Masalah pengangguran adalah problema besar negeri ini. Dan memang tak salah. Tabel disebelah kiri menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia memang relatif besar. Benar, prosentase pengangguran terbuka sudah mulai menurun dari 10.4% (Feburari 2006) menjadi 9.75% (Februari 2007). Artinya mulai ada perbaikan, namun perlu dicatat angka ini masih relatif tinggi.
Hal lain penting lainnya adalah adanya perbedaan pola penganggur terbuka di Indonesia dibanding di negara-negara maju yang memiliki tunjangan sosial. Di negara seperti Australia misalnya, ada tunjangan sosial bagi penganggur dalam jumlah tertentu. Implikasinya: mereka yang menganggur masih bisa hidup --walau tentunya dengan sangat pas-pasan. Para penganggur ini hanya akan bekerja jika upah dari pekerjaan yang mereka lakukan lebih tinggi dari tunjangan pengangguran. Mudahnya, apa gunanya bekerja kalau upahnya lebih rendah dibanding tunjangan mereka sebagai penganggur? Artinya tunjangan pengangguran disini merupakan reservation wages mereka.
Di Indonesia, kita tidak mengenal tunjangan seperti ini. Akibatnya hanya mereka yang relatif kaya yang "mampu menganggur". Pengangguran adalah barang mewah. Seorang tamatan SMA atau sarjana ,yang masih tinggal dengan orang tuannya, yang masih memiliki non-labour income, memiliki kemewahan untuk menganggur. Alasannya ada pendapatan dari orang tua atau tabungan yang memungkinkan mereka menganggur. Kelompok ini memiliki kemewahan untuk memilih pekerjaan berdasarkan upah atau kondisi kerja yang mereka sukai. Jika belum cocok, toh tak apa jadi penganggur dulu.
Namun, tak demikian halnya mereka yang miskin. Mereka yang miskin, tak punya kemewahan untuk menganggur. Jika anda miskin, tak ada tabungan, tak ada orang tua yang dapat mendukung, maka anda terpaksa bekerja apa saja. Too poor to be unemployed. Tengok saja kasus pekerja anak. Pekerja anak adalah ciri dari negara miskin, dimana kemiskinan kemudian memaksa orang tua untuk mempekerjakan anaknya.
Lalu bagaiman kita menginterpretasikan angka pengangguran terbuka di Indonesia?
Dengan tidak adanya tunjangan penganggur atau tunjangan sosial, tingkat pengangguran terbuka akan mencerminkan tingkat mereka "yang mampu untuk menganggur".
Artinya mereka yang menganggur ada kemungkinan relatif berpendidikan, kaya dan muda (SMERU 2007)
Gambar disebelah kiri mengkonfimasi argumen ini: sebagian besar penganggur di Indonesia memiliki tingkat pendidikan tamat SMA atau lebih tinggi. Prosentase penganggur yang memiliki pendidikan tamat SD atau lebih rendah jauh lebih kecil dibanding tamatan SMP ke atas atau SMA keatas.
Dan untuk mengatasi pengangguran kita membuat program pembangunan infrastruktur. Logianya: resep Keynesian ini akan menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang. Dan pengangguran pun berkurang. Sayangnya kita tak boleh terlalu cepat menyimpulkan
Pertanyannya: apakah program pembangunan infrastruktur cocok dengan karakteristik penganggur seperti ini? Dapatkah kita mengurangi pengangguran melalui program pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan jalan atau infrastruktur pedesaan? Sudah menjadi mantera, yang dipercaya mayoritas, bahwa program infrastruktur akan mampu mengatasi pengangguran. Terus terang saya tak sepenuhnya yakin akan mantera ini.
Dengan struktur penganggur yang relatif terdidik, muda, masih tinggal bersama orang tua seperti yang ditunjukkan gambar diatas dan juga SMERU (2007), sulit untuk diharapkan mayoritas kelompok ini bersedia bekerja di dalam program infrastruktur sebagai buruh konstruksi. Jenis pekerjaan buruh konstruksi seperti itu akan cocok dengan mereka yang tingkat pendidikannya SD atau lebih rendah. Mereka yang memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi akan sangat enggan untuk masuk ke pasar kerja seperti ini. Kecuali jika mereka telah menjadi begitu miskin, dan tak lagi memiliki non-labour income. Artinya, argumen bahwa pembangunan infrastruktur akan menyelesaikan masalah pengangguran, tampaknya hanya benar sebagian. Ia hanya bisa menyediakan lapangan kerja bagi sebagian kelompok penganggur (dengan pendidikan SD kebawah). Proyek infrastruktur mungkin akan bermanfaat untuk menyediakan lapangan kerja bagi mereka yang miskin dan berpendidikan rendah. Program pembangunan infrastruktur mungkin akan menolong program pengentasan kemiskinan, tapi tak sepenuhnya cocok bagi penciptaan lapangan kerja untuk mereka yang berpendidikan, misalnya SMA keatas, yang merupakan porsi terbesar dari kelompok penganggur ini.
Mereka yang berpendidikan hanya akan bersedia bekerja pada sektor formal. Dan penyerapan pekerja ke sektor formal hanya akan terjadi jika ekonomi di sektor formal tumbuh cepat dan kekakuan pasar tenaga kerja yang mencegah masuknya orang ke sektor formal diatasi. Bukan hanya dengan sekedar menyediakan lapangan kerja bagi buruh konstruksi melalui program infrastruktur --seperti yang kita percaya selama ini.
0 komentar:
Posting Komentar