Pertama, mungkin baik untuk memahami persoalannya: harga internasional naik sangat tinggi dan kemudian dampaknya dirasakan pada harga domestik (pass-through effect). Disisi lain, produksi domestik terus menurun, sedangkan konsumsinya terus naik. Akibatnya dapat diduga: harga melambung. Yang perlu diperhatikan, fenomena ini terjadi bukan hanya pada kedelai, tetapi juga bahan makanan lain. Kita lihat pola yang mirip untuk beras sebenarnya, juga untuk terigu. Tampaknya, dampak dari perubahan iklim sedikit banyak menganggu panen dibanyak negara di dunia. Selain itu subsititusi dari makanan ke bio-fuel juga menganggu peningkatan produksi. Karena itu fenomena kedelai, adalah fenomena yang mirip dengan jenis komoditi pertanian lain.
Kedua, kalau memang soalnya adalah pass through effect, maka penambahan impor tak akan membuat harga domestik lebih rendah dari harga internasional. Namun, penambahan impor setidaknya akan menjamin harga domestik comparable dengan harga internasional. Dalam kasus dimana stok kurang, karena produksi menurun dan konsumsi naik, dan impor dihambat, maka dalam jangka pendek Indonesia pasti akan merasakan kenaikan harga. Langkah yang bisa dilakukan adalah menambah supply. Persoalannya, dengan suppply domestik yang terbatas, maka penambahan pasokan hanya bisa dilakukan melalui impor. Sayangnya hanya 4 perusahaan yang berani melakukan impor. Secara formal tidak ada larangan impor, karena importir kedelai termasuk kategori importir umum (IU) --siapa saja boleh impor. Namun, dalam praktek, karena resiko dari fluktuasi harga yang begitu tinggi, praktis tak besar insentif bagi perusahaan melakukan impor. Akibatnya terjadilah natural oligopoli. Implikasinya: impor pun terbatas. Langkah pemerintah menurunkan bea masuk menjadi 0% memang solusi jangka pendek. Namun perlu dicatat bahwa impor pun membutuhkan waktu. Selain itu, jika yang melakukan impor hanya 4 perusahaan, maka jumlah yang bisa diimpor juga akan terbatas. Karena itu seperti yang ditulis Aco, saya kira upaya penambahan impor bisa dilakukan dengan meminta Bulog untuk melakukan impor.
Ketiga, perlu dicatat solusi jangka pendek ini, maksimal hanya akan mampu membuat harga domestik hampir sama dengan harga internasional (harga kedelai+biaya transpor). Tapi dia tidak akan mampu menurunkan harga kedelai seperti sebelum kenaikan harga di pasar internasional. Implikasinya, harga masih akan tetap relatif mahal.
Ketiga, jika pemerintah menginginkan harga kedelai atau bahan makanan lain menjadi relatif murah, maka alternatifnya adalah memberikan subsidi. Persoalannya adalah kalau semua komoditi harus disubsidi termasuk juga BBM, maka pertanyaanya adalah uanganya dari mana? APBN jelas tak akan sanggup mensubsidi semuanya. Karena itu pemerintah harus menentukan prioritasnya. Porsi makanan termasuk kedelai dalam porsi pengeluaran atau konsumsi jelas lebih besar dibanding porsi konsumsi bensin, apalagi bagi penduduk miskin. Karena itu jika subsidi BBM dialukan sebagian (tetap pertahankan minyak tanah) dan kemudian dialokasikan kepada subsidi makanan, maka dampak dari transfer pendapatannya akan lebih besar dibandingkan subsidi BBM. Itu sebabnya subsidi makanan jelas akan lebih bermanfaat dibanding subsidi BBM. Lagi pula mengapa harus mensubsidi bensin yang dinikmati oleh kelompok menengah atas. Dari sisi ini saya kira lebih adil bila subsidi dialokasikan pada makanan termasuk kedelai, ketimbang premium.
Keempat, solusi subsidi jelas bukan first best solution. Sayangnya kita memang hidup bukan pada dunia first best, kita hidup pada dunia second best, karena itu mungkin subsidi harus diterima sebagai kompensasi dalam jangka pendek. Secara politik juga lebih baik mensubsidi makanan yang terkait langsung dengan kebutuhan pokok orang ketimbang premium. Dalam jangka menengah panjang, solusi yang harus dilakukan adalah meningkatkan produkftitas. Disini kita bicara tentang perlunya perbaikan irigasi, infrastruktur, bibit, teknologi, akses pasar. Dan juga mungkin penting jika Presiden memanggil bupati, gubernur untuk memastikan bahwa daerah-daerah meningkatkan produksi pertaniannya. Kasus kedelai, adalah contoh kesalahan kita bagaimana masalah produktifitas yang rendah selama ini diatasi dengan solusi kebijakan perdagangan dengan melarang impor atau memberikan bea masuk tinggi. Akibatnya tak ada kompetisi yang memaksa pertanian domestik untuk memperbaiki dirinya. Kita terlena karena toh, tanpa meningkatkan produkifitas, kita tetap aman karena impor kita hambat. Ini mirip seorang anak yang tak pernah dewasa karena si orang tua selalu melindunginya. Dan pada saat sang anak harus berinteraksi langsung dengan dunia, ia menjadi terkejut karena kenyataan tak seindah perlindungan orang tua. Itu sebabnya solusi jangka menengah panjang adalah peningkatan produktifitas. Sayangnya produktifitas tak bisa naik dalam waktu sekejap, maka solusi menambah impor adalah langkah yang tepat. Selain itu mengapa tidak mengaloksikan subsidi BBM kepada subsidi makanan? Toh, jika kita ingin melindungi, yang perlu dilindungi adalah mereka yang miskin bukan kelas menengah atas
0 komentar:
Posting Komentar