuk memberikan masukan obyektif bagi para pengambil keputusan.
0 komentar:
Posting Komentar