David Friedman, mungkin tak dikenal luas dinegeri kita. Tulisannya dicaci dibanyak tempat dibelahan dunia. Sebabnya sederhana : ia pengajur libertarian yang paling radikal. Bukunya, yang kemudian mengundang caci maki dari mereka yang tak setuju dengan pandangan libertarian, diberi judul : The Machinery of Freedom :Guide to a Radical Capitalism, yang ditulis di tahun 1970-an.
Tentu, kita bebas untuk tak setuju pada David Friedman –anak dari pemenang nobel Milton Friedman ini. Idenya mungkin dianggap terlalu liar bagi negeri ini – yang sekian tahun hidup dalam sebuah ‘konstruksi sosial’ tentang bagaimana masyarakat harus bersikap. Namun demikian, ada satu risalah David Friedman didalam buku itu yang begitu memikat. Judulnya : Love is not enough.
Intinya, : ada tiga cara yang bisa dilakukan agar orang lain bersedia untuk melakukan suatu aktifitas yang diinginkan oleh orang lain. Cara pertama, adalah cinta. Bila seseorang mencintai orang lain dengan sepenuh hati, maka ia akan melakukan permintaan orang itu dengan sukarela. Maka dengan cinta, kita bisa mengharapkan adanya voluntary action. Cinta, mungkin adalah terminologi yang terlalu ketat untuk menjelaskan kesukarelaan. Bisa saja orang melakukan sesuatu secara sukarela karena ada tujuan yang sama. Seseorang aktif dalam kampanye hidup sehat, bukan karena ia sekedar cinta hidup sehat, tetapi ia mungkin menganggap bahwa hidup sehat itu baik baginya. Namun sayangnya, didalam realitas kita tak bisa mengharapkan semua orang mencintai kita. Tak ada orang yang bisa dicintai oleh semua orang, dan kemudian orang lain dengan sukarela melakukan apa yang diinginkan orang tersebut, terutama untuk tujuan-tujuang yang rumit. Karena itu, love is not enough.
Alternatif kedua : paksaan atau coercion. Dengan paksaan kita bisa saja membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan. Dengan coercion, kita menerapkan sanksi, hukuman dan juga tindak represi. Pilihan ini kerap efektif untuk membuat orang lain menuruti atau melakukan apa yang kita inginkan. Tetapi, sampai batas tertentu, paksaan akhirnya memiliki limitasinya. Ada biaya yang sangat besar untuk ini, pengawasan dan pelaksanaan hukum. Tindakan kekerasan tidak bisa berjalan terus menerus dan berkesinambungan. Sampai batas tertentu, paksaan atau hukum adalah sebuah syarat perlu. Mekanisme pasar pun mensyaratkan hukum. Bila tidak, bagaimana sebuah kontrak dapat dijaga, bagaimana property right dapat dijamin. Bagaimana keamanan dapat dipertahankan. Tanpa hukum akan terjadi chaos. Namun paksaan yang berlebihan akan menimbulkan resistensi yang akhirnya akan bersifat kontra produktif. Kita bisa melihat bagaimana rezim diktator di banyak negara, termasuk Indonesia, akhirnya digulingkan. Kita melihat bagaimana koersi dan represi di terjadi di Myanmar. Dan kita juga mencatat, bagaimana biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat dari sebuah negeri yang tertindas. Karena itu Friedman mengatakan ada limitasi dari paksaan.
Dengan kendala itu, ia masuk kepada alternatif ketiga : trade. Didalam trade, terjadi pertukaran. Seseorang akan bersedia melakukan aktifitas bagi kepentingan orang lain, jika kepentingannya juga diakomodasi oleh orang itu. Dengan kata lain, disini terjadi pertukaran. quid pro quo, atau ini untuk itu. Didalam konteks ini ketika seorang agen merasa bahwa dengan melakukan sesuatu hal ia akan menerima manfaat dari tindakan itu, maka keputusannya untuk melakukan suatu tindakan akan bersifat sukarela. Selama kepentingan-kepentingan itu berinteraksi, dan masing-masing pihak melihat keuntungannya melakukan transaksi satu dengan yang lain, maka selama itu pula proses interaksi sosial berjalan.
Dari kacamata inilah relasi negara dan masyarakat juga harus dipandang.Pertanyaannya adalah : apakah pola interaksi antara negara dan masyarakat memang berjalan dalam relasi saling menguntungkan. Artinya, apakah memang ada insentif bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu demi kepentingan negara dan sebaliknya. Jika ya, maka kita bisa mengharapakan proses interaksi negara dan masyarakat berjalan menurut kaidah saling menguntungkan. Sayangnya, kita kerap punya gambaran yang lain pada negeri ini. Kita bisa melihat bagaimana tuntutan negara pada masyarakat tidak bisa dipenuhi dan sebaliknya. Kemudian ketika terjadi konflik yang tajam, kita menyimpulkan bahwa tidak ada lagi kecintaan pada bangsa ini ? Love is not enough. Soalnya memang tidak cukup cinta kepada bangsa dan tanah air. Tetapi harus ada sesuatu hal yang bisa diberikan oleh negara dan sebaliknya. Dengan kata lain, ada insentif bagi orang untuk berperilaku cooperative .
Jika kemudian insentif ini tidak ada, maka seperti yang dikatakan David Friedman, proses interaksi sosial dan ekonomi akan terganggu. Dan pemerintah kemudian tak bisa lagi menyalahkan masyarakat tentang tidak adanya kecintaan pada negara. Love is not enough begitu tulis David Friedman. David Friedman terkesan terlalu liar – mungkin bagi banyak orang dianggap tak cocok dengan kultur kita. Tapi pesannya yang ditulis tahun 1970 an terasa begitu penting dihari ini. Setuju atau tidak setuju? Anda bebas untuk itu, sebebas Friedman melihat persoalan ini.
0 komentar:
Posting Komentar