Listrik akhir-akhir ini menjadi suatu hal yang menjadi perbincangan yang ramai dibicarakan oleh banyak pihak di Indonesia. Bagaimana tidak, kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik memicu berbagai reaksi dari masyarakat baik dari kalangan industri maupun dari kalangan intelektual. Kenaikan TDL pada sektor industri dan rumah tangga membuat kalangan industry kalang kabut. Bahkan di Solo, para pengusaha berencana akan memboikot kenaikan TDL. Namun menanggapi dari pengusaha, Pejabat Humas PLN APJ Surakarta Soeharmanto, SE “Monggo aja kalau memang dari pengusaha punya rencana boikot dengan tetap membayar tarif lama. Sah-sah saja, tapi yang jelas sampai saat ini kami masih menunggu petunjuk pelaksanaan (Juklak) atau hitungan riil atas kenaikan tarif itu dari pusat,”
Pada awalnya, adanya UU 15 tahun 1985 memberi PLN amanah untuk menjadi satu-satunya pemegang kuasa kelistrikan PKUK sehingga pada akhirnya muncul opini bahwaPLN monopoli listrik. Namun munculnya UU no 30 tahun 2009 menyebabkan PLN dicabut TKUK nya sehingga hanya sebagai PIUK (pemegang Ijin usaha kelistrikan), tidak menentukan kenaikan TDL maupun hal yang terkait dengannya. Setelah itu muncul wacana tentang kenaikan TDL pada akhir 2009. Namun, hal itu baru tercapai pada bulan Juli tahun ini.
Berikut skema kenaikan TDL per 1 Juli yang disepakati pemerintah dan DPR RI adalah seperti ini:
Jenis Pelangan Besar Kenaikan
Pelanggan 450 VA – 900 VA Tidak mengalami kenaikan
Pelanggan 6600 VA ke atas golongan rumah tangga, bisnis, dan pemerintah, dengan batas hemat 30% tidak naik karena tarifnya telah mencapai keekonomian.
Pelanggan Sosial 10%
Pelanggan Rumah Tangga lainnya 18%
Pelanggan Bisnis 12% - 16%
Pelanggan Industri lainnya 6% - 15%
Pelanggan Pemerintah lainnya 15% - 18%
Pelanggan Traksi (untuk keperluan KRL) 9%
Pelanggan Curah (untuk apartemen) 15%
Pelanggan Multiguna untuk pesta, layanan khusus) 20%
Sumber: http://www.detikpertama.com/data-lengkap-kenaikan-tdl-juli-2010/
Manager PLN APJ Surakarta, Drs Puguh Dwi Atmanto ST saat melaksanakan audiensi antara PLN APJ Surakarta dengan Forbes BEM se-UNS tanggal 23 Juli 2010 kemarin mengungkapkan bahwa sejak dikeluarkannya surat resmi soal kenaikan tarif listrik, sampai saat ini PLN APJ Solo belum menerima buku TDL serta angka-angka pasti mengenai kenaikan dan harga jual yang baru sehingga untuk penghitungan pembayaran listrik bulan Agustus masih belum pasti.
Sungguh, disaat negara ini dalam kondisi yang tidak menentu, jika suatu kebijakan kontroversial dikeluarkan. Maka akan banyak tantangan yang muncul dari berbagai kalangan. BEM FE UNS pun bersama ForBes BEM se-UNS sendiri sempat turun aksi sejumlah 3 kali. Yang pertama adalah saat tanggal 29 Juni 2010, dilanjutkan tanggal 2 Juli 2010, dan yang terakhir tanggal 14 Juli 2010. Beberapa kalangan yang lain pun mempertanyakan dasar kebijakan itu. Jika memang alasannya dikarenakan akibat beban yang harus ditanggung APBN untuk biaya subsidi listrik terlalu banyak, maka seharusnya ada efisiensi penggunaan APBN.
Opsi lain yang muncul adalah penggunaan gas atau yang lain sebagai bahan bakar pembangkit listrik. Jika selama ini banyak pembangkit yang menggunakan solar sebagai bahan bakar, maka harus diganti menjadi gas, nuklir, ataupun yang lainnya yang lebih kecil cost-nya. Jika selama ini PLN membeli solar dengan harga industri, bagaimana mungkin harga listrik tidak naik ? Perlu diketahui bahwa harga awal listrik sebelum naik tanggal 1 Juli 2010 adalah Rp 639/ kwh. Padahal cost yang dibutuhkan untuk memproduksi listrik per kwh adalah sekitar Rp 1200. Maka pemerintah pun berencana menaikkan TDL menjadi sekitar 1000/kwh dengan dasar pengurangan beban subsidi listrik. Disini muncul suatu pertanyaan, saat sedang ada kontroversi tentang TDL, mengapa DPR RI malah tersibukkan dengan dana aspirasi untuk anggota DPR yang belum jelas pertanggungjawaban kepada siapa. Tentu saja DPR wajib bertanggungjawab apabila kebijakan dana aspirasi tersebut bisa tercapai.
Selain pembelian solar yang menggunakan harga,industri, PLN pun seakan di anak-tirikan oleh pemerintah. Betapa tidak, ada kebijakan yang memutuskan batubara yang menjadi bahan bakar pembangkit listrik kemudian diekspor keluar negeri dengan harga murah dan PLN membeli batubara dari luar negeri dengan harga yang mahal. Bukankah itu kebijakan yang mengherankan apabila pemerintah ingin tarif dasar listrik tidak naik dan memberatkan masyarakat? Jika benar pemerintah tidak ingin memberatkan rakyat seharusnya pemerintah mengubah kebijakannya mengenai harga solar yang diberikan kepada PLN, tentang prioritas penggunaan batubara agar digunakan PLN maupun pengguna dalam negeri, dan juga berbagai kebijakan strategis lainnya yang berkaitan dengan PLN dan listrik di Indonesia.
Sungguh, tak dapat dipungkiri dalam kondisi yang serba terdesak ini PLN senantiasa berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Walaupun masih ada hal yang perlu dibenahi kita tetap harus memberikan apresiasi kepada PLN yang setiap hari menyalurkan energi listrik kepada Indonesia, yang telah menerangi Indonesia sampai saat ini dan turut serta dalam mencerdaskan bangsa.
Deputi Kajian Strategis
BEM FE Universitas Sebelas Maret 2010 - 2011
0 komentar:
Posting Komentar