Senin, 31 Desember 2012

Investor Asing sebagai Solusi Realistis ?

          Polemik migas tak henti-hentinya “mewarnai” kehidupan bangsa Indonesia sepanjang tahun 2012 ini. Dimulai dari gemparnya masyarakat Indonesia terkait isu kenaikan BBM serta kontrak kerjasama migas yang didominasi asing dan merugikan masyarakat di lingkungan penghasil migas. Ujung pangkal permasalahan ini adalah tingginya permintaan akan minyak sebagai akibat dari meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat Indonesia serta semakin mudahnya sistem perkreditan kendaraan di Indonesia. Di sisi lain, kapasitas produksi minyak Indonesia tidak mampu memenuhi permintaan minyak dalam negeri sehingga kebijakan impor diberlakukan oleh pemerintah.

         Solusi lain adalah menaikkan kapasitas produksi minyak Indonesia melalui industri yang bergerak di sektor perminyakan. Hal ini tidak gampang dilakukan oleh industri dalam negeri mengingat industri minyak merupakan industri yang padat modal. Berdasarkann alasan tersebut,  Indonesia menjadi ladang empuk bagi investor asing melakukan aksinya. Pemerintah melalui UU Migas seolah membebaskan bagi siapa saja tindak “pencurian” migas tersebut. Seperti yang dikatakan Dr. Kurtubi dalam kesempatannya membedah UU Migas di Gedung DPR RI, dia memberi contoh yaitu pasal 12 UU Migas No 22/2001 yang menyatakan bahwa kuasa pertambangan boleh diserahkan ke pihak asing. Namun pasal 12 ini sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

        Walaupun pasal tersebut telah dicabut, masih ada cara lain untuk melegalkan para investor asing “menggaruk’’ ladang tambang dan minyak kita, yaitu dengan membentuk suatu badan yang bukan merupakan perusahaan pengelola minyak yaitu BP Migas. BP Migas secara gamblang menyatakan dukungannya terhadap investor asing karena dinilai menyelamatkan produksi minyak Indonesia. Pernyataanya dalam kuliah umum (18/10/12) di Auditorium UNS menerangkan bahwa mereka tidak anti nasionalis, tetapi berpikir realistis. Realistis karena industri minyak merupakan industri yang membutuhkan dana besar sedangkan pemerintah dirasa tidak mampu menanggung biaya tersebut.
           Investor asing seolah merupakan solusi realistis yang dijadikan alasan untuk mendapatkan modal tanpa peduli apakah kerjasama yang dilakukan menyejahterakan masyarakat Indonesia terutama masyarakat di lingkungan penghasil migas atau tidak. Pasal lain yang dinilai bermasalah menurut D. Kurtubi adalah UU Migas No. 22/2001 yang menjelaskan bahwa kontraktor asing boleh memperpanjang kontrak 20 tahun berikutnya. UU ini semakin menguntungkan asing karena dikuatkan oleh Pasal 28 Peraturan Pemerintah (PP) No.35/2004 dimana pengajuan perpanjangan itu boleh diajukan 10 tahun sebelum sebuah kontrak kerjasama selesai.

         Indonesia memiliki potensi kekayaan migas hanya saja belum bisa memakmurkan bangsa ini karena regulasi yang justru memungkinkan “perampokan” secara legal.Indonesia perlu berbenah. Baik dari segi regulasi, pelaksanana/ pengelola produksi migas maupun pengguna (masyarakat). Regulasi harus dibuat sebagaimana mestinya, pengelola juga tidak hanya berpikir relalistis tetapi juga berpikir nasionalis karena bagaimanapun juga Indonesia perlu mandiri; berpijak di kaki sendiri; serta bagi masyarakat hendaknya mampu menghemat penggunanaan minyak, terlebih lagi yang bersubsidi karena sejatinya juga akan berpengaruh pada tidak sehatnya APBN. Kerjasama semua pihak mutlak diperlukan.
HIDUP MAHASISWA!


Oleh
Dewi Adhayanti
Kastrat BEM FE UNS

Minggu, 30 Desember 2012

Pentingnya Pembangunan Infrastuktur Pertanian dalam Mendukung Ketahanan Pangan


Pentingnya Pembangunan Infrastuktur Pertanian
dalam Mendukung Ketahanan Pangan


picture from google.com
Bung Karno pernah berpesan bahwa persoalan pangan bagi rakyat adalah persoalan hidup atau mati. Sering kita mendengar slogan Only Agriculture can feed the world yang artinya hanya pertanian yang dapat menghidupi dunia. Dari slogan tersebut kita dapat mengetahui bahwa pertanian adalah sektor terpenting dalam mempertahankan kehidupan manusia. Manusia dapat hidup tanpa gadget selama seminggu,tapi tak dapat bertahan tanpa makanan dan sektor pertanianlah tempat dimana bahan makanan dihasilkan dan kunci dalam upaya menjadikan ketahanan pangan Indonesia.

Ironisnya perhatian dan kontribusi pemerintah terhadap pertanian masih sangat kurang, terlebih dalam kesejahteraan para petani. Telah banyak artikel yang terbit beberapa bulan terakhir ini yang beropini bahwa pemerintah mengabaikan infrastuktur pertanian. Seperti yang dikatakan Anggota Komisi IV DPR RI Hermanto yang menilai pemerintah mengabaikan pembangunan infrastruktur pertanian."Kalaupun ada, itu hanya pembangunan jaringan irigasi desa (Jides) yang skalanya terlalu kecil," ujar Hermanto di Jakarta, Kamis. Jides adalah jaringan irigasi berskala kecil yang terdiri atasi bangunan penangkap air (bendungan, bangunan pengambilan), saluran dan bangunan pelengkap lainnya yang dibangun dan dikelola oleh masyarakat desa atau pemerintah desa baik dengan atau tanpa bantuan pemerintah.

Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Alam dan Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi mengamanatkan bahwa tanggung jawab pengelolaan jaringan irigasi tersier sampai ke tingkat usaha tani (Jitut) dan Jides menjadi hak dan tanggung jawab petani pemakai air (P3A) sesuai dengan kemampuannya.Menurut dia, kurangnya pembangunan waduk dan jaringan irigasi yang baru serta rusaknya jaringan irigasi yang ada mengakibatkan daya dukung irigasi bagi pertanian sangat menurun. Kerusakan ini terutama diakibatkan erosi, kerusakan sumber daya alam di daerah aliran sungai, bencana alam banjir, gempa, longsor dan gunung meletus serta kurangnya pemeliharaan jaringan irigasi hingga ke tingkat usaha tani. "Pemerintah sendiri mengakui sebagaimana tercantum dalam Renstra Kementerian Pertanian tahun 2009-2014 bahwa salah satu prasarana pertanian yang saat ini keberadaanya sangat memprihatinkan adalah jaringan irigasi," ujarnya.Jakarta (ANTARA News)

“Pemerintah lebih bersemangat mengembangkan infrastruktur di sektor hilir seperti transportasi, sedangkan infrasktruktur pertanian penopang di hulu terabaikan. Padahal tantangan ke depan bukan hanya pertumbuhan ekonomi dari pergerakan barang maupun jasa, namun juga dari kemampuan produksi pangan,” kata anggota DPR RI Komisi IV Ma’mur Hasanuddin melalui siaran persnya, Kamis (30/8).

Catatan Kementerian Pertanian, pada periode Januari hingga Juli 2012, luas kekeringan lahan sawah mencapai 53.320 hektare (ha), dengan angka gagal panen atau puso 1.358 hektare. Situasi ini dapat mengancam keberhasilan pencapaian surplus beras 10 juta ton di tahun 2014.wartaekonomi.co.id
Ekspor Impor Pertanian Indonesia Menurut Sub Sektor, Agustus - September 2012

No.

Sub Sektor

Agustus


September


Pertumbuhan
(%)
Sep thd Ags

Kumulatif
Januari-September
1.
Tanaman Pangan
Volume (Kg)



Ekspor
13.279.738
11.969.979
-9,86
157.721.723

Impor 

989.317.269
1.085.267.022
9,70
10.671.602.909

Neraca

976.037.531
1.073.297.043
9,96
10.513.881.186

Nilai (US$)



Ekspor
9.786.875
9.915.421
1,31
110.371.353

Impor
409.102.235
468.330.613
14,48
4.548.073.999

Neraca
399.315.360
458.415.192
14,80
4.437.702.646

2.
PERTANIAN
Volume (Kg)




Ekspor
2.470.727.317
2.939.750.570
18,98
23.334.444.815


Impor

1.321.978.716
1.494.450.846
13,05
14.551.761.547

Neraca
1.148.748.601
1.445.299.724
25,82
8.782.683.268

Nilai (US$)


Ekspor
2.681.401.299
3.138.308.955
17,04
27.220.910.538

Impor
872.763.694
1.026.838.151
17,65
10.526.964.408

Neraca
1.808.637.605
2.111.470.804
16,74
16.693.946.130
Sumber: BPS, diolah Pusdatin
Keterangan: *) Revisi data sebelumnya menyesuaikan


Tabel di atas menjelaskan bahwa untuk hasil pertanian indonesia mengekspor lebih banyak daripada impor. Namun dalam hasil tanaman pangan yang menjadi pokok Indonesia masih harus mengimpor lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini pemerintah harus lebih mengupayakan pembangunan infrastuktur sarana prasarana dalam kegiatan perekonomian demi mendongkrak ekspor dan menekan laju impor terutama dalam bahan pangan.
Beberapa infrastruktur yang dirasa perlu direalisasikan adalah sebagai berikut :
·         Membangun dan memperbaiki jalan desa dan jalan dusun untuk memudahkan petani dan nelayan dalam memasarkan hasil produk pertanian dan nelayan;
·         Membangun dan memperbaiki jalan usaha tani dan nelayan untuk memudahkan kegiatan produksi usaha tani dan nelayan di pedesaan;
·         Membangun rumah pupuk kompos di setiap desa dengan memadukan kegiatan usaha ternak sebagai salah satu pendukung bahan baku untuk memproduksi pupuk kompos;
·         Mengalokasikan anggaran dalam APBD setiap tahun anggaran untuk penyediaan benih bervarietas unggul dan bersertifikat terhadap jenis padi yang akan ditanam, bekerjasama  dengan Perusahaan Negara yang kompeten.
·         Menjamin ketersediaan pupuk, pestisida, alat mesin pertanian, terutama mengawasi pendistribusian pupuk bersubsidi yang adil, tepat waktu dan tepat sasaran sesuai dengan jadwal musim tanam petani;
·         Menjamin berlakunya Harga Pembelian Pemerintah (HPP) terhadap hasil produksi pertanian terutama padi baik itu gabah kering panen maupun gabah kering giling, dengan membentuk dan memberdayakan suatu badan koperasi milik petani, yang modal awalnya ditanggung dalam APBD;
·      Membudidayakan penggunaan pupuk kompos, dalam upaya mengembalikan kedaulatan unsur hara tanah, program ini dilaksanakan melalui program butir 3 di atas;
·        Memberdayakan infrastruktur dan kelembagaan penyuluh pertanian, peternakan, perkebunan, perikanan dan kehutanan di setiap desa, termasuk di antaranyaa merekrut tenaga penyuluh dimaksud untuk setiap desa minimal 1 orang tenaga penyuluh;
·         Melakukan pendataan lahan-lahan terlantar dalam suatu data base yang khusus, dalam upaya untuk mencetak lahan baru.
·         Melakukan pengadaan alat tangkap ikan bagi nelayan satu di antaranya pengadaan perahu yang layak (gross tonage yang memadai) dalam upaya meningkatkan penghasilan nelayan;
·         Membangun tempat pelelangan ikan yang didekatkan dengan daerah tangkapan para nelayan untuk memudahkan nelayan dalam memasarkan hasil tangkapan;
·         Membangun, merehabilitasi sumberdaya wilayah pesisir termasuk di antaranya melakukan rehabilitasi penanaman pohon-pohon bakau di wilayah pesisir dan memelihara terumbu karang, guna meningkatkan penghasilan nelayan.

Diharapkan dengan terealisasikan hal tersebut akan berdampak baik bagi ketahanan pangan Indonesia. Karena seperti yang kita ketahui, bahwa negara Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar bahkan hampir seluruh penduduk Indonesia, yaitu sekitar lebih dari 60% dari jumlah penduduk Indonesia bermatapencaharian di bidang pertanian. Bila pertanian meningkat maka rakyat indonesia pula akan semakin sejahtera dan ketahanan pangan Indonesia akan semakin baik dengan memperbanyak produksi tanpa harus mengimpor dari luar.



                                                                                                                            Oleh : Riski Aulia
                                                                                                                            Kastrat BEM FE UNS

Sabtu, 29 Desember 2012

Mencla-Menclenya Pemerintah dibalik Revisi Permen ESDM



Pada 6 Februari 2012, menteri ESDM Jero Wacik menetapkan peraturan Menteri no 7 tahun 2012  yang berisi tentang larangan ekspor produk-produk tambang jenis tertentu dalam kondisi mentah.
Pasal 3 ayat 1
Peningkatan  nilai  tambah  komoditas  tambang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2  dapat berupa:
a.    Pengolahan  dan/  atau  pemurnian  untuk  Jenis komoditas tambang mineral logam tertentu;
b.    Pengolahan  untuk  jenis  komoditas  tambang  mineral bukan logam tertentu; dan
c.    Pengolahan  untuk  jenis  komoditas  tambang  batuan tertentu. 
Pasal 3 ayat 4
Jenis  komoditas  tambang  mineral  logam  tertentu sebagaimana dimaksud  pada ayat  (1)  huruf a  antara  lain bijih:
       a.  tembaga;
       b.  emas;
       c.  perak;
       d.  timah;
       e.  timbal dan seng;
       f.  kromium;
       g.  molibdenum;
       h.  platinum group metal;
       i.  bauksit;
       j.  bijih besi;
       k.  pasir besi;
       l.  nikel danl  atau kobalt;
       m.  mangan; dan
       n.  antimon.
à Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa sebelum diekspor ke 14 barang tambang diatas harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu.
Pasal4 ayat 1
Setiap  jenis  komoditas  tambang  mineral  logam  tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3  ayat (4)  wajib diolah dan/  atau  dimurnikan  sesuai  dengan batasan  minimum pengolahan  dan/  atau  pemurnian  sebagaimana  tercantum dalam Lampiran  I  yang  merupakan  bagian  tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
à Batasan minimum pengolahan yang dimaksud dalam ayat ini adalah 99,85% untuk mineral timah
Apabila perusahaan pertambangan melanggar pasal pasal diatas, maka akan dikenai sanksi, seperti yang terdapat pada pasal 16 ayat 4
Pasal 16 ayat 4 
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),  dan ayat (3)  berupa:
a.       Peringatan tertulis;
b.      Penghentian  sementara kegiatan  pengolahan dan/  atau pemurnian  atau kegiatan  pengangkutan  dan penjualan; dan/atau
c.       Pencabutan  IUP  Operasi  Produksi,  IUPK  Operasi Produksi,  IUP  Operasi  Produksi  khusus  untuk pengolahan  dan/  atau  pemurnian,  atau  IUP  Operasi Produksi khusus untuk pengangkutan dan penjualan.

Namun, 3 bulan kemudian, yaitu pada 16 Mei 2012, Jero Wacik merevisi Permen tersebut dengan menetapkan Peraturan Menteri no 11 tahun 2012. Isi permen ini yaitu memperbolehkan perusahaan pertambangan untuk mengekspor bahan tambang mentah dengan syarat telah mendapat rekomendasi dari menteri.
       Isi revisi
      Diantara  Pasal  21  dan  Pasal  22  disisipkan  1  (satu)  Pasal yakni Pasal 21A, yang berbunyi sebagai    berikut:
       Pasal 21A
      Pemegang  IUP  Operasi  Produksi  dan  IPR  sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal 21  dapat  menjual      bijih  (raw material  atau  ore)  mineral  ke  luar negeri  apabila telah mendapatkan  rekomendasi  dari  Menteri  c.q.  Direktur Jenderal.
         Dengan adanya revisi ini, pemerintah terkesan setengah setengah dalam melarang ekspor barang tambang mentah. Menurut pemerintah, alasan revisi tersebut adalah agar para perusahaan pertambangan tidak mengalami kebangkrutan (karena dilarang ekspor barang tambang mentah). Karena apabila perusahaan tambang bangkrut, maka akan terjadi PHK besar besaran.
         Untuk menghindari hal tersebut, Pemerintah seharusnya berfikir matang sebelum membuat seuatu peraturan. Mempertimbangkan dampak yang akan terjadi dari peraturan tersebut bagi rakyat banyak. Pembuatan peraturan hendaknya bukan didasarkan pada kepentingan golongan golongan tertentu saja. Melainkan juga harus didasarkan pada kepentingan rakyat. Sehingga tidak ada pihak yang merasa diuntungkan atau dirugikan.


Oleh
Belinda Della
Kastrat BEM FE UNS
◄ New Post Old Post ►
 

Copyright 2012 Info Ekonomi Mancanegara: 2012 Template by Bamz | Publish on Bamz Templates