Kecil-kecil cabai rawit, peribahasa itu memang cocok untuk menggambar kondisi harga cabai yang makin melonjak drastis di penghujung tahun 2010, bahkan sempat mencapai Rp 120.000/ kilogram. Harga tersebut lebih mahal daripada harga satu kilogram daging sapi yang hanya sekitar Rp 70.000. Si kecil pedas ini sanggup menyumbangkan angka kenaikan inflasi yang cukup signifikan, sehingga target pemerintah terhadap inflasi nasional pun meleset dari sekitar 5 persen menjadi 7 persen. Pemicunya adalah harga bahan makanan yang melambung lebih dari dua kali lipat angka inflasi nasional, yakni 15,64 persen. Ada tiga komoditas yang menjadi penyumbang inflasi terbesar antara lain yaitu beras, cabai merah, dan cabai rawit. Ketiganya merupakan komponen harga bergejolak (volatile) yang selama setahun terakhir mencatat inflasi sebesar 17,74 persen. Sementara itu, komponen inti hanya memiliki inflasi yang relatif rendah, yakni sebesar 4,28 persen. Jadi, sumber masalahnya adalah jelas, yakni ketidakmampuan pemerintah dalam mengendalikan harga pangan yang bergejolak (volatile food).
Kenaikan inflasi bukanlah hal baru di Indonesia karena memang merupakan penyakit ekonomi yang sering kambuh. Sesekali melonjak dan kemudian kembali ke normal. Kenaikan inflasi selalu didorong oleh komponen yang bergejolak dan komponen harga yang diatur pemerintah. Pada tahun 2008 yang lalu, misalnya, inflasi sempat menembus angka 11 persen dan itu melulu didorong oleh kenaikan harga komoditas di pasar global. Baru setahun kita menikmati inflasi yang rendah di 2009 kemudian tiba-tiba penyakit itu kambuh lagi sekarang. Namun, pada umumnya Inflasi sebenarnya lebih berdampak secara short-run sedangkan dalam long-run inflasi dapat menyesuaikan dengan kondisi perekonomian yang ada. Masyarakat akan melakukan substitusi, sehingga terjadi penyesuaian alami dan harga akan kembali normal. Namun jika pemerintah tidak ikut campur tangan dalam mengatasi hal ini, maka perekonomian pun berkemungkinan untuk menjadi lebih bergejolak sehingga akibat inflasi pun menjadi lebih buruk dan pemerintah akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
Keputusan yang dibuat pemerintah terkadang kurang tepat dan seakan-akan hanya “mempercantik” suasana yang sebenarnya. Misal, dengan munculnya wacana untuk “membuang” instrumen harga cabai dari perhitungan inflasi. Dalam hal ini pemerintah hanya berusaha untuk tampak baik di mata masyarakat dengan mengutak-atik angka inflasi dan menghindari kenyataan yang sebenarnya. Pemerintah semestinya tidak perlu terlalu takut terhadap kenaikan harga cabai karena kondisinya tidak seperti beras, beras adalah political comodity dimana pemerintah bisa jatuh karena harga beras naik. Berbeda dengan cabai, implikasi kenaikan cabai tidak akan menjatuhkan pemerintah. Di samping itu, cabai merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, jika cabai dikeluarkan dari perhitungan inflasi seolah-olah cabai menjadi barang yang tidak penting.
Cuaca Ekstrem
Sementara harga komoditas dunia belum melambung secepat masa resesi global tahun 2008, inflasi di tahun 2010 sudah merangkak naik. Memang, dorongan inflasi saat ini lebih banyak disebabkan oleh kenaikan harga domestik yang sedikit kaitannya dengan pasar internasional. Kenaikan harga cabai yang sempat menyentuh Rp 120 ribu/kilogram adalah murni fenomena lokal. Anomali cuaca yang labil dengan musim hujan yang berkepanjangan, tanaman cabai banyak yang menjadi busuk. Sebagian petani tak bisa panen cabai walaupun sudah banyak pestisida yang diaplikasikan untuk mencegah busuk buah dan akar. Jumlah produksi cabai pun menurun cabai sehingga terjadi kelangkaan dan mendorong kenaikan harga di pasaran. Dengan musim hujan yang lebih banyak, mestinya produksi padi bertambah banyak karena lebih banyak ladang atau lahan tadah hujan yang dapat ditanami. Tetapi, justru yang terjadi sebaliknya, tanaman banyak yang rusak oleh hujan yang tak terperkirakan.
Sebetulnya, menurut para ahli klimatologi, potensi terjadinya cuaca ekstrem di wilayah khatulistiwa tidaklah separah di wilayah subtropis, seperti Amerika Utara, Cina, dan Eropa. Keadaan paling parah yang kita hadapi adalah perubahan cuaca dan musim yang kurang beraturan. Secara alamiah, kita memang surga dunia. Itu pun kalau kita pandai hidup di dalamnya. Yang perlu kita waspadai dengan penuh perhatian adalah justru dampak cuaca ekstrem global. Kalau kegagalan panen terjadi di Cina, Rusia, India, Amerika Utara, dan Eropa Barat secara serempak, dunia akan kekurangan pangan. Harga pangan dunia akan melonjak tak terperkirakan. Dalam situasi ini, semua negara akan mengutamakan keamanan pangan nasionalnya masing-masing. Tak ada yang mau mengekspor pangan. Hampir setiap negara bersiap-siap menghadapi hal ini. Itulah mengapa saat ini Bulog kesulitan mengimpor beras dari negara tetangga. Karena Bulog kekurangan stok, harga beras di pasar menjadi tak dapat dikendalikan. Bulog juga kesulitan mendapatkan stok dari pasar dalam negeri karena memang produksi sedang mengalami penurunan. Kegagalan dalam mengantisipasi kelangkaan harus dibayar mahal oleh konsumen.
Menggenjot Produksi
Sebagai negara tropis, sebetulnya cuaca ekstrem menyediakan kesempatan yang luar biasa bagi pembangunan pertanian. Harga dunia yang membaik adalah insentif yang paling sempurna bagi petani untuk meningkatkan produksi. Kita tidak hanya harus bersiap meningkatkan produksi padi, tetapi juga seluruh komoditas pangan dari mulai jagung, ubi jalar, ketela pohon, sampai ganyong. Berbagai sumber pati sangat potensial untuk menjadi pengganti gandum asalkan kita memiliki teknologi pengolahannya. Sementara ini tampaknya kita berkutat mengatasi masalah kekurangan produksi. Padahal, kesempatan di depan mata sangatlah memungkinkan untuk menggenjot pertanian kembali. Yang perlu dipersiapkan adalah melengkapi petani dengan pengetahuan yang cukup, sarana produksi yang memadai, teknologi produksi yang tepat, serta perlakuan pascapanen yang lebih baik. Kalau pemerintah tidak mampu memfasilitasi ini semua dan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, jangan harap kesempatan itu akan mampu dimanfaatkan. Selain itu pemerintah perlu memperbaiki sarana infrastruktur di daerah-daerah. Infrstruktur sebagai tumpuan dan basis interkonektivitas sehingga arus distribusi komoditas pun menjadi lebih lancar dan kondisi kelangkaan dapat lebih teratasi.
Dyah Pritadrajati
Staff Departemen Kajian Strategis
BEM FEB UGM
Kenaikan inflasi bukanlah hal baru di Indonesia karena memang merupakan penyakit ekonomi yang sering kambuh. Sesekali melonjak dan kemudian kembali ke normal. Kenaikan inflasi selalu didorong oleh komponen yang bergejolak dan komponen harga yang diatur pemerintah. Pada tahun 2008 yang lalu, misalnya, inflasi sempat menembus angka 11 persen dan itu melulu didorong oleh kenaikan harga komoditas di pasar global. Baru setahun kita menikmati inflasi yang rendah di 2009 kemudian tiba-tiba penyakit itu kambuh lagi sekarang. Namun, pada umumnya Inflasi sebenarnya lebih berdampak secara short-run sedangkan dalam long-run inflasi dapat menyesuaikan dengan kondisi perekonomian yang ada. Masyarakat akan melakukan substitusi, sehingga terjadi penyesuaian alami dan harga akan kembali normal. Namun jika pemerintah tidak ikut campur tangan dalam mengatasi hal ini, maka perekonomian pun berkemungkinan untuk menjadi lebih bergejolak sehingga akibat inflasi pun menjadi lebih buruk dan pemerintah akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat.
Keputusan yang dibuat pemerintah terkadang kurang tepat dan seakan-akan hanya “mempercantik” suasana yang sebenarnya. Misal, dengan munculnya wacana untuk “membuang” instrumen harga cabai dari perhitungan inflasi. Dalam hal ini pemerintah hanya berusaha untuk tampak baik di mata masyarakat dengan mengutak-atik angka inflasi dan menghindari kenyataan yang sebenarnya. Pemerintah semestinya tidak perlu terlalu takut terhadap kenaikan harga cabai karena kondisinya tidak seperti beras, beras adalah political comodity dimana pemerintah bisa jatuh karena harga beras naik. Berbeda dengan cabai, implikasi kenaikan cabai tidak akan menjatuhkan pemerintah. Di samping itu, cabai merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, jika cabai dikeluarkan dari perhitungan inflasi seolah-olah cabai menjadi barang yang tidak penting.
Cuaca Ekstrem
Sementara harga komoditas dunia belum melambung secepat masa resesi global tahun 2008, inflasi di tahun 2010 sudah merangkak naik. Memang, dorongan inflasi saat ini lebih banyak disebabkan oleh kenaikan harga domestik yang sedikit kaitannya dengan pasar internasional. Kenaikan harga cabai yang sempat menyentuh Rp 120 ribu/kilogram adalah murni fenomena lokal. Anomali cuaca yang labil dengan musim hujan yang berkepanjangan, tanaman cabai banyak yang menjadi busuk. Sebagian petani tak bisa panen cabai walaupun sudah banyak pestisida yang diaplikasikan untuk mencegah busuk buah dan akar. Jumlah produksi cabai pun menurun cabai sehingga terjadi kelangkaan dan mendorong kenaikan harga di pasaran. Dengan musim hujan yang lebih banyak, mestinya produksi padi bertambah banyak karena lebih banyak ladang atau lahan tadah hujan yang dapat ditanami. Tetapi, justru yang terjadi sebaliknya, tanaman banyak yang rusak oleh hujan yang tak terperkirakan.
Sebetulnya, menurut para ahli klimatologi, potensi terjadinya cuaca ekstrem di wilayah khatulistiwa tidaklah separah di wilayah subtropis, seperti Amerika Utara, Cina, dan Eropa. Keadaan paling parah yang kita hadapi adalah perubahan cuaca dan musim yang kurang beraturan. Secara alamiah, kita memang surga dunia. Itu pun kalau kita pandai hidup di dalamnya. Yang perlu kita waspadai dengan penuh perhatian adalah justru dampak cuaca ekstrem global. Kalau kegagalan panen terjadi di Cina, Rusia, India, Amerika Utara, dan Eropa Barat secara serempak, dunia akan kekurangan pangan. Harga pangan dunia akan melonjak tak terperkirakan. Dalam situasi ini, semua negara akan mengutamakan keamanan pangan nasionalnya masing-masing. Tak ada yang mau mengekspor pangan. Hampir setiap negara bersiap-siap menghadapi hal ini. Itulah mengapa saat ini Bulog kesulitan mengimpor beras dari negara tetangga. Karena Bulog kekurangan stok, harga beras di pasar menjadi tak dapat dikendalikan. Bulog juga kesulitan mendapatkan stok dari pasar dalam negeri karena memang produksi sedang mengalami penurunan. Kegagalan dalam mengantisipasi kelangkaan harus dibayar mahal oleh konsumen.
Menggenjot Produksi
Sebagai negara tropis, sebetulnya cuaca ekstrem menyediakan kesempatan yang luar biasa bagi pembangunan pertanian. Harga dunia yang membaik adalah insentif yang paling sempurna bagi petani untuk meningkatkan produksi. Kita tidak hanya harus bersiap meningkatkan produksi padi, tetapi juga seluruh komoditas pangan dari mulai jagung, ubi jalar, ketela pohon, sampai ganyong. Berbagai sumber pati sangat potensial untuk menjadi pengganti gandum asalkan kita memiliki teknologi pengolahannya. Sementara ini tampaknya kita berkutat mengatasi masalah kekurangan produksi. Padahal, kesempatan di depan mata sangatlah memungkinkan untuk menggenjot pertanian kembali. Yang perlu dipersiapkan adalah melengkapi petani dengan pengetahuan yang cukup, sarana produksi yang memadai, teknologi produksi yang tepat, serta perlakuan pascapanen yang lebih baik. Kalau pemerintah tidak mampu memfasilitasi ini semua dan menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar, jangan harap kesempatan itu akan mampu dimanfaatkan. Selain itu pemerintah perlu memperbaiki sarana infrastruktur di daerah-daerah. Infrstruktur sebagai tumpuan dan basis interkonektivitas sehingga arus distribusi komoditas pun menjadi lebih lancar dan kondisi kelangkaan dapat lebih teratasi.
Dyah Pritadrajati
Staff Departemen Kajian Strategis
BEM FEB UGM
0 komentar:
Posting Komentar