Pengaruh Konsolidasi Perbankan
Terhadap Kinerja Sektor Riil
Departement Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran
Perbankan merupkan sebuah industri yang memiliki karakteristik khusus. Kekhususannya industri perbankan dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, bank merupakan lembaga yang berfungsi sebagai financial intermediary, dimana karakteristik bisnis perbankan merupakan bisnis intermediasi. Hal ini berbeda dengan industri manufaktur atau industri jasa lainnya. Bank memiliki kegiatan usaha pokok menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat atau menyalurkan dana dari pihak surplus kepada pihak defisit.
Kedua, karakteristik struktur keuangan bank juga berbeda dengan industri lainnya. Sisi aset bank sebagian besar terdiri dari piutang kepada kreditur yang berjangka panjang, dan sisi kewajiban berupa deposit (tabungan, deposito, dan lainnya) dari para nasabah yang berjangka pendek. Mismatch aset dan kewajiban menyebabkan bank harus mampu melakukan manajemen risiko dengan lebih baik dibandingkan perusahaan manufaktur atau jasa lainnya. Dalam menjalankan perannya, perbankan Indonesia harus selalu berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian (prudential banking).
Ketiga, sisi kewajiban bank melibatkan sangat banyak pihak (nasabah), sehingga bila sisi kewajiban tidak mampu terbayar maka akan berefek sangat luas pada perekonomian. Kita mengenal istilah bank run, yang menunjukan adanya penarikan besar-besaran dana para nasabah yang selanjutnya dapat menjadi bank panic (menimpa tidak hanya bank bersangkutan, namun juga bank yang masih sehat) dan memberikan efek berantai (contagion effect) pada perekonomian. Ketiga hal inilah yang antara lain mendorong industri perbankan harus diawasi dengan baik oleh Bank Sentral, dalam hal ini Bank Indonesia.
Konsolidasi Perbankan Indonesia
Jumlah bank yang banyak berpotensi membuat industri perbankan tidak efisien. Selain itu, jumlah bank yang banyak juga mempersulit pengawasan oleh Bank Indonesia (BI). Untuk itu, Bank Indonesia amat fokus terhadap permasalahan ini. Berbagai aturan telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam rangka untuk mendorong konsolidasi perbankan untuk menciptakan industri perbankan yang lebih sehat, kokoh, dan efisien.
Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi perbankan diharapkan terjadi peningkatan economic of scale dari bank-bank di Indonesia dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, khususnya melalui pengawasan bank secara terkonsolidasi.
Proses konsolidasi perbankan yang tengah berlangsung di Indonesia tidak hanya mengenai akuisisi dan merger di antara bank-bank kecil, tetapi juga bank-bank papan atas. Tak hanya sekadar ingin bertumbuh, bank-bank besar memanfaatkan momentum konsolidasi untuk meraih posisi baru dalam peta persaingan antar bank di masa mendatang. Tak ayal, akhir-akhir ini bank-bank besar banyak memburu bank-bank kecil yang memiliki kinerja yang sehat untuk dilakukan akuisisi. Akuisisi menjadi penting karena seluruh bank papan atas kini tengah mereposisi peran mereka dalam peta persaingan bisnis perbankan di Tanah Air. Bank yang tak melakukan akuisisi dipastikan akan menurun daya saingnya. Beberapa bank bahkan menjadikan konsolidasi sebagai momentum untuk melakukan transformasi bisnis menjadi bank dengan daya saing lebih tinggi.
Aturan yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang telah mendorong bank saling berkonsolidasi. Arsitektur Perbankan Indonesia (API) meupakan program untuk mewujudkan perbankan Indonesia yang kokoh, sehat, dan efisien dalam beberapa tahun ke depan. Dalam API, Bank Indonesia (BI) membagi bank dalam empat kategori. Pertama, bank internasional dengan modal di atas Rp 50 triliun. Kedua, bank nasional dengan modal antara Rp 10 triliun-Rp 50 triliun. Ketiga, bank fokus dengan modal Rp 100 miliar-Rp 10 triliun. Keempat, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas dengan modal dibawah Rp 100 miliar. Untuk memicu terjadinya konsolidasi, Bank Indonesia mewajibkan bank memiliki modal minimum Rp 100 miliar pada akhir 2010 nanti. Faktor inilah yang memicu para pemilik bank kecil menawarkan sahamnya kepada investor baru yang lebih kuat.
Selain itu, langkah-langkah konsolidasi perbankan dilakukan antara lain melalui penataan kembali struktur kepemilikan pada perbankan Indonesia, khususnya melalui penerapan kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy/SPP), dimana kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/16/PBI/2006. Pada prinsipnya kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia diberlakukan untuk kepemilikan saham bank oleh pemegang saham pengendali yang diperoleh setelah berlakunya ketentuan ini. Namun demikian untuk mendukung tercapainya tujuan dari kebijakan tersebut, maka pemegang saham pengendali bank yang telah mengendalikan lebih dari satu bank umum pada saat mulai berlakunya ketentuan ini juga wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sahamnya pada bank-bank yang dikendalikannya.
Untuk melakukan penyesuaian struktur kepemilikan saham bank dimaksud pemegang saham pengendali dapat memilih dari beberapa alternatif cara penyesuaian yang disediakan oleh ketentuan ini. Beberapa alternatif cara penyesuaian tersebut diberikan dengan mengacu pada tujuan kebijakan kepemilikan tunggal, yakni konsolidasi perbankan dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, dengan tetap memperhatikan kepentingan para pemegang saham pengendali yang sudah menanamkan modalnya di perbankan Indonesia. Alternatif penyesuaian itu yaitu:
mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi pemegang saham pengendali pada satu Bank; atau
melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-bank yang dikendalikannya; atau
membentuk perusahaan induk di bidang perbankan (Bank Holding Company), dengan cara :
mendirikan badan hukum baru sebagai Bank Holding Company;
atau menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai Bank Holding Company.
Penerapan kebijakan kepemilikan tunggal, termasuk kewajiban penyesuaian struktur kepemilikan bagi pemegang saham pengendali yang telah mengendalikan lebih dari satu bank, memberikan pengecualian bagi kantor cabang bank asing dan bank campuran, mengingat Indonesia terikat pada komitmen yang telah diberikan dalam perjanjian putaran Uruguay pada forum World Trade Organization (WTO) untuk tetap menghargai kehadiran pihak asing dalam bentuk kantor cabang bank asing dan bank campuran (Joint Venture Bank). Demikian juga pengecualian diberikan bagi pemegang saham pengendali yang mengendalikan dua bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip yang berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinisp syariah, mengingat berdasarkan karakteristiknya, kedua jenis bank dimaksud lebih tepat melakukan kegiatan usaha sebagai badan usaha yang terpisah.
Lalu apa dampak yang dikeluarkan kebijakan ini terhadap kinerja sektor riil?
Perekonomian Indonesia digerakan oleh 2 motor perekonomian yakni sektor keuangan dan sektor riil. Tetapi beberapa tahun belakangan, terutama setalah krisis ekonomi menerpa bangsa kita, perekonomian Indonesia mengalami sebuah ketimpangan, dimana sektor keuangan berkembang dengan amat pesat sedangkan sektor riil berkembang dengan lambat.
Perbaikan makroekonomi diakui memang telah dicapai oleh pemerintah. Lihat saja indikator-indikator perekonomian seperti inflasi, tingkat suku bunga, kurs rupiah, cadangan devisa serta tak ketinggalan indeks yang ada di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang terus membuat rekor baru. Semua angka-angka itu memperlihatkan adanya kondisi ekonomi yang membaik dan stabil. Namun jika kita telisik lebih jeli, ternyata kondisi makro tersebut bukanlah cerminan dari sektor riil ditingkatan mikro. Banyak kalangan mengeluhkan keengganan perbankan untuk menyalurkan kredit.
Keadaan ini memang cukup menyedihkan mengingat perbankan saat ini memiliki dana yang melimpah dilihat dari dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dikumpulkan sekitar Rp 1.453,656 triliun sampai November 2007. Namun penyaluran kreditnya baru mencapai Rp 953,259 triliun. Walaupun loan to deposit ratio (LDR) terdorong sedikit mencapai 65,58 persen, namun jumlah ini dirasa masih jauh dari porsi idealnya. Alih-alih meningkatkan penyaluran kreditnya, bank-bank malah lebih senang menempatkan dananya ke instrument Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Tidak mengherankan kalau jumlah SBI terus meningkat. Dana yang dianggap oleh bank sebagai idle money ini mengisi instrument SBI hingga mencapai Rp312,8 triliun per 17 Januari 2008. Jumlah ini disinyalir sudah mendekati jumlah uang yang beredar (base money) di masyarakat. Ekses likuiditas yang terjadi itu dianggap merupakan imbas dari iklim yang kurang bersahabat bagi sektor riil dan perbankan. Rendahnya penyerapan dana oleh sektor riil tersebut disebabkan beberapa indikator yakni daya beli masyarakat masih lemah serta hambatan sektor riil berupa pasar tidak sempurna, infrastruktur lemah, birokrasi, kepastian hukum, otonomi daerah dan ketenagakerjaan.
Bank Indonesia selaku otoritas moneter dituntut mendorong industri perbankan agar proaktif dalam menggerakan perekonomian, terutama di daerah yang memiliki potensi yang amat besar tetapi belum tergarap optimal. Selama ini, perbankan Indonesia cenderung hanya ingin beroperasi di daerah yang telah berkembang. Bank jarang sekali menjadi lokomotif pembangunan di suatu daerah. Data membuktikan, 50 persen dari total kredit nasional yang besarnya mencapai Rp 953,259 triliun tersalurkan di DKI Jakarta, sedangkan 50 persen sisanya terbagi di 33 provinsi. Situasi ini jelas menjadi salah satu penyebab buruknya pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi pemerataan dan penyerapan tenaga kerja.
Kebijakan konsolidasi perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, dibuat untuk menciptakan struktur perbankan yang sehat, kokoh, serta efisien. Melalui konsolidasi ini pula sebuah bank dapat meningkatkan daya saingnya. Merger atau akuisisi yang menjadi salah satu pilihan dalam melaksanakan kebijakan ini, akan meningkatkan aset dari bank tersebut yang melakukan hal ini. Dengan demikian, daya saing bank akan meningkat dalam memperebutkan dana pihak ketiga (DPK) dari para nasabah. Single presence policy/SPP merupakan salah satu aturan yang dibuat untuk mendorong perbankan melakukan konsolidasi. Bank-bank yang terkena aturan ini kebanyakan adalah bank-bank besar di Indonesia yang memiliki aset dan modal yang kuat juga.
Berharap dari dikelurkan kebijakan dan aturan ini, sektor riil ingin mendapakan perhatian lebih dari dunia perbankan. Dengan bersatunya bank-bank besar yang menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar perbankan umum di Indonesia, nilai dari capital adequacy ratio (CAR) dan aset yang dimiliki sebuah bank akan membengkak sehingga keberanian perbankan dalam menyalurkan kredit akan lebih besar lagi. Sehingga fungsi dari sebuah bank yakni sebagai lembaga intermediasi dapat berjalan dengan lebih optimal dan tentunya kinerja dari sektor riil akan lebih baik lagi.
Selain itu, Bank Indonesia akan mengeluarkan paket program kebijakan untuk mendorong terciptanya Banks Leading the Development. Pertama, mewajibkan bank membina pengusaha produktif di suatu wilayah yang progresif ataupun sektor tertentu yang selama ini memiliki potensi, tetapi belum dikembangkan. Kedua, menurunkan aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR) untuk kredit usaha rakyat (KUR) dari 85 persen menjadi 30 persen. Jadi, dengan modal yang sama, bank memiliki kemampuan menyalurkan kreditnya lebih besar lagi. Ketiga, mengarahkan penyaluran kredit bank pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah produktif dalam suatu porsi tertentu terhadap total kedit. Keempat, mewajibkan bank menerapkan program tanggung jawab sosial dalam suatu rasio yang akan disepakati.
Dalam hal penurunan bobot resiko kredit dari 85 persen menjadi 30 persen saat ini, tentunya hal ini akan amat menguntungkan bagi sektor riil terutama para pengusaha mikro, kecil, dan menengah, apalagi bila aturan kepemilikan tunggal perbankan telah berjalan. Dengan berbarengannya diberlakukannya aturan ini, bank akan mengalami peningkatan nilai dari capital adequacy ratio/CAR karena melakukan konsolidasi dan dengan diturunkannya nilai ATMR menjadi 30 persen, bank akan dapat melakukan penyaluran kredit hampir dua kali lipat dari sebelumnya. ATMR merupakan nilai eksposur kredit dikalikan bobt resiko. ATMR digunakan dalam perhitungan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR).
Misal, bank dengan modal Rp 85 miliar diperkenankan memiliki ATMR maksimal Rp 850 miliar agar CAR tetap sebesar 10 persen. Hal itu dengan asumsi tidak ada resiko-resiko lain. Jika bobot resiko setiap kreditnya sebesar 100 persen, total kredit yang dapat tersalurkan adalah sebesar ATMR, yaitu Rp 850 miliar. Akan tetapi, bila bobot dari resiko dari keseluruhan kreditnya sebesar 50 persen, bank tersebut dapat menyalurkan kreditnya hingga dua kali lipat, yakni sebesar Rp 1,7 triliun.
Kebijakan kepemilikan tunggal perbankan akan meningkatkan kesehatan serta kecukupan modal dunia perbankan, sedangkan penurunan nilai ATMR akan membantu meningkatkan penyaluran kredit. Kita tunggu saja bagaimana selanjutnya dengan diberlakukannya aturan-aturan tersebut dengan kondisi sektor riil kedepannya.
Terhadap Kinerja Sektor Riil
Departement Kajian Strategis
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran
Perbankan merupkan sebuah industri yang memiliki karakteristik khusus. Kekhususannya industri perbankan dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, bank merupakan lembaga yang berfungsi sebagai financial intermediary, dimana karakteristik bisnis perbankan merupakan bisnis intermediasi. Hal ini berbeda dengan industri manufaktur atau industri jasa lainnya. Bank memiliki kegiatan usaha pokok menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat atau menyalurkan dana dari pihak surplus kepada pihak defisit.
Kedua, karakteristik struktur keuangan bank juga berbeda dengan industri lainnya. Sisi aset bank sebagian besar terdiri dari piutang kepada kreditur yang berjangka panjang, dan sisi kewajiban berupa deposit (tabungan, deposito, dan lainnya) dari para nasabah yang berjangka pendek. Mismatch aset dan kewajiban menyebabkan bank harus mampu melakukan manajemen risiko dengan lebih baik dibandingkan perusahaan manufaktur atau jasa lainnya. Dalam menjalankan perannya, perbankan Indonesia harus selalu berpegang teguh pada prinsip kehati-hatian (prudential banking).
Ketiga, sisi kewajiban bank melibatkan sangat banyak pihak (nasabah), sehingga bila sisi kewajiban tidak mampu terbayar maka akan berefek sangat luas pada perekonomian. Kita mengenal istilah bank run, yang menunjukan adanya penarikan besar-besaran dana para nasabah yang selanjutnya dapat menjadi bank panic (menimpa tidak hanya bank bersangkutan, namun juga bank yang masih sehat) dan memberikan efek berantai (contagion effect) pada perekonomian. Ketiga hal inilah yang antara lain mendorong industri perbankan harus diawasi dengan baik oleh Bank Sentral, dalam hal ini Bank Indonesia.
Konsolidasi Perbankan Indonesia
Jumlah bank yang banyak berpotensi membuat industri perbankan tidak efisien. Selain itu, jumlah bank yang banyak juga mempersulit pengawasan oleh Bank Indonesia (BI). Untuk itu, Bank Indonesia amat fokus terhadap permasalahan ini. Berbagai aturan telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam rangka untuk mendorong konsolidasi perbankan untuk menciptakan industri perbankan yang lebih sehat, kokoh, dan efisien.
Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi perbankan diharapkan terjadi peningkatan economic of scale dari bank-bank di Indonesia dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, khususnya melalui pengawasan bank secara terkonsolidasi.
Proses konsolidasi perbankan yang tengah berlangsung di Indonesia tidak hanya mengenai akuisisi dan merger di antara bank-bank kecil, tetapi juga bank-bank papan atas. Tak hanya sekadar ingin bertumbuh, bank-bank besar memanfaatkan momentum konsolidasi untuk meraih posisi baru dalam peta persaingan antar bank di masa mendatang. Tak ayal, akhir-akhir ini bank-bank besar banyak memburu bank-bank kecil yang memiliki kinerja yang sehat untuk dilakukan akuisisi. Akuisisi menjadi penting karena seluruh bank papan atas kini tengah mereposisi peran mereka dalam peta persaingan bisnis perbankan di Tanah Air. Bank yang tak melakukan akuisisi dipastikan akan menurun daya saingnya. Beberapa bank bahkan menjadikan konsolidasi sebagai momentum untuk melakukan transformasi bisnis menjadi bank dengan daya saing lebih tinggi.
Aturan yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang telah mendorong bank saling berkonsolidasi. Arsitektur Perbankan Indonesia (API) meupakan program untuk mewujudkan perbankan Indonesia yang kokoh, sehat, dan efisien dalam beberapa tahun ke depan. Dalam API, Bank Indonesia (BI) membagi bank dalam empat kategori. Pertama, bank internasional dengan modal di atas Rp 50 triliun. Kedua, bank nasional dengan modal antara Rp 10 triliun-Rp 50 triliun. Ketiga, bank fokus dengan modal Rp 100 miliar-Rp 10 triliun. Keempat, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas dengan modal dibawah Rp 100 miliar. Untuk memicu terjadinya konsolidasi, Bank Indonesia mewajibkan bank memiliki modal minimum Rp 100 miliar pada akhir 2010 nanti. Faktor inilah yang memicu para pemilik bank kecil menawarkan sahamnya kepada investor baru yang lebih kuat.
Selain itu, langkah-langkah konsolidasi perbankan dilakukan antara lain melalui penataan kembali struktur kepemilikan pada perbankan Indonesia, khususnya melalui penerapan kebijakan kepemilikan tunggal (single presence policy/SPP), dimana kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor: 8/16/PBI/2006. Pada prinsipnya kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia diberlakukan untuk kepemilikan saham bank oleh pemegang saham pengendali yang diperoleh setelah berlakunya ketentuan ini. Namun demikian untuk mendukung tercapainya tujuan dari kebijakan tersebut, maka pemegang saham pengendali bank yang telah mengendalikan lebih dari satu bank umum pada saat mulai berlakunya ketentuan ini juga wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sahamnya pada bank-bank yang dikendalikannya.
Untuk melakukan penyesuaian struktur kepemilikan saham bank dimaksud pemegang saham pengendali dapat memilih dari beberapa alternatif cara penyesuaian yang disediakan oleh ketentuan ini. Beberapa alternatif cara penyesuaian tersebut diberikan dengan mengacu pada tujuan kebijakan kepemilikan tunggal, yakni konsolidasi perbankan dan peningkatan efektivitas pengawasan bank, dengan tetap memperhatikan kepentingan para pemegang saham pengendali yang sudah menanamkan modalnya di perbankan Indonesia. Alternatif penyesuaian itu yaitu:
mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih bank yang dikendalikannya kepada pihak lain sehingga yang bersangkutan hanya menjadi pemegang saham pengendali pada satu Bank; atau
melakukan merger atau konsolidasi atas Bank-bank yang dikendalikannya; atau
membentuk perusahaan induk di bidang perbankan (Bank Holding Company), dengan cara :
mendirikan badan hukum baru sebagai Bank Holding Company;
atau menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai Bank Holding Company.
Penerapan kebijakan kepemilikan tunggal, termasuk kewajiban penyesuaian struktur kepemilikan bagi pemegang saham pengendali yang telah mengendalikan lebih dari satu bank, memberikan pengecualian bagi kantor cabang bank asing dan bank campuran, mengingat Indonesia terikat pada komitmen yang telah diberikan dalam perjanjian putaran Uruguay pada forum World Trade Organization (WTO) untuk tetap menghargai kehadiran pihak asing dalam bentuk kantor cabang bank asing dan bank campuran (Joint Venture Bank). Demikian juga pengecualian diberikan bagi pemegang saham pengendali yang mengendalikan dua bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip yang berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinisp syariah, mengingat berdasarkan karakteristiknya, kedua jenis bank dimaksud lebih tepat melakukan kegiatan usaha sebagai badan usaha yang terpisah.
Lalu apa dampak yang dikeluarkan kebijakan ini terhadap kinerja sektor riil?
Perekonomian Indonesia digerakan oleh 2 motor perekonomian yakni sektor keuangan dan sektor riil. Tetapi beberapa tahun belakangan, terutama setalah krisis ekonomi menerpa bangsa kita, perekonomian Indonesia mengalami sebuah ketimpangan, dimana sektor keuangan berkembang dengan amat pesat sedangkan sektor riil berkembang dengan lambat.
Perbaikan makroekonomi diakui memang telah dicapai oleh pemerintah. Lihat saja indikator-indikator perekonomian seperti inflasi, tingkat suku bunga, kurs rupiah, cadangan devisa serta tak ketinggalan indeks yang ada di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang terus membuat rekor baru. Semua angka-angka itu memperlihatkan adanya kondisi ekonomi yang membaik dan stabil. Namun jika kita telisik lebih jeli, ternyata kondisi makro tersebut bukanlah cerminan dari sektor riil ditingkatan mikro. Banyak kalangan mengeluhkan keengganan perbankan untuk menyalurkan kredit.
Keadaan ini memang cukup menyedihkan mengingat perbankan saat ini memiliki dana yang melimpah dilihat dari dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dikumpulkan sekitar Rp 1.453,656 triliun sampai November 2007. Namun penyaluran kreditnya baru mencapai Rp 953,259 triliun. Walaupun loan to deposit ratio (LDR) terdorong sedikit mencapai 65,58 persen, namun jumlah ini dirasa masih jauh dari porsi idealnya. Alih-alih meningkatkan penyaluran kreditnya, bank-bank malah lebih senang menempatkan dananya ke instrument Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Tidak mengherankan kalau jumlah SBI terus meningkat. Dana yang dianggap oleh bank sebagai idle money ini mengisi instrument SBI hingga mencapai Rp312,8 triliun per 17 Januari 2008. Jumlah ini disinyalir sudah mendekati jumlah uang yang beredar (base money) di masyarakat. Ekses likuiditas yang terjadi itu dianggap merupakan imbas dari iklim yang kurang bersahabat bagi sektor riil dan perbankan. Rendahnya penyerapan dana oleh sektor riil tersebut disebabkan beberapa indikator yakni daya beli masyarakat masih lemah serta hambatan sektor riil berupa pasar tidak sempurna, infrastruktur lemah, birokrasi, kepastian hukum, otonomi daerah dan ketenagakerjaan.
Bank Indonesia selaku otoritas moneter dituntut mendorong industri perbankan agar proaktif dalam menggerakan perekonomian, terutama di daerah yang memiliki potensi yang amat besar tetapi belum tergarap optimal. Selama ini, perbankan Indonesia cenderung hanya ingin beroperasi di daerah yang telah berkembang. Bank jarang sekali menjadi lokomotif pembangunan di suatu daerah. Data membuktikan, 50 persen dari total kredit nasional yang besarnya mencapai Rp 953,259 triliun tersalurkan di DKI Jakarta, sedangkan 50 persen sisanya terbagi di 33 provinsi. Situasi ini jelas menjadi salah satu penyebab buruknya pertumbuhan ekonomi dilihat dari sisi pemerataan dan penyerapan tenaga kerja.
Kebijakan konsolidasi perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, dibuat untuk menciptakan struktur perbankan yang sehat, kokoh, serta efisien. Melalui konsolidasi ini pula sebuah bank dapat meningkatkan daya saingnya. Merger atau akuisisi yang menjadi salah satu pilihan dalam melaksanakan kebijakan ini, akan meningkatkan aset dari bank tersebut yang melakukan hal ini. Dengan demikian, daya saing bank akan meningkat dalam memperebutkan dana pihak ketiga (DPK) dari para nasabah. Single presence policy/SPP merupakan salah satu aturan yang dibuat untuk mendorong perbankan melakukan konsolidasi. Bank-bank yang terkena aturan ini kebanyakan adalah bank-bank besar di Indonesia yang memiliki aset dan modal yang kuat juga.
Berharap dari dikelurkan kebijakan dan aturan ini, sektor riil ingin mendapakan perhatian lebih dari dunia perbankan. Dengan bersatunya bank-bank besar yang menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar perbankan umum di Indonesia, nilai dari capital adequacy ratio (CAR) dan aset yang dimiliki sebuah bank akan membengkak sehingga keberanian perbankan dalam menyalurkan kredit akan lebih besar lagi. Sehingga fungsi dari sebuah bank yakni sebagai lembaga intermediasi dapat berjalan dengan lebih optimal dan tentunya kinerja dari sektor riil akan lebih baik lagi.
Selain itu, Bank Indonesia akan mengeluarkan paket program kebijakan untuk mendorong terciptanya Banks Leading the Development. Pertama, mewajibkan bank membina pengusaha produktif di suatu wilayah yang progresif ataupun sektor tertentu yang selama ini memiliki potensi, tetapi belum dikembangkan. Kedua, menurunkan aktiva tertimbang menurut resiko (ATMR) untuk kredit usaha rakyat (KUR) dari 85 persen menjadi 30 persen. Jadi, dengan modal yang sama, bank memiliki kemampuan menyalurkan kreditnya lebih besar lagi. Ketiga, mengarahkan penyaluran kredit bank pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah produktif dalam suatu porsi tertentu terhadap total kedit. Keempat, mewajibkan bank menerapkan program tanggung jawab sosial dalam suatu rasio yang akan disepakati.
Dalam hal penurunan bobot resiko kredit dari 85 persen menjadi 30 persen saat ini, tentunya hal ini akan amat menguntungkan bagi sektor riil terutama para pengusaha mikro, kecil, dan menengah, apalagi bila aturan kepemilikan tunggal perbankan telah berjalan. Dengan berbarengannya diberlakukannya aturan ini, bank akan mengalami peningkatan nilai dari capital adequacy ratio/CAR karena melakukan konsolidasi dan dengan diturunkannya nilai ATMR menjadi 30 persen, bank akan dapat melakukan penyaluran kredit hampir dua kali lipat dari sebelumnya. ATMR merupakan nilai eksposur kredit dikalikan bobt resiko. ATMR digunakan dalam perhitungan rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR).
Misal, bank dengan modal Rp 85 miliar diperkenankan memiliki ATMR maksimal Rp 850 miliar agar CAR tetap sebesar 10 persen. Hal itu dengan asumsi tidak ada resiko-resiko lain. Jika bobot resiko setiap kreditnya sebesar 100 persen, total kredit yang dapat tersalurkan adalah sebesar ATMR, yaitu Rp 850 miliar. Akan tetapi, bila bobot dari resiko dari keseluruhan kreditnya sebesar 50 persen, bank tersebut dapat menyalurkan kreditnya hingga dua kali lipat, yakni sebesar Rp 1,7 triliun.
Kebijakan kepemilikan tunggal perbankan akan meningkatkan kesehatan serta kecukupan modal dunia perbankan, sedangkan penurunan nilai ATMR akan membantu meningkatkan penyaluran kredit. Kita tunggu saja bagaimana selanjutnya dengan diberlakukannya aturan-aturan tersebut dengan kondisi sektor riil kedepannya.
0 komentar:
Posting Komentar