Krisis financial alias situasi dimana terjadinya kepanikan perbankan dan resesi, serta runtuhnya bursa efek dan krisis mata uang kini terjadi di AS. Hal ini sebelumnya telah menghancurkan sisi finance AS pada tahun 1929 dalam The Great Depression, namun kini dilanjutkan kembali setelah AS mengalami krisis kredit perumahan yang tak kunjung selesai (subprime mortgage) pada bulan juli 2007. Hampir 20% harga perumahan AS jatuh diakibatkan adanya subprime mortgage dan bahkan akan terus meningkat sekitar 10% lagi. Kredit perumahan macet ini akhirnya mengakibatkan kerugian global hingga US$ 1,4 triliyun sesuai data dari IMF. Hal iniliah yang akhirnya menyeret dunia ke titik resesi penuh yang sebelumnya telah dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia dan harga komoditas di awal tahun 2008. Sepanjang maret hingga oktober 2008 banyak intervensi yang telah dilakukan AS demi mempersurut krisis financial ini, diantaranya take over Fannie Mae dan Freddie Mac, akuisisi Merrill Lynch, hingga akhirnya AS memberikan bailout (semacam BLBI) sejumlah US$ 700 milyar. Namun tak disangka-sangka akhirnya AS pun memperbesar utang brutonya lebih dari US$ 1 triliyun.
Hasilnya ialah develeraging yang semakin cepat, ditandai dengan anjloknya saham-saham institusi keuangan, cost of funding dan proteksi credit default yang makin tinggi dan harga asset pun semakin tertekan.
Masalah pun tak akan berhenti disitu saja, santapan AS berikutnya adalah krisis mata uang. Ketika pemilik modal kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan pemerintah AS dan stabilitas pasar modal maka yang terjadi yaitu dollar akan dilepas secara massif ke pasar. Mata uang dollar pun akan dengan mudahnya jatuh hingga ke titik terendah ditambah dengan krisis financial yang akhirnya mengakibatkan double impact.
Dampak Global
Pada saat subprime mortagage terjadi, banyak perusahaan yang akhirnya dinasionalisasi di berbagai Negara, contohnya Bradford & Bingle dinasionalisasi oleh pemerintah Inggris, ortis diambil alih pemerintah Belgia, Belanda dan Luksemburg, bail-out Hypo Real Estate Group Jerman € 35 milyar, dan pengambilalihan Glitnir Bank oleh pemerintah Islandia.
Pada belahan dunia lain, yaitu asia, Filipina pun turut terpukul. Angka pengangguran bertambah hingga 168.000 orang pada april 2008 ditambah sebelumnya sekitar 249.000 orang antara april 2007 hingga 2008. Namun sebelum jauh melangkah ke titik pengangguran, mari kita lihat dulu sisi financial Asia. Indeks Shanghai turun hingga 70% dari puncaknya pada oktober 2007, kegagalan pelalangan surat hutang Filipina, dan tekanan pada mata uang berbagai Negara, rupiah Indonesia, won Korea, baht Thailand, dong Vietnam dan rupee India.
Indonesia adalah salah satu Negara yang terkena dampak serius dari krisis financial global ini, ditandai dengan adanya penekanan IHSG sebesar 10% serta penurunan stock exchange JKSE Jakarta sejumlah 58,03% dari 2731,51% pada awal 2008 menjadi 1146% pada 21 November 2008. Secara keseluruhan bisa disimpulkan bahwa instabilitas ek makro memburuk, pertumbuhan turun dibawah 5%, kemiskinan dan pengangguran akan terus naik, serta sector modern dan resource based akan terpukul.
Jika kita menyadari apa yang sebenarnya terjadi di Indonesia ialah adanya kerapuhan fundamental ekonomi (fundamental economic fragility) yang sudah sejak lama membaluti Indonesia. Hal ini seperti disebutkan oleh Michael Camdessus (1997), Direktur International Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada Growth-Oriented Adjustment Programmes (kurang lebih) sebagai berikut: “Ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi”. Jelas disini bahwa Indonesia telah mengalami defisit neraca pembayaran (deficit balance of payment), beban hutang luar negeri (foreign debt-burden) yang membengkak–terutama sekali hutang jangka pendek, serta investasi yang tidak efisien (inefficient investment). Semua itu dapat terlihat jelas dalam proyeksi APBN 2008 ke 2009 dan juga terjawab dari mengapa deficit APBN terjadi, yaitu dikarenakan kebijakan fiscal yang selalu cenderung orientasi jangka pendek dan populis serta makin sulitnya financing dalam penerbitan obligasi yang akhirnya menyebabkan utang luar negeri makin meningkat, serta belum lagi ditambahkan dengan krisis energy yang sedang terjadi dimana subsidi terus bertambah apabila energy alternative tidak mampu digalakkan oleh pemerintah.
Ketidakstabilan pasar finansial global, meningkatnya inflasi dan harga-harga komoditas seperti pangan dan minyak mengindikasikan bahwa pilar-pilar utama tatanan ekonomi kapitalis neoliberal sedang mulai retak. Beberapa ekonomi sayap-kiri berargumen bahwa tatanan ekonomi neoliberal telah mencapai penghabisannya dan bahwa sistem kapitalis tak mampu melanjutkan fungsinya dengan cara ini. Kebijakan ekonomi yang didasarkan oleh upah rendah dan stimulasi konsumsi (via kredit gampangan) tidak lagi memungkinkan. Krisis global saat ini juga memiliki dimensi lingkungan hidup yang krusial: yakni perubahan iklim dan pemanasan global.
Oleh karena itu, diperlukan adanya berbagai macam koreksi internal maupun eksternal. Koreksi APBN 2009 adalah langkah awal untuk mengantisipasi dampak lanjutan yang akan terus menimpa Indonesia di tahun-tahun berikutnya. Jalan yang bisa diambil yaitu :
1. Penghematan subsisdi dan pemberdayaan penerimaan sumber daya alam adalah jalan keluar dalam meningkatkan cadangan APBN untuk pembayaran utang LN.
2. Pemberdayaan energy alternative pun menjadi solusi tepat dalam menghemat APBN yang semakin membengkak.
3. Diperlukan adanya pemberian insentif pajak kepada pihak-pihak yang terkena dampak langsung dan masih berpotensi untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi seperti UMKM dan perusahaan/industry sector riil.
4. Kemudian pembenahan sistem financial Indonesia dengan memperbaiki dan memperketat Undang-Undang pasar modal dan content saham agar BUMN dan beberapa perusahaan besar Indonesia tak lagi dikuasai penuh oleh pihak/investor asing, serta penerapan buyback saham-saham Indonesia yang dimiliki asing.
5. Memberdayakan sistem perbankan syariah dalam bentuk BMT agar menghilangkan efek kredit bagi UMKM dan masyarakat.
6. Mempercepat proyek-proyek kerjasama dengan pihak asing yang tidak menghasilkan.
Koreksi eksternalnya yaitu tak lain mengenai perbaikan dan peningkatan hubungan internasional dalam kebangkitan bersama. Antara lain yaitu pencarian solusi konkrit bersama dengan KTT serta pemberian batas bagi sistem ekonomi modern internasional yang dianggap memicu adanya kegagalan financial. Membuat arahan baru bagi ekonomi internasional agar berpindah kiblat dari AS yang merupakan penyebab krisis global adalah saran terbaik, dapat dilakukan dengan cara membentuk kerja sama financial dengan China yang memiliki daya tahan financial lebih tinggi terhadap krisis.
Departemen Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Gadjah Mada
0 komentar:
Posting Komentar