Kalau begitu, seharusnya resistensi terhadap impor kecil, atau bahkan negatif. Kenyataaannya, rencana impor beras selalu mendapatkan perlawanan keras dari kelompok petani (atau yang mengatasnamakan petani), sebagian akademisi, banyak mahasiswa, LSM, media massa, serta anggota DPR. Pendekatan ekonomi klasik/neoklasik keseimbangan umum tidak bisa menjelaskan hal ini dengan baik. Menurut pendekatan ini, tambahan manfaat yang didapat oleh satu individu dari konsteks sosialnya akan sama dengan tambahan kontribusi yang diberikannya pada konteks sosial tersebut (Mas-Colell, 1995). Implikasi politisnya adalah ’satu orang, satu suara’. Akibatnya, keputusan sosial didikte oleh jumlah mayoritas. Jika benar bahwa di Indonesia lebih banyak konsumen (neto) daripada produsen (neto), maka impor beras (yang menekan harga) seharusnya secara sosial menguntungkan dan karenanya diterima oleh masyarakat. Tampaknya, tidak.
Yang mungkin dapat menjelaskan fenomena ini adalah logika aksi kolektif (Olson, 1965, 1971) dan/atau logika buru rente (Krueger, 1974). Menurut logika ini, besar kecilnya kelompok kepentingan bersifat endogen. Semakin besar sebuah kelompok, semakin kecil kemungkinan ia mencapai tujuan bersama. Untuk kasus beras di Indonesia, kelompok yang lebih besar adalah konsumen neto (petani gurem dan masyarakat umum). Sementara kelompok yang lebih kecil adalah mereka yang diuntungkan oleh harga beras yang tinggi (petani produsen, pemilik sawah, pedagang perantara, politisi, dan asosiasi-asosiasi tertentu – sebagian dari mereka ini adalah konsumen, namun secara neto diuntungkan oleh harga tinggi, misalnya dukungan politik dari mereka yang dibuat percaya bahwa harga tinggi adalah menguntungkan). Kedua kelompok peduli dengan ”barang publik” yang dalam konteks ini adalah harga beras (dengan pola berlawanan: kelompok besar menginginkan harga murah, kelompok kecil harga tinggi). Sementara itu, tujuan pemerintah adalah memaksimumkan dukungan politik agregat dari masyakarat. Dengan demikian, pemerintah akan bias kepada siapa di antara keduanya yang ’lebih kuat’, dalam arti lobi yang lebih terorganisir, fokus, jelas, dan lantang. Menurut model ini (Van Bastelaer, 1998), kemungkinan kontribusi individu di dalam kelompok berhubungan terbalik dengan ukuran kelompok. Akibatnya, insentif bagi aksi individual menurun. Kedua, aksi kolektif bisa berhasil jika didukung oleh kemampuan organisasi, komunikasi, dan koordinasi yang baik. Artinya, biaya transaksinya semakin tinggi jika kelompok semakin besar. Ketiga, biaya dari distorsi harga ditanggung oleh semua kelompok, di mana kelompok yang lebih kecil akan menanggung lebih sedikit. Keempat, mekanisme insentif akan lebih sulit berjalan di dalam kelompok yang besar ketimbang yang kecil. Singkatnya, lebih mudah bagi kelompok kecil (secara ukuran) untuk mempengaruhi kebijakan.
Tapi bagaimana dengan sebagian media massa, mahasiswa, serta akademisi yang juga anti impor? Bukankah mereka tidak punya kepentingan politis sebagai insentif memperjuangkan larangan impor? Dan bukankah, mereka adalah konsumen? Ada beberapa hipotesis yang tentu saja masih harus diuji. Pertama, kelompok kepentingan yang lebih kecil (secara ukuran) namun lebih efektif (dalam lobi) berhasil mengamplifikasi suaranya, sehingga dapat mempengaruhi mereka yang di marjin. Kedua, pihak-pihak terakhir ini memang sekedar percaya bahwa harga beras yang tinggi secara sosial lebih menguntungkan bagi Indonesia. Dan kepercayaan ini bisa datang dari dua hal: ideologi atau sekedar ketidaktahuan. ***
0 komentar:
Posting Komentar