Sebagian dari kita yang membaca Les Justes, drama yang ditulis Albert Camus tahun 1959, mungkin teringat ucapan Stepan Fedorov -wajah telanjang dari terorisme atau kekerasan-. Saat Yanek tak jadi melemparkan bom kepada si bangsawan karena ada dua anak kecil dalam kereta si bangsawan, Stepan meradang:
“Tidakkah kau mengerti, karena Yanek tidak membunuh dua anak kecil itu, maka ribuan anak-anak Russia akan mati dimasa depan, karena kelaparan”Menyedihkan, terorisme atau kekerasan selalu memiliki filsafatnya sendiri. Kadang ideologi, kadang ekonomi.
Dan hari-hari ini di Myanmar kita melihat bagaimana opresi dan kekerasan dilakukan oleh rezim otoritarian terhadap gerakan pro demokrasi.
Otoritarian, sebenarnya adalah sebuah subdisi bagi kekerasan. Dalam sistem otoritarian, harga dari kekerasan begitu murah karena tak ada check and balances . Untuk apa repot repot dengan peradilan, dengan hukum, jika masalah dapat diselesaikan dengan efisien melalui cara represi. Paling tidak begitu rasionalitas dari sebuah sistem otoritarian seperti di Myanmar.
Mungkin menarik untuk melihat bagimana otoritarian merupakan sebuah subsidi bagi kekerasan. Bagaimana kita menjelaskan hal ini?
Bayangkan sebuah model maksimisasi kepuasan sederhana. Tentu untuk abstraksi yang lebih tepat, analisis ini harus dikembangkan lebih jauh. Namun setidaknya ia mampu menjelaskan mengapa permintaan terhadapa kekerasan akan selalu meningkat dalam sistem otoritarian.
Anggaplah bahwa junta militer Myanmar ingin memaksimumkan aspirasi politiknya dengan dua kombinasi pilihan: kekerasan (violence) atau tanpa kekerasan (non violence). Jika kita menganggap bahwa 2 pilihan itu adalah barang normal yang bisa dikonsumsi, maka pilihan atas kedua tindakan tersebut akan sangat tergantung kepada harga dari masing-masing pilihan.
Titik keseimbangan awal terjadi di titik A, dimana konsumsi violence adalah sebesar V1 dan non-violence adalah NV1. Dalam sistem otoritarian, harga violence menjadi relatif lebih murah, hal ini tercermin dari bergesernya budget line. Kondisi keseimbangan baru terjadi pada titik C, dimana permintaan kekerasan menjadi lebih banyak (meningkat dari V1 ke V3) dan konsumsi non-violenc menurun dari NV1 ke NV3. Efek substitusi akibat perubahan harga ini dicerminkan dari perpindahan A ke B.
Analisis sederhana ini menunjukkan jika harga dari tindak violence itu menjadi murah secara relatif terhadap harga tindakan non violence, maka konsumen akan mengkonsumsi tindak kekerasan. Dan begitu pula sebaliknya. Lalu apa arti permainan analisis diatas ? Sebenarnya analisis ini membawa kita untuk mengupas masalah ini secara mendasar , karena harga dari kekerasan sebenarnya mencerminkan pengorbanan yang harus diberikan jika pilihan itu diambil. Dengan kata lain ketika institusi politik menjadi begitu tak berdayanya dan mandek, serta tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi begitu murahnya- dalam arti dapat terjadi dengan leluasa dilakukan oleh negara-- maka “permintaan akan violence” akan meningkat. Atau sebaliknya jika jalan non violence dapat memberikan hasil yang lebih baik atau hanya menuntut pengorbanan yang relatif kecil dibandingkan cara-cara violence, maka tindakan non violence akan menjadi pilihan yang lebih menarik. Disinilah kita berbicara tentang pentingnya aspek pelembagaan politik dan pentingnya penghargaan terhadap hak-hak manusia. Dan disini pula kita melihat bahwa masalah kekerasan , baik yang dilakukan oleh negara maupun masyarakat adalah resultante dari pelembagaan politik. Bila kekerasan masih kerap terjadi, maka hal ini sebenarnya merefleksikan bagaimana masih lemahnya dan terkebelakangnya aspek institusi politik yang menunjang demokratisasi. Semakin otoriter sistem, maka semakin mahal harga non violence atau semakin murah harga violence. Sehingga secara tidak langsung sistem politik yang otoriter sebenarnya adalah sebuah “subsidi bagi pilihan kekerasan”. Itu sebabnya, sikap represif junta militer Myanmar adalah resultante dari pilihan rasional sistem otoritarian.
0 komentar:
Posting Komentar