Berikut adalah poin-poin presentasi saya dalam sebuah seminar tentang kebijakan perberasan di Indonesia beberapa waktu lalu, di Jakarta.
Ekonomi Politik BerasArianto A. Patunru
Indonesia ikut dalam arus liberalisasi ekonomi sejak tahun 1980an. Puncaknya terjadi pada saat krisis, ditandai dengan paket reformasi IMF 1997/98. Untuk beras, hambatan impor ditiadakan.
Namun, proteksi untuk kembali marak tahun 2000-2004. Untuk beras, tarif khusus sebesar Rp430/kg dikenakan untuk impor pada tahun 2000. Tarif ini naik menjadi Rp750/kg pada tahun 2003. Selain tarif, juga ada hambatan non-tarif, seperti kuota impor. Pada tahun 2004-2006 impor dilarang sama sekali (kecuali jika dilakukan oleh Bulog dengan ijin pemerintah). Sebagai akibatnya, perbedaan di antara harga internasional dan harga domestik semakin besar. Perbedaan ini tercermin pada kecenderungan tingkat nominal proteksi (NRP). Artinya, harga domestik dipengaruhi oleh proteksi perdagangan.
Khusus untuk beras yang menarik adalah: Indonesia adalah konsumen neto beras, tapi permintaan untuk proteksi sangat kuat. Mengapa? Siapa sebenarnya yang diproteksi?
Tujuan pemerintah sehubungan dengan beras adalah 1) menjaga "stok aman", dan 2) menjaga kestabilan harga. Selama ini impor selalu ditentang oleh pihak-pihak seperti HKTI, FPSI, DPR, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, pengamat, bahkan banyak ekonom. Apakah tujuan ini benar dan mengapa impor selalu ditentang?
Indeks kemiskinan naik 1,8 basis point dari 16% pada bulan Februari 2005 menjadi 17,8% pada bulan Maret 2006. Pada periode tersebut harga beras naik 33%. Dengan elastisitas indeks kemiskinan terhadap perubahan harga beras sebesar 0.04, maka setidaknya 72% dari kenaikan ndeks kemiskinan disebabkan oleh kenaikan harga beras. Dan kenaikan harga beras terutama disebabkan oleh proteksi berupa larangan impor. Artinya, proteksi justru menjadi penyebab kenaikan jumlah orang miskin. Siapakah yang paling diuntungkan? Pemilik sawah, pedagang perantara, dan sejumlah kelompok kepentingan lainnya. Siapa yang dirugikan? Sebagian besar masyarakat miskin, terutama petani pekerja yang tidak memiliki tanah (menanam padi sebagai pekerjaan, tapi harus membeli beras untuk makan). Tentu saja anggapan bahwa kenaikan harga beras bisa memberi insentif pemilik sawah untuk menambah petani pekerja. Artinya, harusnya ada penciptaan lapangan kerja yang baru atau peningkatan pendapatan petani pekerja yang sudah ada. Penelitian Warr (2005) dengan model keseimbangan umum menemukan bahwa dampak positif tidak langsung itu ternyata lebih kecil dari dampak negatif langsung kenaikan harga beras.
Konsekuensi dari proteksi. Untuk kasus restriksi impor sangat mungkin yang menjadi korban adalah mereka yang paling miskin. Terdapat 82% dari seluruh rumah tangga di Indonesia yang merupakan konsumen neto beras; 93% rumah tangga perkotaan dan 63% rumah tangga pedesaan tidak menanam padi; dan 9% dari rumah tangga pedesaan yang menanam padi ternyata adalah konsumen neto. Selanjutnya, lebih dari 28% pengeluaran rumah tangga termiskin (desil atau persepuluh terbawah dari urutan rumah tangga berdasarkan pendapatan) adalah untuk makanan (25% untuk beras sendiri). Artinya, kenaikan harga pasti memukul masyarakat miskin. Termasuk petani, dan terutama petani pekerja.
Untuk kasus restriksi ekspor, saat ini berita bahwa Indonesia surplus beras masih sangat diragukan. Pertama, bulan Desember yang lalu Indonesia masih dalam kondisi butuh tambahan impor. Kedua, terjadi kekeringan dampak El Nino tahun lalu dan kebanjiran sebagai dampak La Nina di banyak sentra produksi. Ketiga, harga yang tetap tinggi menunjukkan bahwa secara nasional, kuantitas yang tersedia di pasar relatif tidak mencukupi permintaannya (harus diingat bahwa sayang sekali tidak ada data produksi maupun konsumsi yang dapat dijadikan dasar keputusan impor atau tidak). Sentra produksi seperti Sulawesi Selatan bisa saja (dikabarkan) kelebihan, tapi sentra konsumsi di tempat lain kekurangan (bahkan beberapa sentra produksi tradisional juga masih kekurangan). Berarti masih ada masalah besar dengan distribusi. Kelima, produktivitas di Indonesia masih sangat rendah.
Lalu, bagaimana menjelaskan kenyataan bahwa proteksi tetap kuat, sekalipun yang dirugikan lebih banyak daripada yang diuntungkan? Model dan teori politik tradisional seperti "political support model", "majority voting model" dan "median voter model" tampaknya tidak dapat menjelaskan fenomena di Indonesia (dan juga di negara-negara lain) mengenai paradoks proteksi ini. Kelihatannya model "collective action" Mancur Olson yang paling bisa menjelaskan situasinya. Dalam hal ini kita bisa menjelaskan mengapa kelompok konsumen (atau tepatnya konsumen neto) yang jumlahnya besar "dikalahkan" oleh kelompok produsen yang berjumlah lebih kecil. Sebabnya adalah, bagi kelompok konsumen, biaya koordinasi tinggi sekali sementara manfaat yang bisa didapat, sekalipun besar secara total, harus dibagi sehingga masing-masing mendapatkan bagian yang kecil – sangat mungkin, lebih kecil daripada biaya untuk berkoordinasi. Di lain pihak, kelompok produsen jumlahnya kecil sehingga biaya koordinasinya juga relatif kecil. Sebaliknya, manfaat yang mereka bisa dapat lebih besar sekalipun dibagi di antara mereka. Bagaimana memecahkan masalah ini? Olson menganjurkan agar ada sistem insentif selektif untuk mengurangi biaya koordinasi kelompok konsumen. Misalnya dengan perwakilan yang diberi insentif untuk mewakili mayoritas. Dalam praktiknya, ini mungkin bisa diwujudkan dalam bentuk lembaga konsumen (sayang sekali YLKI tampaknya tidak "terlalu peduli" dengan masalah ini).
Selain logika aksi kolektif, paradoks proteksi beras juga mungkin disebabkan oleh ketidaktahuan murni (pure ignorance) bahwa yang dirugikan adalah petani pekerja yang miskin dan/atau semata ideologi. Eksperimen kecil yang dilakukan terhadap sekelompok petani pekerja, petani pemilik lahan, masyarakat umum, dan mahasiswa menunjukkan bahwa ada ketidaktahuan di kalanagan masyarakat umum dan mahasiswa tentang fakta konsumen neto di atas. Juga, sekalipun mereka semua setuju bahwa "inflasi itu tidak baik", mereka tidak tahu bahwa beras memegang peran besar dalam keranjang komoditi untuk menghintung inflasi. Akan halnya ideologi, secara sosial, masyarakat Indonesia sudah terlanjur percaya bahwa Indonesia adalah negara agraris dan bahwa "petani harus dilindungi". Sayangnya, "ideologi" ini kadang diterima begitu saja tanpa mau peduli bahwa "petani yang dilindungi" ternyata bukanlah petani yang termiskin. Ia menafikan para komponen masyarakat miskin lainnya yang jelas-jelas adalah konsumen: buruh angkut, nelayan, tukang becak, dsb.
Apa solusi dari semua ini? Jelas ini bukan hal yang mudah. Untuk jangka panjang, sudah saatnya memfokuskan "revitalisasi pertanian" pada isu produktivitas dan perbaikan infrastruktur untuk distribusi, ketimbang melulu berfokus pada kebijakan harga (HPP, subsidi pupuk, dsb) dan restriksi impor. Dalam jangka pendek, pangkas subsisdi BBM dan gunakan dananya untuk membantu petani miskin lewat program bantuan langsung tunai (kondisional atau tidak) atau uang-untuk-kerja (cash for work).