Minggu, 06 April 2008

Kendala Sisi Penawaran: Infrastruktur dan Logistik (4/4) -- Arianto A. Patunru

(Sambungan)

Apa yang telah dilakukan

Patut dicatat bahwa pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah di atas. Untuk tujuan umum menarik investasi, pemerintah telah mengeluarkan 3 paket kebijakan pada tahun 2006: paket infrastruktur (Peraturan Menteri Keuangan No. 38/PMK.01/2006), paket investasi (Instruksi Presiden No. 3/2006), paket sektor finansial (Keputusan Bersama Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri BUMN, dan Gubernur Bank Indonesia Tanggal 5 Juli 2006). Bulan Juni 2007 pemerintah kembali mengeluarkan sebuah paket kebijakan (Instruksi Presiden No. 6/2007) untuk investasi, sektor keuangan, infrastruktur, dan UMKM. Juga pada tahun 2007 DPR akhirnya mensahkan undang-undang investasi setelah sekian lama dibahas (UU No. 25/2007) yang selain menghilangkan dikotomi PMA-PMDN juga menyederhanakan regulasi, melindungi hak milik dan investasi, dan memberikan insentif fiskal. Peraturan yang menyertai undang-undang ini antara lain adalah kriteria dan daftar negatif investasi (Peraturan Presiden No. 76 dan 77/2007). Seperti diduga, daftar negatif langsung menimbulkan kontroversi (Takii dan Ramstetter 2007). Merespon hal ini, pemerintah mengeluarkan revisi atas daftar negatif tersebut (Peraturan Presiden No.111/2007).

Lebih spesifik untuk isu infrastruktur dan logistik, pemerintah melakukan beberapa kebijakan yang bertujuan untuk memberi insentif kepada pihak swasta untuk berinvestasi di sektor infrastruktur di samping kebijakan lain untuk membantu pendanaan dan untuk memperbaiki manajemen. Misalnya, pada tahun 2006 Menteri Keuangan membentuk Unit Manajemen Risiko untuk mengawasai pelaksanaan mekanisme bagi-risiko proyek-proyek kerjasama pemerintah-swasta. Pemerintah juga memutuskan memberikan dukungan kredit untuk proyek listrik 10,000 megawatt dan untuk proyek tol Trans-Jawa. Untuk memperbaiki proses pembebasan tanah yang seringkali menjadi masalah dalam proyek infrastruktur, pemerintah juga membentuk Unit Investasi Pemerintah dan mengalokasikan sekitar Rp 2 triliun tahun 2006, 2007, dan 2008 kepada unit ini untuk membantu percepatan pembangunan infrastruktur.

Semua upaya di atas patut dihargai. Namun kendala lagi-lagi muncul di dalam implementasi. Salah satu ciri umum dari berbagai paket investasi adalah adanya daftar rencana (biasanya dalam bentuk matriks kebijakan) yang secara eksplisit menyebutkan kebijakan, program, aksi, keluaran, waktu, serta pihak yang bertanggung jawab serta dibentukan berbagai tim ad hoc untuk membantu pelaksanaannya. Tetapi, pengamatan seksama terhadap matriks-matriks tersebut akan memberikan kesan bahwa faktor pentingnya target-target tertentu serta tingkat kesulitan untuk mencapainya dapat dengan mudah diabaikan (Basri dan Patunru, 2006). Selain itu, banyak item di dalam paket kebijakan yang secara alamiah berada pada posisi yang bertentangan dengan kepentingan kementerian teknis. Hal ini menyebabkan timbulnya resistensi yang tidak sedikit dari kalangan pemerintah sendiri (Takii dan Ramstetter 2007). Karena itu, berbagai kalangan sudah menganjurkan agar reformasi tidak bisa hanya dilakukan pada kebijakan saja, tapi juga terhadap birokrasi itu sendiri (Synnerstrom 2007). Beberapa kementerian, seperti Departemen Keuangan telah melakukan hal ini.

Namun mereformasi birokrasi akan jauh lebih susah daripada sekedar mereformasi kebijakan. Ia akan lebih mudah mengalami apa yang disebut ”dilema reformasi”: manfaat dari reformasi biasanya baru terlihat dalam jangka menengah atau panjang sementara biayanya langsung terlihat dalam jangka pendek (Basri dan Patunru 2008). Karena itu, tugas yang paling berat bukan hanya untuk memastikan keberlanjutan dari reformasi, tetapi juga untuk mendapatkan dukungan bagi reformasi itu sendiri. Ini memerlukan kemampuan menentukan prioritas, karena dalam negara yang besar dan komples melakukan reformasi menyeluruh dengan cara menghilangkan semua distorsi secara simultan akan sangat sulit; lebih mudah untuk melakukan secara bertahap dengan berfokus kepada kendala yang paling utama (Rodrik 2008). Untuk Indonesia, tampaknya, kendala utama ini ada di sisi penawaran: infrastruktur dan logistik. ***

0 komentar:

Posting Komentar

◄ New Post Old Post ►