Oleh: Luluk Permata Sari (Kajian Strategis BEM FEB UGM)
Struktur APBN P 2012 menunjukkan adanya indikasi tidak sehat setelah sebagian besar dari alokasinya digunakan untuk sektor yang kurang produktif, yaitu belanja pegawai dan subsidi energi. Solusi atas kedua permasalahan tersebut sebenarnya telah banyak dihembuskan, namun agaknya permasalahan tentang energi perlu dicermati lebih mendalam, mengingat Indonesia merupakan negara yang kaya sumber energi.
Subsidi energi untuk BBM dan listrik mengambil 13,1% porsi dari APBN-P 2012, atau sekitar Rp202 triliun. Jumlah ini diprediksikan akan terus meningkat setelah melihat kenaikan harga minyak dunia yang belum berujung, menyebabkan tingkat disparitas antara harga minyak mentah dunia dan harga ICP di anggaran melebar. Sekedar informasi, harga minyak dunia saat ini mencapai USD 119/barel , melesat jauh dari perkiraan APBN sebesar USD105 /barel.
Peningkatan harga tersebut pada akhirnya membuat waswas para pembuat kebijakan. Kenaikan ini berkemungkinan besar dapat memacu pertumbuhan defisit dan imbasnya akan memunculkan utang-utang baru. Solusi yang baru digencarkan pemerintah untuk menutup kemungkinan defisit tambahan ini adalah dengan melakukan peningkatan tarif dasar listrik (TDL), yang notabene menggunakan BBM sebagai sumber energi utama, sebesar 15%. Kenaikan tarif ini dipercaya dapat menghemat subsidi sebesar Rp 11,8 triliun. Mengikuti rencana ini, rentetan protes pun bergulir dari berbagai pihak. Mereka, pihak pro subsidi, mengatakan bahwa memberikan subsidi merupakan kewajiban negara yang telah tercantum di UUD 1945, tepatnya di pasal 33 dan 34.
COST BENEFIT SUBSIDI ENERGI
Walaupun energi bukanlah beban utama APBN-P, sektor ini memiliki peluang besar untuk dikaji kebermanfaatannya bila dihubungkan dengan nilai subsidi yang cukup besar, sehingga pengambilan kebijakan benar-benar didasarkan pada cost-benefit-nya.
Walaupun energi bukanlah beban utama APBN-P, sektor ini memiliki peluang besar untuk dikaji kebermanfaatannya bila dihubungkan dengan nilai subsidi yang cukup besar, sehingga pengambilan kebijakan benar-benar didasarkan pada cost-benefit-nya.
Harga BBM yang terus ditekan rendah karena disubsidi, cenderung ‘memanjakan’ masyarakat untuk menggunakan kendaraan pribadi. Hal ini kemudian diperparah dengan adanya kredit kendaraan yang semakin mudah untuk digapai, membuat ledakan konsumsi bahan bakar minyak tidak terelakkan lagi. Diperkirakan, konsumsi BBM akan melonjak hingga 46 juta kiloliter pada tahun 2013 dari sebelumnya 40 juta kiloliter pada tahun 2012. Kenaikan ini pastinya tidak terlepas dari jumlah kendaraan pribadi yang semakin melonjak.
Bila tahun depan belum ada kebijakan baru terkait subsidi energi, maka Bank Dunia memperkirakan defisit subsidi BBM mampu menembus 70% dari subsidi energi di RAPBN 2013. Peningkatan ini secara pasti akan diikuti dengan kenaikan defisit APBN, yang diperkirakan muncul di sekitar angka 2,4 % atau sekitar Rp202 T (dari sebelumnya 2,23% atau Rp194,5 triliun di 2012). Jumlah defisit sebesar ini turut berkontribusi dalam pembatasan ruang gerak fiskal yang dapat dilakukan pemerintah, terutama untuk menangani sektor-sektor yang lebih produktif., seperti investasi publik pada pembangunan infrastruktur. Saat tingkat pertumbuhan Indonesia dapat dicapai di atas digit 6%, pembangunan infrastruktur penunjuang belum dilakukan secara berkesinamabungan. Dikhawatirkan, hal ini dapat memacu overheating di dalam perekonomian yang pada akhirnya dapat menyeret tingkat pertumbuhan ekonomi ke level bawah, seperti yang sedang terjadi pada perekonomian India saat ini. Setidaknya, untuk menambah ruang gerak fiskal, subsidi energi, BBM khususnya, perlu diturunkan sebesar 30%.
Bila dilihat dari sasarannya, subsidi energi terlihat sudah bergeser jauh dari tujuan awal pemberian subsidi. Awalnya, subsidi energi diberikan atas dasar tujuan mulia, yaitu membantu rakyat miskin terhadap perubahan harga minyak dunia. Nyatanya, subsidi BBM hanya dinikmati kurang dari 10 % masyarakat miskin. Sisanya? Bisa ditebak sendiri. Melihat ironi seperti ini, subsidi energi tidak memiliki alasan yang kuat untuk terus dipertahankan dengan formatnya yang sama. Agar dapat digunakan secara efisien dan efektif, perlu dilakukan restrukturisasi subsidi, seperti yang dicanangkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Hatta Rajasa, beberapa waktu yang lalu. Adanya restrukturisasi dimaksudkan agar pengadaan subsidi dilakukan secara tepat sasaran. Untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan ketegasan dari pihak pemerintah serta keberanian untuk mengambil keputusan tanpa banyak intervensi dari pihak luar.
Solusi lain untuk mengatasi permasalahan subsidi ini adalah dengan memanfaatkan sumber-sumber energi terbarukan lainnya. Indonesia bukanlah negara yang miskin sumber daya, tapi harus diakui, Indonesia salah satu negara yang belum bisa memanfaatkan kekayaannya secara maksimal. Energi yang terpaku pada sumber BBM, pada akhirnya membuat nasib negeri ini terombang-ambing pada pergerakan harga minyak dunia. Bila saja energi-energi alternatif seperti panas bumi, energi matahari, ataupun angin dapat dikelola secara maksimal, bukan tidak mungkin kesejahteraan dapat terus meningkat, tanpa harus membebani APBN dengan defisit yang membengkak setiap tahunnya.
0 komentar:
Posting Komentar