18 Agustus 2007, Pak Thee Kian Wie mengirim email kepada saya dan beberapa kawan, mengatakan bahwa kondisi Pak Sadli yang memang sudah sakit beberapa waktu, memburuk. "I regret to say that Pak Sadli looked bad, his eyes were wide open, but he did not recognize me and could not talk. His breathing was helped with an oxygen tent. I felt bad and helpless seeing him", demikian email Pak Thee. Kami semua sedih dan mendoakan Pak Sadli.
Harapan itu bersambut. Tanggal 5 September kembali Pak Thee mengirim email. Rupanya kondisi Pak Sadli sudah membaik dan karenanya sudah dirawat di rumah. Dalam bahasa gado-gado Chris Manning, "That is marvellous, meskipun not ideal, of course...".
Dalam suasana lebaran, saya menghubungi Pak Thee dan bertanya apakah Pak Sadli bisa ditengok. Pak Thee menjawab, mungkin sebaiknya tidak dulu, mengingat Pak Sadli membutuhkan banyak sekali istirahat. Dan saya menunggu.
Maka ketika email Pak Kahlil muncul di milis, saya segera mem-forward ke Pak Thee. Dan ironi itu pun datang. Pagi tadi M. Ikhsan menelpon saya dengan kabar duka itu, hampir bersamaan dengan SMS dari Adi Z. Afiff. Inna lillaahi wa inna ilaihi raji'un. Saya segera menelpon Pak Thee dan Pak Thee pun kaget. Jam 10 saya bersama Pak dan Ibu Thee tiba di rumah duka. Kepada Ibu Sadli saya sampaikan rasa duka dan simpati segenap staf dan karyawan LPEM, lembaga yang pernah dipimpin oleh Pak Sadli.
Saya memang tidak banyak berinteraksi langsung dengan Pak Sadli. Tapi saya adalah pengagum beliau. Tulisan-tulisannya yang tajam dan jernih selalu saya ikuti. Produksi kolomnya yang sangat produktif selalu di-forward ke milis FEUI. Dan kami belajar banyak dari situ. Pak Sadli memang akrab dengan teknologi. Walaupun suatu hari beliau mengeluh kepada saya, betapa banyaknya spam yang ia peroleh di inbox-nya. Itu di suatu pagi ketika Pak Sadli main-main ke LPEM sembari mengantarkan buku kumpulan tulisannya yang baru tentang pemerintahan SBY-JK. Sekaligus Pak Sadli memberitahu saya bahwa "ada typo dalam tulisan kamu (dan M. Chatib Basri) tuh di BIES (jurnal tentang Indonesia, dari Australian National University)". Pak Sadli memang teliti sekali.
Saya menjadi tahu lebih banyak tentang Pak Sadli ketika saya, Thee Kian Wie, dan Chris Manning menjadi convenor untuk acara The Sadli Lecture, sebuah acara seminar akademik yang disponsori oleh Australian National University dan FEUI untuk menghormati Pak Sadli. Acara itu berlangsung di Jakarta tanggal 24 April 2007. Di malam sebelum acara berlangsung, kami masih sempat makan malam dengan Pak Sadli di Kemang. Makan yang akrab itu dihadiri juga oleh Chatib Basri, Prema-chandra Athukorala, Howard Dick, dan Peter McCawley. Rencananya, besok dalam acara Lecture, Pak Sadli akan memberikan beberapa patah kata, sebelum kuliah umum dari Athukorala. Namun ternyata, keesokannya Pak Sadli sakit lagi. Jadilah acara The Sadli Lecture tanpa Pak Sadli. Ibu Mari Pangestu, ketika memberikan sambutan, menceritakan beberapa pengalaman menariknya bersama Pak Sadli. Sayang Pak Sadli tidak hadir.
Sejak itu saya masih menunggu. Beberapa kali kesehatan Pak Sadli membaik, namun juga beberapa kali memburuk lagi. Lebaran berlalu. Dalam acara ulang tahun LPEM November lalu, beberapa mantan kepala LPEM hadir: Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, S.B. Joedono, Rustam Didong, Arsjad Anwar, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Faisal Basri. Kami pun "menunggu" Pak Sadli.
Dan ketika ketemu pagi tadi, Pak Sadli adalah jenazah. Selamat jalan, Bapak.
Update
Catatan Ari A. Perdana (Cafe Salemba)
Catatan Arya Gaduh (Indonesia|Economics)
Catatan Akhmad Rizal Shidiq (Cafe Salemba)
Catatan Rizal Mallarangeng (Kompas)
Catatan Mari Pangestu (The Jakarta Post)
Catatan M. Chatib Basri (Majalah Tempo)
0 komentar:
Posting Komentar