Beberapa ahli dan pengamat mulai intensif ambil bagian sejak akhir bulan Desember tahun lalu. Mengingat isu ini yang sungguh strategis karena dianggap mampu mengancam industri lokal yang tak bisa bersaing dengan produk-produk luar negeri.
Sekilas membedah negara China, merupakan negara dengan penduduk terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk yang saat ini berjumlah 1,3 milyar, tentu dapat dibayangkan betapa banyaknya SDM yang dapat digunakan untuk membuat berputarnya roda perekonomian yang ada disana. Negara yang berhaluan komunis ini memang memilki pemerintahan yang cukup cerdik dalam mengelola sumber daya alamnya. Di saat Indonesia dengan bangganya menjual batu bara ke luar negeri, China yang sebenarnya juga memiliki kekayaan alam mineral batu bara malah memilih untuk membeli batu bara Indonesia untuk digunakan sebagai bahan bakar yang murah bagi industri China. Penghematan harta kekayaan yang mereka punya sekarang akan digunakan untuk investasi masa mendatang. Jadi dapat dibayangkan ketika China baru akan mulai untuk mengeksplorasi batu bara mereka, kita sedang kesulitan mencari batu bara karena sebelumnya telah habis diobral. Malah mungkin suatu saat Indonesia yang kaya raya ini akan membeli batu bara ke China karena persediaan batu bara kita yang sedang menipis.
Selama ini pemberitaan media yang berkembang di masyarakat membuat positioning bahwa seakan-akan China adalah aktor utama dalam drama ACFTA ini. Bahwa pelaku perjanjian bebas ini hanyalah Indonesia dan China. Padahal kita hampir lupa bahwa perjanjian ini ditandatangani oleh seluruh negara anggota ASEAN plus China; meskipun pemberlakuan nol tariff sesuai dengan The Agreement on Trade in Goods (TIG) of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and China (keterangan tarif dalam tabel di bawah) yang ditandatangani pada 29 November 2004 di Vientiane-Laos oleh para pejabat tinggi setingkat menteri bidang ekonomi dan perdagangan, membagi para pesertanya dalam dua term: term pertama dengan para anggota ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Filiphina) dan China yang berlaku sejak 2010, dan term kedua dengan para anggota negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) pada 2015.
Sejarah perjanjian ini bermula sejak dilaksanakannya ASEAN-China Summit di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 6 November 2001 lalu yang mencetuskan mengenai Kerangka Kerjasama Ekonomi (Framework on Economic Co-operation). Follow up dari bentuk komitmen ini menghasilkan Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-Operation Between ASEAN and the People's Republic of China yang ditandatangani oleh seluruh Kepala Negara anggota ASEAN-China di Phnom Penh, 4 November 2002. Pertemuan ini menghasilkan bentuk kerjasama untuk membangun ASEAN-China Free Trade Area dalam 10 tahun ke depannya, dimana diharapkan adanya hubungan kerjasama ekonomi yang lebih dekat diantara negara anggota pada abad 21. Dalam perjanjian tersebut jelas disebutkan bahwa persetujuan tersebut bertujuan untuk meminimalisir rintangan dan memperdalam kerjasama ekonomi diantara tiap-tiap anggota, menurunkan biaya, meningkatkan volume perdagangan dan investasi intra-regional serta efisiensi ekonomi, menciptakan pasar yang lebih besar dengan kesempatan dan skala ekonomi bisnis yang lebih baik.
Selama kurang lebih satu tahun berikutnya, perjanjian yang ada dirasa perlu di amandemen untuk menjelaskan implementasi dari ketetapan yang ada. Maka pada 6 Oktober 2003 ditandatangani Protocol To Amend The Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of South East Asian Nations And The People’s Republic Of China di Bali, Indonesia. Pada amandemen perjanjian ini ditetapkan mengenai kondisi dan waktu percepatan tariff reduction serta eliminasi produk-produk yang sebelumnya diatur dalam Early Harvest Programme dari Kerangka Kerjasama yang ada melalui penyesuaian-penyesuaian bilateral ataupun plurilateral yang ditambahkan ke dalam Kerangka Kerjasama.
Selanjutnya pada 29 November 2004 di Vientiane, Laos, ditandatangani pula Agreement On Trade In Goods Of The Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of Southeast Asian Nations And The People’s Republic Of China. Dalam TIG Agreement ini, dijelaskan mengenai aturan pengurangan dan penyisihan tarif yang telah ditentukan bagi ASEAN 6 dan China, seperti yang disebutkan di atas, dimana tahap akhir pengurangan tarif dapat diselesaikan pada 2010. Sementara negara CLMV akan diselesaikan pada 2015. Perjanjian ini juga menetapkan liberalisasi berikutnya dari beberapa produk yang sensitif dari tiap negara serta menghilangkan rintangan non-tarif.
Sebenarnya disadari atau tidak, fenomena merambahnya barang China di Indonesia sudah dimulai sejak bertahun-tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan neraca perdagangan Indonesia yang defisit secara cukup signifikan di pihak Indonesia. Hanya saja pemberitaan serta asumsi beberapa pihak yang resisten terhadap isu liberalisasi memanfaatkan moment ini. Wacana yang diangkat seolah-olah bahwa 1 Januari sebagai batas awal pemberlakuan ACFTA merupakan gerbang neraka bagi industri Indonesia. Malah sebenarnya jika kita perhatikan pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia, Hatta Radjasa, pengurangan tarif import sudah dimulai sejak tahun 1992. Maka sungguh naif rasanya apabila kita mengalienasikan bahwa selama ini kita aman-aman saja karena belum adanya import barang, khususnya China, yang masuk ke Indonesia.
Beberapa pelaku industri menuntut pemerintah untuk mengambil kebijakan agar keluar dari perjanjian yang menurut mereka tidak adil ini. Sedangkan beberapa yang lain merendahkan tensinya dengan mendesak untuk merenegoisasi perjanjian tersebut pada beberapa post tarif strategis yang dianggap belum siap untuk terjun dalam persaingan bebas di pasar global ini. Para pejabat anggota legislatif ternyata memiliki respon yang sama terhadap kebijakan perdagangan ini. Beberapa fraksi di DPR turut mendesak Menteri Perdagangan untuk meninjau ulang keikutsertaan Indonesia dalam kancah regional perdagangan bebas ini. Namun sampai tulisan ini dibuat, belum ada kabar yang menuliskan tentang tanggapan positif akan desakan itu.
Kebijakan tarif tentu saja bukanlah satu-satunya jalan untuk keluar dari permasalahan ini. Banyak hal yang seharusnya mampu kita lakukan sebagai solusinya. Sebagai tindakan preventif Pemerintah sebaiknya terus memperkuat industri yang memilki kekuatan dan competitive advantage lebih besar untuk berjuang di pasar bebas. Namun semuanya belumlah terlambat. Waktu yang kita punya sebelum benar-benar semua parties ikut dalam perlombaan ini di 2015 marilah dimanfaatkan untuk memperbaiki segala kekurangan yang ada. Keluar dari ACFTA bukanlah alternatif yang tepat karena hanya akan membuat negara kita akan terus lari dari masalah. Tak ada lecutan bagi industri lokal untuk memperbaiki kualitas barang sendiri agar mampu bersaing dengan produk luar negeri. Perbaikan serta penyerapan anggaran infrastruktur dan suprastruktur di segala bidang yang menunjang peningkatan kualitas perdagangan nasional tentu menjadi kewajiban yang tidak bsa ditawar-tawar lagi. Dan hal paling riil yang bisa kita lakukan adalah terus sokong produsi dalam negeri dengan meningkatkan konsumsi terhadap produk asli nasional dan mengurangi jatah produk luar negeri.
Peluit perlombaan sudah ditiup, genderang perang telah dibunyikan. Namun garis finish masih jauh. Keputusan ada di tangan kita, tetap tertinggal atau berani melecut diri sendiri untuk mengejar ketertinggalan.
Dept Kajian Strategis
BEM FEUI 2010
0 komentar:
Posting Komentar