Euphoria reformasi memang masih terasa sampai sekarang. Setelah hampir 12tahun lamanya setelah semangat itu didengungkan semangat itu masih menjiwai setiap langkah kita sebagai sebuah bangsa kedepan. Semangat dari hampir seluruh rakyat Indonesia untuk perubahan yang agaknya bisa menjadi modal yang baik bagi pembangunan. Tetapi dalam perjalanannya proses pembangunan tentu menemui banyak kendala yang tentu saja tidak mudah untuk diselesaikan. Demokrasi diusung untuk menggantikan system lama yang dianggap otoriter. Saat tirani masih menguasai negeri ini demokrasi dianggap sebagai solusi yang tepat untuk semua permasalahan yang ada. Mencontoh dari Negara yang menerapkan demokrasi tidaklah salah saat para pemikir mulai berusaha menerapkannya di Indonesia sebagai solusi dari permasalahan kesejahteraan rakyat. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Wealth of nation yang menjadi tujuan dari penerapan demokrasi agaknya semakin sulit dicapai. Kesejahteraan rakyat tidak seluruhnya berubah menjadi lebih baik seperti yang diharapkan.
Prinsip dasar dari demokrasi adalah adanya check and balance antar lembaga Negara. Dalam menjalankan check and balance kita mengenal praktik share of power untuk meminimalkan terjadinya kekuasaan yang absolut. Salah satu caranya adalah dengan kebijakan otonomi daerah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang diharapkan mampu mempercepat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Pemerintah daerah berhak menentukan nasib dari daerahnya sendiri. Pembagian kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif semua didelegasikan kepada daerah. Sistem yang digunakan pun tidak jauh berbeda. Semua dipilih secara langsung oleh rakyat semua mendapat mandat dari rakyat tetapi pertanggungjawabannya kepada rakyat menjadi pertanyaan baru yang muncul.
Dalam praktiknya banyak daerah yang berubah menjadi lebih baik setelah adanya system ini. Tidak sedikit daerah yang dapat memaksimalkan potensi daerahnya dan akhirnya dapat mensejahterakan masyarakat. Tetapi tidak sedikit juga yang hanya berujung pada konflik tak berkesudahan. Pemekaran wilayah juga menjadi isu yang mengundang pro kontra. Ujung dari konflik yang terjadi salah satunya memang dengan pemekaran wilayah. Padahal pada kenyataannya pemekaran ini lebih banyak berefek buruk. Daerah yang tertinggal menjadi semakin tertinggal karena SDM yang ada kurang bisa memaksimalkan SDA yang ada.
Hal lain yang menjadi masalah adalah mahalnya demokrasi di Indonesia. Untuk meraih sebuah jabatan politik di Indonesia haruslah mempunyai kemampuan finansial yang cukup. Untuk Seorang bupati di Kabupaten/Kota yang berukuran sedang misalkan yaitu dengan populasi sekitar 300.000 jiwa dana kampanye yang harus dikeluarkan untuk meraih jabatan kepala daerah mencapai kurang lebih 300 juta. selain dana kampanye yang menggunakan uang para calon kepala daerah pemborosan juga terjadi dalam penyenggaraan pilkada. Sebagai contoh di kabupaten sidoarjo jawa timur dana untuk penyelenggaraan pemilihan bupati mencapai angka 24,8 milyar untuk 2 putaran. Belum lagi dana pengawasan yang mencapai angka 4 milyar. Hal ini tentu sangat mahal untuk sebuah demokrasi.
Tetapi pemilihan secara langsung (demokrasi) tak sepenuhnya buruk. Di beberapa daerah banyak juga yang dapat berjalan dengan efektif dan efisien. DKI Jakarta misalnya dimana jabatan politik untuk 5 kabupaten/kota hanya dipegang oleh 102 orang yaitu gubernur, wakil gubernur, dan 100 anggota DPRD. Walikota dipilih oleh gubernur. Secara statistik, 15 juta penduduk Jakarta di kelola oleh 102 pejabat politik. Policy otonomi daerah ditentukan oleh pemerintah provinsi dan dilaksanakan oleh para walikota sehingga program-programnya pun lebih bersinergi dengan baik. Akan kita lihat besok pertarungan antara Bugiakso dan Kabul Mudji Basuki dalam menghadapi kuatnya dukungan untuk Hafidh Asrom dan Umi Muslimatun di Pilkada Sleman, Jogjakarta kelak. Jika 33 provinsi di Indonesia melakukan hal sama seperti DKI Jakarta maka pemerintah dapat menghemat dana kurang lebih 20 trilyun untuk pilkada. Tentu akan lebih hemat jika hanya menyelenggarakan pilkada untuk 33 gubernur daripada untuk 500 bupati/walikota. Jumlah yang tidak sedikit dan harusnya dapat dialihkan ke alokasi yang lain.
Wacana yang muncul menyikapi masalah ini adalah dengan menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Hal ini juga ditentang oleh para penggiat demokrasi yang menganggap hal ini bukan merupakan pelajaran politik yang baik bagi masyarakat. Tentu hal ini masih terus dikaji oleh kementrian dalam negeri. Bagaimanakah cara yang paling efektif dan efisien dalam pemilihan kepala daerah. Apakah pemilihan secara langsung masih relevan dan dapat diaplikasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia ataukah harus diganti dengan sistem lain yang lebih efektif dan efisien tanpa mengabaikan proses berdemokrasi di masyarakat?
Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh pertumbuhan sosial di masing-masing daerah. Tanpa partisipasi daerah dalam pembangunan maka pertumbuhan ekonomi dan tujuan bangsa indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan segenap bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia tidak akan tercapai.
Departemen Kajian Strategis
BEM FEB UGM
0 komentar:
Posting Komentar