Jumat, 26 Februari 2010

PILKADA = MAHALNYA SEBUAH DEMOKRASI

Pemilihan kepala daerah atau yang lazim kita sebut pilkada kembali menjadi topik perbincangan. Hal ini mulai mengemuka ke permukaan setelah fakta bahwa pilkada memang masih jauh dari efektif dan baik. Bahkan tidak sedikit yang menyebabkan kemunduran dalam pembangunan ekonomi. Demokrasi kembali menjadi alasan utama dalam lambatnya pertumbuhan ekonomi. Demokrasi seakan menjadi alasan pembenar yang dapat mengalahkan segala penyimpangan dan lambatnya pembangunan.

Euphoria reformasi memang masih terasa sampai sekarang. Setelah hampir 12tahun lamanya setelah semangat itu didengungkan semangat itu masih menjiwai setiap langkah kita sebagai sebuah bangsa kedepan. Semangat dari hampir seluruh rakyat Indonesia untuk perubahan yang agaknya bisa menjadi modal yang baik bagi pembangunan. Tetapi dalam perjalanannya proses pembangunan tentu menemui banyak kendala yang tentu saja tidak mudah untuk diselesaikan. Demokrasi diusung untuk menggantikan system lama yang dianggap otoriter. Saat tirani masih menguasai negeri ini demokrasi dianggap sebagai solusi yang tepat untuk semua permasalahan yang ada. Mencontoh dari Negara yang menerapkan demokrasi tidaklah salah saat para pemikir mulai berusaha menerapkannya di Indonesia sebagai solusi dari permasalahan kesejahteraan rakyat. Tetapi pada kenyataannya hal ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Wealth of nation yang menjadi tujuan dari penerapan demokrasi agaknya semakin sulit dicapai. Kesejahteraan rakyat tidak seluruhnya berubah menjadi lebih baik seperti yang diharapkan.

Prinsip dasar dari demokrasi adalah adanya check and balance antar lembaga Negara. Dalam menjalankan check and balance kita mengenal praktik share of power untuk meminimalkan terjadinya kekuasaan yang absolut. Salah satu caranya adalah dengan kebijakan otonomi daerah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang diharapkan mampu mempercepat pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Pemerintah daerah berhak menentukan nasib dari daerahnya sendiri. Pembagian kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif semua didelegasikan kepada daerah. Sistem yang digunakan pun tidak jauh berbeda. Semua dipilih secara langsung oleh rakyat semua mendapat mandat dari rakyat tetapi pertanggungjawabannya kepada rakyat menjadi pertanyaan baru yang muncul.

Dalam praktiknya banyak daerah yang berubah menjadi lebih baik setelah adanya system ini. Tidak sedikit daerah yang dapat memaksimalkan potensi daerahnya dan akhirnya dapat mensejahterakan masyarakat. Tetapi tidak sedikit juga yang hanya berujung pada konflik tak berkesudahan. Pemekaran wilayah juga menjadi isu yang mengundang pro kontra. Ujung dari konflik yang terjadi salah satunya memang dengan pemekaran wilayah. Padahal pada kenyataannya pemekaran ini lebih banyak berefek buruk. Daerah yang tertinggal menjadi semakin tertinggal karena SDM yang ada kurang bisa memaksimalkan SDA yang ada.

Hal lain yang menjadi masalah adalah mahalnya demokrasi di Indonesia. Untuk meraih sebuah jabatan politik di Indonesia haruslah mempunyai kemampuan finansial yang cukup. Untuk Seorang bupati di Kabupaten/Kota yang berukuran sedang misalkan yaitu dengan populasi sekitar 300.000 jiwa dana kampanye yang harus dikeluarkan untuk meraih jabatan kepala daerah mencapai kurang lebih 300 juta. selain dana kampanye yang menggunakan uang para calon kepala daerah pemborosan juga terjadi dalam penyenggaraan pilkada. Sebagai contoh di kabupaten sidoarjo jawa timur dana untuk penyelenggaraan pemilihan bupati mencapai angka 24,8 milyar untuk 2 putaran. Belum lagi dana pengawasan yang mencapai angka 4 milyar. Hal ini tentu sangat mahal untuk sebuah demokrasi.

Tetapi pemilihan secara langsung (demokrasi) tak sepenuhnya buruk. Di beberapa daerah banyak juga yang dapat berjalan dengan efektif dan efisien. DKI Jakarta misalnya dimana jabatan politik untuk 5 kabupaten/kota hanya dipegang oleh 102 orang yaitu gubernur, wakil gubernur, dan 100 anggota DPRD. Walikota dipilih oleh gubernur. Secara statistik, 15 juta penduduk Jakarta di kelola oleh 102 pejabat politik. Policy otonomi daerah ditentukan oleh pemerintah provinsi dan dilaksanakan oleh para walikota sehingga program-programnya pun lebih bersinergi dengan baik. Akan kita lihat besok pertarungan antara Bugiakso dan Kabul Mudji Basuki dalam menghadapi kuatnya dukungan untuk Hafidh Asrom dan Umi Muslimatun di Pilkada Sleman, Jogjakarta kelak. Jika 33 provinsi di Indonesia melakukan hal sama seperti DKI Jakarta maka pemerintah dapat menghemat dana kurang lebih 20 trilyun untuk pilkada. Tentu akan lebih hemat jika hanya menyelenggarakan pilkada untuk 33 gubernur daripada untuk 500 bupati/walikota. Jumlah yang tidak sedikit dan harusnya dapat dialihkan ke alokasi yang lain.

Wacana yang muncul menyikapi masalah ini adalah dengan menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Hal ini juga ditentang oleh para penggiat demokrasi yang menganggap hal ini bukan merupakan pelajaran politik yang baik bagi masyarakat. Tentu hal ini masih terus dikaji oleh kementrian dalam negeri. Bagaimanakah cara yang paling efektif dan efisien dalam pemilihan kepala daerah. Apakah pemilihan secara langsung masih relevan dan dapat diaplikasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia ataukah harus diganti dengan sistem lain yang lebih efektif dan efisien tanpa mengabaikan proses berdemokrasi di masyarakat?

Pertumbuhan ekonomi ditopang oleh pertumbuhan sosial di masing-masing daerah. Tanpa partisipasi daerah dalam pembangunan maka pertumbuhan ekonomi dan tujuan bangsa indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan segenap bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia tidak akan tercapai.

Departemen Kajian Strategis
BEM FEB UGM

Kamis, 11 Februari 2010

Lecutan Perbaikan, Berbenah di Tengah Perlombaan ACFTA

Isu ASEAN-China Free Trade Agreement merupakan isu nan panas akhir-akhir ini. Mulai dari pembicaraan selalu-lalang saja sampai diskursus yang berbau politis, mencoba mencongkel isu ini untuk diangkat ke permukaan. Pemberlakuannya yang dimulai sejak 1 Januari 2010 lalu, yang pada saat itu masih berada dalam masa 100 hari kepemimpinan Presiden SBY-Boediono menjadi satu aspek wacana yang cukup hangat untuk dipolitisir. Beberapa oposan oportunis terhadap pemerintahan incumbent ini mencoba mengkait-kaitkan kegagalan pemerintahan dalam menentukan sikap terhadap isu ACFTA dengan kepentingan mereka sendiri demi kekuasaan pragmatis demi mengharapkan adanya revolusi yang terakselerasi secara signifikan.
Beberapa ahli dan pengamat mulai intensif ambil bagian sejak akhir bulan Desember tahun lalu. Mengingat isu ini yang sungguh strategis karena dianggap mampu mengancam industri lokal yang tak bisa bersaing dengan produk-produk luar negeri.
Sekilas membedah negara China, merupakan negara dengan penduduk terbesar di dunia. Dengan jumlah penduduk yang saat ini berjumlah 1,3 milyar, tentu dapat dibayangkan betapa banyaknya SDM yang dapat digunakan untuk membuat berputarnya roda perekonomian yang ada disana. Negara yang berhaluan komunis ini memang memilki pemerintahan yang cukup cerdik dalam mengelola sumber daya alamnya. Di saat Indonesia dengan bangganya menjual batu bara ke luar negeri, China yang sebenarnya juga memiliki kekayaan alam mineral batu bara malah memilih untuk membeli batu bara Indonesia untuk digunakan sebagai bahan bakar yang murah bagi industri China. Penghematan harta kekayaan yang mereka punya sekarang akan digunakan untuk investasi masa mendatang. Jadi dapat dibayangkan ketika China baru akan mulai untuk mengeksplorasi batu bara mereka, kita sedang kesulitan mencari batu bara karena sebelumnya telah habis diobral. Malah mungkin suatu saat Indonesia yang kaya raya ini akan membeli batu bara ke China karena persediaan batu bara kita yang sedang menipis.
Selama ini pemberitaan media yang berkembang di masyarakat membuat positioning bahwa seakan-akan China adalah aktor utama dalam drama ACFTA ini. Bahwa pelaku perjanjian bebas ini hanyalah Indonesia dan China. Padahal kita hampir lupa bahwa perjanjian ini ditandatangani oleh seluruh negara anggota ASEAN plus China; meskipun pemberlakuan nol tariff sesuai dengan The Agreement on Trade in Goods (TIG) of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between ASEAN and China (keterangan tarif dalam tabel di bawah) yang ditandatangani pada 29 November 2004 di Vientiane-Laos oleh para pejabat tinggi setingkat menteri bidang ekonomi dan perdagangan, membagi para pesertanya dalam dua term: term pertama dengan para anggota ASEAN 6 (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, Filiphina) dan China yang berlaku sejak 2010, dan term kedua dengan para anggota negara CLMV (Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam) pada 2015.
Sejarah perjanjian ini bermula sejak dilaksanakannya ASEAN-China Summit di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 6 November 2001 lalu yang mencetuskan mengenai Kerangka Kerjasama Ekonomi (Framework on Economic Co-operation). Follow up dari bentuk komitmen ini menghasilkan Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-Operation Between ASEAN and the People's Republic of China yang ditandatangani oleh seluruh Kepala Negara anggota ASEAN-China di Phnom Penh, 4 November 2002. Pertemuan ini menghasilkan bentuk kerjasama untuk membangun ASEAN-China Free Trade Area dalam 10 tahun ke depannya, dimana diharapkan adanya hubungan kerjasama ekonomi yang lebih dekat diantara negara anggota pada abad 21. Dalam perjanjian tersebut jelas disebutkan bahwa persetujuan tersebut bertujuan untuk meminimalisir rintangan dan memperdalam kerjasama ekonomi diantara tiap-tiap anggota, menurunkan biaya, meningkatkan volume perdagangan dan investasi intra-regional serta efisiensi ekonomi, menciptakan pasar yang lebih besar dengan kesempatan dan skala ekonomi bisnis yang lebih baik.
Selama kurang lebih satu tahun berikutnya, perjanjian yang ada dirasa perlu di amandemen untuk menjelaskan implementasi dari ketetapan yang ada. Maka pada 6 Oktober 2003 ditandatangani Protocol To Amend The Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of South East Asian Nations And The People’s Republic Of China di Bali, Indonesia. Pada amandemen perjanjian ini ditetapkan mengenai kondisi dan waktu percepatan tariff reduction serta eliminasi produk-produk yang sebelumnya diatur dalam Early Harvest Programme dari Kerangka Kerjasama yang ada melalui penyesuaian-penyesuaian bilateral ataupun plurilateral yang ditambahkan ke dalam Kerangka Kerjasama.
Selanjutnya pada 29 November 2004 di Vientiane, Laos, ditandatangani pula Agreement On Trade In Goods Of The Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of Southeast Asian Nations And The People’s Republic Of China. Dalam TIG Agreement ini, dijelaskan mengenai aturan pengurangan dan penyisihan tarif yang telah ditentukan bagi ASEAN 6 dan China, seperti yang disebutkan di atas, dimana tahap akhir pengurangan tarif dapat diselesaikan pada 2010. Sementara negara CLMV akan diselesaikan pada 2015. Perjanjian ini juga menetapkan liberalisasi berikutnya dari beberapa produk yang sensitif dari tiap negara serta menghilangkan rintangan non-tarif.


Sebenarnya disadari atau tidak, fenomena merambahnya barang China di Indonesia sudah dimulai sejak bertahun-tahun yang lalu. Hal ini dibuktikan dengan neraca perdagangan Indonesia yang defisit secara cukup signifikan di pihak Indonesia. Hanya saja pemberitaan serta asumsi beberapa pihak yang resisten terhadap isu liberalisasi memanfaatkan moment ini. Wacana yang diangkat seolah-olah bahwa 1 Januari sebagai batas awal pemberlakuan ACFTA merupakan gerbang neraka bagi industri Indonesia. Malah sebenarnya jika kita perhatikan pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia, Hatta Radjasa, pengurangan tarif import sudah dimulai sejak tahun 1992. Maka sungguh naif rasanya apabila kita mengalienasikan bahwa selama ini kita aman-aman saja karena belum adanya import barang, khususnya China, yang masuk ke Indonesia.


Beberapa pelaku industri menuntut pemerintah untuk mengambil kebijakan agar keluar dari perjanjian yang menurut mereka tidak adil ini. Sedangkan beberapa yang lain merendahkan tensinya dengan mendesak untuk merenegoisasi perjanjian tersebut pada beberapa post tarif strategis yang dianggap belum siap untuk terjun dalam persaingan bebas di pasar global ini. Para pejabat anggota legislatif ternyata memiliki respon yang sama terhadap kebijakan perdagangan ini. Beberapa fraksi di DPR turut mendesak Menteri Perdagangan untuk meninjau ulang keikutsertaan Indonesia dalam kancah regional perdagangan bebas ini. Namun sampai tulisan ini dibuat, belum ada kabar yang menuliskan tentang tanggapan positif akan desakan itu.
Kebijakan tarif tentu saja bukanlah satu-satunya jalan untuk keluar dari permasalahan ini. Banyak hal yang seharusnya mampu kita lakukan sebagai solusinya. Sebagai tindakan preventif Pemerintah sebaiknya terus memperkuat industri yang memilki kekuatan dan competitive advantage lebih besar untuk berjuang di pasar bebas. Namun semuanya belumlah terlambat. Waktu yang kita punya sebelum benar-benar semua parties ikut dalam perlombaan ini di 2015 marilah dimanfaatkan untuk memperbaiki segala kekurangan yang ada. Keluar dari ACFTA bukanlah alternatif yang tepat karena hanya akan membuat negara kita akan terus lari dari masalah. Tak ada lecutan bagi industri lokal untuk memperbaiki kualitas barang sendiri agar mampu bersaing dengan produk luar negeri. Perbaikan serta penyerapan anggaran infrastruktur dan suprastruktur di segala bidang yang menunjang peningkatan kualitas perdagangan nasional tentu menjadi kewajiban yang tidak bsa ditawar-tawar lagi. Dan hal paling riil yang bisa kita lakukan adalah terus sokong produsi dalam negeri dengan meningkatkan konsumsi terhadap produk asli nasional dan mengurangi jatah produk luar negeri.
Peluit perlombaan sudah ditiup, genderang perang telah dibunyikan. Namun garis finish masih jauh. Keputusan ada di tangan kita, tetap tertinggal atau berani melecut diri sendiri untuk mengejar ketertinggalan.

Dept Kajian Strategis
BEM FEUI 2010
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: Februari 2010 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates